Damian terdiam beberapa saat, menatap Karissa dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau pulang saja lebih dulu. Aku akan menyusul," ucapnya dengan nada dingin.
Karissa belum bergerak. "Aku bilang aku mau pulang denganmu, Damian," tegasnya lagi sembari meremas kedua sisi gaunnya.
Damian menghela napas panjang, seolah lelah dengan tuntutan Karissa. "Karissa, aku sudah bilang—"
"Apa yang kau sembunyikan dariku, Damian?" Karissa memotong. "Kenapa anak itu memanggilmu Daddy? Kenapa dia ada foto dirimu di kamarnya? Dan kenapa Emma—" Karissa menunjuk ke arah dalam rumah, "—berpenampilan seperti itu di hadapan suamiku? Jawab aku, Damian! Sejauh ini pengkhianatan yang kamu perbuat?"
Damian menggeser pandangannya ke arah balkon, menghindari tatapan Karissa. "Bukan urusanmu," ucapnya dingin.
Jawaban itu seperti pisau yang menusuk dada Karissa. Dia merasa diabaikan, tak dianggap. Membuat semua rasa sakit yang selama ini ditahan semakin mengembung dan siap meledak.
Buru-buru Karissa mengusap air mata yang nyaris menetes. Dia tarik napasnya dan kembali menatap tegas pada pria di depannya. “Oke. Sekarang pilih, kamu mengantarku pulang atau aku benar-benar akan mengurus surat perceraian kita.”
“Kamu tak pernah seberani ini, Karissa. Jangan buatku marah,” gigi Damian sampai menggertak marah.
Sebelum Karissa sempat membalas, Aiden muncul dari balik pintu balkon, kali ini ditemani Emma. Wajah kecilnya yang tampan tampak pucat dan lelah. Jika di lihat-lihat, ada bagian yang mirip dengan Damian juga Hector. Ya, garis wajah Aiden ada sedikit sama dengan keluarga suaminya.
"Daddy... aku tidak bisa tidur kalau tidak ada Daddy," rengeknya.
Damian melangkah ke arah Aiden tanpa memedulikan Karissa. Dia mengangkat anak itu dan membawanya kembali masuk sebab angin di balkon cukup kencang.
"Emma, antar Nyonya sampai mobil," perintah Damian tanpa menoleh.
Karissa merasa seperti dihempaskan. Kalau sudah seperti ini, apakah Damian masih layak diperjuangkan?
“Nyonya,” panggil Emma hati-hati meski begitu ada rasa puas dari sorot matanya. “Mari saya antar.”
“Aku bisa keluar sendiri,” jawab Karissa ketus kemudian menyambar tasnya di atas sofa dan keluar dari sana dengan cepat. Dia tak peduli ada ringisan penuh kemenangan di bibir Emma. Karissa sedang mengatur emosinya sendiri, supaya perbuatan mereka tidak sampai membuatnya gila.
***
“Bayinya sehat.”
Ucapan dokter obsgyn yang memeriksa kandungan Karissa membuat bibir wanita hamil itu melengkung sempurna. Mereka menatap layar sedangkan alat USG masih menempel di perutnya yang mulai sedikit buncit itu.
“Detak jantungnya juga stabil,” lanjut sang dokter.
Hanya mendengar detak jantung saja sudah membuat luka di hati Karissa tertutup sementara. Baginya, kehidupan bayi ini adalah cahaya baru di tengah kegelapan yang sudah Damian berikan. Sekeras apapun Damian memintanya menggugurkan bayi ini, sekeras itu pula Karissa akan mempertahankan janin di perutnya.
“Hanya, tensi ibunya sedang menurun.” Dokter selesai memeriksa. Dia menggeser kursinya ke meja, membiarkan asisten membersihkan sisa gel di perut Karissa.
“Saya tau, melewati trimester pertama kehamilan memang sedikit sulit. Dokter Karissa bisa atur kesehatan dan kesibukan mengurus pasien.”
