Masuk ke dalam kamar tersebut, Ares sedikit tercengang dengan kondisinya. Bukan karena kamar ini jelek, tapi hanya terlalu sempit menurut Ares.
Hanya ada satu kamar yang muat untuk satu orang saja, lalu ada satu lemari berukuran sekitar setengah meter. Dan ada meja rias komplit dengan kaca bulat di sudut ruangan. Jika di lihat, kamar ini berukuran sekitar 3 x 3 meter saja.Berbalik badan, Ares mendapati sebuah pintu di samping lemari. Itu pasti kamar mandi.“Bagaimana caranya dia tidur?” tanya Ares saat pandangannya kembali tertuju pada ranjang sempit itu.“Aku baru tahu, ternyata ada ranjang sekecil ini. Kamar pembantu saja tidak seperti ini di rumahku.” Ares masih berbicara sendiri.“Lho, kenapa pintu kamarku terbuka?” gumam Anggun. Dua kakinya berhenti tepat di depan pintu.Secara perlahan dan sebisa mungkin tak mengeluarkan suara, Anggun mengintip dari pintu yang sedikit terbuka itu.Mata Anggun langsung membelalak. Satu telapak tangannya membungkam mulut supaya tidak sampai berteriak. Dari posisinya berdiri, Anggun mendapati ada sebuah pria berbadan tinggi tegap tengah melihat foto di dalam pighora. Anggun tidak tahu siapa itu karena yang terlihat hanya bagian punggung.Masih dengan mode diam mengendap-endap, Anggun berbalik. Bola matanya mencari sesuatu yang sekiranya bisa digunakan sebagai senjata.“Nah, ini!” Anggun menyeringai saat satu tangannya sudah menggenggam gagang sapu.Sudah siap dengan aksinya—dengan rahang mengeras kuat—Anggun nyelonong masuk ke dalam dan langsung memukuli Ares bertubi-tubi.“Maling kau ya! Dasar kurang ajar! Maling sialan!” Anggun terus memukuli tubuh Ares dengan sapu.Sementara Ares yang terkejut dan mulai merasa kesakitan mencoba menyingkir dari pukulan itu.“Hei! Kau ini apa-apaan sih!” Ares berhasil meraih gagang sapu tersebut. “Sakit tahu! Kau sudah gila ya!”Lagi-lagi bola mata Anggun membelalak saat wajah pria yang baru saja ia pukuli terlihat dengan jelas.“Tu-Tuan Ares?” pekik Anggun dengan wajah kusut dan memejamkan mata sesaat.“Iya, ini aku!” gertak Ares sambil melempar sapu tersebut ke sembarang tempat, membuat Anggun sempat terjungkat kaget.“Kenapa kau memukulku, ha?” tanya Ares bernada membentak.Anggun menunduk. “Maaf Tuan. Aku, aku tidak tahu. Aku kira ....”“Apa?” hardik Ares. “Kau pikir aku maling?”Anggun tersenyum getir. jemari-jemarinya terlihat saling memilin dengan gemetar. “Maaf,” ucap Anggun sekali lagi.Sambil menyugar rambutnya ke belakang, Ares menghela napas. “Ambilkan aku minum, aku haus!” perintah Ares.“Eh, iya, Tuan.” Anggun berjinjit lalu bergegas ke luar dari kamar.“Sudah lusuh, menyebalkan pula!” gerutu Ares saat Anggun sudah berlalu pergi ke dapur.“Dan rambutnya tadi, Uh, kenapa harus di kepang dua sih? Geli aku melihatnya.” Ares bergidik sambil mencebikkan bibir.“Ini, Tuan.” Anggun kembali sambil membawa segelas jus jeruk.“Hem,” sahut Ares dan langsung merebut gelas tersebut. “Ambilkan aku kursi,” pinta Ares kemudian.Anggun langsung gelagapan dan menarik kursi yang semula berada di depan meja rias.“Ini, Tuan.” Anggun mempersilahkan Ares duduk.Ares sudah duduk. Duduk dengan dua kaki menyilang dan pandangan ke arah luar jendela yang terbuka. Dari dalam sini, terlihat beberapa tanaman yang tumbuh di halaman belakang.Ragu-ragu Anggun secara perlahan mendaratkan pantat di tepian ranjang sambil melirik Ares yang sedang menikmati jus mangga.“Apa ini sungguh kamarmu?” tanya Ares.“I-iya, Tuan. Ini kamarku,” jawab Anggun diimbuhi anggukan kepala. Padahal Ares sama sekali tak tahu anggukan itu.“Apa tidak ada kamar yang lebih luas?” Ares masih bertanya tanpa menatap Anggun.Anggun mengatupkan bibir sesaat. Kedua kakinya nampak saling injak.