"Kenapa aku merasa Tuan Jason seolah memaksa?" tanya Yuna dalam hatinya.
Pikiran Yuna seolah bercabang. Ocehan Vina dan Ryan tentang keburukan Jason saat dulu terngiang. Akan tetapi, segera ditepisnya.Yuna harus ingat, tujuannya saat ini merubah nasibnya di masa lalu. Ia harus mengambil keputusan yang berlawan dengan dulu. Perlahan Yuna mengukir senyuman pada Jason yang masih menunggu tanggapannya.“Terima kasih atas perhatiannya, Tuan Jason. Saya akan berusaha agar diberikan izin oleh paman saya,” ucap Yuna lugas mempertahankan senyumannya.“Baiklah kalau begitu. Tapi, jika kamu kesulitan jangan sungkan menghubungi saya,” sahut Jason lugas.Sorot matanya memancarkan ketulusan. Yuna semakin melebarkan senyumannya, lalu mengangguk dan mengatakan terima kasih kembali. Hatinya tiba-tiba saja terasa teduh.“Aku yakin Tuan Jason tak seburuk yang dikatakan Vina dan Ryan. Dia memang terlihat dingin dan angkuh, tetapi senyuman serta tatapannya tampak tulus,” batin Yuna, ikuti suara sorakan dalam hatinya.Suara ketukan pintu membuyarkan fokus mereka. Jason langsung menoleh ke arah pintu dan berteriak pelan. “Masuk!” titahnya.Yuna hampir saja tersentak saat menyadari Ryan lah yang memasuki ruangan tersebut. Sontak saja Yuna mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sungguh ia belum siap bertemu dengan Ryan.Sama seperti Yuna, lelaki yang sekarang sudah berdiri di hadapan Jason sedikit tersentak. Ingin rasanya ia menanyakan keberadaan Yuna di sana, yang masih berstatus sebagai kekasihnya. Akan tetapi Ryan masih bisa profesional, apalagi terlihat jelas kekasihnya itu menghindari tatapannya.“Permisi, Tuan Jason. Saya membawakan proposal yang sudah di revisi ... silahkan diperiksa dulu,” ucap Ryan sopan seraya menyerahkan map dengan sampul biru pada Jason.CEO tampan itu hanya mengangguk, lalu menerima pemberian Ryan dan langsung memeriksa setiap lembarannya. Ryan berdeham kecil sekali, isyarat agar Yuna menoleh padanya untuk sekedar tersenyum atau memberi penjelasan. Akan tetapi, dokter cantik itu pura-pura tak menyadari wujudnya.Yuna mengalihkan perhatiannya pada map berisi surat perjanjian dari Jason. Hingga tiba-tiba Ryan tersentak dengan suara kecil yang mengejutkan dari mulutnya saat indera penglihatannya menangkap tulisan map di hadapan Jason.“Hah?!” Ryan segera mengatupkan mulutnya, menyadari Jason langsung menatapnya tak suka. “Maafkan saya, Tuan,” ucapnya cepat.Dokter cantik itu makin merunduk sembari menggigit bibir bawahnya menyadari penyebab Ryan tersentak. Andai saja tak ada Jason di sana, Ryan pasti akan mencecar dan menuntut penjelasannya. Namun, cepat atau lambat hal itu akan terjadi setelah ia keluar dari ruangan tersebut.“Okeh, sempurna.” Jason berkata seraya menaikkan pandangannya menatap Ryan.Ucapan Jason langsung membuyarkan rasa kesalnya Ryan. Lelaki itu refleks menatap atasannya dan mengukir senyuman, walaupun dipaksakan. “Terima kasih, Tuan Jason,” ucap Ryan dengan nada rendah.“Lanjutkan dengan membuat penawaran pada klien kita, lalu laporkan padaku hasil tanggapan klien tersebut!” perintah Jason lugas seraya memberikan kembali berkas milik Ryan.