Aaaaaa! Kita teriak bareeeng....
“Sakiiitt ....” Karissa merintih dalam pelukan Luciano di dalam mobil.“Dia melakukan apa saja padamu?” Ada nada khawatir, tapi memang kaku seperti biasa.Luciano bukan sosok yang bisa menunjukkan perasaannya apalagi bicara lembut macam Damian. Karena sejak kecil keluarganya jarang menunjukkan rasa cinta padanya dengan kelembutan.“Bayiku, Luciano. Selamatkan dia ....” Mata Karissa memejam erat, tangannya juga meremas kemeja di bagian dada Luciano untuk menyalurkan rasa sakitnya.“Sergio, tidak bisakah kau menyetir lebih cepat?!” geram Luciano sempat menatap tajam ke supir di depan.Sergio hanya menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Ini sudah kecepatan maksimal, Tuan. Kalau lebih cepat lagi bisa-bisa —”“D-Darah?” Tangan Luciano gemetar saat menyadari telapak tangannya basah. Dia menunduk, dadanya seketika menegang melihat darah membasahi tempat duduk mereka.Mata Sergio melebar melihat kondisi majikannya melalui kaca tengah. Segera dia menekan tombol di earphone yang terhubu
“Kau ingin tau alasanku mempertahankan bayi itu?”Hector berhenti hanya satu langkah di hadapan Luciano. Wajahnya keruh. Suara napasnya terdengar berat dan dingin seperti kabut malam yang menelan ingatan masa lalu.Tangan Luciano mengepal. Sejak lama dia memang penasaran mengenai alasan kakeknya mementingkan keturunan dari rahim Karissa di atas segalanya.“Apa alasanmu bisa memastikan kalau Karissa akan tetap hidup sampai akhir?”Mulut Hector sudah terbuka ingin menjelaskan. Namun, tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Ada kebenaran yang belum siap dia lepaskan ke udara.“Tidak sekarang,” bisik pria tua itu dalam hati.Kalau Luciano tahu siapa Karissa sebenarnya. Kalau dia tahu darah siapa yang mengalir dalam tubuh istrinya. Bukan tidak mungkin dia akan hancur lebih awal. Atau lebih buruk, menghancurkan Karissa. Sedangkan perjuangan Hector selama ini sia-sia.Ya, dia harus merahasiakan ini sampai keturunan Wilbert berdarah Luther itu hadir ke dunia dengan selamat.“Apa maksud opa, ada hal y
“Jadi kondisi Klan Luther sedang berantakan?” tanya seorang pria dengan kumis tebal, salah satu pria penting di dunia hitam. Ketua penyelundup senjata dari Sisilia.Sambil dihiasi asap rokok di ruangan, juga beberapa gelas minuman keras, Damian melirik tipis. Dia sedang duduk di kursi utama ruang eksklusif di kasino milik Jacob yang sebentar lagi akan jadi miliknya sepenuhnya. Mungkin.Ditemani pula oleh tiga orang penting yang diharap bisa ada di jalur Damian kali ini.“Tuan Jacob terluka parah. Markasnya rata dengan tanah. Orang-orangnya kabur seperti tikus,” ucap Damian dengan tenang menyandarkan tubuh, sambil mengusap cincin bermata onyx dari ibunya.“Jadi, saat ini kepemimpinan Luther sedang kosong,” lanjut Damian.Vito ahli jaringan darknet yang mengontrol lalu lintas data gelap di Eropa Timur, mengetuk-ngetuk ujung cerutunya ke asbak. “Aku mendengarnya. Ya, itulah harga yang harus dia bayar karena berani mengusik kembaranmu. Apalagi sampai membuat istri Luciano nyaris keguguran.
