#Istri_Gaib
Bab 10 : Beda Kamar
Nindi membuka mata dan mencari sosok Haikal yang tadi malam tidur di sampingnya, tapi pria pendiam itu sudah tak terlihat lagi di tempat tidur. Dari arah kamar mandi, terdengar suara gemerecik air, ia langsung tahu kalau sang suami sedang mandi.
Beberapa saat kemudian, Haikal sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang tergantung di lehernya. Nindi langsung tersenyum ke arahnya.
“Selamat pagi, Bang,” sapa Nindi dengan tersenyum hangat, ia bangkit dari tempat tidur.
“Iya, pagi juga,” jawab Haikal acuh, pesan Maura selalu terngiang di kepalanya, ia tak boleh bersikap manis kepada wanita yang telah ia nikahi semalam itu.
“Nindi mandi dulu, Bang, habis itu kita sarapan sama-sama,” ujar Nindi sambil meraih handuk dari lemari dan melangkah menuju tempat tidur.
Haikal mengangguk, lalu duduk di tempat tidur sembari mengusap layar ponsel. Hatinya begitu bimbang akan Maura, yang tadi malam tak bisa ia jumpai. Beberapa pesannya juga diacuhkan wanita berambut merah itu.
“Ke mana, Maura? Tidur di mana ia tadi malam? Ah ... marahkah ia padaku?” gumam Haikal dengan hati yang kalut. “Atau jangan-jangan ... ponsel sengaja ia tinggal. Aku jadi tak tenang kalau begini, takut terjadi apa-apa dengannya.” Ia bedecak kesal sambil mengacak rambut cepaknya.
Taklama berselang, Nindi telah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya membalut dari dada hingga paha saja. Haikal segera memalingkan wajah, ia tak mau tergoda akan pemandangan yang bisa melunturkan kesetiaannya kepada sang istri pertama.
“Nindi, Abang tunggu kamu di luar saja, ya!” ujar Haikal sambil melangkah menuju pintu kamar, lalu keluar.
Nindi hanya tersenyum tipis. Sebenarnya ia juga malu dengan tampilan seperti itu, tapi ia harus membiasakan diri, berganti pakaian di depan sang suami yang memang masi asing baginya.
*******
Pagi ini, Haikal belum diperbolehkan ke mana-mana sebab pukul 13.00 nanti siang masih akan ada acara mandi tiga malam atau lebih biasa disebut dengan ‘ngalih turun’ karena kedua keluarga memang keturunan Melayu asli. Jadi, semua rentetan tradisi harus dijalani.
Acara yang pertama, Haikal disuruh menggendong Nindi ke dapur untuk prosesi mandi tiga malam yaitu dengan mandi berbagai aneka kembang dan ritual sesuai tardisi adat Melayu. Setalah itu, keduanya kembali berpakaian ala pengantin. Kali ini dengan baju adat berwarna silver.
Kini keduanya disuruh untuk berdiri sambil memegang tumbang apam, ketika lantunan surah yasin dibacakan. Haikal merasakan kepalanya sedikit pusing mendengar lantunan ayat-ayat suci itu digemakan.
Dan yang terakhir, saatnya ngalih turun atau biasa disebut dengan acara ‘ngunduh mantu yaitu Haikal dan Nindi berserta keluarga Nindi juga semua yang hadir di sana bersama-sama untuk menuju ke rumah orang tua Haikal, untuk mengantar keduan pengantin ke rumah sang mertua.
*******
Sorenya, acara pun selesai. Haikal bernapas lega, sebab setelah ini takkan ada prosesi yang membuatnya bosan karena banyaknya rentetan ritual. Tak seperti pernikahannya dulu dengan Maura, yang sangat simpel dan tak banyak embel-embel tak penting. Kala itu, acara dilakukan di rumah keluarga sang istri yang ia pun tak bisa mengingatnya secara jelas. Yang jelas ia ingat, hanya ritual malam pengantin yang mereka lakukan di dalam kamar yang bagai istana.
Pukul 16.45, Haikal mengajak Nindi untuk pulang ke rumahnya. Ia sudah tak sabar untuk bertemu dengan Maura nanti malam apalagi hatinya didera kebimbangan sejak semalam.
“Bu, Haikal dan Nindi pulang ke rumah, ya!” ujar Haikal sambil beranjak dari ruang tengah.
“Iya, hati-hati menyebrang jalannya! Oh iya, kalian mau bulan madu ke mana?” tanya Bu Ida menatap anak bungsu dan menantu barunya bergantian.
Nindi tersenyum mendengar kata bulan madu, ia juga ingin merasakan jalan-jalan berdua dengan suaminya itu agar bisa saling mengenal atau juga mengakrabkan diri layarnya pacaran.
