Nona, Tuan dan Nyonya Stuward akan datang sebentar lagi. Bisakah Anda masuk sekarang?"
"Siapa pemuda tadi?" tanya Zylva tanpa memedulikan pertanyaan sebelumnya.Para pelayan yang baru saja mendatanginya bingung, lalu setelah beberapa saat tersenyum dan menjawab, "Dia adalah Tuan Muda Reza Stuward, putra kedua Tuan Dony, Nona."Mata Zylva membola penuh. Maniknya memantulkan cahaya purnama yang terang. Kemungkinan ini besar sekali. Hanya akan ada dua putra Tuan Dony yang bisa menjadi suaminya. Putra keempat masih muda, putra kedua adalah satu-satunya.Seperti kebanjiran berlian, Zylva berlari, melupakan rasa sulitnya berjalan dengan sepatu bertumit.Para pelayan yang sejak tadi kebingungan melepaskan pandangan dari Zylva, lalu saling melemparkan pandangan dan tersenyum.Suami Untuk ZylvaDrap!Drap!Drap!Apa yang ia lihat adalah Zylva yang masuk dengan wajah sumringah, dan duduk dengan cepat di atas sofa.Tuan Faizal melihat ekspresi putrinya yang terlihat begitu bahagia. Sementara Tuan Dony yang ternyata sudah duduk di depan mereka menatap Zylva dengan wajah serius yang ramah dan tenang. "Ini putriku, Tuan. Ini Zylva."Tuan Faizal sangat keberatan saat Zylva duduk di situ. Dia takut Zylva akan menolak sekali lagi di depan Tuan Dony langsung."Cantik sekali," puji Tuan Dony saat melihat Zylva dan mengembangkan senyuman.Zylva mengangguk dengan anggun, dan melihat sekeliling. Aneh, tidak ada Nyonya Besar duduk di sana."Bagaimana, Tuan Faizal? Apa Zylva setuju kalau..."Ya. Aku setuju."Semua orang melihatnya, semua orang mendengarnya. Saat Zylva dengan spontan menjawab pertanyaan Tuan Dony yang sedang bertanya pada sang ayah begitu sangat mengejutkan.Nyonya Fryda sempat melonjak kaget, tapi kemudian memancarkan senyuman yang manis. Begitu juga dengan Tuan Faizal yang bangga dengan sikap putrinya yang bersemangat entah kenapa mendadak sekali."Wah... hahahah! Putrimu sangat manis. Kalau begitu, kita bisa membicarakan soal pernikahan ini secepatnya."Demi pria tampan yang tadi menabraknya, Zylva mengalah pada egonya. Dia senyum-senyum sendiri di depan calon ayah mertua."Kalau begitu, kita tidak perlu melakukan pertemuan dengan putraku dulu, karena--""Aku sudah melihatnya. Yang tadi keluar dari rumah ini, kan?" potong Zylva, bertanya pada Tuan Dony.Hening, Tuan Dony mengernyitkan dahi. Dia bingung sendiri harus menjawab apa.Tiba-tiba keheningan itu terhempas.TakTakTakNyonya besar turun dari lantai atas rumah, membawa keangkuhan bersamanya."Jadi ini, calon istrinya?” tanyanya pada sang suami. Ia mendekat dan duduk di sebelah Tuan Dony dengan kedua kaki yang disilang."Iya, ini Zylva. Dia menerima pernikahan ini dengan lapang dada," jawab Tuan Dony.Nyonya Besar melirik Zylva dari kaki sampai kepala. Dia tersenyum tipis saat meraih segelas jus yang terhidang. Dengan tatapan yang aneh, dia menjawab, "Oh. Kurasa dia memang sangat cocok dengan anak itu. Benar-benar cocok." Entah kenapa, kata-kata Nyonya Besar sangat merendahkan hingga dia sendiri tak tahu harus menjawab apa."Terima kasih, Nyonya," jawab Nyonya FrydaNyonya Besar itu wajahnya lebih mirip penyihir yang kejam. Dia membuang pandangan dengan cepat dari orang tua Zylva yang jelas-jelas sudah lama menjalin kedekatan dengan Tuan Dony."Pelayan, apa putraku tadi datang?" tanya Tuan Dony pada salah seorang pelayan."Ya, Tuan. Tadi Tuan Muda Reza ada di sini. Beliau sudah pergi lagi karena ada urusan."Jawaban pelayan membuat Tuan Dony mengerti. Dia menundukkan mata dengan rasa bersalah, namun dengan cepat kembali menatap Zylva."Mungkin, kau baru saja bertemu dengan putraku Reza. Dia putra keduaku, dan dia sedang menata karirnya sekarang. Sayang sekali, mungkin ada kesalahpahaman di sini. Yang akan menikah denganmu bukan Reza, tapi putra ketigaku, Zack Stuward Tsalburg.""Apa?""Yang jelas, bukan putra ketiganya yang bodoh, cacat, dan gila.” Ini kata-kata Maya, dan apakah ini mimpi?Rasanya baru saja kemarin Maya mengatakan padanya bahwa hanya ada dua kemungkinan, menikahi salah satu dari dua putra Tuan Dony dan yang pasti bukan putra