Aruna yang lelah setelah seharian bekerja, sesampainya di rumah ia sudah di sambut dengan makian oleh Meida, nenek tirinya.
"Lihat, sudah jam berapa ini?!" Teriak Meida melihat Aruna baru saja masuk membuka pintu, bahkan gadis itu belum sempat melangkahkan kaki dan masih berdiri di ambang pintu, "Perusahaan mana yang mempekerjakan karyawannya hingga hampir tengah malam seperti ini? Atau jangan-jangan ... Selama ini uang yang kmu berikan kepada kami berasal dari pekerjaan yang tidak benar?!" Ucap Meida memojokkan Aruna.
"IBU?!" Dengan suara yang sedikit meninggi, Dario berusaha untuk menghentikan kalimat Meida yang pedas.
"Kamu berani membentak ibu demi membela anak ini?" Tanya Meida kesal.
"Dia juga anak ku, bu!" Sahut Dario, ia menatap sekilas ke arah Aruna. Melihat perlakuan Meida terhadap Aruna, ia merasa sangat bersalah. Merasa tidak bisa melindungi putri dan juga istrinya, karena istrinya juga pasti sakit hati mendengar bagaimana ibunya mencaci Aruna.
"Anak? Anak dari mana? Dia tidak ada hubungan darah dengan mu, Dario!" Ucap Meida tak mau kalah.
"Ibu benar-" Dario menghentikan kalimatnya, ketika Diandra mengenggam lengannya dengan perasaan dan raut wajah cemas.
"Sudah," ucap Diandra, tidak ingin karena dirinya dan putrinya, membuat ibu dan anak ini bertengkar. "Tidak apa!" Lirihnya menatap sendu ke arah Dario, membuat Dario merasa semakin bersalah.
Sedangkan Aruna yang dari tadi hanya terdiam menyaksikan pertengkaran itu hanya menghela nafas, ia sangat lelah dan tidak ada tenaga lagi untuk meladeni nenek tirinya ini. Aruna juga sudah tidak terkejut lagi mendengar kalimat-kalimat tajam Meida, karena ini bukan pengalaman pertamanya berada di posisi seperti ini.
"Sudahlah, Ma, Pa. Kalian tidak perlu menguras tenaga untuk masalah seperti ini!" Ucap Aruna dengan tenang, seolah ia tidak mendengar kalimat apa pun.
"Kamu tidak apa-apa kan, Nak?" Tanya dario yang sama khawatirnya dengan Diandra.
Aruma tersenyum, lalu menggeleng, "Tidak, pa, ma. Kalian tidak perlu khawatir!"
Melihat ketenangan Aruna, meida semakin menjadi-jadi, "Pantas tidak marah, karena itu kenyataannya!" Gumam meida sengit seraya menatap sinis ke arah Aruna.
Aruna yang mendengar kalimat Meida justru tersenyum tenang. Ia yang tengah melangkah, sengaja menghentikan langkahnya tepat di depan Meida, "Kenapa saya harus marah, nek? Saya hanya tidak ingin membuang tenga saya dengan sia-sia, hanya untuk meributkan sesuatu yang memang tidak pernah saya lakukan!"
"Kamu?!" ucap Meida tertahan, menatap Aruna dengan tatapan penuh emosi.
Aruna tidak ingin berlama-lama, ia kembali melangkahkan kakinya dengan anggun meninggalkan Meida yang terbakar emosi. "Selamat malam Ma, Pa! Selamat beristirahat!" Ucap Aruna ketika melewati Diandra dan Dario dengan senyuman lembutnya.
Di dunia ini, tidak ada yang lebih penting dari ibu dan ayahnya. Karena hanya mereka yang menganggap keberadaannya di dunia ini, meskipun Dario bukan ayah kandungnya, tapi ia sangat baik kepada Aruna dan selalu menganggapnya sama seperti anak kandungnya, 'Serendah apa pun orang menilai dan merendahkan saya. Asal itu tidak menentuh nama ayah dan ibu, saya tidak akan rela membuang waktu yang berharga ini untuk meladeninya,' batin Aruna.
"Siapa yang mengizinkan kamu untuk masuk?" Suara Meida meninggi melihat Aruna yang melangkah ke arah kamarnya.
Aruna menghentikan langkahnya, dan menoleh menatap kearah Meida yang juga mentapnya dengan penuh kebencian.
"Bu, sudahlah. Ini sudah larut, jangan membuat keributan lagi!" Ucap Dario dari kejauhan, menghentikan ibunya yang sepertinya akan memperpanjang masalah.
Meida melirik Dario dengan tatapan tajam, rasa kesalnya semakin membuncah melihat putranya terus membela Aruna, yang dianggapnya sebagai benalu yang menggerogoti kebahagiaan keluarganya. Tanpa sepatah kata pun, Meida melangkah mendekati Aruna, tangannya terulur untuk mencengkeram lengan gadis itu dengan kasar. "Pergi kamu! Rumah ini tidak menerima kamu!" ucap Meida, suaranya bergetar karena amarah dan kebencian yang mendalam, seraya menyeret Aruna menuju pintu, seperti mengusir seekor hewan liar.