“Mungkin lebih baik kamu melakukan pengampunan di bawah kaki papa di surga sana, Damian!”Ancaman Luciano membuat jantung Damian nyaris meledak. Dia sampai mengepal, melihat pistol itu benar menempel di dahinya.“Luciano!”Teriakan dari pintu membuat semua menoleh bersamaan. Para penjaga Luciano yang ikut terkejut segera memberi jalan pada sosok wanita paruh baya bergaun hitam elegan, dengan mantel kulit sampai sebetis.Rosetta datang dengan napas terengah-engah karena terburu-buru.“Mama?” Luciano bingung bagaimana bisa ada ibunya di sini.Rosetta berlari kecil, menarik Damian untuk berdiri kemudian memegang kedua sisi wajah pria itu yang sudah terluka.Bahkan Luciano yang ada di dekat sampai harus mundur memberi ruang untuk ibu dan anak itu untuk saling mengungkap kasih sayang.“Wajahmu sampai berdarah. Tuhan, dia hampir menembak kepalamu?” Lihatlah, Rosetta tulus khawatir pada Damian.Luciano terdiam. Dingin. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan kepedihan yang mengendap.Usai meliha
“Kalau begitu, urus berkas perceraian yang akan Karissa tandatangani saat siuman nanti.”Titah Luciano segera Sergio catat.“Pengalihan identitas juga akan saya selesaikan dengan cepat,” ujar Sergio menambahkan perintah lanjutan itu.Luciano membuang napas panjang lalu bersandar pada headboard sambil memejam. “Ya, lakukan saja. Tak ada satupun yang tersisa untuk Damian.”Padahal, Luciano sudah berencana memberikan saham untuk Aiden. Sebagai tanda warisan dari ayahnya yang saat itu dinyatakan sudah meninggal. Namun, sikap kembarannya setelah kembali justru seperti itu.“Saya akan lakukan segera, Tuan!” jawab Sergio sumringah.Dia sebagai orang lain saja geram dengan sikap Damian. Sudah bukan saatnya lagi memberi ruang toleransi untuk saudara macam Damian.“Aku mengantuk. Tapi siapa yang akan menjaga Karissa.” Suara Luciano sudah sedikit menggumam karena obat tidur dari dokter mulai bereaksi.Sergio pun segera membantu Luciano untuk mengatur posisi tidur. “Tuan Hector baru mengabarkan k
“Permisi, Anda dilarang buat keributan di sini.” Shiena berusaha meredam emosi wanita yang ada di tengah lorong karena ditarik oleh penjaga untuk menjauh.“Lepas! Aku hanya ingin menjenguk keponakanku!” teriak Darla, meronta.Sergio pun jadi ikut mendekat. “Nona, kondisi keponakanmu sangat tidak baik. Kalau Anda mencintainya, jangan buat kondisinya makin buruk,” ucapnya dingin.“Sudah cukup kesabaranku menghadapi kalian dan Damian.” Darla kembali berteriak, berharap Luciano mendengarnya.“Damian! Jangan sok-sokan mencintai Karissa! Keluarkan Kak Vincent dari penjara bawah tanah! Kau benar-benar ingin membuat mertuamu mati, hah! Damian – akh!”Mau tidak mau Sergio memukul tengkuk belakang Darla. Sampai wanita itu akhirnya pingsan.Shiena yang melihat hanya bisa menganga dengan sikap tak terduga Sergio untuk menangani wanita ini. Tapi tadi apa? Ayah Karissa di penjara.“Hei, tadi dia bilang –““Jangan keluar batas. Urus saja urusanmu sendiri,” sela Sergio lalu meninggalkan Shiena di sana
Langkah kaki Luciano terhenti saat mendapati Hector sudah berdiri di ujung lorong, berjalan ringan bersama tongkat kebesarannya. Pria tua itu seperti biasa, mengenakan mantel panjang dan tatapan yang selalu mengundang curiga. Seolah kematian bisa muncul dari balik senyumnya yang sopan.“Aku dengar, kamu sudah coba mengurus pemindahan nama,” ucap Hector saat mereka sama-sama berdiri berhadapan.“Hm,” jawab Luciano singkat.“Ya, seharusnya sejak dulu kamu memakai nama aslimu. Jadi tidak repot begini.”Luciano menarik napas dalam-dalam, menahan emosi yang mulai menghangat. Dia ingat, dulu Hector adalah orang yang pertama kali memberi ide supaya dia memakai identitas Damian untuk balas dendam pada Karissa. Bisa-bisanya sekarang berkata begitu.“Aku harus ke kantor. Jangan coba sentuh istriku. Atau opa benar-benar kehilangan bayi yang kau inginkan,” ucap Luciano dingin, menahan gejolak amarahnya.Hector mengangguk ringan, tak terguncang sedikit pun. “Aku tahu caraku menempatkan diri, Lucia
