แชร์

108. Kerikil yang Tersisa

ผู้เขียน: ISMI
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-11 11:48:22

***

Telepon itu berakhir dengan nada datar. Sekar menutup ponselnya perlahan, lalu menoleh pada Ethan yang duduk di sisinya. Tatapan matanya menyimpan tanya yang tak bisa ia sembunyikan.

“Panggilan berakhir dan… Mami ternyata meminta makan malam bersama,” ucap Sekar pelan. “Bagaimana menurutmu?”

Ethan menghela napas panjang. “Ya sudah,” katanya akhirnya, nada suaranya penuh kehati-hatian, “kita ikuti saja alurnya… pura-pura bodoh, seolah kita tidak tahu rencana busuknya.”

Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu menegakkan tubuh. Namun, mata gelapnya tak bisa menyembunyikan keresahan.

Sekar menelan ludah, tangannya yang masih menggenggam ponsel sedikit bergetar. “Rencana busuk…?” ia mengulang, separuh berbisik.

Ethan menoleh lagi padanya, kali ini tatapannya tajam, menusuk. “Sekar, apakah tidak masalah bagimu ikut dalam masalah ini? Kamu tahu, Mami tidak akan berhenti. Dia akan terus mendekatimu. Dia hanya ingin menggunakanmu sebagai alat untuk tujuannya.”

“Bukankah kit
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Istri Dadakan Sang Presdir   109. Di Matanya Ada Kehidupan

    ***“Mobil merah itu?” Ethan menyipitkan mata, langkahnya terhenti di halaman villa.Seorang maid mendekat, menunduk sopan. “Tuan Ethan, di dalam ada Tuan Besar.”Ethan menajamkan pandangan. “Papi?”“Iya, Tuan Henry sudah tiba.”Ethan hanya mengangguk. Ia menggenggam tangan Sekar, lalu masuk ke dalam villa.***“Papi…” suara Sekar bergetar, senyumnya merekah. Ia berlari kecil menghampiri Henry yang sudah berdiri, lalu memeluknya erat.Henry tertawa kecil, menepuk lembut punggung menantunya. “Nak, senang sekali Papi bisa bertemu kalian malam ini.”Ethan berdiri beberapa langkah di belakang, wajahnya kaku.“Kalian menikmati makan malamnya?” tanya Henry ramah.Ethan menggeleng, bibirnya menekuk sinis. “Tidak juga.”Sekar cepat menyela, “Apakah Papi sudah makan malam? Mau aku buatkan sesuatu?”Henry tersenyum. “Tidak perlu, Nak. Papi sudah makan dengan klien Papi. Awalnya mau langsung ke sini, tapi Papi dengar kalian sedang makan malam. Jadi Papi putuskan makan dengan klien dulu.”Sekar m

  • Istri Dadakan Sang Presdir   108. Kerikil yang Tersisa

    ***Telepon itu berakhir dengan nada datar. Sekar menutup ponselnya perlahan, lalu menoleh pada Ethan yang duduk di sisinya. Tatapan matanya menyimpan tanya yang tak bisa ia sembunyikan.“Panggilan berakhir dan… Mami ternyata meminta makan malam bersama,” ucap Sekar pelan. “Bagaimana menurutmu?”Ethan menghela napas panjang. “Ya sudah,” katanya akhirnya, nada suaranya penuh kehati-hatian, “kita ikuti saja alurnya… pura-pura bodoh, seolah kita tidak tahu rencana busuknya.”Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu menegakkan tubuh. Namun, mata gelapnya tak bisa menyembunyikan keresahan.Sekar menelan ludah, tangannya yang masih menggenggam ponsel sedikit bergetar. “Rencana busuk…?” ia mengulang, separuh berbisik.Ethan menoleh lagi padanya, kali ini tatapannya tajam, menusuk. “Sekar, apakah tidak masalah bagimu ikut dalam masalah ini? Kamu tahu, Mami tidak akan berhenti. Dia akan terus mendekatimu. Dia hanya ingin menggunakanmu sebagai alat untuk tujuannya.” “Bukankah kit