Karissa belum menjawab, dia lebih dulu turun dari ranjang dengan hati-hati barulah duduk di kursi pasien.
“Saya akan memberikan vitamin dan obat. Tolong imbangi dengan makan-makanan bergizi dan istirahat yang cukup. Saya lihat Anda baru saja mengajukan jam praktek tambahan. Tolong pertimbangkan lagi, Karissa.”
Wanita itu tersenyum dan mengangguk tipis. “Terimakasih untuk sarannya, Dok. Akan saya pikirkan lagi.”
“Ya, diperutmu sedang ada bayi, jadi jangan asal mengambil keputusan yang bisa mempengaruhi kesehatan kalian berdua,” ucap dokter obsgyn itu lagi.
Karissa mengangguk sekali lagi sebelum akhirnya dia pergi dari ruangan.
“Bagaimana?”
Kemunculan Shienna, sahabat yang super cerewet itu membuat Karissa terjingkat. “Astaga, kamu ini ....”
“Hehehe, bagaimana keadaan keponakan aku?” Shienna memberikan jas putih yang sempat dititipkan kepadanya.
“Sehat, Aunty,” jawab Karissa layaknya bayi yang menjawab pertanyaan tantenya.
Cengiran Shienna sementara pudar ketika ingat sesuatu. “Oiya, Kata pak kepala kamu mengajukan jam tambahan?”
Karissa tersenyum tipis lalu berjalan lebih dulu menuju farmasi guna mengambil obat. Shienna tentu mengikuti menunggu jawaban pasti Karissa.
“Sebenarnya kamu kenapa, Karissa? Butuh uang tambahan? Aku tidak mau ya kalau kamu kenapa-kenapa karena terlalu lelah.”
“Ya, ayahku butuh uang banyak. Aku juga baru membeli apartemen kecil.”
Shienna menahan tangan Karissa, hingga langkah mereka terhenti. “Suamimu? Kamu punya suami, Karissa. Bagaimana mungkin kamu bekerja keras sendiri apalagi –“
Gadis itu menunjuk ke perut sahabatnya. “Kamu sedang hamil.”
“Mengandalkan suami saja tidak cukup, kan? Seorang wanita harus mandiri.” Karissa kembali berjalan.
Membeli apartemen lalu membiayai pengobatan ayahnya. Itu tidaklah buruk dari pada terus berada di mansion yang megah dan uang melimpah, tapi menghadapi Damian yang seperti itu. Karissa tak sanggup.
***
Mansion menjadi tujuan Damian setelah tidak pulang tiga hari lamanya. Seperti biasa, di depan pengawal dan pelayan menyambutnya termasuk Martha. Pelayan setia itu menerima jas yang Damian lepas sambil berjalan menuju lift.
Ada yang ingin Martha katakan, tapi melihat wajah lelah Damian membuatnya takut untuk mulai berucap.
Pria itu langsung menuju kamar. Pikirnya, dia langsung bisa membersihkan badan. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat keadaan kamar sama seperti terakhir dia meninggalkan ruangan ini.
Terakhir, kamar masih berantakan karena selesai bercinta mereka sudah kedatangan Opa Hector dan berlanjut pergi ke apartemen Emma. Dan keadaan kamar ini sama seperti waktu itu.
Apa Karissa belum pulang sejak malam itu?
“Martha!” teriak Damian.
Ya, Martha sudah menduga akan mendapat panggilan keras ini. Dia pun segera membuka pintu kamar dengan kepala menunduk meski di sana Damian berdiri memunggunginya, tetap saja Martha tak berani menatap.
“Iya, Tuan?”
“Jelaskan!”
Martha lebih dulu melihat kondisi kamar. Seberantakan apapun sejak dulu Damian selalu melarang orang lain menyentuh barang-barang pribadinya di kamar kecuali Karissa.
“Nyonya Karissa tidak pulang, Tuan.”
Damian berbalik, sorotnya menajam seiring dengan dadanya yang memanas.