“Apa kali ini terasa manis?” bisik Luciano tepat di bibir Karissa yang baru saja dia cium dengan dalih menyuapi.Dan sialnya Karissa seperti terhipnotis. Dia mengangguk tipis dan kaku tanpa melepas tatapannya dari iris mata hitam sang suami.Senyuman smirk Luciano ukir tipis di sudut bibirnya. Tak mau membuang kesempatan yang selalu dia ciptakan sendiri, pria itu menggigit lagi biskuit dan kembali memasukkan ke mulut Karissa secara langsung.Tak ada penolakan. Wanita itu justru meremas selimutnya erat dan menerima dengan baik. Biskuit itu langsung remuk saat lidah mereka membelit bercampur dengan air liur yang tak lagi pahit, tapi sangat manit dan, panas!“Luciano, apa aku gila?” bisik Karissa dalam hati saat menikmati cara suaminya menyuapi. “Semua dalam dirinya kenapa selalu membuatku bertekuk lutut. Harusnya aku membencinya. Harusnya aku tak mau bersentuhan dengannya. Dia sudah menipuku habis-habisan dengan identitas palsu. Tapi –““Emhh ....” Karissa justru reflek melenguh ringan s
“Kenapa mansion seluas ini aku belum menemukan foto Karissa? Apa Tuan L—“PRANG!Shiena membeku menutup mulut dengan kedua telapaknya dengan mata melebar. Dia sungguh tak sengaja menyenggol guci yang berada di atas meja.Jantungnya makin berdegup tak karuan ketika keributan itu diikuti dengan suara tangisan bayi di kamar yang pintunya tidak ditutup.“Shiena?” Martha menebak saat dia keluar.Belum sampai gadis itu merespon, kini Luciano yang keluar sambil menggendong bayinya. “Shiena, apa yang kamu lakukan!”“Kamu sudah membuat bayiku –“Tangisan pangeran kecil makin keras setelah mendengar bentakan ayahnya.“Sssshhh ....” Pria itu menoleh pada Martha. “Aku harus bagaimana?” terlihat datar, tapi ada gurat kepanikan sedikit di dahi Luciano.“Mari, Tuan. Biar saya gendong.” Martha mengambil alih bayinya dengan hati-hati. Lalu dia bawa masuk lagi ke kamar untuk diberi susu dalam botol.Sergio dari arah berbeda akhirnya muncul dengan napas terengah. “Ada apa ini?” tanyanya menatap Shiena y
Suara tangisan bayi yang menggema di lorong megah mansion milik Hector membuang Luciano mempercepat langkahnya.Dia memberikan jas kerja pada pelayan yang berdiri di depan pintu. Lalu memasuki kamar bayi yang ada di samping kamar utama.“Dia kenapa?” tanyanya melihat bayinya sedang di gendong oleh Martha.“Tidak tau, Tuan. Sepertinya masuk angin.” Martha sudah khawatir sejak tadi.Luciano mendekat, hendak menggendong. “Anda sudah cuci tangan, Tuan?”Ah, dia lupa. “Aku bahkan belum mengganti bajuku,” jawab Luciano yang selalu patuh dengan segala aturan orang lain jika itu berhubungan dengan putranya.“Hei, tunggu papa. Jangan habiskan dulu suaramu.” Setelah bicara dengan senyuman tipisnya, dia berbalik cepat menuju kamarnya.Martha menatap punggung Luciano dengan bangga. Pria yang dia layani sejak remaja itu, kini sudah menunjukkan perubahan yang sangat besar.Yaitu sang mafia yang terkenal kejam itu rupanya bisa menjadi ayah yang sempurna bagi si bayi.Sementara, di mobil yang baru sa
