“Apa aku hanya figuran di mata dirinya?”
Sekarang adalah musim salju ke-lima. Sama halnya dengan rasa cinta di hati Karissa untuk Damian yang mulai tumbuh sejak lima tahun yang lalu.
Damian sudah dianggap seperti dewa oleh keluarga Karissa karena perannya sebagai penyelamat hidup mereka. Kehadirannya dalam kehidupan Karissa bermula ketika ia menyelamatkan Karissa dan ayahnya dari kebakaran hebat, meski harus menderita luka bakar di punggung.
Tak berhenti di situ, Damian juga membantu melunasi hutang rumah sakit untuk biaya pengobatan jantung Vincent, ayah Karissa, serta membiayai kuliah kedokteran Karissa.
Seiring waktu, rasa terima kasih Karissa berubah menjadi cinta yang tulus pada Damian, terutama karena sikapnya yang hangat. Namun, segalanya berubah setelah mereka resmi menjadi suami istri. Karissa dibawa ke kota dan tinggal di sebuah mansion mewah, tetapi sikap Damian seketika berubah.
Tidak ada kehangatan sedikitpun di hubungan mereka. Sikap Damian teramat dingin dan lebih sering menyakiti. Jika bukan karena cinta dan balas budi, mungkin sudah lama Karissa memilih menyerah.
“Dokter Karissa!”
Panggilan dari Shiena membuat lamunan Karissa terhenti. Dia menatap sahabatnya yang berlari dari lobi rumah sakit dan menghampirinya. Sore itu mereka sama-sama baru berangkat bekerja.
“Bagaimana, apa suamimu sudah tau kalau kamu sedang hamil? Apa kejutannya berhasil?” tanya Shiena dengan nafas ngos-ngosan karena baru berlari.
Karissa tersenyum tipis lalu melanjutkan langkah. Rasanya enggan membahas soal suami gilanya itu.
Karissa Asterin adalah dokter bedah junior di rumah sakit ini. Semua orang tau kalau dia sudah menikah, tapi mereka tidak tau siapa suami Karissa. Dia pun tak mengerti, sejak awal menikah Damian terus merahasiakan hubungan mereka dari publik.
“Meeting dengan Ketua Dewan Direksi ditunda karena beliau sedang pergi ke luar negeri,” ucap kepala departemen bedah di ruangan.
Televisi di sana menampilkan sosok Damian yang sedang menerima penghargaan sebagai pengusaha terbaik lalu memberikan pidatonya di depan kamera. Ya, ketua dewan direksi itu adalah Damian Morgan. Pria berwibawa dan berkharisma yang sangat memukau di mata orang-orang.
Damian adalah seorang presiden direktur yang berkuasa penuh terhadap perusahaan properti terbesar di Eropa, W,B. Corporation. Selain itu dia dikenal sebagai seorang dermawan. Sering mengirim banyak donasi ke yayasan yang membutuhkan.
Sedangkan rumah sakit ini adalah miliknya setelah berhasil diakuisisi. Sebab itu pula Damian mengijinkan Karissa bekerja, tapi hanya di rumah sakit ini. Untuk apa? Jelas supaya wanita itu tetap berada di bawah kendalinya.
Karissa mencoba tak peduli dengan obrolan mereka yang terus mengelukan nama Damian. Dia pun memakai jas putih yang menggantung di lokernya dan berniat segera pergi. Sayangnya niatnya terhenti ketika mereka mulai membahas Emma.
“Lihat, menurut kalian apa Nona Emma pantas menjadi asisten Tuan Damian?” seorang tenaga medis yang ikut menonton mengatakan mengenai wanita yang ada di samping Damian.
“Penampilannya berkelas. Wajahnya juga nampak sekali dari kaum old money. Aku sering merasa heran, kenapa wanita secantik itu mau jadi pesuruh selama bertahun-tahun, ya?”
“Mungkin tidak kalau mereka sebenarnya ada hubungan?”
“Ah, aku sering membaca novel kisah office romance. Di mana bawahan ternyata istri sang PresDir.”
Shiena pun menimpali dengan santai. “Aku justru curiga dengan anak laki-laki yang umurnya tiga tahun itu.”
“Aku awalnya tidak percaya kalau Nona Emma semuda itu sudah memiliki anak tanpa suami.”
“Jangan-jangan itu adalah anak Tuan Damian?”
Mendengar obrolan mereka membuat dada Karissa memanas. Dia meremas kedua sisi jas putihnya dengan wajah yang mulai memucat.