  • Istri Dadakan Sang Presdir   107. Rindu Selalu Menemukan Jalan

    ***Pagi itu udara Bandung begitu segar, langit biru muda dihiasi gumpalan awan tipis. Sekar tampak berbaur dengan masyarakat di pinggiran kota. Ia mengenakan kebaya sederhana berwarna biru muda yang dipadukan dengan kain batik sogan, senyumnya merekah setiap kali kamera para pengikut media sosialnya mengarah padanya.Hari ini, Sekar diundang menjadi pembicara sekaligus influencer yang menggerakkan masyarakat lokal untuk mencintai budaya sendiri. Ia berdiri di depan panggung kecil, dengan suara lembut namun penuh semangat.“Teman-teman, budaya kita itu indah sekali. Kalau bukan kita yang merawat dan mengenalkannya, siapa lagi? Jangan malu menari tarian daerah, jangan ragu memakai batik, karena dari sinilah identitas kita bersinar.”Sorak sorai pun terdengar. Anak-anak kecil berlari ke arahnya, meminta foto, beberapa remaja tersenyum malu-malu, sementara para orang tua memberi anggukan penuh bangga. Sekar membaur dengan semuanya tanpa jarak. Ia menari bersama anak-anak, bahkan sempat t

  • Istri Dadakan Sang Presdir   106. Menjadi Rumah Untukmu

    ***“Percaya padaku, bukan?” tanya Ethan.Suara itu terdengar tenang, namun di balik ketenangan itu, ada nada harap yang menusuk relung hati Sekar.Sekar terdiam. Jemarinya yang saling meremas di pangkuan terasa dingin. Kata-kata Ethan menggantung di udara, seolah menunggu jawaban yang ia sendiri tidak yakin bisa diberikannya.Ia ingin percaya. Sungguh ingin. Tapi seluruh hidupnya selama ini bagai dinding abu-abu. Dunia yang tak pernah benar-benar memberikan tempat untuknya bersandar.Sekar menarik napas dalam, pandangannya jatuh pada halaman sanggar ketuk tilu yang temaram diterangi cahaya lampu gantung dan rembulan pucat di atas sana. Sanggar itu… rumah bagi banyak orang, tapi baginya, itu hanya panggung. Ia menari, ia mengajar, ia tersenyum di hadapan orang-orang. Tapi di dalam dirinya, ia tetap saja kesepian.“Sekar…” Ethan memanggil pelan, matanya tajam menatap wajahnya.Sekar menelan ludah, matanya berkabut. “Aku…” suaranya tercekat, “hidupku ini, Ethan… aku merasa seperti dilah

  • Istri Dadakan Sang Presdir   105. Kau Hanya Boleh Memilihku

    ***Sekar memejamkan mata sejenak. Lalu ia membuka mata dan menatap pria itu lagi. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”Ethan berdiri di hadapannya, diam cukup lama. Mata hijau zamrud itu seperti menimbang setiap kata yang hendak terucap. Akhirnya, ia bergumam pelan, namun tegas. “Abaikan saja. Aku tidak ingin kau terlibat banyak. Biar aku yang mengurusnya.”Sekar menggeleng cepat. Matanya berkaca, bukan karena air mata, melainkan karena perasaan campur aduk yang tak bisa ia redam. “Saat ini aku harus terlibat. Bukankah aku ini istrimu?” ucapnya. Kata-kata itu meluncur begitu saja, sebelum pikirannya sempat menahan.Detik berikutnya, Sekar menyesal. Ucapan itu terdengar begitu pribadi, begitu dalam, seakan ia benar-benar mengakui ikatan yang selalu coba ia abaikan. Padahal, ia masih kecewa pada pria itu.Ethan tersenyum samar, lalu tanpa peringatan menarik tubuh Sekar ke dalam dekapannya. Pelukan itu hangat, menekan erat seakan ia takut kehilangan. Suara Ethan terdengar lembut di deka

  • Istri Dadakan Sang Presdir   104. Rasa Khawatir

    ***Sedangkan di Jakarta, Ethan masih duduk di balik meja panjang berlapis kaca, dasinya sudah longgar, kemeja putihnya sedikit kusut karena rapat seharian. Ia menekuk kening, menutup map tebal, hendak bersandar sebentar.Ketukan pintu terdengar. Bima masuk, membawa tab di tangannya. “Tuan Ethan,” panggilnya hati-hati.Ethan mengangkat wajah. “Ada apa? Jangan bilang ada rapat tambahan.”Bima menggeleng cepat. “Bukan, Tuan. Saya barusan dapat kabar. Katanya, Nyonya Ratu… datang ke sanggar Ketuk Tilu di Bandung. Beliau bertemu langsung dengan Nona Sekar.”Ethan sontak terperanjat. “Apa?” suaranya meninggi.Bima menelan ludah. “Iya, Tuan. Saya dapat info dari orang-orang kita yang melihat mobil Nyonya Ratu berhenti di sana siang tadi.”Ethan berdiri mendadak, kursinya berdecit keras ke belakang. “Kenapa kau baru bilang sekarang?”“Maaf, Tuan, saya baru mendapat kabarnya barusan.”Ethan meraih ponsel di meja, jari-jarinya cepat menekan nomor Sekar. Nada sambung terdengar, sekali, dua kali

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status