***Langit Swiss menyambut mereka dengan semburat cerah khas musim semi, menyinari bandara kecil tempat jet pribadi Ethan mendarat. Hawa sejuk menyusup lewat sela mantel tipis yang dikenakan Sekar, namun tangan Ethan yang menggenggam jemarinya memberi kehangatan yang aneh—nyata, tapi asing.Sekar melirik pria di sampingnya. Ethan tampak fokus, wajahnya dingin seperti pilar es. Tak ada senyum hangat seperti malam sebelumnya. Tak ada bisikan lembut di keningnya sebelum mereka tertidur.Ia menarik napas dalam. Apa aku membuatnya kesal? pikirnya, melirik sekilas. Ethan masih diam, bahkan sejak dalam pesawat tadi, hanya sepatah dua patah kata keluar dari mulutnya."Apakah aku—" Sekar membuka suara, tapi langsung mengurungkan niat saat Ethan menatapnya dengan mata hijau zamrudnya yang tajam namun... seolah menyimpan badai.“Kita akan langsung ke Hotel Bergfalke. Aku sudah atur pertemuan dengan Mr. Heintz di sana,” ucap Ethan datar, sebelum melirik arlojinya dan kembali melangkah, tanpa mele
***“Sekar…” katanya pelan. “Apakah kau tidak ingat… apapun?”Sekar mengerutkan dahi. “Maksudmu?”Ethan terdiam sejenak. Tarikan napasnya panjang, lalu ia tersenyum tipis. Senyum itu tidak benar-benar mencapai matanya. Ada kekecewaan yang coba ia sembunyikan, tetapi Sekar tahu. Ia bisa membaca ekspresi Ethan dengan mudah akhir-akhir ini.“Tidak apa-apa,” gumam Ethan, mengusap pipi Sekar dengan jemari hangatnya. “Tidurlah. Besok kita ke Swiss. Kau harus tidur cepat, oke? Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan.”Sekar menatap Ethan, mencoba mencari maksud tersembunyi di balik kalimatnya. Tapi pria itu sudah membungkuk, mengecup lembut keningnya. Sentuhan hangat itu menusuk pertahanannya yang rapuh. Seperti biasanya, Ethan selalu tahu cara melemahkannya—tanpa banyak usaha.Sekar hanya mengangguk perlahan. “Baik…”Ethan tersenyum, berbalik meninggalkan kamar. Pintu tertutup pelan di belakangnya, menyisakan keheningan.Sekar menghela napas panjang, lalu membaringkan tubuhnya ke k
***“Aku serius, apa perlu kita menikah ulang?" tanya Ethan.Sekar mendongak, menatap pria itu seakan tak percaya. Hatinya berkecamuk, antara ingin menangis atau menertawakan dirinya sendiri karena begitu mudah terbuai pada rayuan Ethan—suami kontrak yang makin hari justru terasa nyata."Aku serius," lanjut Ethan, lebih pelan kali ini. “Bagaimana?”Sekar tahu, Ethan selalu begitu—membuat sesuatu yang rumit jadi terasa ringan, bahkan tampak seperti candaan manis. Tapi justru karena itulah ia merasa terjebak. Pria itu terlalu lihai menyelipkan rasa ke dalam kata, ke dalam tindakan, dan Sekar benci mengakui… ia mulai goyah.Ia menggeleng cepat, meraih tasnya. “Aku lelah, rasanya ingin rebahan sejenak,” katanya. Ia berdiri.Namun gerakan Ethan jauh lebih cepat. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Sekar dan dengan sedikit tarikan, wanita itu terjatuh—tepat ke pangkuannya.“Ethan!” Sekar berusaha bangkit. Wajahnya memerah karena panik dan malu. “Ini tempat umum. Apa kau tidak malu jik
***Langit sore itu lembut, biru keperakan dengan semburat jingga di ujung barat. Udara sejuk menyentuh pipi Sekar saat ia melangkah pelan di jalanan berbatu dekat kanal. Sekar memutuskan untuk menikmati angin sore setelah pulang dari studio milik Vincent.Ia mampir ke sebuah kedai kecil yang direkomendasikan banyak pelancong di laman digital. Tak jauh dari Museum Van Gogh, kedai itu berada di pojokan gang sempit yang cantik, dihiasi bunga warna-warni dalam pot-pot rotan yang menggantung dari langit-langit. Interiornya sederhana, hangat, dan aroma kayu bercampur kopi menyambut seperti pelukan yang hampir ia lupakan bentuknya.“Een cappuccino, alstublieft,” ucap Sekar pelan sambil tersenyum ke arah barista, mencoba sopan meski lidahnya kaku dalam bahasa Belanda.Sambil menunggu, ia memilih duduk di luar. Musim semi membuat udara cukup bersahabat, dan ia ingin merasakan denyut kota ini dari luar jendela. Di hadapannya, orang-orang berlalu dengan sepeda, tangan-tangan yang menggenggam ta
***“Hai…” kata Eva, senyum kecilnya berubah menjadi garis halus. “Apakah kamu Sekar? Istrinya Ethan?”Sekar mengangguk sopan dan berdiri. “Ya. Aku Sekar. Senang bertemu denganmu, Nona Eva.”Eva mengangguk, kemudian duduk di kursi kosong di dekat Hendrik.“Sekar punya sanggar tari,” Britney menyela dengan bangga. “Dan dia volunteer untuk anak-anak jalanan. Sangat berdedikasi dan penuh cinta.”Eva mengangkat alis, terkesan. “Wow. Itu luar biasa sekali. Aku salut pada orang-orang seperti kamu, Sekar.” Senyumnya tulus kali ini.Sekar hanya tersipu. “Aku hanya melakukan apa yang aku bisa.”“Sekar memang mengagumkan,” Hendrik menimpali. “Tapi Eva juga bukan orang biasa. Eva sudah seperti putri kami sendiri. Ayahnya teman baikku sejak muda. Dan sekarang Eva adalah seorang dokter bedah terkenal di Belanda. Masih single pula.”“Banyak pria hebat yang mengejarnya, tapi Eva selalu cuek!” seru Britney.Robert mengangguk. “Single? Masa sih, Eva? Lelaki mana yang tidak jatuh cinta padamu?”Hendrik
***“AAAAKKKHH!!!”Suara teriakan nyaring itu menggetarkan seluruh isi kamar megah yang masih terselimuti ketenangan pagi. Sekar terduduk dengan napas memburu di atas ranjang, matanya membelalak panik ke segala arah, lalu terhenti pada satu titik.Seorang pria. Bertelanjang dada. Di sampingnya."Ethan..." gumamnya tercekat, tubuhnya gemetar dan ia cepat-cepat menarik selimut hingga menutupi dadanya. Napasnya tercekat, matanya masih tak percaya pada pemandangan yang ia lihat.Ethan mengerjap pelan, lalu membuka matanya penuh kantuk. Ia mengusap wajahnya sebelum menguap kecil dan duduk menyandar di headboard dengan tenang. "Sekar?" ucapnya parau. "Ada apa kau berteriak seperti dikejar hantu?"Sekar memelototinya, wajahnya memerah menahan malu dan marah. “Kau… kau! Apa yang sudah kau lakukan padaku?!” tudingnya dengan suara bergetar.Ethan memiringkan kepala, bingung. "Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?"“Kau—” Sekar menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk Ethan. “Aku… aku tidur dengan ga