“Sudah lebih baik?”Suara itu tidak membuat Luciano berpaling dari figura besar yang terpasang di tengah ruang kerja lantai satu.Sampai sepasang tangan dengan jemari lentik merangkulnya dari belakang, barulah Luciano menoleh tipis.“Aku ingin bicara,” ucapnya pelan pada Karissa.“Hm, kamu hutang banyak kata padaku.” Telapaknya bergerak mengusap perut berotot suaminya. “Tapi sore ini rasanya terlalu dingin untuk hanya sekedar bicara.”Luciano menyeringai samar melihat ke jendela besar di sisi kanan, memperlihatkan angin musim dingin mulai menggerakkan pohon di samping mansion.“Kau sejak kemarin memancingku.”Karissa melepas pelukannya lalu berpindah ke hadapan Luciano dengan bibir cemberut. “Aku rindu dimanja.”“Tsh ....” Luciano berpaling menyembunyikan senyumannya.“Aku juga rindu senyumanmu,” lanjut Karissa.Dia menyentuh kedua sisi wajah suaminya untuk menatap penuh padanya.“Melihatmu terluka belasan hari ini, membuatku ikut kehilangan semangat. Bisakah kamu perbanyak memberikan
“Jika nyonya butuh sesuatu, seperti biasa. Aku di bawah,” ucap Emma pada penjaga di dekat kamar Rosetta.“Aku pasti akan melakukannya,” jawab si penjaga tersenyum ramah.Lorong panjang di lantai atas mansion itu lengang. Hanya suara langkah sepatu Emma yang kembali menggema pelan, menyusuri dinding marmer yang dingin.“Nona, biar saya yang membereskannya.” Seorang pelayan mendekat cepat mengambil alih nampan di tangan Emma.“Tidak usah. Aku langsung ke dapur saja.”“Saya bisa dipecat oleh Tuan Damian kalau tidak melakukan ini.”Nama itu membuat Emma melepaskan nampan itu ke tangan pelayan. Dia membuang napas panjang memperhatikan punggung wanita berseragam yang menjauh.Kaki yang semula akan ke arah tangga pun kini berputar ke kanan. Emma ingin melihat Aiden di kamar.Saat hampir sampai di pintu kamar putranya, langkah Emma terhenti.Nampak Karissa dari arah berlawanan berjalan ke arahnya memakai blus krem dan celana hitam, rambutnya disanggul sederhana. Tapi itu justru nampak anggun
Tak hanya bibir yang menempel, lidah Karissa juga harus bekerja untuk mendorong obat itu supaya masuk ke mulut Luciano.Pahitnya obat pun seketika bercampur dengan aroma tembakau dan manisnya mulut mereka. Karissa masih bergerak, melumat dan memainkan lidah.Sampai dirasa ada pergerakan di jakun manly sang suami, Karissa baru melepas ciumannya. Dia mengambilkan air untuk diberikan pada Luciano.“Kau yang merasa pahit, bukan aku.” Luciano mengarahkan gelas itu untuk Karissa.“Mau aku lakukan cara yang sama lagi?” lirih Karissa dengan tatapan menggodanya.Luciano berpaling sambil menggumam. “Kalau bukan saat seperti ini, habis kamu, Karissa.”Meski menggerutu, Luciano tetap menghabiskan segelas air putih.“Apa sudah selesai, Mom?” tanya Allerick.“Ya, sudah.” Karissa meletakkan gelas kosong dan mangkuk bubur di atas nampan.Allerick berbalik, menatap ke ayah dan ibunya bergantian. “Wah, berarti nanti malam saat makan malam dan jam minum obat, Mommy harus memakai cara yang sama lagi.”Lu
“Sssshh ....”Luciano mendesis saat kesadarannya mulai kembali. Di dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma tanah basah dari luar, pria berwajah pucat itu membuka mata perlahan.Sakit. Kepala bagian belakangnya berdenyut, seolah baru dipukul benda tumpul.“Sergio,” pangggilnya sambil memijit dahinya dan memejam lagi untuk menyesuaikan cahaya ruangan.Dia tau ada sang asisten karena hafal dengan aroma parfum Sergio. mengerjap, lalu mengangkat tangan menutupi dahi.Lelaki yang semula sedang membaca pesan belasungkawa dari rekan bisnis luar negeri, kini menoleh.“Syukurlah Anda sudah siuman.” Sergio memasukkan ponsel ke saku dalam jasnya lalu mendekati ranjang.“Apa yang terjadi denganku? Kenapa kepalaku berat sekali.” Luciano membuka mata lalu berusaha untuk mengangkat tubuhnya.Sergio pun segera membantu, mengatur bantal untuk sandaran.“Jangan banyak bergerak dulu, Tuan. Nyonya tadi memeriksa, Anda dehidrasi dan kelelahan. Jadi kemungkinan masih pusing dan lemas. Dia meminta Anda unt
Pelukan itu membuat bahu Luciano bergetar semakin hebat. Tangisnya pecah bukan lagi sebagai pewaris. Bukan sebagai pemimpin klan. Tapi hanya sebagai seorang cucu yang baru saja kehilangan satu-satunya sosok yang pernah dia anggap sebagai ayah.Sergio, dia masih memeluk tubuh tuannya yang membungkuk dalam. Tak peduli sekuat apa pun Raja Mafia biasanya terlihat, hari ini tubuh itu menggigil seperti anak kecil yang baru saja kehilangan rumah.Sergio tentu tahu persis, bagaimana kerasnya perlakuan Hector pada Luciano. Dunia melihatnya sebagai bentuk kekejaman, tapi hanya Sergio yang tahu bahwa itu satu-satunya cara Hector merangkul cucunya yang kehilangan peran orang tua di saat semua sibuk mengurus Damian."Semua akan kembali pada Penciptanya, Tuan," bisik Sergio, suaranya ikut bergetar.Dia menepuk punggung kekar yang kini tampak begitu rapuh. "Biarkan Tuan Hector tenang. Dia sudah cukup lama menanggung kerasnya dunia ini."Langkah pelan Karissa terdengar di ujung lorong. Ia baru saja m
Tirai tipis menyaring cahaya matahari. Suara mesin medis berdetak pelan. Rosetta duduk di kursi samping ranjang, mengenakan blouse abu dan celana bahan hitam. Tangan Hector tampak lemah namun masih menggenggam jemarinya.Ini sudah sore dan anak-anak sudah pergi dua jam yang lalu karena Hector dan Seraphina harus istirahat. Dan sekarang, Hector sudah bangun menatap putrinya.“Rosetta Morgan,” panggilnya sambil tersenyum tipis.Wanita paruh baya itu pun meraih telapak Hector untuk dia tempelkan di pipinya.“Ya, Pa?”Hector menarik napas lalu pandangannya mencoba ingat di masa dulu. “Kau masih ingat waktu kecil dulu? Kau benci disisir karena katanya sakit. Rambutmu keriting dan selalu mengembang ke mana-mana.”Rosetta tertawa pelan. “Ya, Mama bilang rambutku mirip singa.”“Dan aku bilang kau calon ratu.”“Ratu yang membuat sibuk ayahnya tiap pagi untuk menyisir rambutku sebelum aku ke sekolah.”“Waktu itu aku terlalu sibuk untuk banyak hal. Sampai tak terasa kesibukan itu membuatku lupa