"Siapa suruh bengong? Bukannya makan malah melamun," omel Dave sembari mengeleng pelan.
"Ini juga lagi mau makan. Belum juga makan udah bawel saja kamu," keluh Rachel sambil mengerucutkan bibirnya.
"Saya mau tidur ya. Bukan mau dengar keluhanmu," ujar Dave memperingatkan.
Bibir memberengut dengan lengkungan ke bawah nampak jelas di wajah Rachel yang mendadak kesal setelah mendengar omelan Dave.
Tubuh Dave yang kini tengah memunggungi Rachel, membuat lelaki itu tidak menyadari perubahan raut wajah istrinya.
"Keluar sana! Kalau cuma mau mengeluh, jangan di sini. Di luar saja sana," usir Dave sembari menguap lebar-lebar.
Rachel sudah tidak tahan lagi. Matanya seketika melotot dengan kepalan tangan terayun di atas kepala Dave.
Sebelum kepalan tangan itu benar-benar mengenai kepala lelaki pirang di hadapan
Mata Hazel Rachel kini tengah memandangi wajah Alex. Sikap Alex yang kerap merajuk inilah yang membuat Rachel sulit mengungkapkan kenyataan pahit padanya. Bertahun-tahun mengenal Alex, membuat Rachel memahaminya lebih dari siapapun. Di mata Rachel, Alex tak ubahnya lelaki rapuh yang berusaha kuat di depan orang lain. Dan hanya kepada dirinya Alex menunjukkan sisi lemahnya itu. Banyak hal telah mereka lalui bersama menyadarkan Rachel bahwa Alex membutuhkan kasih sayang. Andai saja ada wanita lain selain dirinya yang dekat dengan Alex, mungkin Rachel tidak akan sesulit ini melepasnya pergi. Setidaknya Rachel bisa menjadi pendengar yang baik untuknya saat ini. Walau raganya sudah jadi milik Dave sepenuhnya. Perlahan ia menyentuh pundak Alex. "Jangan begitu, Lex." Mendengar suara lembut Rachel, Alex pun menoleh.
Lima jam sebelumnya... Dewi tengah berada di ruangan Alex. "Ada lagi yang harus saya tanda tangani?" tanyanya saat tengah membubuhkan tanda tangan terakhirnya. Karena terlalu sibuk memandangi wajah bosnya dengan tatapan penuh kekaguman, membuat Dewi tidak mendengar pertanyaan Alex. Merasa tidak ada jawaban, membuat Alex menoleh. Hal ini sontak malah membuat Dewi menahan napas karena ditatap langsung oleh atasan yang di kaguminya. "Dewi..." Panggilan bernada tegas yang keluar dari mulut Alex, seketika membuyarkan lamunan Dewi dan mengembalikan kinerja otaknya yang sempat tersendat. "Eh, iya. Kebetulan hanya Itu saja, Pak." Dewi menjawab sambil tersenyum-senyum malu. Namun Alex hanya mengangguk pelan dan malah menatap ke arah lain. "Bisakah saya titip ini untuk kau berikan ke mejan
Suasana di dalam mobil semakin terasa hening saat tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Dave merasakan ada sesuatu yang aneh, namun ia tidak tau keanehan apa yang dirasakannya. Hingga tiba-tiba... "Panas banget," kata Rachel sambil menyeka dahinya. "Panas? Coba aku gedein dulu volume AC-nya—" Dave membesarkan volume AC mobil hingga batas maksimal. Volume AC sudah paling besar ini," kata Dave yang saat ini kembali fokus menyetir. "Iya, tapi masih panas, Dave. Coba aku lihat–" Tangan Rachel tergerak memegang tombol pengatur suhu ruangan di mobil itu. "Sudah mentok ya," gumamnya pelan. Sambil menyetir mobil, Dave nampak berpikir keras melihat Rachel terus mengeluh kepanasan. Padahal dirinya sendiri sudah sangat kedinginan akibat volume AC yang di setel maksimal oleh Rachel. &n
Rachel mengejapkan mata berulang kali, berusaha mencerna apa yang barusan di keluhkan Dave sambil mengingat-ingat kejadian semalam. "Jadi pakaian ini kau yang memakaikannya?" tanya Rachel dengan tatapan horor. "Kalau bukanku, terus menurutmu siapa?" kata Dave malah bertanya balik. Dengan geram Rachel memukul Dave dengan bantal yang ada disekitarnya. "Sakit, Hel. Apa-apan sih? Main gebuk-gebuk saja," keluh Dave sambil menghalau bantal yang mendarat di pipinya. "Kenapa kau membuka bajuku tanpa izin?" "Memangnya tidak boleh kalau saya ingin membantu istri sendiri? Ada-ada saja kau ini." "Aku tau otakmu itu cabul tapi jangan seperti itu juga," keluh Rachel memberengut kesal. "Jadi kau lebih memilih tidur dengan pakaian kotormu itu—" Dave tidak terima dengan perkataan Rach