Dario dan Diandara yang sudah berada di ambang pintu kamar, panik mendengar kegaduhan yang semakin menjadi. Dengan langkah lebar, sepasang suami istri itu kembali melangkah menuju ruang tamu, "Astaga ibu?!" teriak Dario, matanya membelalak ngeri melihat Meida menyeret paksa Aruna keluar rumah, seperti menyaksikan mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
Aruna, yang sudah terbiasa dengan perlakuan Meida, tidak melawan. Ia tahu, besok ia akan meninggalkan rumah ini, dan malam ini hanyalah permulaan dari perpisahan yang menyakitkan itu. 'Lebih cepat, lebih baik,' batinnya pasrah, membiarkan Meida menyeretnya keluar, seperti daun kering yang terbawa angin.
Brukkk.
Aruna tersentak, merasakan tubuhnya menabrak sesuatu yang keras dan hangat. Ia mendongak, matanya membulat sempurna melihat siapa yang berdiri di hadapannya, "Pak Raynar?!" bisiknya tak percaya, suaranya bergetar.
Malam itu, Raynar memutuskan untuk mengembalikan ponsel Aruna yang ia temukan tergeletak di jalanan. Jika ia menunda untuk mengembalikan ponsel ini, Ia tidak akan mengetahui bagaimana gadis ini di perlakukan ketika di rumah.
Raynar menatap Aruna, matanya yang tajam menelisik wajah gadis itu, mencari tanda-tanda luka dan kesedihan yang tersembunyi. Perlahan, ia melepaskan pelukannya, matanya beralih menatap Meida dengan tatapan dingin yang menusuk, seperti pedang es yang siap membunuh. 'Pantas saja gadis ini lebih suka berada di kantor,' batin Raynar, hatinya mencelos melihat perlakuan kasar Meida.
Melihat kehadiran Raynar, Meida menatap pria itu dengan tatapan menilai, matanya menyipit penuh kecurigaan. Penampilan Raynar yang rapi dan berkelas membuatnya penasaran, seperti melihat berlian di tengah tumpukan batu. 'Siapa pria ini?' batinnya. Senyum sinis terbit di bibirnya, matanya menatap Aruna dan Raynar dengan tatapan penuh tuduhan. "Apakah ini pria liar yang memelihara kamu di luaran sana, Aruna?!" ucap Meida, suaranya penuh dengan racun dan kebencian, seperti ular yang siap mematuk.
***
"Huftttt," desis Aruna, lega. Setibanya di area lobi hotel yang mewah dan ramai, ia segera melarikan diri dari Raynar dengan alasan klise yang terdengar masuk akal: kamar mandi. Itu adalah satu-satunya tempat yang terlintas di benaknya untuk menenangkan diri dan memproses apa yang baru saja terjadi.Di dalam kamar mandi, ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang tampak memerah. "Sadar, Aruna," gumamnya lirih, mencaci dirinya sendiri. "Ini hanya sebatas hubungan kerja sama." Kata-kata itu ia ucapkan berulang kali, berharap bisa menenangkan debaran jantungnya yang masih belum normal. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap rona di wajahnya segera mereda. Kecupan yang tak disengaja itu terasa seperti jejak panas yang tak bisa dihapus, membuatnya merasa malu dan canggung.Setelah yakin penampilannya telah kembali seperti biasa dan debaran jantungnya normal, Aruna memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Sudah cukup lama ia bersembunyi. Ia berharap Raynar sudah terlebih d
Cekrikkkk.Suara jepretan kamera, diikuti kilatan cahaya flash, memecah keheningan kantor catatan sipil. Aruna tersentak, jantungnya berdegup kencang. Di tangannya, tergenggam buku nikah berwarna merah, simbol pernikahan kontraknya dengan Raynar, sang atasan. Semua ini terasa seperti mimpi yang terlalu nyata, terlalu cepat, mengubah hidupnya dalam sekejap.Aruna dan Raynar berjalan berdampingan keluar dari gedung, buku nikah itu menjadi saksi bisu perubahan status mereka. Raynar tersenyum tipis, matanya melirik sekilas foto mereka di dalam buku itu. 'Ahhh... sepertinya aku sudah gila,' batinnya, suara hatinya berbisik di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri.Berbeda dengan Raynar yang tampak tenang, Aruna dilanda badai emosi. Ia mencubit lengannya sendiri, berusaha meyakinkan diri bahwa ini bukan ilusi. "Shhhh," desisnya lirih, rasa sakit di lengannya membuktikan bahwa ini nyata."Ada apa denganmu?" tanya Raynar, suaranya memecah lamunan Aruna.Aruna menoleh, matanya menatap Rayn
