"Selamat siang, ... Shinta Humaira!" Shinta terlonjak saat melihat pemilik suara berat yang sangat tidak asing di telinganya. Jantungnya berdegup kencang dengan aliran darah yang begitu cepat. Tidak salahkah apa yang dia lihat saat ini? Benarkah diaa ...? "Shinta ..." lirih pria itu lagi. "Astagfirullahaladzim ..., Rein? Benarkah kamu, Rein? Bukankah ..." Sontak Shinta berdiri dan membekap mulutnya sendiri. "Ya, ini Aku. Shinta, Aku memang belum mati." Mereka saling menatap cukup lama dengan perasaan campur aduk. Tanpa sadar bulir bening mengalir dari sudut mata Shinta. Teringat kembali olehnya saat Rein tertembak di depan mata kepalanya sendiri, hingga jeritannya menggema ke seluruh penjuru taman Ballroom hotel itu. Betapa sakit dan hancur perasaannya saat itu. Laki-laki yang saat itu baru saja mengungkapkan cinta padanya, dengan sengaja memancing polisi untuk menembak dirinya. Orang-orang mengatakan Rein sengaja ingin bunuh diri. Sejak saat itu dia berpikir tak akan pernah lag
Semua orang menganggap Rein telah mati tertembak. Tidak ada yang tahu satupun keberadaannya. Entah apa yang dilakukan oleh sahabatnya bernama Yuda, hingga akhirnya dia terjaga setelah koma beberapa bulan. Kemudian melanjutkan masa tahanannya dipenjara. Tidak semua orang tahu keberadaannya. Termasuk Raka dan Shinta. Setelah keluar dari penjara, Rein selalu mengerjakan pekerjaannya di belakang layar. Dia selalu berhasil menumpas kejahatan dengan baik dan tidak pernah salah perhitungan. Pihak kepolisianpun mengakui kehebatannya. Rein yang sudah tak memiliki perusahaan sejak semua perusahaan yang dirampas oleh ayahnya dari kakek Shinta, dengan ikhlas dia kembalikan kepada pemiliknya. Namun keberuntungan kini menghampirinya. Yuda, lagi-lagi sahabatnya itu menghadiahkan sebuah perusahaannya pada Rein karena sesuatu hal. Kini Rein kembali seperti dulu, sebagai pengusaha yang cerdas dan handal. Hingga banyak perusahaan yang dengan senang hati menerima tawarannya untuk bekerja sama. Termasu
"Rein ... bagaimana mungkin dia masih hidup," desis wanita yang tak lain adalah Aina, mantan kekasih Raka dulu. "Sungguh aku menyesal telah melepaskan Shinta untukmu. Kamu justru menciptakan luka yang dalam untuknya." Rein mengepalkan kedua tangannya. Berharap masih bisa menahan amarah yang kian memuncak. Perlahan Raka maju beberapa langkah mendekati Rein. Hingga kini jarak di antara mereka hanya tinggal satu langkah. "Rein ..., tolong! Tolong jangan katakan pada Shinta. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku terpaksa melakukannya. Aku ... Aku sangat mencintai Shinta," desisnya. "Omong kosong! Kamu hanya memanfaatkan shinta. Sejak awal aku sudah menduga. Kamu dan Aina telah punya rencana jahat untuknya!' geram Rein. Dengan susah payah dia menjaga volume suaranya. Mengingat saat ini dia berada di sebuah restauran yang banyak pengunjung. "Tidak, Rein. Bukan seperti itu. Aku ... Aku terpaksa menikahi Aina karena sesuatu hal." bisiknya lagi. Seolah tak ingin Aina mendengarnya.