“Malam itu Nyonya hanya mengambil tas kerjanya saja. Saya pikir nyonya ada jadwal praktek. Namun, setelahnya Nyonya Karissa tidak lagi pulang, Tuan,” ungkap Martha.
Tak cukup sampai disitu Damian menahan amarahnya, Martha lanjut memberikan map berwarna cokelat.
“Tuan, ini juga ada kiriman dari Nyonya Karissa. Baru tadi siang seseorang mengantarkannya.”
Dahi Damian berkerut tajam. Dia menyambar berkas itu dan buru-buru membukanya. Setelah membaca surat yang ada di dalamnya, rahang Damian seketika mengetat, pun otot di lehernya mulai timbul.
“Cerai? Jadi dia benar-benar ingin bermain-main denganku?”
Tanpa basa-basi Damian merobek surat perceraian yang sudah ada tanda tangan Karissa di bawahnya. Dia lempar sobekan itu kemudian melangkah pergi membawa segala atmosfer mengerikan yang menguar dari tubuhnya.
Kalian tim Cerai atau lanjut??
“Anggap saja ini sebagai harga yang harus kamu tebus padaku.”Karissa membuka mata, menatap pria yang baru saja bicara padanya. Sorot itu tak biasanya. Tak ada tatapan tajam ataupun dingin.“Kau meminta aku memberimu waktu kan? Gunakan waktu itu sebaik mungkin di sisi ku,” lanjut Luciano.Karissa menggerakkan kepalanya supaya jemari Luciano menjauh dari wajahnya.Ditarik napas itu, lalu dia kembali bicara. “Kau tidak aman kalau terlalu lama di sini .”Karissa kini menatap tajam Luciano. “Apa alasan yang bisa membuatku percaya untuk ikut denganmu? Sedangkan sudah jelas keluarga Wilbert sudah lama memburu Luther.”Perkataannya membuat Luciano bisa merasakan ada dinding tebal di sana yang dibangun atas dasar kekecewaan.“Kau tiba-tiba datang seolah menjadi penolong, lalu memintaku bersembunyi seakan-akan Vincent adalah monster di sini. Padahal diantara kita, musuhku adalah kamu kan?”Hati Luciano terasa sakit saat Karissa menganggap dirinya musuh. “Ada yang ingin aku luruskan di sini. Ka
Karissa menegang, jantungnya berdebar tak karuan. Kalau Luciano dan Vincent bertemu, bukan tidak mungkin ayahnya yang akan kalah nantinya. Apalagi Karissa paham kalau dia ada dipihak yang salah saat ini. Yaitu berasal dari keluarga yang sudah membunuh ayah Luciano.“Daddy, aku bisa jelaskan!”Karissa mendahului Vincent, tapi saat dia melihat ke ranjang rupanya tidak ada Luciano di sana. Kamar kosong, hanya mereka berdua yang masih berdiri di depan pintu yang sudah terbuka lebar.Vincent menyisir pandangan ke seluruh ruangan. Tak ada jejak orang lain di sini. Lalu membuka kamar mandi juga kosong.“Daddy dengar suara tadi. Kau seperti bicara dengan orang lain,” ucapnya setelah menyerah karena tak menemukan siapapun.“Aku bermonolog sendiri, aku sudah ingin cucu perempuan daddy tidur di kamar ini bersamaku. Maaf kalau terdengar aneh.” Karissa berusaha bicara dengan tenang, meski dia sudah sangat penasaran kemana perginya Luciano sekarang.Vincent pun menghela napas dan mengangguk pelan. “