ketiganya yang serba kekurangan."Apa kau tidak mendengarnya? Apa perlu kuulangi apa yang baru saja suamiku katakan?" Nyonya Besar menyentak kesadaran Zylva yang mematung dalam diam.Dia tidak bisa bahkan untuk sekedar berkedip. Ibarat perjanjian, Zylva seperti sudah meletakkan stempel persetujuan di atas materai dengan tanda tangan, dia tidak mungkin menolak ini di depan semua orang hanya karena calon suaminya cacat fisik dan mental. Pandangan akan semakin buruk, tapi ... apakah dia harus mengorbankan masa depan yang cemerlang untuk ini? Menikah dengan pria kaya raya tidak sempurna yang dikurung seperti Rapunzel, lalu menikahinya dengan membawa keberanian yang secuil? Mimpi buruk yang menakutkan."Tadi Zylva sudah menyetujuinya, Tuan. Putriku akan baik-baik saja dengan ini semua." Nyonya Fryda memberikan tanggapan pada raut terkejut yang ada pada putrinya. Dia seperti memaksa Zylva untuk diam dan pasrah. "Baguslah. Kami kesulitan mencarikan pasangan untuk putraku yang satu itu. Aku mempercayai kalian untuk menjaga rahasia ini, karena aku tidak bisa mempercayakan putraku yang satu itu dengan orang lain." Tuan Dony menuangkan teh ke dalam cangkir porselin yang mewah, lalu menambahkan, “Aku sudah menjaga nama baik dan nama besar keluargaku, aku tidak ingin ada yang tahu soal putra ketigaku yang sedikit terganggu, tapi ini tidak seburuk yang kalian dengar. Dia anak yang baik."Seberapa keras pun Tuan Faizal memuji Zack, Zylva tidak akan bisa mempercayai itu dengan mudah. Gosip dan rumor tentangnya begitu buruk, dan ... dia harus menjadi istri untuk Tuan Muda yang bodoh dan penuh kekurangan."Pernikahan ini mungkin tidak akan terbuka. Putraku perlu seseorang yang mendampingi, lalu kita akan menikahkan mereka. Kerja sama kita tidak hanya sebatas uang dan politik, tapi juga soal masa depan anak-anak kita. Zack sangat baik, Zylva pasti akan menyukainya."Cih! Suka? Saat semua orang bahkan menolak dijodohkan dengan putra ketiga Tuan Faizal yang buruk, bagaimana bisa dia mengatakan Zylva akan menyukainya?“Apa yang salah dengan mata Zack sebenarnya apakah dia menyembunyikan sesuatu?” gumam Zylva Malam semakin larut, tapi di dalam kastel itu, waktu seolah berhenti. Api di perapian menjilat-jilat kayu, memantulkan cahaya ke wajah Zack dan Zylva yang masih duduk berdekatan.Zylva belum melepaskan sandarannya dari bahu Zack, tapi ia bisa merasakan tubuh pria itu mulai menegang."Zack?" panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Zylva menegakkan tubuhnya, menatapnya dengan dahi berkerut. Mata Zack terbuka, menatap ke depan… tapi tatapannya berbeda. Dingin. Seperti kosong.“Zack?” ulang Zylva, kini lebih cemas.Senyum muncul di bibir Zack. Tapi itu bukan senyum yang ia kenal. Senyum itu... miring. Sinis.“Dia tidur,” bisik Zack—atau sesuatu yang memakai wajahnya. “Sekarang giliranku.”Zylva bergidik. “Apa maksudmu?”“Apa kau benar-benar mengira dia sesederhana itu? Lembut, rapuh, bisa disembuhkan oleh kata-kata manis?” Suara Zack terdengar lebih berat, lebih tajam. “Aku bagian yang dia pendam. Yan
Zylva membuka pintu kamar perlahan. Langkahnya pelan, khawatir membangunkan Zack yang sejak tadi diam tak banyak bicara selama perjalanan pulang dari hotel. Ia mendorong kursi rodanya ke dalam kamar yang remang, aroma kayu dan obat menguar dari udara dingin ruangan itu.“Aku bisa sendiri,” gumam Zack.“Biar aku bantu buka sepatumu,” jawab Zylva tanpa ragu, tetap jongkok di depan Zack. Tangannya dengan lincah melepas sepatu pria itu, lalu meletakkannya di samping pintu. Zack tidak banyak bergerak, hanya memandangi rambut Zylva yang tergerai ke depan, hampir menutupi wajahnya.“Kenapa kau selalu melakukan hal seperti ini?” tanya Zack, suaranya pelan, nyaris seperti angin.“Karena aku istrimu,” jawab Zylva singkat, menatapnya sebentar sebelum berdiri.Zack memalingkan wajah. “Kau tidak perlu bersikap seperti istri sempurna. Aku tahu ini bukan keinginanmu.”Zylva terdiam. Ia menatap Zack beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Memang bukan keinginanku. Tapi kalau kita sudah di sini... bu
