Sudah hampir satu minggu menghilang dari hadapan Karissa. Mobil Rolls-Royce Phamtom berwarna Hitam Metalik dengan ukiran serigala hitam khusus di bagian depan, akhirnya memasuki gerbang yang berdiri tinggi dan kokoh itu.
Damian menandatangani kertas dengan nama Luciano King Wilbert di sana. Lalu dia berikan pada Emma, asistennya yang duduk di samping.
“Katakan pada Tuan Axton, meeting besok ditunda,” ucap Damian.
Emma menoleh bingung. “Tapi, Tuan. Bukannya besok –“
“Aku ada urusan.” Damian langsung keluar begitu anak buah di luar membukakan pintu mobil.
“Siapkan makan siang,” titah pria bertubuh tinggi kekar kepada Martha seraya melangkah masuk ke mansion yang jarang dia tempati itu. Bila dihitung, paling banyak 10 hari dalam satu bulan Damian tidur di bangunan megah ini. Selebihnya pria itu mengurus bisnis di berbagai tempat.
Dua pelayan yang berdiri di depan pintu pun membungkuk patuh. “Baik, Tuan!”
Bukan hanya pelayan, Emma pun ikut mengurus makan siang Damian. Dia ke dapur, menghangatkan makanan. Saat dia hendak menyeduh teh ramuan untuk Damian, Emma tidak menemukannya.
“Minuman Tuan Damian mana?” tanya Emma melihat isi dalam wadah tradisional berwarna coklat tanah liat, kosong.
Teh itu memang sengaja Karissa ramu untuk menjaga stamina Damian, dan ternyata suaminya suka. Jadi setiap kali Damian memberi kabar akan pulang, Karissa selalu menyiapkannya.
“Nyonya Karissa tidak membuatkannya lagi. Tapi di lemari pendingin masih ada beberapa daun yang perlu diracik,” ucap Martha yang nampak tidak suka pada Emma.
Emma berusaha mencari di internet cara menyeduh teh tersebut. Setelah dirasa warnanya persis seperti yang biasa Karissa buatkan, dia pun membawa bersama dengan makanan yang sudah dihangatkan.
“Silahkan, Tuan. Sejak pagi Anda belum makan.”
Suara Emma membuat pandangan Damian yang semula fokus pada ponselnya jadi terangkat. Dahinya berkerut tajam mencari seseorang yang seharusnya menyiapkan makanan untuknya. Setau dia siang ini bukan jadwal praktek Karissa di rumah sakit.
“Mana Karissa? Kenapa justru kamu yang ada di sini?”
Karena Emma tak bisa menjawab, dia pun menoleh pada pelayan lain.
“Anda lupa, Tuan? Nyonya Karissa sejak tiga hari lalu pergi ke rumah orang tuanya,” jawab Martha mengingatkan kalau dia sempat memberi kabar soal kepergian Karissa.
Dengan garis rahang yang mulai mengetat dan atmosfer ruangan ikut menegang, Damian segera mengecek room chat Karissa. Ya, tidak ada pesan apapun selama beberapa hari kecuali dua panggilan tak terjawab yang waktu itu dia abaikan. Padahal biasanya istrinya sangat cerewet mengingatkannya makan dan menanyakan kapan pulang.
Derit kursi terdengar ketika Damian tiba-tiba berdiri.
“Tuan, sebaiknya Anda mengisi perut lebih dulu. Lalu ramuan ini juga supaya kondisi Anda tetap baik.” Emma yang lebih dari 7x24 jam bersama Damian tentu paham kalau tuannya sedang lelah dan lapar.
Damian menatap tajam Emma dan Martha yang berdiri bersebelahan, membuat keduanya reflek menunduk tak berani menatap sorot menusuk itu.
Dilihatnya cangkir berisi teh hangat. Damian mengangkat gelas itu, sayangnya dari aromanya saja tidak pas dengan ramuan yang biasa Karissa buatkan.
“Singkirkan semuanya.” Dia meletakkan kasar cangkir itu di meja sampai semua isi tumpah, kemudian berbalik pergi.
Saat melewati empat anak buah yang berjaga di depan ruangan, Damian segera memberi perintah tanpa menghentikan langkahnya.
“Bawa Karissa ke hadapanku sebelum petang. Atau kepala kalian yang aku ledakkan!”