“Baik, Tuan. Saya permisi dulu.” Ryan menjawab seraya menerima berkas tersebut.Lelaki itu menundukkan kepalanya sebelum berpamitan. Tak lupa, ia memberi isyarat pada Yuna dengan lirikan matanya agar gadis itu mengikuti langkahnya. Sontak Yuna langsung menggelengkan kepalanya isyarat penolakan.Terpaksa Ryan memutar tubuhnya dan langsung keluar dari ruangan tersebut dengan wajah kesal. Langkah lelaki itu terhenti saat hendak membuka pintu. Adam lebih dulu mendorong pintu tersebut dari luar.Asisten pribadinya Jason refleks membungkuk hormat pada Ryan. Tentu saja lelaki itu membalasnya dan berjalan keluar dengan hati kesal. Tubuhnya tiba-tiba terasa terbakar saat indera pendengarannya menangkap suara Adam yang memberikan laporan untuk Jason.“15 menit lagi hidangan siap untuk Tuan dan Dokter Yuna.”Tangan Ryan mengepal dan langsung menarik handle pintu untuk menutupnya. Yuna refleks menoleh menyadari pintu baru saja tertutup. Yakin sekali, Ryan pasti mendengar ucapan Adam.Akan tetapi, Yuna tak peduli. Bukankah ini adalah rencananya menjauhi Ryan. Ia hanya memerlukan rencana selanjutnya untuk bisa menghindari lelaki itu.“Ada masalah, Dokter Yuna?” tanya Jason menyadarkan Yuna.“Tidak ada, Tuan,” jawab Yuna cepat seraya menoleh dan langsung menghadap Jason. Tak lupa ia mengukir senyuman meyakinkan.Jason mengangguk pelan. “Sepertinya kalian saling mengenal? Maksud saya, karyawan tadi,” tanyanya memasang wajah penasaran.“Iya, saya mengenalnya, Tuan,” jawab Yuna jujur.Senyuman Yuna perlahan memudar. Kemudian ia menundukkan pandangannya, cemas jika Jason curiga padanya. Seharusnya Yuna berbohong.“Pantas saja. Tapi, kenapa tadi tak saling menyapa?” Jason kembali mencecar Yuna dengan penuh selidik.“Mm ... pak Ryan ‘kan sedang bekerja, saya tidak ingin mengganggu kenyamanannya di tempat kerja,” jawab Yuna berbohong, padahal dirinya yang tak ingin diganggu rasa nyamannya.Jason hanya mengangguk dan memilih menyudahi semua pertanyaannya. Hati dan pikiran Yuna lega, Jason tak menaruh curiga. Kemudian mereka bertiga kembali membahas kontrak dan langsung menandatangani dengan segera. Tepat setelah mereka selai menandatangani kontrak kerja sama, hantaran makan siang tiba.Adam langsung membuka pintu itu lebar. Sekilas Yuna dapat melihat Ryan menatapnya di lorong antara karyawan staf menuju ruangan Jason. Tatapan penuh selidik dan amarah tergambar jelas, tetapi Yuna memilih fokus pada hidangan yang tengah di sajikan di meja hadapannya.Sejujurnya ada rasa canggung pada diri Yuna. Ia tak biasa menyantap makanan secara formal seperti ini. Bahkan di tempat kerjanya, ia selalu menghindari acara makan-makan bersama atasannya.“Rasanya tidak nyaman jika makan dengan orang penting, aku tidak bisa menikmati makananku,” batin Yuna malas.Akan tetapi, demi misinya merubah nasib ia harus membiasakan diri. Sembari memberikan penjelasan detail tentang kondisi kesehatan Jason dan beberapa alat-alat medis yang diperlukannya agar bisa menjalani terapi di rumah. Untunglah Jason menjadi pendengar bijak dan tak membantah, sebab semuanya demi kesehatan tubuhnya.Hingga tak terasa hidangan di hadapan mereka telah usai. Sebelum Yuna diperkenankan pulang, ia memilih memeriksa kondisi kedua kakinya Jason dengan hati-hati. CEO muda dan tampan itu tak banyak menolak hingga Yuna selesai dengan hasil pemeriksaan tubuhnya dan langsung dituangkan dalam buku catatan dokter cantik itu.“Saya akan meminta Adam untuk mengantarmu pulang, Dokter,” ucap Jason terdengar bijak.“Ah, tidak usah, Tuan. Saya bawa mobil,” tolak Yuna sesopan mungkin. “Tuan tidak usah khawatir, saya akan mencoba membujuk paman saya agar besok pagi saya sudah bisa menjalani tugas sebagai dokter pribadi Tuan Jason,” imbuhnya diakhiri senyuman yakin.Jason tak punya pilihan selain menuruti ucapan Yuna. Kontrak kerja sama antara mereka berdua sudah ditanda tangani. Ia hanya perlu memastikan dokter cantik itu menyiapkan diri.Yuna yang sudah keluar dari ruangan Jason tampak berjalan waspada. Ruangan staf tampak kosong. “Sepertinya mereka sudah beristirahat,” gumamnya dengan tatapan was-was.