Aura dominan selalu menguar di manapun Luciano berada. Pria itu kini ada di Inggris, tetap mengurus perusahaannya, W.B. Corporation yang berpusat di kota London.“Tuan, pesawat jet sudah siap,” lapor Sergio.“Hm,” jawab Luciano yang masih duduk di kursi kekuasaannya sembari membuka berkas terakhir di meja yang harus dia koreksi ulang sebelum ditandatangani.Sergio tak langsung pergi. Padahal seharusnya selesai memberi tugas dan laporan, dia bisa berbalik keluar ruangan.Keberadaan Sergio tentu membuat Luciano melirik tipis.“Kau lupa pintu keluar?” ucapnya kembali fokus pada lembaran kertas di atas meja.“Emh, Tuan. Saya ingin bicara sedikit mengenai mega proyek di Italia,” ucap Sergio hati-hati.Tak ada jawaban. Jadi sang asisten kembali bicara.“Begini, bukankah akan lebih baik jika Anda yang langsung meninjaunya?” tanyanya.“Pekerjaanku di sini lebih banyak,” jawab Luciano datar. Pandangannya bahkan tak beranjak dari dokumen-dokumen itu.Sergio menelan ludah. Ah, dia tau banyak seka
“Nyonya Wendy?” beo Karissa setelah wanita paruh baya itu memperkenalkan diri.Perempuan berbaju lusuh yang baru saja memutar kunci pintu pun menoleh sambil tersenyum.“Iya, Nona,” jawabnya bersamaan dengan bunyi pintu tua yang dibuka. “Silahkan. Maaf jika tempat tinggal ini kurang nyaman untuk Anda.”Rumahnya memang terlihat lama tidak terurus di bagian luar, tapi begitu masuk ruangannya bersih dan tertata. Bahkan box bayi di tengah ruangan terlihat terlalu mewah, cukup kontras dengan perabotan yang sebagian besar sudah reot.“Maaf, saya belum membeli banyak barang. Saya baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Jadi masih seadanya.”Tadi saat Karissa menawarkan ASI untuk bayi, Nyonya Wendy begitu sumringah menerima. Karena itu, dia membawa tamu dadakannya ke rumah kontrakan di dekat pasar. Tak jauh dari lokasi pertemuan awal mereka.“Duduk di sini, Nona.” Nyonya Wendy memberi alas kain sutra di atas sofa tua.Dia juga begitu sigap menambahkan bantal untuk memudahkan Karissa saat member
“Nona, jika ada yang Anda butuhkan, kami ada di depan,” ucap pengawal itu setelah mengantar Karissa sampai di rumah sederhana.Sudah minggu Karissa di rumah sakit. Dan Baru hari ini dia diperbolehkan pulang, tapi tidak untuk putrinya. Bayi perempuan itu masih harus mendapat perawatan di NICU.Karissa berjalan lemah memasuki kamarnya. Setelah mandi, dia duduk di kursi depan jendela. Harusnya suasana ini sangat tenang karena Vincent memilih kawasan yang hijau dan sepi.Apalagi musim semi menyapa indah dengan aroma bunga liar bercampur udara segar menyusup lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Sayangnya keindahan di sana sangat kontras dengan kondisi hatinya.“Dari dulu aku yang menginginkan perpisahan ini. Tapi kenapa aku yang merasa sakit begini?”Karissa ingat, dia pernah begitu keras meminta cerai. Berharap hidupnya akan lebih baik tanpa sang suami.Tapi sekarang?Dia menoleh, melihat lemari dengan pintu transparan berwarna ungu pastel. Ayahnya merapikan semua baju dan sepatu-sepatu
"Apa maksud kalian terlambat?!"Suara bentakan itu bergema keras.Seorang wanita paruh baya berdiri di tengah ruangan, gaun hitam panjang membalut tubuhnya yang masih proporsional meski sudah memasuki usia 50-an.Carmela, ibu kandung Jacob nampak emosi dengan laporan yang baru saja anak buahnya berikan. Salah satu tokoh yang disegani di dalam lingkaran Klan Luther. Meski lebih sering Jacob yang muncul di depan, tapi peran Carmela juga penting di sini.Beberapa pria berseragam gelap berdiri menunduk di hadapannya, wajah mereka tegang.Tak berani menatap langsung ke mata wanita itu."Maafkan kami, Nyonya," katanya terbata. "Begitu mendapat informasi tentang keturunan Luther, kami segera bergerak. Tapi saat kami tiba di rumah sakit, wanita itu dan anak-anaknya sudah tidak ada di sana."Carmela menghela napas berat. Dia lalu melirik ke kursi roda di samping meja utama. Di mana Jacob hanya duduk kaku. Wajah kerasnya yang biasa nampak arogan itu, kini lusuh, pucat dan kosong.Hanya gerakan