***
Sekitar 3 jam berlalu, Karissa sampai di mansion. Dipastikan Tony yang selama beberapa hari ini mengawal majikannya di rumah Vincent, membawa mobil super ngebut jadi bisa sampai lebih cepat dari perkiraan.
“Mana Damian?” Wajah Karissa terlihat sangat kesal setelah Martha menyambutnya di depan pintu.
Saat dia sedang menemani ayahnya yang belum benar-benar sembuh, Damian justru memaksanya pulang dengan mengancam akan memberi hukuman tembak pada Tony. Parahnya lagi, bukan Damian sendiri yang menjemput.
“Tuan ada di lantai dua, Nyonya,” jawab Martha.
Saat hendak masuk ke dalam lift, Karissa sempat melihat Emma yang sedang berjalan ke arah ruang baca. Ah, Karissa tak peduli dengan asisten itu. Dia sudah ingin menjumpai Damian lalu menjambak pria itu bila perlu.
Bunyi lift menyentak lamunan Karissa. Dia meremas sisi gaun maroonnya lalu menarik nafas dalam-dalam.
"Damian!" panggilnya keras begitu sampai di ruang terbuka lantai dua.
Damian mengangkat pandangan dari senjata api yang sedang dia bersihkan. Pria itu selalu segar dan rupawan seperti biasa. Apalagi kalau berdiri terlihat sekali tubuh tinggi kekarnya sangat mempesona. Ya, biasanya Karissa terpesona dengan sosok yang dia cintai itu. Namun, tidak kali ini. Bahkan sepertinya dia rela melepas Damian sekarang juga.
"Apa maksudmu memaksaku pulang? Aku bukan sedang pergi bermain, Damian! Aku masih ingin merawat ayahku!”
Damian hanya menatap datar wanita yang berdiri dengan bersungut-sungut. Wajah Karissa putih seperti porselen. Memiliki bentuk kecil tapi seksi, cantik juga lembut seperti putri kerajaan yang selalu dirawat dan dijaga.
Biasanya Karissa akan menatapnya penuh damba dan selalu menurut. Namun, kali ini akhirnya Damian melihat istrinya itu begitu emosi. Lalu, apa dia peduli? Tidak! Damian bahkan kembali menunduk guna membersikan senjata api memakai kain kecil lalu meniupnya.
"Pergi ke dapur, lakukan tugasmu,” ucap lelaki itu tanpa menatap.
Karissa terkekeh pilu. "Aku bukan pelayanmu!”
“Kamu istriku, jadi lakukan tugasmu.”
“Tsh!” Karissa tersenyum miring. “Mana ada suami yang meminta istri sahnya menggugurkan kandungan?” Senyuman itu memudar, berganti dengan tatapan jijik. “Kecuali kamu sudah memiliki anak dari wanita lain. Jadi tidak lagi menginginkan anak dariku.”
Damian hanya berhenti mengusap senjatanya, tapi berapa detik setelahnya belum juga merespo. Pria itu kini membuka laci kemudian meletakkan senjata di dalam.
“Diam? Jadi benar kamu sudah berselingkuh?” Mata Karissa mulai memerah ingin menangis karena teringat dengan pengkhianatan yang Damian lakukan. “Benar kamu sudah memiliki anak dengannya?”
“Kalau memang benar, kamu sungguh murahan! Mengobral hasratmu dengan wanita selain istri sendiri!”
Kali ini ucapan Karissa berhasil memancing serigala di dada Damian. Rahang pria itu mengeras, pun matanya yang menajam seperti seekor Elang yang baru menemukan mangsanya. "Mulutmu makin lancang sekarang. Kau lupa siapa aku?"
Karissa mengangkat dagunya tinggi. Rasa sakit akibat perlakuan suaminya serta luka batin yang semakin hari semakin menumpuk membuatnya berani berbicara.
"Siapa peduli? Kau saja tidak memiliki hati untuk menyambut anak kita di rahimku. Lalu dengan enaknya bercinta di kamar yang biasa kita tiduri. Orang sekeji dirimu apa masih harus aku hormati?”
Cukup dengan dua langkah lebar Damian sudah bisa membuatnya mencengkeram rahang Karissa. "Hati-hati dengan ucapanmu, Karissa!"
Mata Karissa memejam merasakan sakit di rahang kecilnya. Berbanding terbalik dengan tangan Damian yang lebih besar dan kuat. "Aku sudah cukup sabar selama ini.”
Jemari-jemari panjang dan kekar itu makin mengeras. Damian tidak suka kalau Karissa menentang seperti ini.