“Kenapa kamu berjalan mengendap seperti maling yang takut ketahuan?” suara Ryan langsung mengejutkan Yuna dari balik dinding samping lift.“R—ryan?”Belum selesai Yuna dengan rasa terkejutnya, Ryan sudah menarik tangannya kasar. Yuna bahkan tak diberi kesempatan untuk berontak. Ingin teriak, tetapi ia tak ingin membuat malu.“Ryan, lepasin! Tangan aku sakit,” pinta Yuna memohon.Sepertinya Ryan tuli. Lelaki itu terus menarik tangan Yuna berbelok melewati lorong menuju lift. Akan tetapi, Ryan masih membawa Yuna berbelok ke arah lain. Kakinya melangkah lebih cepat mengimbangi langkah Ryan agar dirinya tak terjatuh.“Mau ke mana, Ryan? Lepasin tangan aku, sakit!” Yuna merintih.Cengkraman tangan Ryan benar-benar kuat. Semakin Yuna berontak, semakin kencang mencengkeram. Hingga akhirnya Yuna Ryan membuka pintu tangga darurat, barulah ia melepaskan tangan kekasihnya sembari memberikan sedikit dorongan pada tubuhnya.“Argh!” pekik Yuna kesakitan.Hampir saja Yuna terhuyung ke belakang, jika ia tak pandai menjaga keseimbangan tubuhnya. Untungnya juga, ia mengenakan heels yang tak terlalu tinggi. Dokter cantik itu mengusap-usap tangannya
“Apa yang dilakukan pak Ryan pada Dokter?” tanya Adam menyadarkan pemikiran Yuna. “Ah, Ryan? Tidak ada, Pak Adam. Jangan pedulikan itu! Aku dan dia kebetulan dekat ... hanya perbincangan kecil saja, tapi tadi aku dapat pesan dari rumah sakit. Makanya aku langsung meninggalkannya,” jawab Yuna berbohong. Ya, dia tak ingin melibatkan orang lain dengan urusan pribadinya. Tadi, Yuna hanya syok dan terkejut hingga tak berani melawan. Akan tetapi, Adam tampaknya tak percaya dengan jawaban Yuna. “Dokter Yuna yakin? Sepertinya Dokter tadi ketakutan,” selidik Adam dengan tatapan tegas. “Tentu, Pak Adam. Sebenarnya tadi aku sedang buru-buru bukan ketakutan,” jawab Yuna cepat disusul senyuman ragu-ragu. Yuna kembali berbohong. Otaknya terus bekerja keras mencari jawaban yang menurutnya masuk akal. Akan tetapi, tatapan Adam masih tak percaya. “Tadi liftnya sedang penuh, jadi aku lewat tangga. Karena buru-buru aku hampir terjatuh dan pak Ryan yang menolongku, itulah sebabnya aku seperti orang
Yuna menghela napas panjang. Ia bisa memahami cecaran pertanyaan dari Rina karena berat melepas dirinya. Ia lantas menarik kursinya dan duduk dengan santai lalu mengukir senyuman tipis sebelum menjawab pertanyaan Rina. “Ingat nggak, tahun kedua kamu bekerja denganku ... ada bapak paruh baya yang menjual seluruh kebun gandumnya di kampung setelah mengalami kelumpuhan, lalu menjalani pengobatan di sini. Padahal uang tabungannya hasil panennya saja cukup untuk biaya pengobatan serta rawat inapnya,” tanya Yuna hati-hati. “Tentu saja aku ingat, Dok,” sahut Rina cepat tanpa berpikir lagi, bahkan perawat yang usianya lebih muda satu tahun darinya tampak bergidik. “Pak Dirman kalau nggak salah namanya, setiap aku temui selalu memanggakan hasil kebun dan seluruh hartanya ... kalau ditanya baik-baik, jawabnya ketus minta ampun. Sampe nggak ada yang tahan dengannya,” sambungnya. Yuna tersenyum tipis. “Tapi, akhirnya