Keesokan harinya, Aruna tiba di kantor jauh lebih awal dari biasanya. Ada tumpukan pekerjaan yang menanti, tapi pikirannya melayang pada satu hal: pertemuan dengan Raynar. 'Bagaimana cara menyampaikan permintaan ini nanti?' batinnya bergejolak, keraguan dan kecemasan menari-nari di benaknya.Saat jam kantor dimulai, Aruna sudah tenggelam dalam pekerjaannya, jemarinya lincah menari di atas keyboard laptop. Tak lama kemudian, Raynar muncul, diiringi asistennya, disambut sapaan serentak dari seluruh karyawan divisi."Pagi, Pak!" suara mereka menggema di ruangan luas itu.Raynar hanya mengangguk singkat, tatapannya dingin dan acuh tak acuh. Pemandangan ini sudah menjadi rutinitas, menyaksikan ketampanan dan aura dominan Raynar. Namun, di balik kekaguman itu, terselip rasa takut. Mereka tahu, kemarahan Raynar bisa meledak kapan saja, menghancurkan ketenangan yang rapuh."Aruna, ikut ke ruangan saya!" perintah Raynar, suaranya sedingin es, tanpa menghentikan langkahnya yang mantap.DEG.Jan
"Siapa yang kau anggap pria liar, hmm?!" Mata elang Raynar menyipit, menatap Meida dengan tatapan tajam yang menusuk. Rahangnya mengeras, otot-ototnya menegang, menahan amarah yang bergejolak di dalam dirinya. Hinaan Meida terhadap Aruna, wanita yang kini berdiri di sampingnya, membuatnya murka.Aruna, yang merasakan aura kemarahan Raynar, mencengkeram lengan pria itu dengan cemas. Ia takut, sangat takut, jika amarah Raynar akan meledak, menghancurkan ketenangan malam itu.Meida, seolah tak gentar sedikit pun, menatap Raynar dengan tatapan tak kalah tajam. Ada campuran antara intimidasi dan penghinaan di matanya, merendahkan Raynar yang dianggapnya sebagai pria rendahan yang memelihara Aruna. 'Memang tampan,' batin Meida, matanya menelisik Raynar dari ujung kepala hingga ujung kaki, 'tapi sayang, hanya pria liar.'"Kenapa melihatku seperti itu?" ketus Meida, suaranya sinis, memecah keheningan malam. "Memang pasangan yang serasi, sama-sama rendahan," gumamnya, bibirnya melengkung sinis
Aruna yang lelah setelah seharian bekerja, sesampainya di rumah ia sudah di sambut dengan makian oleh Meida, nenek tirinya."Lihat, sudah jam berapa ini?!" Teriak Meida melihat Aruna baru saja masuk membuka pintu, bahkan gadis itu belum sempat melangkahkan kaki dan masih berdiri di ambang pintu, "Perusahaan mana yang mempekerjakan karyawannya hingga hampir tengah malam seperti ini? Atau jangan-jangan ... Selama ini uang yang kmu berikan kepada kami berasal dari pekerjaan yang tidak benar?!" Ucap Meida memojokkan Aruna."IBU?!" Dengan suara yang sedikit meninggi, Dario berusaha untuk menghentikan kalimat Meida yang pedas."Kamu berani membentak ibu demi membela anak ini?" Tanya Meida kesal."Dia juga anak ku, bu!" Sahut Dario, ia menatap sekilas ke arah Aruna. Melihat perlakuan Meida terhadap Aruna, ia merasa sangat bersalah. Merasa tidak bisa melindungi putri dan juga istrinya, karena istrinya juga pasti sakit hati mendengar bagaimana ibunya mencaci Aruna."Anak? Anak dari mana? Dia t
"Jangan berjalan sambil melamun!"Suara bariton itu memecah keheningan jalanan yang sepi. Aruna tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh, mendapati Raynar berdiri di sampingnya, tatapannya tajam namun penuh misteri. 'Kenapa Pak Raynar bisa ada di sini?' batin Aruna, matanya menelisik sekeliling, mencari jawaban yang tak terlihat."Astaga?!" serunya, terkejut dengan kehadiran Raynar yang tiba-tiba."Ada apa?" tanya Raynar, melihat kebingungan di wajah Aruna."Ti-tidak," jawab Aruna gugup. "Emmm, bagaimana Anda bisa sampai di sini, Pak?" tanyanya hati-hati, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Daerah ini dekat dengan rumah keluarganya, sementara kediaman Raynar berada di kawasan elit yang jauh dari sini.Raynar memasukkan sebelah tangannya ke saku celana, tatapannya dingin namun penuh pesona. "Tentu saja, saya datang untuk menagih janji Anda," jawabnya datar, suaranya mengalun seperti beludru.DEG.Jantung Aruna berdebar semakin kencang. Ia ingat perjanjian itu, tawaran