Waktu terasa begitu cepat berlalu. Entah sejak kapan keputusan ini dipilih, Nyonya Frida yang sedang berdiri di tepi pintu menatap Zylva yang berwajah murung, setelah memberikan gaun yang begitu cantik dan anggun.
"Zylva, malam ini kita harus bertemu dengan Tuan Besar. Pakailah gaunnya, dan Ibu akan merias wajahmu.”Bukannya bergegas, Zylva meraih gaun itu, menatapnya lama sebelum membuangnya ke sudut kamar."Ibu pilih kasih," ketusnya tak terima.Mendengar jawaban putrinya, Nyonya Fryda menutup pintu. Dia berjalan mendekati sang putri dan duduk di sebelahnya.Tangan yang dingin begitu halus mengelus rambut sang putri. Nyonya Fryda memberikan senyuman terbaik yang ia punya untuk putri yang sangat ia cintai.Zylva tidak menanggapi. Dia mengusap air matanya dan melempar wajah menjauh dari sang ibu."Ibu tahu putri Ibu dengan baik. Putri Ibu adalah gadis manis yang baik hati dan beruntung." Suara Nyonya Fryda sangat lembut dan mendayu, persis seperti wajah dan tatapannya yang teduh."Ibu tidak pernah pilih kasih pada putri-putri Ibu. Ibu menyayangimu, sama seperti Ibu menyayangi kakakmu.""Tapi aku putri Ibu, aku yang Ibu lahirkan dari perut Ibu, kenapa Ibu seperti lebih menyayangi perempuan licik itu? Dia itu tidak sakit.Dia tersenyum di belakang semua orang, lalu berpura-pura lemah di hadapan kita""Mau Ibu kasih tahu tips rahasia untuk meredakan rasa sakit?" potong Nyonya Fryda dengan suara yang lebih lembut.“Dengar nak”"Tutuplah mata dan telinga, dari apa yang tidak ingin kita lihat dan yang tidak ingin kita dengar. Itu akan membantumu merasa sedikit lebih tenang," sambungnya.Jawaban ibunya membuat Zylva yang tangguh harus menangis dalam pelukan.Dia memeluk ibunya dengan erat meski masih begitu kecewa pada keputusan sang ibu."Ibu tahu, Nak. Ibu tahu semuanya. Ibu tahu bahkan apa yang terbaik untukmu." Nyonya Fryda melepaskan pelukan, meletakkan kedua telapak tangan yang dingin pada pipi lembab Zylva lalu melanjutkan, "Putriku tidak akan pernah menyesalinya. Pria itu akan membuatmu bahagia."Entah itu sebuah bujukan atau kata-kata penenang, Zylva sebenarnya tidak begitu peduli, dia juga tidak kenal pada putra-putra Tuan Dony. Dia masih merasakan kekecewaan yang dalam pada keputusan sepihak yang tidak melibatkannya dalam menentukan pilihan."Kau akan bahagia bersamanya. Dia laki-laki yang baik."Kalimat penenang seperti tombak yang runcing bagi Zylva. Dia terpaksa melakukan ini demi ayah yang kesulitan, demi ibu yang sangat ia cintai, dan demi kakak tiri yang licik dan congkak.Selama berada di perjalanan, di dalam mobil Zylva tidak mengatakan apa pun juga.Dia meremas gaun yang sedang ia kenakan dengan tangan yang bergetar. Sepatu bertumit yang tidak pernah ia minati sekarang harus menghiasi kakinya yang dingin.Supir pribadi keluarga mereka mengantar mereka menuju kediaman mewah Tuan Dony Stuward Tsalburg yang megah.Sebuah bangunan yang menjulang tinggi sangat mencengangkan. Di ibu kota, bahkan tidak ada seorang pun yang punya rumah semewah ini. Ini terlalu luar biasa.Nyonya Fryda mengiring putrinya turun dari mobil setelah berhenti, mengarah pada pintu gerbang yang sangat tinggi terbuka lebar untuk mereka, bersama Tuan Faizal, dan tanpa kehadiran Cya yang katanya sedang tidak enak badan."Pasanglah wajah yang enak dipandang. Jangan memberengut seperti itu, kau hanya akan membuatku merasa kesal,” ketus Tuan Faizal saat melihat wajah putrinya yang cemberut."Ayo, ayo kita masuk.”Beberapa orang pengawal dan pelayan berlarian untuk menyambut kedatangan calon menantu keluarga besar Tuan dan Nyonya Dony Stuward."Mari, Nyonya, Tuan, dan Nona Muda." Semua orang membungkukkan tubuhnya untuk mereka, benar-benar penyambutan yang luar biasa."Aku akan menyusul. Aku sangat gugup, bisa tinggalkan aku sendirian dulu?"Sebenarnya saat mengatakan ini, Zylva tidak benar-benar gugup. Dia hanya memutar otaknya untuk mencari jalan keluar agar terhindar dari perjodohan konyol yang ia benci.Kesempatan tidak datang dua kali, dan Zylva tidak mau kehilangan momen berharga ini. Ibu dan ayahnya menyetujui, dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk memikirkan celah baginya lari.Para pengawal juga tidak mengikutinya, dan