“Di rumah ajalah, Bu, besok juga Haikal udah masuk kerja,” jawab Haikal.
Senyum di wajah Nindi langsung meredup mendengar jawaban dari suaminya, apalagi saat mengatakannya wajah petugas damkar itu terlihat acuh dan dingin.
“Masa besok udah mau masuk kerja? Yang benar aja, Haikal? Biasanya cuti menikah itu satu minggu!” Ibunya sedikit naik darah.
“Bu, pekerjaan Haikal beda ama karyawan kantor lainnya. Kami tak ada libur, full kerja 24 jam. Libu Cuma 4 hari dalam sebulan, dan itu pun ada ketemtuannya.” Haikal mengerutkan dahi menatap ibunya.
“Kamu gimana Nindi, apa besok udah masuk kerja juga?” Bu Ida beralih menatap menantu barunya yang terlihat sangat lemah lembut itu.
“Saya dapat cuti dua minggu, Bu. Seminggu sebelum hari pernikahan dan seminggu setelah menikah,” jawab Nindi sambil meremas jemarinya.
“Tuh ... Nindi yang perawat aja dapat cuti dua minggu .... “ Bu Ida melengos, menatap tajam kepada Haikal.
Haikal menghela napas panjang, lalu berkata, “Abang pulang duluan, Nin. Kamu kalau mau masih di sini, terserah saja.”
“Eh!” Nindi terkejut melihat Haikal yang meninggalkannya begitu saja, melangkah menuju pintu lalu keluar dari rumah ibunya.
“Maafkan sikap Haikal ya, Nin.” Bu Ida menjadi tak enak hati dengan sang menantu yang kini terlihat murung.
“Gak apa kok, Bu. Bang Haikal pasti capek dengan acara pernikahan yang dua hari ini. Nindi bisa mengerti kok kalau besok dia udah masuk kerja, pekerjaan memang harus diprioritaskan.” Nindi mencoba bersikap bijak.
“Terima kasih ya, Nak, Ibu senang kalau kamu bisa memaklumi sikap Haikal. Dia memang agak pendiam dan cuek, tapi ... kamu gak boleh ikutan jadi pendiam juga saat bersamanya. Semoga dengan menikah denganmu, dia bisa berubah menjadi hangat.” Bu Ida menggenggam tangan menantunya itu.
“Insyallah, Bu.” Nindi mengangguk.
“Dulu Haikal nggak gitu, dia periang dan ramah. Karena banyaknya hal menyakitkan yang ia alami, dia jadi pendiam dan tertutup. Haikal pernah ditinggal nikah sama pacarnya, padahal mereka udah janji mau menikah. Terus, ia juga pernah tenggelam di laut dan kembali setelah tujuh hari kemudian. Sejak selamat dari kecelakaan maut itu, dia jadi aneh. Ibu harap, setelah menikah denganmu ... dia bisa kembali tersenyum seperti dulu.” Bu Ida menatap Nindi penuh harap. Ia yakin menantunya yang cantik itu bisa meluluhkan sang putra bungsu.
Setelah berbincang-bincang dan menceritakan masa kecil juga masa remaja Haikal, Bu Ida mengantar Nindi untuk pulang ke rumah Haikal.
Bu Ida memutar knop pintu yang ternyata tidak dikunci itu. Ia mengajak Nindi masuk sebab menantunya itu baru kali ini ke sini.
Haikal yang saat itu ada di kamarnya, langsung keluar menghampiri Ibu dan istri barunya itu. Kini mereka duduk di ruang tengah.
“Kal, habis magrib nanti, temani Nindi mengambil pakaian ke rumah mertuamu! Pinjam mobil abang iparmu saja, jangan naik motor, nanti masuk angin!” ujar Bu Ida.
“Iya, Bu,” jawab Haikal malas sembari meraih remot televisi dan menghidupkannya.
“Sekalian pamit ama mertuamu, kalau kamu akan mengajak Nindi untuk tinggal di sini!” ujar Bu Ida lagi.
“Iya, Bu.” Haikal menghela napas berat.
“Ya sudah, Ibu tinggal dulu.” Bu Ida beranjak dari sopa ruang tengah. “Nindi, Ibu pulang, ya. kalau ada apa-apa, langsung ke rumah Ibu aja. Anggaplan rumah ini rumahmu sendiri, karena ini rumah suamimu yang kini juga sudah menjadi rumahmu juga.”
“Iya, Bu.” Nindi menganggukkan kepala sembari mengantar mertuanya itu ke depan pintu.
Nindi menutup pintu, lalu melangkah menghampiri Haikal. Ia jadi bingung sekarang harus melakukan apa, sedang Haikal pura-pura konsentrasi menonton acara sport di televisi.
“Bang, apa ini kamar kita? Nindi mau simpan tas,” ujar Nindi menunjuk kamar Haikal sebab sedari tadi pria itu cuek saja.