Karissa hanya tau kalau Emma memang sudah memiliki anak sebab asisten tersebut pernah membawa ke mansion sesekali. Namun, perihal siapa ayahnya dia tidak pernah mencoba mencari tahu karena dia dan Emma tidak sedekat itu untuk mengobrolkan hal pribadi.
“Karissa, kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat?” Shiena menangkup kedua pipi Karissa dan terlihat khawatir.
Sebisa mungkin Karissa menyembunyikan dirinya yang ingin menangis saat ini. Mungkin karena efek sedang hamil jadi mudah menangis.
“Aku baik-baik saja. Aku harus segera memeriksa pasien.” Karissa tersenyum hambar kemudian buru-buru keluar.
***
Malam itu, Karissa berbaring di tempat tidur yang dingin dan kosong. Aroma parfum Damian yang samar masih tertinggal di ruangan sama sekali tidak lagi memberikan kenyamanan. Padahal biasanya Karissa sering sengaja menyemprotkan parfum maskulin itu ke permukaan ranjang kala dia merindukan Damian.
“Damian, apa yang sebenarnya terjadi?”
Bayangan pakaian dalam dan kondisi kamar kemarin pagi, lalu permintaan Damian untuk menggugurkan kandungan, juga siapa ayah dari anaknya Emma. Semua sungguh membuat perasaan Karissa tidak bisa tenang.
Ya, meskipun Damian tidak pernah kepergok terang-terangan bermain dengan wanita lain, tapi Karissa tidak bisa mengabaikan bukti-bukti kecil yang menumpuk. Dan nama Emma lah yang selalu muncul dalam dipikiran, si asisten yang selalu bersikap manis, hormat dan hangat di depannya.
Mata Karissa memejam, memaksa diri untuk istirahat. Saat begitu, ponselnya berbunyi. Dia pun segera membuka mungkin dari Damian. Rupanya bukan,
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Darla, adik ayahnya. Dia mengatakan kalau Vincent masuk rumah sakit karena jantungnya mendadak kumat.
Karissa begitu terkesiap. Dia pun menelfon Darla segera.
“Bibi, aku akan kirimkan sejumlah uang dan aku segera pergi ke sana!” ucap Karissa panik.
“Iya, kirimkan yang banyak. Aku tidak punya uang sepeserpun. Uang yang kamu kirim sudah habis untuk biaya pengobatan rutin dan renovasi rumah.”
“Tunggu sebentar. Aku akan memprosesnya.”
Ibunya sudah meninggal sejak Karissa terlahir di dunia ini. Jadi baginya, sang ayah adalah segalanya, satu-satunya yang Karissa miliki. Dengan terburu-buru perempuan itu mencoba login ke aplikasi m-banking. Namun, berkali-kali usahanya gagal.
“Damian? Apa dia memblokir kartu ini?”
Karissa memegang salah satu blackcard milik Damian yang digunakan untuk segala kebutuhannya. Biasanya semua lancar, tapi kenapa kali ini tidak bisa. Dia pun langsung mencoba menghubungi Damian.
Bukannya panggilan terangkat, sebuah pesan dari Emma justru yang masuk ke ponselnya.
"Nyonya Karissa, Pak Damian meminta saya menyampaikan bahwa dia sedang bekerja lembur malam ini dan tidak bisa diganggu. Saya harap Nyonya mengerti. Jangan lupa istirahat yang cukup. Selamat malam."
Karissa menggigit bibirnya. Pesan itu terdengar biasa, tetapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa salah. Bahkan pikirannya kini berputar kira-kira apa yang sedang Damian dan Emma lakukan di sana.
Tidak, lupakan soal mereka. kini fokus Karissa ada pada ayahnya. Setidaknya dia memiliki rekening berbeda berisi gajinya sebagai dokter. Hingga bisa mengirim sedikit uang untuk bibinya.
Wanita itu beranjak dari ranjang. Dia ambil mantel berwarna brown beserta tas kecilnya kemudian keluar.
“Nyonya malam-malam mau ke mana?” tanya Bibi Martha melihat majikannya terburu-buru begitu keluar dari lift di lantai satu.
“Aku akan pergi ke pinggir kota. Ayahku membutuhkan ku,” jawab Karissa tanpa menghentikan langkah tergesa-gesanya.
Martha terus mengikuti. “Tapi, Nyonya. Tuan Damian belum memberikan perintah pada kami.”