Karissa meregangkan tubuhnya usai masuk ke dalam kamarnya. Dia baru pulang dari rumah sakit setelah sejak pagi berada di sana. Seandainya diijinkan dia juga inginnya tetap di sana.Namun, suster selalu menyarankan dia untuk istirahat. Karena pengobatan sang bayi cukup panjang jadi ibu harus tetap sehat dan kuat.“Sebentar,” gumamnya menghentikan langkah sebelum dirinya masuk ke kamar mandi.Aroma maskulin parfum ini kembali tercium di kamarnya.Karissa terkesiap melihat sekitar. “Ada orang di sini?” tanyanya entah pada siapa.Hening.Bahkan pergerakan bayangan pun tak ada. Hanya tirai di balik jendela yang sedikit bergoyang.“Apa mungkin daddy baru bereskan kamarku?” Pertanyaan itu bertentangan dengan isi pikiran Karissa yang sesungguhnya. Yaitu parfum sang ayah tidak seperti ini.Karissa menghela napasnya panjang.Dia lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Kemudian kembali ke ranjang memakai piama tidurnya.Dipandang obat di atas nakas. Sudah tiga malam dia tidur memi
“Jadi kapan putriku bisa pulang?”Luciano duduk di kursi utama ruang meeting rumah sakit bersama dokter di sana. Pakaian keduanya nampak kontras. Satu berjas putih medis, satu lagi mengenakan jas hitam dengan dasi perak.Dia menatap ke layar di depan, di mana CCTV ruang NICU memperlihatkan bayi perempuan yang sedang disusui oleh Karissa.“Aku tidak tega melihatnya selelah itu.” Luciano bicara lebih lirih lagi tanpa menggeser pandangan ke wajah Karissa.Masih cantik dan bersinar. Hanya saja kerutan lelah nampak di sana. Ingin rasanya Luciano mendekat untuk memberi kekuatan, menunjukkan kalau dia tak sendiri.Tapi melakukan itu di tempat umum sama saja bunuh diri. Kabur dari pengawasan anak buah Hector dan mata Sergio juga tidak mudah."Putri Anda bisa pulang setelah kami pastikan dia stabil tanpa ventilator besar dan bisa bernapas dengan alat bantu portabel. Tapi tetap perlu pengawasan 24 jam. Rumah harus steril dan lainnya,” jawab sang dokter.Luciano mengangguk kecil. "Lalu ada jalan
Aroma butter panas dan roti panggang mulai memenuhi udara. Namun, bukan itu yang menghentikan langkah seorang wanita saat hendak masuk ke area dapur luas di mansion.“Kenapa kalian ada di sini?”Emma menatap ada lima pelayan yang seharusnya di dalam untuk membantunya membuat sarapan pagi ini, sekarang justru semua berdiri di depan pintu dapur.“Tuan Damian ada di dalam dan tidak mengizinkan siapa pun membantu. Katanya, beliau ingin memasak sendiri untuk Nyonya Rosetta,” ucap salah seorang pelayan.Alis Emma terangkat. Sudut bibirnya menekuk membentuk senyum nakal. “Oh, jadi Tuan Besar mau mengambil alih dapur pagi ini,” gumamnya, lalu melangkah masuk tanpa permisi.Begitu melihat Damian sedang ada di depan kompor, memunggungi pintu, senyuman Emma makin lebar. Wanita itu mendekat pelan-pelan, lalu memeluk Damian dari belakang.“Kau sedang berusaha memasak sarapan untukku, ya?” bisiknya manja.Damian langsung mengangkat bahu, berusaha melepaskan pelukan itu. “Jangan terlalu percaya diri,
“Papa sudah pulang?” Aiden mendongak menatap ayahnya.“Hm.” Damian sebenarnya datang karena samar mendengar Aiden menyebut nama Luciano. “Tadi kamu bertemu dengan siapa di sekolah?”Aiden melirik ibunya, seolah meminta jawaban yang tepat atas pertanyaan Damian.“Katanya Tuan Luciano datang,” jawab Emma sambil melepas apronnya kemudian membersihkan tangan di keran taman.“Apa dia lakukan di sana?” tanya Damian pada Aiden.Pria kecil itu pun menunjukkan lolipop besar di genggamannya.“Dulu Tuan Luciano pernah menjanjikan permen untuk Aiden.” Emma mendekat setelah mengeringkan tangannya yang baru dicuci.Dia lalu meraih tas kerja yang masih Damian genggam. “Tepatnya saat Aiden sedang dirawat di rumah sakit. Katanya, kalau Aiden sembuh dia akan memberikan permen. Dan –“Kini Emma mengambil permen dari tangan Aiden. “Daddy-nya bukan pria yang melupakan janjinya,” lanjut wanita itu menunjukkan makanan manis berwarna pink pada Damian.Memperlihatkan wujudnya, seolah memang tidak ada yang dis
