"Juleha, nanti kamu bisa tolongin Mama?"
Saat ini aku memang sudah merubah panggilan buat Mamanya Mas Vino, nggak bilang ibuk lagi, karena kata Mama, aku yang sekarang jadi mantunya berarti sudah kayak anak sendiri, baik banget toh mertuaku.
Aku nggak pernah menyangka kalau Mamanya Mas Vino bisa menerima aku dengan baik, padahal aku iki cewek ndeso, katrok, dan nggak cantik pula, tapi beliau bisa nerima aku apa adanya. Yo ... walaupun sikap Mas Vino masih saja sinis, tapi aku percaya suatu saat nanti Mas Vino bakal tresno karo aku.
Soalnya pepatah di desaku mengatakan 'Tresno jalaran songko kulino' jadi kalau aku biasa meperin Mas Vino, pasti bakal luluh juga. Orang batu aja kena hujan bisa berlubang, apalagi hati manusia.
"Tolongin nopo, Ma?"
"Kamu nanti temenin Vino belanja kebutuhan rumah ya, tadi Vino udah Mama
Ternyata nguliahin Juleha nggak semudah yang gue kira. Ribet tau nggak sih. Penyebabnya karena dia nggak bawa ijazah, alias ketinggalan di kampung halamannya, jadinya gue dan Juleha akhirnya pulang ke kampung halamannya buat ngambil ijazah. Untung masih ada, nggak dimakan ama rayap.Awalnya, waktu gue sampai di rumah Juleha, tetangganya pada kaget semua, karena Juleha yang pulang-pulang naik mobil, dan situlah kenyinyiran dimulai, dari yang ngatain Juleha gini lah, gitu lah, sampai ngatain suaminya tua, lha? Secara otomatis mereka ngatain gue tua dong, enak banget kalau ngebacot. Emang mulutnya pada pedes semua, ngalahin mie Samyang yang pedesnya naudzubillah.Heran gue, ngapain sih pada iri dan soudzon, padahal mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya tapi udah men judge seenaknya aja. Walau pun gue nggak pernah respek sama Juleha, tapi yang namanya suami, istrinya digituin gue ng
Juleha dari tadi cuma menunduk doang gue liatin. Dia baru aja gue marahin gara-gara ketahuan jalan sama Bagus. Sebenarnya bukan jalan sih, cuma ngerjain tugas kuliah aja. Kebetulan dia satu kelompok sama Bagus. Tapi biar bagaimanapun, gue tetep aja nggak suka, apalagi ketemuannya di Cafe yang nuansanya romantis. Itu kerja kelompok apa kencan, emang ngerjain di kampus nggak bisa apa?Juleha dari tadi cuma menunduk doang gue liatin. Dia baru aja gue marahin gara-gara ketahuan jalan sama Bagus. Sebenarnya bukan jalan sih, cuma ngerjain tugas kuliah aja. Kebetulan dia satu kelompok sama Bagus. Tapi biar bagaimanapun gue tetep aja nggak suka, apalagi ketemuannya di cafe yang nuansanya romantis. Itu kerja kelompok apa kencan, emang ngerjain di kampus nggak bisa apa?!Nggak tahu juga, kenapa gue sekarang juga over posesi
"Gue nggak minta banyak kok, Le. Gue cuma mau lo menuhin hak gue sebagai suami lo. Jadi buat malam ini, gue mau lo mendesahkan nama gue." Deg! Waduh, piye iki. Maksute wik-wik gitu? "Mas ...." Aku menggigit bibirku, bingung mau bilang apa, aku ndak siap begituan sama Mas Vino. "Kenapa? Lo nggak mau?" Ada nada kecewa dari suaranya. Duh, rasanya dia kayak mau merkaos aku daripada minta hak-nya. Tapi aku penasaran, hak apa yang dimaksud Mas Vino, apa benar seperti yang aku bayangkan, jangan-jangan cuma zonk, dan itu cuma pikiran mesumku saja. "Bu ... bukan, emm ... menuhin hak Mas Vino itu maksudnya gimana toh?" Tidak salah kan, kalau aku memastikan, daripada diketawain kayak dulu. "Lo umur berapa sih, Le?" "Delapan belas tahun, Mas."