Ketika sampai di depan pintu utama, Karissa berbalik menatap Martha dengan tajam. “Apa yang kamu lakukan saat orang tuamu sakit? Sementara hanya tersisa dia yang ada di dunia ini!”
“Nyonya ... bukan begitu. Tuan Damian akan sangat marah kalau sampai tau.”
“Kalau begitu katakan saja padanya sekarang. Mungkin dengan ini dia bisa berhenti melakukan hal gila bersama asistennya itu!”
Selain dada, kepala Karissa juga rasanya ingin meledak jika teringat soal Damian. Bagaimana bisa di saat genting begini pria itu tidak mau diganggu. Belum lagi Damian menutup akses penarikan uang.
“Tuan Damian tidak mungkin melakukan hal itu, Nyonya. Anda salah paham.” Martha mencoba menenangkan.
Karissa tersenyum kecut. Bahkan kepala pelayan saja masih membela Damian padahal bukti sudah terpampang jelas dengan kedekatan Emma yang terus saja bersama Damian sekalipun sedang ada di mansion ini. Ya, waktu bersama Emma jauh lebih banyak ketimbang waktu Damian bersamanya.
“Aku akan tetap pergi. Sekalipun kalian melarangku menggunakan mobil di mansion ini, aku masih bisa memesan taksi!” tegas Karissa mutlak.
BERSAMBUNG
“Nona Karissa, selagi anak-anak tidak rewel, boleh aku menawarkan sesuatu?”Pandangan Karissa yang semula tertuju pada Luciano di balik kaca ruang tamu. Pria itu sedang menelfon seseorang. Lalu atensi Karissa beralih pada Bibi Wendy.“Apa itu?”“Saya pernah belajar sedikit tentang perawatan pasca melahirkan dari seorang tabib tua saat saya masih muda. Campuran ramuan untuk mengendurkan otot, memulihkan tenaga, dan menghangatkan tubuh. Kalau Anda berkenan, saya bisa melakukan untuk Anda.”Tawaran yang menggiurkan, tapi Karissa tidak enak pada wanita yang belum pernah dia kenal sebelumnya ini.“Nyonya Wendy, jangan begini. Saya –““Anda tampak lelah, Nona. Dan saya tahu, pasca melahirkan adalah fase terlelah seorang ibu. Ijinkan saya membantu?”Karissa menggaruk belakang telinganya lalu tersenyum kaku.“Saya sudah menyiapkan ramuannya,” ujar Nyonya Wendy segera.Ada semburat merah di pipi Karissa lalu dia tersenyum sambil mengangguk tipis. “Baiklah, itu kalau tidak merepotkan.”“Ini tid
“Siapa yang memasak? Aromanya sedikit aneh,” tanya Karissa saat pintu kamar dibuka karena Shiena masuk.Gadis itu tersenyum sembari meletakkan pakaian bayi di lemari yang baru dia setrika.“Nyonya Karissa bisa melihatnya sendiri.” Shiena menghampiri untuk mengambil Baby Seraphina yang ada di pelukan Karissa.Dia lalu melihat ke arah ranjang. “Baby Deim – Emh, Baby Allerick juga tidur? Nampaknya mereka sangat kenyang.”“Mereka lucu sekali, Shiena ....” Karissa tidak bisa menggeser pandangannya dari dua bayi itu yang lucu dan menggemaskan. Dua-duanya sangat penurut, tidak rewel saat menunggu giliran menyusui.Shiena tersenyum. Dia mendekati ranjang untuk melakukan perawatan kesehatan untuk Baby Seraphina.“Kamu keluar saja. Saatnya makan siang. Biar aku yang jaga mereka. Ibu menyusui harus banyak makan dan minum,” ujar Shiena.Karissa reflek mengusap perutnya. “Ya, perutku sudah berbunyi,” ucapnya sambil sama-sama tertawa kecil dengan sahabatnya.“Karissa,” panggil Shiena lirih, takut m