“Tidak ada, Tuan. Ada, tapi bukan kamarku.”Ares meringis tanpa suara. Tentu saja kamar ibu dan saudara tirinya kan? Itu tebakan Ares. Di mana-mana seperti itu yang Ares ketahui. Mengingat jika dirinya bukan pria sukses, mungkin saja ibu tirinya akan memperlakukannya lebih buruk dari ini.Ares berhenti bertanya. Setelah itu Ares berdiri dan meletakkan gelas di atas nakas samping ranjang.“Maaf, Tuan. Kalau boleh saya tahu, ada urusan apa Tuan datang ke sini?” tanya Anggun gugup.Bukannya menjawab, Ares justru maju dan membungkukkan badannya yang menjulang tinggi hingga sejajar dengan wajah Anggun. Satu tangannya terangkat kemudian cemarinya mencengkeram kedua pipi Anggun.“Apa yang—” Anggun berhenti bicara karena bibirnya terlihat monyong ke depan.Sambil mengangkat satu ujung bibirnya, Ares mengamati wajah Anggun mulai dari pipi kana dan pindah ke pipi kiri.“Tidak buruk juga,” celetuk Ares saat bola matanya menangkap bulu mata lentik yang tertanam di kelopak mata Anggun.“Kau lumayan, tidak jelek-jelek amat.”Cengkeraman itu sudah terlepas. Anggun yang bingung, terlihat sedang mengusap rahangnya yang sedikit terasa sakit.“Kau ingin tahu kenapa aku datang?” tanya Ares sambil melipat kedua tangan di depan dada.Anggun hanya mengangguk. Memang apa lagi yang bisa Anggun lakukan selain mengangguk atau menggeleng?“Bukankah kita akan menikah?”Gubrak! Anggun menjatuhkan rahang hingga bibirnya terbuka. “Me-menikah? Kita?”Kali ini Ares yang menangguk. “Kau lupa ya?”“Bu-bukankah Tuan menolak perjodohan kemarin?” Anggun mulai terlihat panik.“Siapa bilang?” Ares menyeringai membuat Anggun menciut. “Aku setuju dengan perjodohan itu. Sepertinya menikah denganmu bukanlah kesialan.”“Apa?” pekik Anggun dalam hati. “Kesialan? apa maksudnya?”“Tuan pasti bercanda kan?” Anggun berdiri. Ragu-ragu, Anggun mendongak menatap wajah Ares.“Tidak.” Ares menggeleng. “Aku sangat serius. Tapi ... jangan harap aku mau tidur di tempat seperti ini!” cibir Ares sambil mendengus.“Kamar ini sangat tidak cocok denganku!”Anggun tak bisa berkata-kata. Tubuhnya mendadak lemas. Menikah? Dengan Ares? Apa ini bukan permainan? Anggun masih ingat betul saat Ares menolaknya kemarin. Bahkan, Ares sempat menghina Anggun.“Kenapa diam?” tanya Ares tiba-tiba. “Apa kau tidak mau?” jemari Ares sempat menyentil hidung mungil milik Anggun.“Aku sudah punya kekasih, Tuan.” Anggun berkata sebuah kebohongan. “Jadi, mana mungkin aku bisa menikah dengan Tuan?“Kalau begitu, putuskan saja dia,” sahut Ares dengan enteng. “Mudah bukan?”“Tidak bisa begitu, Tuan. Itu namanya keterlaluan.”“Oh ya?” Ares melengos. “Kalau kau sudah punya kekasih, kenapa kau mau di ajak datang ke rumahku?”Degh! Anggun kehilangan ide. Selain pria yang mengerikan, sepertinya Ares tipe orang yang pandai dalam berdebat.“Bagaimana?” Ares mendekatkan wajah lagi ke wajah Anggun.Anggun mengerjap-kerjapkan mata sambil melangkah mundur. “Aku, Aku ... e—”“Sudahlah!” Ares mengibaskan tangan sambil berjalan ke arah pintu. “Kau harusnya bersyukur karena aku bersedia menikah denganmu. Banyak di luar sana yang menginginkan aku.”GREP! Ares keluar dan menutup pintu dengan keras hingga membuat Anggun berjinjit dan melongo.“Besok aku akan datang lagi!” teriak Ares dari luar dengan lantang.***Setelah dari rumah Anggun, Ares pulang naik taksi. Tidak pulang ke rumah, melainkan Ares beralih jalur menuju sebuah kelab di pinggiran kota.Minum sedikit mungkin tidak ada masalah. Setidaknya untuk menghilangkan sedikit rasa stres karena sebentar lagi harus mengadakan pernikahan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak dicintainya.“Beri aku wine, anggur, bir, Wisky atau semacamnya,” pinta Ares pada salah satu bar tender.Sambil menunggu minumannya datang, Ares memandangi sekumpulan orang-orang yang tengah berjoget ria di bawah sinar lampu kelap-kelip diiringi sebuah musik.“Kenapa mereka bisa berjoget ria seperti itu?” tanya Ares dalam hati. “Apa mereka sama sekali tidak ada beban hidup?”Ares memutar pandangan saat minumannya datang. Meneguknya hingga habis, kemudian matanya mengerjap-kerjap merasai lidahnya yang terasa seperti mengisap sesuatu.“Halo, Tampan.” Seorang wanita datang mendekat dan bergelayut manja. “Mau aku temani?”Ares terlihat menaikkan satu ujung bibirnya. W