Wanita itu pun kembali membuka matanya usai memantapkan keputusan. “Jadi, kali ini aku menyerah. Aku akan mengurus perceraian kita ke – akh!”
Karissa memekik ketika tubuhnya dihempas ke atas sofa.
Dia lepas jas hitam dan membuang sembarangan. Dengan cepat, dia langsung membungkuk dan menekan bahu Karissa supaya tidak kabur.
“Kau bilang apa? Cerai? Sampai mati pun aku akan tetap mengejarmu ke neraka untuk membayar kesalahanmu, Karissa!” Suara emosi Damian menggelegar.
“Kesalahan apa? Kamu selalu mengatakan kesalahan tapi kamu tidak pernah menjelaskan apa kesalahanku selama ini, Damian?!” teriak Karissa sambil menggerakkan bahunya supaya Damian bisa melepas.
Sorot Damian makin menajam, menatap hina perempuan di bawahnya ini. “Beginilah kelakuan manusia tidak tau diri. Aku memang jahat, tapi aku paham kesalahanku. Tidak sepertimu!”
Dengan kasar Damian merobeknya gaun sutra Karissa sampai bagian dada langsung terpampang jelas di depan mata.
"Jangan sentuh aku! Aku sudah tidak mau bersamamu lagi! Damian, berhenti! Perutku sedang sakit! Damian!”
“Akhirnya aku sampai di sini.”Suara wanita muda itu terdengar lirih usai turun dari taksi.“Hanya ini, Madame? Tolong dicek kembali supaya tidak ada yang tertinggal,” ujar si supir.Emma menarik koper yang baru diturunkan dari bagasi juga tas kecil di bahunya. “Tidak. Aku hanya membawa ini.”“Baik, kalau begitu saya permisi.”Emma memperhatikan taksi yang pergi menjauh melewati jalanan yang tidak terlalu lebar itu. Meski tidak luas, tapi area sekitar cukup memanjakan mata Emma.Di depan gerbang yang terkunci rapat, Emma bisa melihat jalanan yang diapit ladang lavender juga pohon ek tua.Dia menjatuhkan pandangannya ke depan. Rumah lama tak berpenghuni dengan dua lantai itu masih berdiri kokoh, meski catnya mulai pudar dan banyak rumput liar yang ada di sekitar.Emma bukan lagi ada di Inggris. Dia sudah berada di Perancis. Di rumah yang dulu pernah Damian beli dan akan menjadi tempat tinggal mereka setelah menikah.Tempat tinggal yang jauh dari kebisingan kota dan dunia mafia.“Tidak
Luciano sedang duduk di ruang kerja lantai dua ketika pintu didorong keras. Namun, dia tak bereaksi seolah Luciano memang sudah memperkirakan kalau ada yang akan tiba-tiba datang padanya dengan emosi.“Luciano.” Damian masuk membawa aura panik berpadu dengan emosi. “Kenapa kau tidak beri aku kuasa penuh atas akses keamanan di kota ini?”Luciano meletakkan bukunya santai. “Ada apa ini?”“Kau tidak mungkin tak tau, Luciano,” desis Damian mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Dia sedang terburu-buru tapi bisa-bisanya pria di depannya nampak begitu santai.“Emma?” tebak Luciano.“Aku butuh akses CCTV umum. Jalanan. Terminal. Bandara. Jaringan bawah tanah sekalipun kalau bisa. Tapi semuanya terblokir. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kau sengaja menahannya, kan?”Luciano menyeringai menatap lelaki yang berdiri di depan meja kerja. “Sistem itu dibuat bukan untuk satu orang bisa mengakses sesukanya.”“Kalau kau tahu Emma menghilang, dan aku tak bisa menemuinya hanya karena akses yang k