Seorang anak lelaki berambut kecoklatan, mengenakan rompi sekolah warna krem dan topi kecil miring di kepalanya tiba-tiba berhenti dari main perosotan. Mata Aiden membulat begitu melihat siapa yang terlihat sedang berdiri di depan gerbang.“Daddy!” teriak girang.Bagaimana tidak, Luciano tiba-tiba muncul setelah sekian lama tidak bertemu. Tepatnya setelah Aiden dipertemukan dengan ayah kandungnya, Damian.Kaki-kaki kecil itu langsung melesat turun lewat perosotan dan berlari lucu. Seolah menunjukkan kalau dia memang menantikan kehadiran pria yang sudah merawatnya dari bayi. Seorang guru yang semula berbicara dengan Luciano pun memberi ruang. Hanya mengawasi dengan jarak.“Daddy ....” Tangan kecil itu langsung memeluk kaki panjang Luciano.Meski selama ini pria tampan di depannya tidak pernah terlalu banyak menunjukkan ekspresi, tapi Aiden sudah sangat bahagia.Aiden mendongak, tanpa melepas pelukannya di salah satu kaki Luciano. Iris mata yang cerah itu bergetar karena haru.“Daddy akh
“Ahhh ....” Karissa melenguh dalam tidur saat ada hisapan ringan di dadanya yang sedang membengkak karena kantung ASI.Tidak, ini bukan seperti hisapan bibir dan lidah mungil yang menyentuh nipple-nya. Gerakan ini terlalu panas juga kuat.Ini mimpi?Ya, mungkin. Karissa makin masuk ke dalam mimpinya, merasakan aroma maskulin yang familiar.“Luciano,” bibir itu memanggil tanpa sanggup membuka matanya. Bahkan dia ingin sekali terbangun dari mimpi untuk memastikan apa yang sedang dia alami, tapi efek obatnya terlalu tinggi.“Jangan datang. Aku membencimu ....”Sayangnya gumaman itu berbeda dengan apa yang dirasakan saat ini.Tubuh Karissa yang semula menggigil kini perlahan menghangat, meninggalkan rasa nyaman juga aman. Rasa yang dia butuhkan sekarang.Mimpi panjang itu belum berakhir. Karissa kembali melenguh ketika dada yang lainnya ikut merasakan panas juga basah. Belaian lembut yang melingkar di puncaknya lalu kulitnya seperti tersedot ringan.Persis seperti saat dia menyusui, tapi r
Karissa melipat bukti pembayaran yang baru saja dia terima dari bagian administrasi rumah sakit. Entah mengapa, dadanya terasa lebih sesak daripada sebelumnya. Bukan hanya karena pengeluaran yang makin menipis, tapi karena kehilangan.Cincin itu sudah tak ada lagi di jarinya.“Aku sampai lupa belum makan sedari tadi,” gumamnya saat merasa kepalanya pusing.Bahkan dia sampai berpegangan pada dinding koridor sembari menekan kepala dengan tangannya yang satu.“Anda baik-baik saja, Nyonya?” tanya seorang perawat yang melintas.Karissa mendongak lalu menggeleng samar juga tersenyum tipis. “Aku tidak apa.”“Wajah Anda pucat. Saya harap Anda bisa jaga kesehatan. Bayi Anda membutuhkan ibu yang kuat.” Dia adalah perawat bagian NICU. Jadi sudah hafal pada Karissa.“Terimakasih, Sus.”Karissa kembali berjalan menuju ruang bayi. Dibanding dengan ruangan lain, arah ke NICU jauh lebih sunyi. Jarang dilewati orang.Begitu melintasi koridor, perasaan aneh muncul. Karissa merasa seperti ada yang mengi