dia berjalan menjauh setelah mendapatkan kepercayaan."Yang benar saja! Aku bahkan tidak mengenal pemuda itu, tapi harus menikahinya demi tukang cari masalah itu!" gerutu Zylva.Dia tidak peduli seberapa kayanya keluarga itu, dia juga tidak peduli seberapa besarnya pengaruh mereka untuk keluarganya. Menurutnya, apa memang tidak ada pilihan lain? Meskipun ayahnya dan Tuan Dony berteman sejak lama, dia tidak pernah berpikir bahwa perjodohan akan terjadi. Bukankah seharusnya perjodohan itu terjadi karena pertemanan? Bukannya malah jaminan untuk menolong sang ayah, kan? Pertemanan yang aneh. Zylva mengolah napasnya dengan baik saat rongga dada terasa begitu sempit. Dia menghentakkan kaki di halaman mewah rumah itu, dan,Bruk!Terdiam.Tubuh Zylva yang mungil menabrak bidang hangat yang seperti datang dari langit. Dia tidak tahu sudah sejauh mana langkahnya pergi hingga bertemu dengan sosok yang satu ini.Dalam hidup, Zylva tidak pernah tertarik pada siapa pun. Dia tidak pernah melihat paras serupawan itu sebelumnya, tapi ... ternyata keindahan tentang 'lelaki tampan' itu memang nyata."Maaf."Suara yang keluar dari bibir berisi yang memerah membuat Zylva semakin diam.DegDegDegJantungnya bahkan berdebar tak menentu saat ia melihat siapa yang berdiri tepat di depannya. Matanya bahkan membola penuh."Wah tampan sekali,”" gumamnya."Apa Nona baik-baik saja?”Tidak hanya parasnya, bahkan suaranya saja luar biasa."Ya, tidak apa-apa." Zylva mencoba mengumpulkan puing-puing kesadaran yang berhamburan, mengintip segala sisi yang gelap dan sunyi, selain seorang pelayan berdiri di samping pemuda."Syukurlah. Aku permisi dulu... Nona."Entah ini mimpi dari mana, Zylva terkejut pada pemandangan menakjubkan ini. Pria berparas tampan dengan tubuh yang tinggi, juga punya kepribadian yang baik, dan terlihat begitu ramah. Ini di luar perkiraan.Pemuda itu berlalu begitu cepat, seperti terburu-buru karena dia berlari bersama para pelayannya, juga seorang wanita muda yang sepertinya adalah abdi yang setia.Dalam hidup, Zylva tidak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, tapi... sepertinya ia harus mempercayainya kali ini. Dia menyukai pria itu bahkan hanya denga melihatnya sekilas pada malam yang gelap.Desiran angin menghembus dengan cepat. Zylva membatu di tempat.“Apa yang salah dengan mata Zack sebenarnya apakah dia menyembunyikan sesuatu?” gumam Zylva Malam semakin larut, tapi di dalam kastel itu, waktu seolah berhenti. Api di perapian menjilat-jilat kayu, memantulkan cahaya ke wajah Zack dan Zylva yang masih duduk berdekatan.Zylva belum melepaskan sandarannya dari bahu Zack, tapi ia bisa merasakan tubuh pria itu mulai menegang."Zack?" panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Zylva menegakkan tubuhnya, menatapnya dengan dahi berkerut. Mata Zack terbuka, menatap ke depan… tapi tatapannya berbeda. Dingin. Seperti kosong.“Zack?” ulang Zylva, kini lebih cemas.Senyum muncul di bibir Zack. Tapi itu bukan senyum yang ia kenal. Senyum itu... miring. Sinis.“Dia tidur,” bisik Zack—atau sesuatu yang memakai wajahnya. “Sekarang giliranku.”Zylva bergidik. “Apa maksudmu?”“Apa kau benar-benar mengira dia sesederhana itu? Lembut, rapuh, bisa disembuhkan oleh kata-kata manis?” Suara Zack terdengar lebih berat, lebih tajam. “Aku bagian yang dia pendam. Yan
Zylva membuka pintu kamar perlahan. Langkahnya pelan, khawatir membangunkan Zack yang sejak tadi diam tak banyak bicara selama perjalanan pulang dari hotel. Ia mendorong kursi rodanya ke dalam kamar yang remang, aroma kayu dan obat menguar dari udara dingin ruangan itu.“Aku bisa sendiri,” gumam Zack.“Biar aku bantu buka sepatumu,” jawab Zylva tanpa ragu, tetap jongkok di depan Zack. Tangannya dengan lincah melepas sepatu pria itu, lalu meletakkannya di samping pintu. Zack tidak banyak bergerak, hanya memandangi rambut Zylva yang tergerai ke depan, hampir menutupi wajahnya.“Kenapa kau selalu melakukan hal seperti ini?” tanya Zack, suaranya pelan, nyaris seperti angin.“Karena aku istrimu,” jawab Zylva singkat, menatapnya sebentar sebelum berdiri.Zack memalingkan wajah. “Kau tidak perlu bersikap seperti istri sempurna. Aku tahu ini bukan keinginanmu.”Zylva terdiam. Ia menatap Zack beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Memang bukan keinginanku. Tapi kalau kita sudah di sini... bu