Raka memutuskan pulang setelah tiga hari di Bandung. Tak dihiraukan rengekan Aina yang memintanya tinggal lebih lama. Sungguh pikirannya tak pernah lepas dari Shinta. Dia gelisah, merasakan sikap Shinta yang berubah sejak dua hari kemarin. "Apa karena aku tidak memberi kabar padanya seharian? Ya, Shinta pasti berubah karena itu. Istriku itu pasti marah karena aku tak mengabarinya seharian kemarin," bathinnya. Raka tiba di rumah hampir tengah malam. Shinta sudah terlelap. Dia tak tega membangunkan istrinya yang sedang pulas. Setelah membersihkan diri, Raka naik ke ranjang dan ikut berbaring di samping Shinta. Laki-laki itu melingkarkan tangannya pada perut wanita yang beberapa hari ini selalu memenuhi kepalanya. "I miss you," bisiknya, kemudian mengecup kening Shinta cukup lama. ----- Shinta terjaga saat pagi tiba. Dirinya terkejut ketika merasakan hembusan napas teratur di belakang tengkuknya. Sebuah tangan kekar melingkar erat di perutnya. Perlahan dia membalikkan tubuh. Saat i
"Shinta, kenapa kamu tidak meminta pendapatku dulu? Kenapa langsung tanda tangan kontrak?" tanya Raka kesal. "Aku yakin dengan perusahaan ini, Mas." Raka menghela napas kasar "Baiklah. Aku akan menemanimu hari ini." Shinta tak menyahut. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa pemilik perusahaan itu adalah Reinhard. Tak ingin berdebat dengan suaminya pagi ini, Shinta memilih diam. Biar nanti Raka akan mengetahuinya sendiri. Setelah memastikan Kaisar baik-baik saja, Shinta mencium bocah lucu menggemaskan yang masih terlelap di atas tempat tidurnya. Anak laki-lakinya itu sudah mulai pandai berbicara. Satu hal yang membuatnya selalu merindukan bocah lucu itu. "Ayo berangkat, Mas!" ajak Shinta setelah mereka sarapan. "Kenapa terburu-buru, Sayang?" Raka masih sibuk dengan ponselnya. "Aku hanya berusaha untuk disiplin. Bukankah kamu yang mengajarkanku begitu?" Raka menyadari, Maira sekarang sangat berbeda dengan Maira yang dulu. Kini istrinya itu tampak lebih elegan, profesional dan berke
Raka berjalan maju beberapa langkah untuk mengetahui lebih jelas. Tiba-tiba wajahnya menggelap dengan kedua tangannya mengepal kencang. Jantungnya berdetak cepat dengan napas yang memburu. "Rein ...!" geramnya. Dari jarak beberapa meter Raka memperhatikan kedekatan antara istrinya dan Rein. Suami Shinta itu duduk pada meja yang agak tersembunyi dan tidak mudah terlihat dari tempat Shinta dan Rein duduk. Memang tidak ada yang istimewa. Namun Shinta terlihat sangat rileks dan nyaman berbincang dengan Rein. Raka heran. Kenapa Istrinya itu sama sekali tidak takut pada Rein. Jelas-jelas pria itu pernah menjadi ancaman untuknya. Bahkan Rein pernah masuk penjara. Raka bangkit hendak menghampiri mereka. Namun tiba -tiba langkahnya terhenti. Bagaimana jika Rein nanti membongkar rahasianya pada Shinta? Bagaiman jika Rein menceritakan pertemuannya di Bandung kemarin? Akhirnya Raka memutuskan mengurungkan niatnya untuk menghampiri istrinya. Setelah menyadari begitu banyak panggilam tak ter
Shinta melihat kekecewan pada Rein. Dia dapat merasakannya. Namun memang itu jawaban yang harus dia katakan. "Baiklah. Terima kasih untuk meeting kali ini. Aku tunggu kabar berikutnya." Shinta berdiri dan bersiap hendak pergi. "Aku antar!" Rein ikut berdiri "Tidak usah. Seperti biasa, Aku pakai supir."tegas shinta seraya menangkupkan kedua tangannya di dada, kemudian berbalik meninggalkan Rein. Pria tampan yang tingginya di atas rata-rata itu hanya bisa menatap punggung wanita yang selalu mengisi hatinya, hingga menghilang di balik pintu kaca restauran ini. --------- "Maira, aku ingin bicara." Raka tiba-tiba masuk dan menghampiri Shinta yang masih berkutat dengan laptopnya. "Siapa sebenarnya pemilik Anggada Jaya?" tanya Raka berapi-api. Pria itu tak bisa menyembunyikan emosinya. Sementara Shinta masih tenang. Pandangannya masih fokus pada layar laptop di hadapannya. "Mas mau tau aja apa mau tau banget?" jawab Shinta berusaha meredam emosi suaminya. Dia menduga Raka sudah tah
Raka kembali mengatakan hendak ke Bandung pagi ini. Seperti biasa, Shinta membantu menyiapkan pakaian dan segala sesuatu untuk keperluan suaminya.Walaupun sebagai pemilik tunggal sebuah perusahaan besar, Shinta tetaplah seorang istri. Dia masih punya kewajiban mengurus suaminya. Inilah salah satu yang membuat Raka kagum pada wanita itu. Shinta selalu mengurusnya dengan baik. "Berapa hari, Mas?" tanya wanita itu seraya menutup koper yang sudah selesai ditata isinya. "Mungkin tiga hari," sahut Raka yang masih sibuk membalas pesan pada ponselnya. Shinta yang sejak tadi juga sudah rapi dengan pakaian kantornya, juga akan bersiap-siap hendak ke kantor. "Nyetir sendiri lagi, Mas?" Raka mengangguk. Shinta sudah menduga jawaban dari Raka. Tentu Raka tak ingin diketahui siapapun tentang apa yang dia lakukan di Bandung. Diam-diam Shinta telah memesan taksi dan meminta pengemudinya menunggu di seberang rumahnya. Setelah selesai sarapan, Raka yang nampak terburu-buru bergegas pergi. Tan