“Eh, bukan! Itu ... ah ... ini kamarku,” jawab Haikal dengan cepat berdiri di depan pintu kamar. “Kamarmu yang ini!” sambungnya sambil melangkah menunjuk kamar yang berada di ujung dekat dapur.
Nindi mengerutkan dahi, berusaha mencerna omongan dari suaminya itu. Kalau ia tak salah mengartikan, Haikal tak mau mereka sekamar.
"Jadi, kami akan tidur di kamar yang berbeda?” batin Nindi dengan tersenyum kecut.
Bersambung .....
#Istri_GaibBab 11 : Pengantin BaruNindi tak mau berdebat, jadi ia menurut saja walau terasa ada yang mengganjal di hati. Dengan masih berusaha tersenyum, ia menghampiri Haikal yang kini membukakan pintu kamar untuknya.“Kamu istirahatlah, Abang masih mau nonton televisi,” ujar Haikal sambil berlalu dari kamar Nindi.Nindi mengangguk, lalu menutup pintu kamar. Diletakkannya tas yang hanya berisi baju tidur, handuk dan mukena. Setelah itu meraih handuk dan mandi, tak lama lagi sudah masuk waktu magrib. Ia akan melaksanakan sholat.Azan magrib sudah terdengar berkumandang, Nindi sudah bersiap memakain mukena. Ia melangkah keluar dari kamar dan bermaksud untuk mengajak sang suami sholat berjamaah.“Bang, Abang di dalam?” Nindi mengetuk pintu kamar yang tadi diakui Haikal sebagai kamarnya itu.“Bang!” panggil Nindi lagi.Haikal melangkah menuju pintu lalu membukanya. Tampaklah seorang wanita ber
#Istri_GaibBab 12 : Ngambek“Bang, jadi kamu akan tidur bersamanya malam ini?” tanya Maura dengan nada sinis dan melepaskan tangannya dari leher Haikal.Dengan tampang masam, Maura melepaskan tangan Haikal dari pinggangnya lalu naik ke atas tempat tidur dan berbaring kemudian menutupi seluruh tubuh dengan selimut.Haikal menghela napas panjang melihat tingkah Maura yang kini sedang merajuk. Padahal baru sehari ia beristri dua, kepala sudah pusing saja.“Sayang, jangan ngambek ah!” Haikal masuk ke dalam selimut Maura dan menggodanya.“Pergilah ke kamar istri baru Abang, keloni dia!” Maura membelakangi sang suami.Haikal menahan senyum melihat tingkah Maura, ia makin gemas saja. Ia mendekatkan tubuh dan memeluknya dari belakang, lalu mencium pundaknya dengan penuh kerinduan.“Sayang, percayalah ... yang Abang cinta itu cuma adek saja. Abang tak mempunyai perasaan apa pun kepada Nin
#Istri_GaibBab 13 : Terbakar CemburuSetelah memarkirkan motornya, Haikal melangkah masuk ke dalam kantor damkar tempatnya bekerja. Sontak, semua mata teman-temannya pria berambut belah samping dengan ekspresi datar itu. Dengan cuek, ia melangkah menuju mejanya lalu duduk.“Hmmm ... pengantin baru udah masuk kerja aja!” ujar Zeki sambil mesem-mesem.“Bukannya dapat cuti seminggu?” timpal Arya.“Gimana malam pertamanya, sukses?” Santo mendekat.“Kirain kamu bulan madu ke Bali?” Niko juga mandekat ke arah Haikal.“Apaan sih kalian ini? aku nikahnya udah lama Cuma baru dirayakannya aja sekarang, jadi bukan pengantin baru lagi. Jadi, gak perlu cuti bulan madu lagi.” Haikal melengos, sambil meraih teh di atas mejanya dan menyeruputnya sedikit untuk menghilangkan sedikit gugup karena pertanyaan beruntun dari teman-temannya itu.“Tim 1 segera bersiap, Si Jago Merah sed
#Istri_GaibBab 14 : Dua Istri Bikin PusingSetelah selesai menikmati makan malam bersama, Haikal langsung melangkah keluar dari dapur lalu duduk di depan televisi. Hatinya jadi bimbang akan keadaan Maura sang istri pertama yang ada di dalam kamar sana."Bang, ayo tidur!" Nindi tiba-tiba sudah duduk di samping Haikal dan menarik lengannya.Dengan menebalkan wajah dan ekstra percaya diri, Nindi bersikap manja kepada suaminya itu dengan harapan hubungan mereka semakin mencair dan semakin akrab. Menurutnya, kalau sama-sama diam dan tak ada yang mau memulai duluan, maka cinta mereka akan lama juga datangnya."Eh!" Haikal gugup. Entah mengapa, suhu tubuhnya akan terasa panas dingin jika didekati sang istri kedua yang senyumnya bikin hati meleleh itu."Ayo, Bang! Jangan sampai ketiduran di depan televisi! Nindi gak bakalan bisa tidur lagi kalau cuma sendirian di kamar," rengek Nindi dengan suara yang dibuat semanja mungkin, demi bisa merebut hati