Aku menyenderkan kepala di tembok, tidak lupa dengan tangan yang menopang dagu. Sebenarnya aku tuh bingung sama permintaan Mas Vino yang nyuruh aku dandan cantik, sedangkan aku saja nggak bisa dandan. Udah gitu dia bilang mau mendengar desahanku lagi, baru membayangkan saja rasanya sangat merinding."Awsh!!" Aku langsung memegang pipiku yang terasa dingin. Ternyata pelakunya Bagus toh, dia dengan tampang tidak bersalahnya langsung tertawa dan duduk di depanku."Ngapain sih lo bengong aja di kantin tanpa pesen apa pun. Nggak punya duit?""Bukan."Bagus mana tahu kalau aku sedang dilanda kebingungan karena suamiku yang tiba-tiba meminta jatah."Nih minum. Muka lo nggak banget deh, Leha. Kayak ibu rumah tangga yang mikir utang."Aku berdecak, memang aku ini sudah jadi ibu rumah tangga, wong aku saja sudah nikah. Tapi ... ini permasalahannya beda, bukan karen
Pintu kamar mandi yang sedari tadi diam terus aku tatap dengan was-was. Dari tadi tanganku terus meremas sambil bibir saling menggigit. Serius, tanganku udah panas dingin lho ini, nunggu Mas Vino yang belum keluar juga dari kamar mandi. Apa aku buka sekarang aja ya baju luarnya, rasanya panas banget, jantungku yang dari tadi terus deg-degan membuat keringat semakin membasahi tubuhku. Nanti kalau bau asem kan malu-maluin. Aku mendekatkan ketekku ke arah hidung. Masih wangi. Untunglah. Kembali melirik pintu kamar mandi, suara air yang sedari tadi gemericik sudah tidak terdengar lagi, itu berarti Mas Vino sudah selesai. Waduh! Aku langsung berdiri dan kembali merapikan penampilanku. Mencoba memberanikan diri dan mengingat artikel yang tadi aku baca. "Kamu bisa Juleha." Aku menyemangati diri. Cklek! Mas Vino akhirnya keluar dengan badan yang lebih segar
"Jadi ... Mas Vino ditinggal papanya udah dari lama ya?" Gue melirik Juleha sekilas, dia juga menatap gue dengan takut-takut. Entahlah, padahal gue nggak sampai bentak dia atau bahkan ngasarin. Tapi setelah kejadian semalam yang bikin gue nggak percaya bahwa itu Juleha, dia terlihat seperti takut gitu. "Lo udah lihat sendiri kan di nissan bokap gue." Juleha mengangguk, dia menunduk pelan sambil meremas tangannya. Gerak-geriknya tidak luput dari pengawasanku. Saat ini kami sedang mampir di salah satu warung makan yang tidak jauh dari pemakaman. Gue memilih tempat ini, karena selain bersih, gue udah lapar. Dari tadi pagi belum sarapan soalnya. Ibu-ibu yang punya warung ini menyerahkan dua piring berisi ayam goreng dan sambal kemangi beserta lalapannya. Di depan gue juga tersaji satu bakul kecil berisi nasi yang penuh. Gue mengucapkan terima kasih sebelum ibunya itu pergi. Gue menarik ko
Warning 21+ Mas Vino kelihatan uring-uringan setelah kejadian itu. Setelah adegan ciuman yang berakhir memalukan tadi, dia langsung bergegas menyuruhku masuk dan tancap gas ke sebuah toko baju yang nggak jauh dari sana. "Lo nggak mau keluar? Kalau nggak juga nggak apa-apa sih, bodo amat nanti kalau lo jadi daging panggang di dalam mobil." Setelah mengatakan itu dia pergi ke dalam toko itu dan ninggalin aku sendirian. Tapi aneh lho Mas Vino ini, apa karena usia sudah tua bisa menimbulkan efek pelupa. Masa dia tadi ngajuin pertanyaan terus dijawab sendiri, aneh kan ya. "Aduh, panas yo ternyata." Aku mengibaskan tanganku ke leher. Padahal mesin mobil udah mati, kaca jendela juga udah aku buka lebar, kenapa masih panas sih. Mana matahari terik sekali, beginilah kalau udah menginjak siang, di kota memang selalu panas, beda kalau di desa, sejuk rasanya. Merasa jenuh karena nunggu Mas Vino ke
Setelah kejadian malam itu, beberapa hari kemudian, aku sama Mas Vino jadi canggung. Kadang malah cuma diam-diam aja padahal di meja makan bersama. Mama sampai curiga, dikira kita sedang bertengkar. "Kalian itu jangan keseringan berantem. Nanti proses pembuatan cucu Mama jadi terhambat." Aku bahkan hampir tersedak mendengar mama bilang begitu. Untung saja Mas Vino punya seribu seratus lima puluh cara untuk menaklukkan omongan mama. "Apaan sih, Ma. Itu nggak mengganggu sama sekali. Di meja makan saja kita diem, kalau di ranjang mah beda lagi. Ya nggak, Le?" Lelakiku ini menggerakkan sebelah alisnya untuk meminta pendapatku, sedangkan aku hanya bisa meneguk ludah susah payah untuk sekedar menganggukkinya. Ya gimana ya, bingung mau nanggepin, kalau nggak dianggukin, nanti mama akan semakin memojokkan kita. Sedangkan kalau aku anggukin, itu sama saja aku berbohong toh. Yo ndak iso perkara