Selesai dari acara, Tuan rumah beserta para anak-anaknya tentunya tidak pulang. Mereka terap bereda di vila dan bermalam di sini. Pun dengan keluarga Abas.Ares dan Anggun sendiri saat ini sudah berada di dalam satu kamar yang sama.Bersama dalam satu kamar, dan sudah berganti status. Kenapa terdengar mengerikan. Anggun sudah merasa gemetaran sedari tadi—sejak pintu kamar terbuka dan tertutup kembali.“Tuan,” panggil Anggun lirih.“Apa?” sahut Ares setengah menyalak.Anggun mengatupkan bibir rapat-rapat. Terdiam sejenak, lalu anggun terlihat menggigit bibirnya. “Bisa tolong bantu aku.”Ares menoleh dan Anggun langsung menunduk. Anggun tak berani menatap mata Ares yang terlihat menyala jauh dari saat acara masih berlangsung.“Tolong apa?!” sambil membuka kancing kemeja putihnya, Ares mendekat.Anggun menunduk lagi, tapi jari telunjuknya terangkat sambil menunjuk ke arah punggung. “Aku tidak bisa membuka kancing gaunku.”Ares berdecak sebal. Sambil mencibir, dua tangan Ares mulai menyen
Satu hari hidup bersama suami beserta keluarganya, Anggun belum bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Yang jelas lebih banyak kebingungan dari pada kepastian.Sifat Ares dari sejak pulang dari Vila, masih sama. Terkadang dingin, padas, kemudian menyala lagi seperti hendak membakar. Bahkan, sampai menjelang petang, Ares tak kunjung terlihat batang hidungnya setelah pagi tadi keluar rumah tanpa berpamitan pada Anggun.“Bagaimana pernikahanmu dengan Ares?” tanya Mareta saat Anggun sedang duduk termenung di pembaringan pinggir kolam.Sebenarnya Anggun enggan untuk menjawab. Pertanyaan itu terdengar seperti sebuah hinaan untuk Anggun.“Biasa saja. Kenapa?” saur Anggun.“Tidak ....” Mareta ikut duduk sambil menyilang kedua kakinya. “Aku hanya tak yakin.”“Tak yakin kenapa?” Anggun bertanya malas.“Aku yakin Ares tidak mungkin mencintaimu,” ucap Mareta bernada hinaan.“Dari mana kau tahu?” Anggun masih bisa menyahuti.“Tentu saja. Aku yakin Ares masih mencintaiku.” Mareta berkata penuh percaya
Suasana di ruang makan hanya ada Ares, Anggun, Rangga dan Mareta. Bian dan Ana sedang pergi ke Bali untuk mengurus sebuah bisnis. Tidak pokok karena bisnis, melainkan liburan sekalian menjemput adik Rangga.Ya, Rangga memiliki adik perempuan yang seumuran dengan Ares. Jika bukan karena saat itu ibu Ares meninggal, mungkin Ares tak akan mengenal keluarga ini.“Pagi Anggun,” sapa Mareta dengan raut wajah dibuat seramah mungkin.Anggun hanya membalasnya dengan senyuman.“Buatkan aku bekal. Aku makan di dalam mobil saja,” pinta Ares sambil berlalu.Anggun tentunya langsung mengangguk dan meminta bantuan pelayan untuk mengambilkan wadah.“Kau itu sudah menikah, masih saja mengepang dua rambutmu!” cibir Mareta. “Apa kau tidak malu?”Di samping Mareta, Rangga terlihat mengulum senyum sambil mengunyah roti.Kali ini Mareta berpindah mengamati pakaian Anggun yang harganya murahan. Sebuah baju terusan dengan panjang selutut. Sementara dua kaki Anggun tertutup sepatu kets.“Kampungan sekali!” c
“Ini seragam Nona.” Nando menjulurkan lembaran seragam dengan model rok wiru berwarna hitam.Pakaian yang saat ini Anggun jembreng sama persis dengan yang dipakai pelayan lain di luar sana. Dan satu lagi, ada satu kain berbentuk celemek untuk diikatkan di pinggang.“Apa ini tidak terlalu mini untukku?” tanya Anggun saat mencoba menempelkan seragam tersebut di badan.“Sepertinya tidak, Nona. Yang lain juga memakai seragam itu,” jawab Nando.“Baiklah ....” Anggun mendesah sambil memeluk seragam itu. “Oh iya, kau jangan panggil aku Nona. Bisa kena amuk Tuan Ares nanti.”Nando tertawa. “Iya Nona. Tuan Ares sudah menelponku tadi.”“Apa aku mulai sekarang?” tanya Anggun, menunjuk ke arah pintu.“Iya, Nona. Apa mau saya tunjukkan ruang para pelayan?” tawar Nando.“Tidak. Tidak usah. Jangan sampai mereka curiga.” Anggun tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan Nando di ruangannya.“Kenapa Nona Anggun harus bekerja di restoran ini?” gumam Nando saat sudah sendirian. “Apa Tuan Ares yang menyuruh