#Istri_GaibBab 15 : Mendadak Ganjen“Nindi, besok udah masuk kerja ‘kan kamu?”“Iya, Ma.”“Motormu gak diambil?”“Nggak usah deh, Ma! Nanti Nindi pulang perginya minta jemput antar ama Bang Haikal aja.”“Oh gitu. Ya udah, Mama cuma mau ingatin itu aja. Kamu baik-baik ya sama Haikal. Minggu depan ajak dia main-main ke sini, Mama kangen sama kamu.”“Iya, Ma.”Nindi mengakhiri percakapan telepon dengan mamanya. Ia memang sengaja tak mau mengambil motornya di tempat sang mama, sebab ia maunya diantar jemput aja ama suaminya biar cepat akrab dan bisa nemplok di belakangnya.“Ya ampun, aku kok mendadak ganjen gini, ya?” Nindi tersenyum geli. “Ganjenin suami sendiri, sah-sah aja kali yah. Daripada ikutan jadi beruang kutub kayak dia,” sambungnya sambil meraih kembali sebuah novel yang berjudul ‘Diyya, Muridku’ kary
#Istri_GaibBab 16 : Menggoda Suami“Bang, apa masih sibuk?” teriak Nindi dari depan pintu kamar disertai ketukan beberapa kali.Haikal menghela napas panjang, kemudian melangkah menuju pintu. Ia tak mau terlihat sebagai suami yang aneh, walau kini hatinya sedang didera kebimbangan akan keadaan Maura, si istri kesayangan.“Ada apa, Nin?” tanya Haikal seraya keluar dari kamar.“Jangan tidur di ruang kerja lagi, tidurnya di kamar. Ayo!” Nindi langsung menggandeng lengan sang suami menuju kamar.Haikal menurut saja, ia juga yakin Maura takkan kembali malam ini. Ia hanya bisa berdoa agar istri pertamanya itu baik-baik saja. Ia tak kuasa menolak saat Nindi menggandeng tangannya ke kamar.“Bang, besok Nindi udah masuk kerja, nanti antarin ya! Besok kena dinas pagi,” ujar Nindi saat mereka sudah bersiap berbaring di atas tempat tidur.“Iya, pukul berapa?” tanya Haikal sambil
#Istri_GaibBab 17 : Istri Formalitas“Bang, bisa gak?” tanya Nindi sambil menoleh wajah suaminya yang terlihat merona.Haikal menarik napas grogi dan segera memalingkan wajah, ia sedikit bergeser ke samping sambil berusaha menahan diri agar tak terpesona akan kemolekan tubuh istri keduanya itu yang sungguh menggoda iman itu.“Bang, gimana?” tanya Nindi sambil memundurkan tubuh ke belakang hingga punggunganya menyentuh dada sang suami.“Ah, iya ... sini Abang coba lagi!” jawab Haikal dengan menghembuskan napas tak berdaya, ia hampir kehilangan akal.Dengan menahan napas, Haikal meraih kalung di leher Nindi dan mencoba mengaitkannya. Ia masih berusaha menguasai diri, walau wangi tubuh sang istri begitu menggoda indra penciumannya. Apalagi tubuh Nindi tak kalah idealnya dengan Maura, sama-sama putih mulus. Hanya warna rambut dan bola mata saja yang membedakan keduanya.“Udah, Nin,” j
#Istri_GaibBab 18 : BimbangNindi turun dari motor Haikal kemudian meraih tangan pria berseragam biru itu lalu salim kepadanya. Ia sedikit malu dengan kejadian tadi malam, tapi mau bagaimana lagi, ia juga kepepet melakukan itu.“Nin, Abang mau berangkat dulu.” Haikal mencoba menarik tangannya dari sang istri yang salim sambil melamun.“Eh, maaf, Bang.” Nindi tersenyum malu.“Abang berangkat, ya!” Haikal bersiap menstarter motornya.“Eh, Bang .... “ Nindi mendekat sambil celingukan ke kanan dan kiri.“Apaan, Nin?” Haikal juga ikut celingukan.‘Cup’ Nindi mendaratkan ciuman di pipi suaminya. Haikal tertegun dan wajahnya langsung memerah.“Hati-hati, Bang! Assalammualaikum.” Nindi mengulum senyum.Haikal tersenyum tipis lalu menjawab, “Waalaikumsalam.”Haikal berlalu dan keluar dari parkiran rumah sakit tempat Nind