Rachel terlihat tengah berpikir serius. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. "Ehm... Kau ingat 'kan saat ku beri pesan kalau akan pulang terlambat?" Dave mengangguk pelan. "Kemarin aku di minta untuk menyelesaikan rekap laporan. Katanya harus selesai hari itu juga, karena akan digunakan untuk bahan meeting hari ini. Aku langsung menghubungimu setelahnya," tutur Rachel menjelaskan. Dave terbelalak kaget mendengarnya penuturan Rachel, seketika tangannya terkepal. "Jadi kau di kantor berduaan dengannya? tanya Dave dengan nada meninggi. "Tidak. Aku mengerjakan itu di mejaku sendiri. Sedangkan Alex ada di ruangannya," jawab Rachel dengan cepat. Entah mengapa Rachel tidak ingin Dave salah paham. Namun tiba-tiba ia teringat akan minuman yang diberikan Alex. "Mungkinkah karena minuman itu?
Rachel merasa aneh mendengar suara tawa Alex yang seperti sedang menertawakannya. "Kenapa kamu tertawa, Lex? Apa ini terdengar lucu bagimu?" Setelah puas tertawa, Alex kembali memasang tampang serius. "Tidak. Harusnya tidak secepat ini kau tahu, Hel. Disaat aku belum berhasil mewujudkan rencanaku—" Alex mendesah pelan. "Ah, sudahlah. Karena kau sudah tau sekarang. Mari kita wujudkan saja," ajak Alex dengan tatapan sensual. "Kau sudah gila," teriak Rachel seraya melotot ke arah Alex. "Yeah. Aku memang sudah gila. Gila karena terlalu menginginkanmu. Apa kau tahu? Dari awal kita berpacaran, setiap malam aku selalu memimpikanmu. Aku ingin kamu jadi orang pertama yang ku lihat saat terbangun di pagi hari. Tapi kamu selalu menolak ajakan tidur bersama dan malah mengajukan syarat pernikahan. Padahal kamu tahu sendiri, saat it
Rachel menatap waspada sembari kedua kakinya melangkah mundur, menjauhi Alex. "Jangan dekat-dekat," teriak Rachel ke Alex. "Kenapa aku tidak boleh mendekat?" tanya Alex sembari mengangkat sebelah alisnya. Bukannya takut, Alex malah lebih mendekatkan dirinya ke Rachel. Menarik sebelah ujung bibirnya ke atas sambil menatap Rachel penuh hasrat. "Ayolah! Aku hanya ingin membawamu ke tempat tidurku. Setelah itu kita akan bercinta sampai kamu terlalu lelah untuk melakukan banyak hal. Atau sampai kamu tidak dapat memikirkan siapa pun selain sentuhan tanganku dan belaian bibirku. Kamu mungkin akan memanggil namaku dalam mimpimu dan meraihku dalam tidurmu." Alex berbicara dengan sangat gamblang. Seakan semua itu sudah menjadi hal lumrah baginya. Tapi tidak bagi Rachel. Ia justru merasa jijik mendengar tiap kata demi kata yang keluar dari bibir lelaki itu.
Dave duduk termenung di kantornya. Entah apa yang di pikirkan lelaki itu, hingga kedatangan Fabio tidak di gubrisnya. Fabio yang menyadari tatapan kosong Dave, lantas berjalan mendekatinya. Ia mengambil pulpen yang tergeletak di depan Dave dan tersenyum jahil. Tuk... Tuk... Tuk... Suara ketukan ujung pulpen yang beradu dengan meja, membuatnya tersadar dari lamunan. "Ngapain sih lo? Bikin kaget orang saja," dumel Dave seraya melirik tajam Fabio. Fabio terkekeh kecil sambil mengembalikan pulpen ke tempatnya. "Siapa suruh bengong di jam segini? Mau makan gaji buta loh," sindir Fabio seraya berjalan dan duduk di sofa. "Bukan urusan lo." "Iya sih, tapi aneh saja liatnya. Muka kusut begitu kaya banyak beban hidup saja," ledek Fabio sambil terkekeh pelan. Dave mengendus sebal mend