Beruntung karena semua orang sudah tertidur. Namun, tetap saja Anggun meminta Nando untuk membawa Ares secara perlahan dan sebisa mungkin tanpa bersuara. Meskipun harus bersusah payah membawa Ares dengan setengah menyeret, akhirnya Ares jatuh bisa di atas ranjang Anggun.Nando terlihat sedang mengatur napasnya sambil membungkuk bersangga pada tangan menekan lututnya. Sementara Anggun, sedang menggigit bibir sambil memandangi Ares yang tergeletak dan masih terpejam.“Kalau sudah begini mau bagaimana, Tuan?” tanya Anggun sedikit panik.Ya ... meskipun katanya sebentar lagi akan menjadi sepasang suami istri, tapi melihat ada Ares di dalam kamarnya tentu membuat Anggun gugup dan takut.“Biarkan Tuan Ares menginap semalam di sini,” ucap Nando saat sudah berdiri tegak.Dari cara Nando berbicara, terlihat kalau dia masih tersengal-sengal.“Menginap di sini?” pekik Anggun. “Kenapa tadi Tuan Ares tidak dibawa pulang saja? Dan kenapa justru di bawa ke sini?” Anggun terus bertanya.Nando menghel
Pagi sudah datang. perlahan-lahan Ares membuka matanya sambil menggeliat dan menguap. Saat mendongak, Ares mendapati jam masih menunjukkan pukul lima pagi.Beralih menatap ke bawah, Ares mendapati Anggun masih meringkuk di atas lantai beralaskan selimut. Tanpa selimut lain dan hanya menggunakan satu bantal saja.Ares menggeser tubuhnya secara perlahan. Saat kedua matanya sudah menapak lantai, Ares kemudian berdiri. Berdiri sejenak karena setelah itu Ares berjongkok.“Aku tidak habis pikir, kenapa kau bisa tidur dengan nyaman di atas lantai?” gumam Ares sambil menelusuri wajah Anggun yang mulus dan persih tanpa cacat luka.“Kau lumayan,” gumam Ares lagi sambil menyibakkan helaian rambut yang menyelip di bagian leher.“Anggun! Bangun!” seseorang mengetuk pintu dengan keras diiringi teriakannya yang lantang.Ares yang sedang menikmati wajah Anggun yang sedang terpejam, seketika terenyak dan langsung berdiri. Untungnya Anggun tidur dengan sangat nyenyak.“Anggun! Cepat bangun! Aku tunggu
Sesuai janjinya semalam, Nando pagi ini datang ke rumah Anggun. Tepatnya sekitar pukul sembilan pagi.Sementara Nando dan Ares sedang berbincang di teras rumah, dari balik jendela ruang tamu Tika dan ibunya tengah mengintip alias menguping.“Benarkah Tuan Ares calon suami Anggun?” tanya Tika setengah berbisik.“Tentu saja,” jawab Maya.“Kenapa tidak dijodohkan denganku saja, Bu? Dia tampan dan kaya,” dengus Tika.Mata Tika masih mengintip—memantau wajah tampan milik Ares. “Ibu juga tidak tahu,” desis Maya. “Kapan-kapan ibu jelaskan padamu.”Tika berdecak sebal. Saat kedua kakinya memutar balik, sosok Anggun sudah berdiri di belang mereka berdua.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun.Sambil mendengus, Tika menghampiri Anggun kemudian mencengkeram lengan Anggun. “Dengar ya, jangan mentang-mentang kau akan menikah dengan Tuan Ares, kau jadi berani padaku!” hardik Tika sambil melotot.“Apa maksudmu?” tanya Anggun.“Jangan berlagak bodoh kau!” Maya menoyor pelipis Anggun. “Kau jangan macam-m