Mobil hitam itu melaju tenang di jalanan kota yang mulai dipenuhi cahaya pagi. Di kursi belakang, Zylva duduk diam dengan tangan terlipat di pangkuannya, sementara Zack di sampingnya hanya menyandarkan kepala pada sandaran, matanya tetap tertutup, wajahnya tersembunyi di balik topeng.“Lelah?” tanya Zylva, memecah keheningan.“Sedikit,” jawab Zack singkat. “Terlalu banyak suara tadi malam.”Zylva mengangguk pelan. Ia pun merasakannya. Pesta keluarga yang dipenuhi wajah-wajah asing, sorot mata penuh tanya, dan bisik-bisik menusuk—semuanya terlalu berat untuk seseorang yang bahkan belum sepenuhnya siap menjadi istri.“Kau tidur cukup semalam?” tanya Zylva lagi, kali ini lebih hati-hati.Zack menggeleng pelan. “Tidak bisa. Punggungku nyeri kalau terlalu lama di tempat asing.”Zylva menoleh, ingin bertanya lebih jauh, tapi urung. Ia belum tahu batas mana yang boleh ia lewati. Mereka masih terlalu asing meski sudah berbagi atap.Sesampainya di kastel keluarga—begitu semua orang menyebut ru
Zylva menggeser cangkir Zack mendekat padanya, seolah mencoba menjembatani jarak yang terasa tak terlihat.“Kalau kau mau bicara… aku ada,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Zack tak menjawab, tapi kepalanya sedikit menoleh ke arahnya. Bukan sebuah balasan utuh, tapi cukup membuat Zylva tahu—ia didengar. “Aku tidak terbiasa sarapan dengan orang lain,” gumam Zack.Zylva tersenyum kecil. “Maka mulai hari ini, biasakan dirimu denganku.”Restoran hotel itu tak ubahnya seperti aula kecil yang dihiasi lampu gantung dan meja-meja bulat yang ditutupi kain putih bersih. Di pojok ruangan, sebuah meja panjang sudah dipenuhi aneka makanan sarapan: croissant hangat, omelet, buah-buahan segar, dan berbagai minuman.Zylva mendorong kursi roda Zack ke salah satu meja dekat jendela. “Di sini saja?” tanyanya pelan.Zylva berusaha lebih dewasa dan memahami bahwa ini mungkin sudah takdirnya.Zack mengangguk, lalu menyandarkan punggungnya, tampak mulai lelah hanya dengan perjalanan singkat itu.“
Suara burung tidak terdengar pagi itu. Yang ada hanya dengung pendingin ruangan dan samar suara kendaraan dari jalanan jauh di bawah hotel. Zylva membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus dari celah-celah tirai, membentuk garis cahaya di dinding kamar.Untuk sesaat, ia lupa bahwa dirinya sudah menikah. Lupa bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Tapi begitu ia menoleh dan melihat sosok pria bertopeng di kursi roda yang menghadap ke jendela, kenyataan segera kembali.“Sudah bangun?” suara Zack terdengar pelan, tanpa menoleh ke arahnya.Zylva refleks duduk. “Iya... baru saja.”Zack tidak menjawab. Tangannya menggenggam cangkir kecil, dan dari aromanya, Zylva bisa menebak itu teh herbal yang tadi disiapkan pelayan hotel. Ia terlihat kaku, seperti orang yang sudah siap berperang sejak pagi.“Kau tidur nyenyak?” tanya Zylva hati-hati.“Tidak ada yang bisa disebut nyenyak,” Zack menjawab. “Aku tidak bisa tidur jika berbaring terlalu lama. Kursi ini lebih nyaman.”Zylva menarik seli
Acara berlangsung dengan formalitas yang membosankan bagi Zylva. Ia duduk di samping Zack selama hampir dua jam, hanya menjawab beberapa pertanyaan dari tamu yang datang dengan senyum sopan. Zack tetap diam nyaris sepanjang waktu, hanya mengangguk atau menoleh jika benar-benar perlu. Botol kecil di sakunya sesekali terlihat saat ia menggenggamnya erat.Zylva tak bisa berhenti mencuri pandang. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik topeng setengah wajah berwarna hitam perak. Hanya dagunya yang terlihat, cukup untuk memperlihatkan garis rahang yang tegas, tapi juga dingin.Setelah acara selesai, mereka dibawa ke kamar hotel khusus yang sudah disiapkan untuk menginap malam ini. Zack tampak enggan, tapi tak banyak bicara. Mereka masuk ke dalam kamar suite besar dengan dua ranjang terpisah. Rico mengantar mereka, lalu segera pergi setelah memastikan segalanya aman.Zylva meletakkan clutch di meja rias, menatap bayangannya di cermin. Riasannya mulai luntur. Gaun ungu panjangnya masih ter