“Emma, buka pintunya! Atau aku pecahkan kaca ini!” teriak Damian mencoba membuka handle pintu yang terkunci.Karena takut merusak kendaraan, penumpang di dalam pun menurunkan kaca jendela mobil taksi tersebut.Seorang wanita muda berambut coklat sebahu dengan jaket denim menatapnya dengan wajah panik.“Apa-apaan ini? Siapa kau?!” teriaknya takut kalau pria ini perampok.Damian tercekat. Pandangannya menyapu wajah wanita itu, mencari sedikit saja kemiripan. Mungkin saja Emma menyamar memakai wig, mungkin. Tapi tidak. Penumpag itu sama sekali bukan Emma. Dia juga melihat ke dalam, setiap sudut mobil. Nihil.“Aku tanya, siapa kau?!” ulang wanita itu, lebih keras.Damian terdiam sesaat. Napasnya berat. Tangan yang menggenggam pintu mulai melemas.“Maaf, salah orang,” gumamnya pelan, sebelum menegakkan posisi berdirinya.“Gila,” desis wanita itu menaikkan kaca mobil lagi, dan supir kembali menekan pedal gas ringan.Namun, sebelum mobil itu melaju, Damian berbalik dan mengetuk kaca depan si
“T-Tuan, maaf. Saya tidak bisa menjawab.”Martha menggigit bibir bawahnya bersamaan dengan napasnya terasa menyesakkan di tenggorokan.Langkah Damian maju satu tapak. “Kau tahu sesuatu?”Tatapan lelaki itu cukup tajam, tapi bukan amarah melainkan kegelisahan dan ketakutan yang tiba-tiba muncul begitu saja di diri pria itu.Martha menunduk. Dia tak punya pilihan lagi. “Maaf, Tuan. Saya hanya menjalankan permintaan Nona Emma.”Damian mengerutkan kening. “Permintaan apa? Apa maksudmu?”“Nona Emma … sudah pergi.”Tubuh Damian membeku sesaat. Tali paper bag yang menggantung di tangannya juga nyaris terlepas.“Apa?” tanya Damian hanya sebatas hembusan napas dan tenggorokan yang tercekat.Martha mengangguk pelan, tak berani menatap langsung. “Nona Emma memesan taksi satu jam lalu dan meminta akses gerbang dibuka. Saya tidak tahu ke mana tujuannya, tapi beliau menitipkan Aiden kepada keluarga ini sebelum pergi.”Tangan Damian mengepal, mencengkeram gagang paper bag di tangannya hingga kerutan
“Emma, kamu serius?”Hanya ada Karissa di depan pintu utama mansion milik Luciano yang berdiri untuk menahan kepergian Emma.“Kau pernah memilih pergi dari kehidupan Luciano kan, dulu? Dan kamu pasti paham apa alasan kamu nekat melakukan itu meski jelas kamu sangat mencintainya.”Mata Emma sudah memerah menahan untuk tidak menangis.Karissa menarik napasnya dalam. Dia maju selangkah untuk menyentuh tangan Emma sebelum akhirnya mengangguk membenarkan.“Kembalilah di saat hatimu sudah jauh lebih baik. Ada Aiden yang butuh pelukanmu,” ucap Karissa lembut menatap Emma dengan sorot sendu.“Ya, aku titip Aiden. Dia sedang bersama Nyonya Rosetta karena aku yang memintanya untuk mengamankan Aiden sebelum aku pergi.”Tak ingin lagi banyak bicara, taksi yang dia pesan khusus juga sudah datang.“Terimakasih membuka akses kendaraan umum untuk masuk dan menjemputku,” ucap Emma tersenyum pilu sebelum akhirnya dia menyeret kopernya keluar.Sebelum masuk ke dalam mobil, langkahnya sempat terhenti sej
"Mommyy!" sapa Aiden yang langsung berlari ke arah Emma dengan senyum sumringahnya.Walau tak dipungkiri jantungnya nyaris copot saking kagetnya, tapi di satu sisi Emma merasa bersyukur karena putranya-lah yang datang menjenguknya dengan simetri sabit yang menjadi sumber semangat paginya."Halo, Anak Mommy. Kenapa lari-lari gitu hm? Nanti jatuh bagaimana?" Emma mencoba menutupi keterkejutannya dengan seulas senyum manis.Bibir Aiden berubah manyun begitu mendengar pertanyaan Emma. "Aiden seperti ini karena Mommy.""Aiden mencari ke mana-mana, ternyata Mommy ada di sini. Aiden takut Mommy pergi," keluh bocah lelaki berusia tujuh tahun itu dengan raut murungnya.Emma terkekeh geli mendengar aduan yang dilontarkan putranya itu. "Maafkan Mommy, Sayang ... Mommy baru bangun.""Aiden pasti lapar kan? Sudah sarapan, hm? Mau Mommy masakkan sesuatu?" tawarnya sembari mengelus puncak kepala Aiden dengan penuh perhatian.Namun, bocah lelaki yang kini jauh lebih atraktif itu menggeleng berulang k