“Anda?”Mata Karissa membulat saking tak percayanya siapa yang bertamu tiba-tiba di rumah sepi ini.Untuk memastikan Vincent benar sudah pergi, Karissa melewati tempat berdiri tamunya untuk melihat ke gerbang kecil. Ya, tak ada jejak Vincent lagi di sana.Dia pun berbalik melihat ke wanita paruh baya berdiri di samping pintu, mengenakan mantel panjang dan selendang tebal yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Tak tertinggal ada Baby Stroller berwarna brown yang lengkap dengan mainan tergantung manis di atas“Nyonya Wendy, aku sungguh tak percaya.” Mata itu berkaca-kaca saking bahagianya.Dia sudah tiga hari tidak bertemu Allerick dan rasanya rindu itu nyaris meledak.Sebelum Nyonya Wendy sempat menjawab, Karissa langsung menariknya masuk dengan cepat. Tak lupa ditutup lagi pintu dan dikunci dari dalam.“Bagaimana bisa Anda sampai di sini?” tanya Karissa yang langsung memeluk wanita paruh baya itu singkat.“Anda tidak tau, saya sangat merindukan pangeran kecil ini.” Karissa segera
“Bagaimana ini? Sergio hanya memintaku memberi kisi-kisi perihal kebakaran di rumah sakit. Kenapa jadi dia bertanya soal anaknya?”“Kalau berbohong, dosaku makin banyak. Kalau bicara jujur, bisa-bisa aku mati muda dimakan serigala.”Shiena terus berbisik dalam hatinya, menatap Karissa dengan resah.“Kamu pernah kehilangan orang yang sangat kamu sayang, kan? Dan apapun yang terjadi padanya, setidaknya kamu ingin tau apa penyebab kematiannya dan dikubur di mana.” Wajah Karissa sudah basah.“Katakan padaku, Shiena,” desaknya.“K-Karissa. Jangan menangis begini.” Shiena mengambil tisu di nakas dekatnya lalu mengusap pipi Karissa. “Aku akan mengatakannya. Tapi berhenti menangis.”Cara itu ampuh. Karissa langsung mengeringkan kedua pipi dengan telapaknya lalu kembali menatap Shiena.“Aku sudah tidak menangis. Katakan.”“Emh ... jadi waktu itu –“Belum sempat Shiena membuka mulut, suara berat tiba-tiba terdengar dari ambang pintu."Seru sekali apa yang sedang kalian bicarakan?"Karissa dan Sh
“Ini Shiena.” Karissa mulai memperkenalkan sahabat yang akan merangkap jadi sahabat itu pada ayahnya.Seperti yang Karissa pikirkan, ekspresi Vincent langsung waspada. Ya, pria paruh baya itu sangat hati-hati menjaga Karissa dari orang asing yang mendekati mereka.“Dia adalah perawat yang akan mendampingi dan membantu merawat Baby Seraphina di rumah.”Shiena langsung melangkah ke depan dan menunduk sopan. “Selamat siang, Tuan Vincent. Senang bisa ditugaskan untuk menjaga cucu Anda.”Vincent menatap gadis itu cukup lama. Tak ada sapaan hangat. Hanya tatapan tajam yang menelanjangi niat seseorang hingga ke lapisan terdalam.Mulus, tidak ada ekspresi canggung dari Shiena. Bagaimanapun kondisi ini sudah Sergio ceritakan saat keberangkatan ke rumah sakit.Akhirnya Vincent mengangguk sekali. “Kau sudah melalui pengecekan latar belakang, kan?”“Sudah,” jawab Karissa cepat, sebelum Shiena sempat buka suara. “Rumah sakit yang merekomendasikan. Aku sudah lihat profil lengkapnya. Dia perawat and
“Semua sudah sepakat, Tuan. Bantuan pada mereka telah diterima dengan baik.”Laporan dari anak buahnya bersamaan dengan kepulan asap keluar dari mulut Luciano. Dia duduk di kursi kekuasaan markas Blackwood, ditemani dengan tumpukan dokumen di meja dan Cerutu mahal yang terjepit di antara jari-jari panjang pria itu.“Bagus. Tersisa orang-orang yang masih setia pada Damian.”“Tuan, apa Anda tidak ingin membersihkan ponsel dan kendaraan Anda?” Pertanyaan anak buah itu menjurus pada penyadapan yang Hector lakukan padanya juga Sergio.“Biarkan saja. Biar dia bermain dengan caranya dan aku membereskan dengan caraku.” Luciano kini terlihat lebih tenang dari sebelumnya.Bagaimana tidak, Karissa dan anak-anaknya sudah ada di tangan. Semua yang sudah dia susun penuh perhitungan dan dijamin tak akan gagal.Semoga.Saat begitu ponsel yang tergeletak di meja berbunyi. Nama Sergio muncul di sana.“Pergilah. Kamu bisa istirahat malam ini,” ucap Luciano seraya memajukan tubuhnya untuk mengambil benda