Mobil sudah memasuki pekarangan rumah. Saat sudah terparkir dengan benar, para penghuninya pun segera beranjak keluar melalui pintu masing-masing.“Hei kau!” panggil Ares saat Anggun sedang berdiri sambil mengamati bangunan rumah mewah tersebut.Anggun menoleh dengan cepat, hingga kedua kepang rambutnya terkibas sampai di atas pundak.“Ada apa, Tuan?” tanya Anggun.“Jangan membuatku malu. Ingat!” Ares mengacungkan jari telunjuk dengan sorot mata tajam.“Memangnya aku membuat malu dalam hal apa?” tanya Anggun polos.“Hei!” Ares menarik ujung kepang Anggun lagi. “Kau itu calon istriku, jadi bersikaplah layaknya wanita papan atas. Lihatlah dirimu! Aku menyuruhmu berdandan rapi kau tetap saja mengepang rambutmu. Dan bajumu itu, sungguh norak!”Anggun merengut sambil mengamati tampilannya sendiri. “Sepertinya tidak ada yang salah kan?” gumam Anggun.Ares mencebik lalu memutar pandangan ke arah Nando. “Bawa dia ke kamarku. Nanti aku menyusul.”Nando mengangguk dan mempersilahkan Anggun untu
Semua keluarga dari pihak kakak maupun adik Bian sudah berkumpul di ruang makan. Hanya tinggal Ares dan Anggun yang belum turun.Ares yang awalnya sudah berada di lantai Satu pun naik lagi ke lantai dua untuk melihat apakah Anggun sudah siap atau belum.“Apa belum selesai Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani saat sedang merias wajah Anggun.Ares menutup pintu kamar kemudian menghampiri Bibi Rani dan Anggun. Dan betapa terkejutnya Ares saat melihat Anggun yang sama sekali belum bersiap.“Astaga! apa-apaan ini?” pekik Ares.Anggun menunduk, pun dengan Bibi Rani.“Kenapa Anggun belum dandan, Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani. “Semua orang sudah bersiap di bawah.”“Anu, Tuan. Nona Anggun, e—” Bibi Rani bingung harus berkata apa.“Anu apa?” hardik Ares.“Aku tidak mau di dandani,” Anggun yang menyahuti.“Apa maksudmu?” Ares sudah mendelik begitu dekat ke arah Anggun yang masih duduk di depan meja rias “A-aku, aku tidak mau berdandan. Aku tidak suka mengubah wajahku hanya sekedar untuk acara ma
Melihat Ares sudah beranjak pergi, bukan Anggun yang mengejarnya, melainkan Rena. Anggun masih dalam posisi duduknya dengan perasaan yang entah seperti apa karena sulit dijelaskan.“Ares, tunggu!” Rena menyusul Ares ke lantai dua.Rena berhasil meraih tangan Ares sebelum berhasil masuk kamar. “Tunggu sebentar!” tekan Rena.Ares membuang napas. Mengusap wajahnya sambil berdecak lalu berjalan ke arah balkon. Di belakang, Rena mengikuti.“Dia sungguh calon istrimu?” tanya Rena.“Iya. Apa? Kau mau bilang kau dia itu jelek kan?” sungut Ares sebal.Rena terhenyak. Sebelum bersandar pada fondasi pembatas, Rena menaikkan satu ujung bibirnya kemudian menoyor pelipis Ares.“Siapa bilang dia jelek?” sahut Rena. “Dia cantik, Cuma ... em—” Rena terlihat mengusap-usap dagu.“Halah! Bilang saja kalau dia jelek!” sungut Ares. “Semua orang pasti akan berkata begitu.”“Menurutku dia tidak jelek. Dia jauh lebih enak dipandang daripada Mareta,” kata Rena lagi.Ares memutar kepala dengan lirikan tajam. “J
Pagi rupanya sudah datang lagi. Membangun rumah tangga dengan Anggun .adalah hal yang tidak pernah Ares bayangkan sebelumnya.Bersama Anggun, benarkah? Ares termenung di tepian ranjang dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Matanya masih sayu menahan kantuk yang masih sedikit menempel erat.Berdiri, kemudian Ares menguap. “Bahkan aku sampai malam mau ngapa-ngapain,” desah Ares sambil menuju ke arah kamar mandi.Sementara Ares sedang mandi, tiga orang sedang bercengkerama di ruang makan.“Apa pernikahanku akan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Ares?” tanya Rangga.“Ayah belum tahu,” sahut Bian. “Ares bilang, dia ingin acara pernikahannya dilangsungkan sendiri.”“Dia ingin pernikahan yang sangat mewah dan paling megah,” timpal Ana dengan nada sinis.“Benarkah begitu?” Rangga nampak terkejut.Ana menaikkan kedua alisnya. “Coba kau tanya ayahmu!” Ana melirik ke arah sang suami yang sedang mengelap bibir menggunakan tisu.“Ayah,” panggil Rangga secara perlahan namun penuh p