Suara peluru membuat seorang pria di sana mendesis sakit.“Cepat, jalan!”Ya, Luciano baru akan menembakkan peluru ke roda mobil supaya tidak bisa melaju. Namun ada peluru dari arah lain yang lebih dulu menembak pistolnya. Hingga tangannya terluka.“Shit!” umpatnya ketika melihat mobil ambulance dan dua mobil tebal pergi dari sana.Tidak! Luciano tidak akan melepas. Dia berlari sekencang mungkin melewati gerbang. Menghentikan sebuah mobil sedan kecil yang baru akan kelur dari gerbang rumah sakit.“Keluar!” ancamnya menembak pintu dengan pistol lain yang dia bawa. Dia membuka pintu kasar-kasaran, menarik keluar sopir yang ketakutan.Mobil berhasil dia kuasai.Kejar-kejaran gila pun terjadi. Dia sudah seperti serigala yang berlari mengejar mangsa tanpa peduli rintangan di sekitar.Luciano membuka kaca mobil. Dikeluarkan satu pistol dari balik jasnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan tetap mengendalikan stir. Di rasa posisi sudah pas, setengah tubuh bagian kirinya keluar jendela
"Hitung waktu kalian," ucap Vincent di jalan darurat menuju ICU. "Tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Kita tak memiliki banyak waktu."Orang-orang berseragam rumah sakit, yang sudah dibayar oleh pasukan elite Luther mulai bergerak cepat. Jika Hector sudah mengamankan rumah sakit, pasukan lama Luther juga tak kalah berpengalamannya.Empat pria menyamar jadi petugas medis. Sebagian mengurus Karissa memberikan suntukan obat khusus, sebagian lagi melumpuhkan penjaga.“Bawa mereka keluar. Kita hanya perlu membawa Nyonya selamat. Bukan membunuh orang lain,” ujar salah satu dari mereka.Karissa masih tak sadarkan diri, tubuhnya yang penuh kabel medis segera dipindahkan ke atas brankar darurat. Hati-hati, tapi tepat dan cepat. Karena mereka sudah berpengalaman."Segera!" lapor salah satunya setelah memastikan Karissa aman di atas brankar.Seolah berpacu dengan waktu, mereka mendorong brankar keluar pintu darurat. Yang bertugas di ruang panel listrik pun mulai sabotase kabel-kabel, sampai me
Sudah tiga hari Luciano memilih tetap di rumah sakit. Meski Hector terus saja mendesak dan menunjukkan kalau orang-orang yang setia pada Luther terus memunculkan diri dan mengancam posisi.Luciano melangkah pelan, mendekati satu ranjang yang dikelilingi alat bantu hidup. Di sana, Karissa terbaring dengan tubuh lemah, selang infus dan kabel-kabel tipis menempel di kulit pucatnya.“Aku pikir sebelum ini kamu sudah lama berbaring. Kenapa sekarang masih juga di sini, hm? Tidakkah kamu bosan, Karissa?"Luciano menarik kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tangan besarnya terulur, menggenggam jemari Karissa yang terasa dingin.“Aku belum akan pergi sebelum kamu mengakui, apa kamu sudah tau tentang identitasmu atau belum. Apapun jawabannya, akan aku terima.”Tak ada jawaban, tentu saja. Hanya suara detak mesin pemantau yang berdetak stabil. Luciano tersenyum miris. Dielusnya punggung tangan istrinya perlahan.“Lalu maumu bagaimana? Kamu ingin aku tetap tinggal atau pergi?”Sempat Luciano membenci