Mobil hitam itu melaju tenang di jalanan kota yang mulai dipenuhi cahaya pagi. Di kursi belakang, Zylva duduk diam dengan tangan terlipat di pangkuannya, sementara Zack di sampingnya hanya menyandarkan kepala pada sandaran, matanya tetap tertutup, wajahnya tersembunyi di balik topeng.“Lelah?” tanya Zylva, memecah keheningan.“Sedikit,” jawab Zack singkat. “Terlalu banyak suara tadi malam.”Zylva mengangguk pelan. Ia pun merasakannya. Pesta keluarga yang dipenuhi wajah-wajah asing, sorot mata penuh tanya, dan bisik-bisik menusuk—semuanya terlalu berat untuk seseorang yang bahkan belum sepenuhnya siap menjadi istri.“Kau tidur cukup semalam?” tanya Zylva lagi, kali ini lebih hati-hati.Zack menggeleng pelan. “Tidak bisa. Punggungku nyeri kalau terlalu lama di tempat asing.”Zylva menoleh, ingin bertanya lebih jauh, tapi urung. Ia belum tahu batas mana yang boleh ia lewati. Mereka masih terlalu asing meski sudah berbagi atap.Sesampainya di kastel keluarga—begitu semua orang menyebut ru
Zylva menggeser cangkir Zack mendekat padanya, seolah mencoba menjembatani jarak yang terasa tak terlihat.“Kalau kau mau bicara… aku ada,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Zack tak menjawab, tapi kepalanya sedikit menoleh ke arahnya. Bukan sebuah balasan utuh, tapi cukup membuat Zylva tahu—ia didengar. “Aku tidak terbiasa sarapan dengan orang lain,” gumam Zack.Zylva tersenyum kecil. “Maka mulai hari ini, biasakan dirimu denganku.”Restoran hotel itu tak ubahnya seperti aula kecil yang dihiasi lampu gantung dan meja-meja bulat yang ditutupi kain putih bersih. Di pojok ruangan, sebuah meja panjang sudah dipenuhi aneka makanan sarapan: croissant hangat, omelet, buah-buahan segar, dan berbagai minuman.Zylva mendorong kursi roda Zack ke salah satu meja dekat jendela. “Di sini saja?” tanyanya pelan.Zylva berusaha lebih dewasa dan memahami bahwa ini mungkin sudah takdirnya.Zack mengangguk, lalu menyandarkan punggungnya, tampak mulai lelah hanya dengan perjalanan singkat itu.“
Suara burung tidak terdengar pagi itu. Yang ada hanya dengung pendingin ruangan dan samar suara kendaraan dari jalanan jauh di bawah hotel. Zylva membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus dari celah-celah tirai, membentuk garis cahaya di dinding kamar.Untuk sesaat, ia lupa bahwa dirinya sudah menikah. Lupa bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Tapi begitu ia menoleh dan melihat sosok pria bertopeng di kursi roda yang menghadap ke jendela, kenyataan segera kembali.“Sudah bangun?” suara Zack terdengar pelan, tanpa menoleh ke arahnya.Zylva refleks duduk. “Iya... baru saja.”Zack tidak menjawab. Tangannya menggenggam cangkir kecil, dan dari aromanya, Zylva bisa menebak itu teh herbal yang tadi disiapkan pelayan hotel. Ia terlihat kaku, seperti orang yang sudah siap berperang sejak pagi.“Kau tidur nyenyak?” tanya Zylva hati-hati.“Tidak ada yang bisa disebut nyenyak,” Zack menjawab. “Aku tidak bisa tidur jika berbaring terlalu lama. Kursi ini lebih nyaman.”Zylva menarik seli
Acara berlangsung dengan formalitas yang membosankan bagi Zylva. Ia duduk di samping Zack selama hampir dua jam, hanya menjawab beberapa pertanyaan dari tamu yang datang dengan senyum sopan. Zack tetap diam nyaris sepanjang waktu, hanya mengangguk atau menoleh jika benar-benar perlu. Botol kecil di sakunya sesekali terlihat saat ia menggenggamnya erat.Zylva tak bisa berhenti mencuri pandang. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik topeng setengah wajah berwarna hitam perak. Hanya dagunya yang terlihat, cukup untuk memperlihatkan garis rahang yang tegas, tapi juga dingin.Setelah acara selesai, mereka dibawa ke kamar hotel khusus yang sudah disiapkan untuk menginap malam ini. Zack tampak enggan, tapi tak banyak bicara. Mereka masuk ke dalam kamar suite besar dengan dua ranjang terpisah. Rico mengantar mereka, lalu segera pergi setelah memastikan segalanya aman.Zylva meletakkan clutch di meja rias, menatap bayangannya di cermin. Riasannya mulai luntur. Gaun ungu panjangnya masih ter