“Ah, Yuna. Kamu sudah pulang,” sapa Dimas menyadari kehadiran keponakan tercintanya.“Perkenalkan, dia Jason,” sambung Dimas menyadari Yuna terus menatap lelaki di hadapannya tanpa berkedip. “Kamu ingat … dulu aku pernah bercerita pemuda tampan yang membantuku dan ayahmu hampir dirampok saat baru saja pulang tengah malam, setelah meninjau rumah makan baru di luar kota. Jason inilah orangnya,” jelasnya.Sayangnya bukan itu yang ingin Yuna dengar dari penjelasan pamannya. Ia menatap penuh selidik pada Jason. Lelaki yang duduk di kursi rodanya tampak santai, tanpa rasa bersalah padanya.Jason justru tersenyum ramah saat Dimas menatapnya. Bahkan kedua bola mata Yuna hampir terlepas saat melihat Jason mengangguk sopan pada pamannya. Hatinya menaruh curiga besar, hingga jantungny
“Yuna, kamu di dalam?”Ketukan pintu disusul suara panggilan, menghentikan gerakan tangan Yuna yang tengah merapikan pakaiannya. Wajahnya langsung berubah masam. Bagaimana tidak, pemilik suara itu adalah seorang perempuan, Vina—sahabat munafiknya.“Yuna, aku masuk, ya!” Suara teriakan Vina kembali terdengar.Terlambat. Wanita itu sudah mendorong pintu kamar Yuna. Tangan dokter cantik itu meremas pakaiannya yang paling atas menyalurkan rasa kesalnya.Sebenarnya percuma saja, Yuna ingat saat ini mereka masih menjadi sahabat. Vina akan memasuki kamarnya dengan bebas dan sesuka hati. Yuna hanya bisa menghela napas panjang, lalu menyembunyikan amarahnya.“Baiklah, ini terakhir kalinya kamu b
“Kamu itu apa-apaan sih, Vina?” hardik Yuna kesal.Vina hanya tersenyum sinis menyadari Yuna memasang ekspresi kesal. Gadis itu benar-benar meminta Ryan untung datang ke rumahnya. Ia sama sekali tak mengindahkan permintaan Yuna.“Biar kamu sadar, kalau aku dan Ryan itu peduli dan sayang sama kamu!” tegas Vina.Seperti biasa jika Yuna protes dengan keputusannya. Ya, seharusnya Yuna sadar, selama ini pendapatnya tak pernah dianggap oleh Ryan dan Vina. Bodohnya dulu ia selalu menurut dan menerima penjelasan dari mereka.“Munafik!” desis Yuna pelan.“Apa?!” Vina tersentak, padahal Yuna hanya berdesis pelan.Kedua bola mata Vina refleks membulat sempurna. Ia menatap intens wajah dokter cantik di hadapannya. “Kamu ngomong apa tadi?” tanyanya memastikan indera pendengarannya.“Aku bilang nyebelin!” Yuna berbohong.Bukannya dia takut, tetapi Yuna malas berdebat. Lebih baik ia menyimpan tenaganya untuk merapikan sisa pak
Yuna sedikit terkejut dengan keberanian Rina. Hatinya benar-benar tersentuh, seharusnya dirinya yang bertanya seperti itu pada Ryan. Mempertanyakan hak lelaki itu yang selalu mengatur hidupnya, tetapi selalu kalah dengan alasan cinta. “Aku pacarnya Yuna! Kamu siapa, hah?!” hardik Ryan seraya menunjuk wajah Rina. “Heuh, baru jadi pacar aja sok ngatur hidup Dokter Yuna,” sahut Rina, lalu menaikkan sudut atas bibirnya. Rina lantas menoleh pada dokter cantik di sebelahnya. Ia lalu mendekatkan wajahnya pada daun telinganya Yuna, lalu ditutupi bibirnya dengan tangan kanannya. “Dokter Yuna, tahan sih punya pacar posesif kaya dia?” tanya berbisik, tetapi suaranya justru terdengar lantang. Sengaja menyindir. Yuna refleks mendesis, hingga Rina memilih memajukkan bibirnya lalu&
“Apa? P—putus?” tanya Ryan sedikit gagap.Yuna mengangguk cepat. Ia juga menunjukkan wajah penuh keyakinan. Dokter cantik itu tak ingin menunggu waktu lain dan ia ingin segera bebas dari bajingan di hadapannya.“Yuna, kamu pasti salah ngomong, ‘kan?” seru Vina seraya mendekat pada dirinya.Bahkan gadis itu meraih lengannya untuk memastikan lebih jelas ekspresi Yuna. Namun dokter cantik itu langsung menangkap tangan sahabat munafiknya dan langsung menjatuhkannya, seolah jijik disentuh oleh Vina. Tak lupa, Yuna tersenyum tipis menunjukkan keyakinannya.“A