Anggun sempat ditawari Darius untuk pulang bersama, tapi Anggun memilih menolaknya. Bukan berniat begitu, hanya saja Anggun tak mau disangka macam-macam. Apalagi sekarang Anggun sudah bersuami, apa jadinya kalau diantar pulang oleh pria lain?“Dari mana kau?” tanya Mareta sinis.Wanita judes ini nampaknya hanya seorang pengangguran saja saat ini. Karena memang Anggun selalu saja menjumpai wajah menyebalkan itu di setiap sudut.“Apa urusannya denganmu?” Anggun balik bertanya.Mareta mendecih lalu menarik tas selempang Anggun hingga jatuh dari pundak. “Berani sekali kau padaku? Kau pikir, kau sudah punya tempat dirumah ini?”“Punya tempat atau tidak, aku sama sekali tidak peduli,” jawab Anggun.Mareta bergumam sambil memutari tubuh Anggun. “Sepertinya aku kenal dengan pakaianmu,” kata Mareta dengan jemari mengusap dagu.Anggun tetap acuh dan berniat tidak peduli.“Bukankah ini seragam pelayan restoran milik Ares?” tebak Mareta diikuti seringaian.Anggun masih acuh dan justru memilih ing
Biarpun sifat suami masih galak, tetap saja Anggun tak mungkin menolak perintahnya. Seperti apa sifat sang suami, Anggun tetap wajib mematuhi dan menghormatinya.“Kenapa Nona ada di sini?” tanya Bibi Rani terkejut. “Inikan masih pagi.”Anggun tersenyum. “Aku mau bantu bibi memasak.”“Apa?” pekik Bibi Rani. “Tidak usah, Nona. Ini sudah menjadi tugas bibi dan pelayan lain.”Anggun menoleh mencari dua pelayan lain yang sedang memegang tugas masing-masing. Ada satu yang sedang mengepel di ruang tengah, satu lagi mungkin sedang mencuci.Dan sepertinya ada satu pelayan pria. Sepertinya dia penjaga rumah sekaligus supir kalau sedang dibutuhkan.“Ini perintah dari Tuan Ares, Bibi,” ucap Anggun.Kalau sudah dikatakan karena di Tuan muda, Bibi Rani tak mungkin membantah.“Apa benar begitu?” tanya Bibi Rani.“Iya, Bibi.”Anggun mendekat dan membuka pintu kulkas. “Biasanya makanan seperti apa yang disukai tuan Ares?” tanya Anggun. “Hampir semua makanan, pasti Tuan Ares suka,” jawab Bibi Rani.“M
Sampai di parkiran mobil, Ares tak langsung mengijinkan Anggun untuk turun.“Kenapa?” tanya Anggun saat Ares menarik lengannya.“Jangan keluar sebelum kau kepang rambutmu!” pinta Ares.Anggun diam dan tak mengerti. Sikap Ares pagi ini sungguh membuat Anggun bingung.“Kepang rambutmu, cepat!”Anggun gelagapan dan segera melepas kuncir rambutnya. Kedua tangannya gemetaran saat membagi rambut menjadi dua bagian karena Ares terus menatapnya.“Ambilan karet di dalam tas,” pinta Anggun pelan.Berdecak, Ares menjambret tas di atas pangkuan Anggun. “Di mana?” tanya Ares saat resleting tas terbuka.“Ada di dalam.” Anggun hanya menunjuk dengan tatapan mata karena dua tangannya sedang memegang ujung rambutnya yang sudah ia kepang.“Ini!” kata Ares ketika karet kecil berwarna pink sudah dalam genggaman dua jarinya.“Terimakasih,” ucap Anggun.Saat Anggun masih sibuk dengan rambutnya, Ares meraih ponsel di dalam dasbor.“Keluar sekarang!” perintah Ares saat ponsel sudah terhubung. “Bawakan seragam
Masuk ke ruang para pelayan, Anggun buru-buru meletakkan tas dan membenahi tampilannya.“Astaga! Otakku masih jalan-jalan tidak jelas!” Anggun penepuk-tepuk pipinya sendiri saat pintu loker sudah tertutup.“Anggun, kau kenapa?” tegur Nita.Anggun terpekik sambil berjinjit. “Nita, kau mengagetkanku!”Kening Nita berkerut. “Kau melamun?”Anggun meringis hingga terlihat cekungan pada dua pipinya. “Tidak, aku hanya sedang sedikit ada masalah.”“Masalah?” tanya Nita. “Masalah apa?”Anggun tersenyum. “Bukan apa-apa.”“Kau masih ragu untuk cerita padaku kan? Tak apa.” Nita menepuk pundak Anggun. “Kita baru kenal, akan lancang kalau aku ikut campur.”“Hei, kalian berdua!” teriak seorang senior.Anggun dan Nita sepakat menoleh bersamaan.“Cepat bereskan bagian depan!” perintahnya lantang. “Enak-enakkan ngobrol!”Anggun dan Nita saling pandang lalu terkekeh.“Ayo cepat!” umpat Anggun sambil menarik lengan Nita. “Aku baru dua hari bekerja di sini. Jangan sampai aku dipecat!”Nita justru terkekeh