Share

Menjemput Jaminan Hutang

Pria berambut klimis dan berjaket kulit yang berdiri di samping Kana hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum miring.

"Siapa aku?" ulang pria itu sambil menyeringai. Kana yang berdiri di sampingnya pun menjauh. Perasaannya tidak enak mengenai pria ini.

"Ya! Siapa kamu? Untuk apa datang malam-malam begini? Atau jangan-jangan ...."

"Apa kamu adalah penagih hutang?" seru Adik Sepupunya yang seketika membuat sang Ibu mematung.

"Pe-penagih hutang?" gumam sang Bibi gemetaran. Kana yang mendengarnya, reflek menjauhkan dirinya, tetapi tangannya keburu ditarik oleh pria itu dengan kasar. Kana berusaha melepaskannya, tetapi cengkraman pria itu begitu kuat.

"Ji-jika kamu adalah penagih hutang, maka, bawa saja dia!" tunjuk sang Bibi ke arah Kana. Sontak kedua mata Kana membulat. Ia tahu kalau dirinya harus mencari uang untuk membayar hutang Pamannya, tetapi jika ia diserahkan langsung begini pada penagih hutang, bukankah hal berbahaya mungkin akan terjadi padanya?

"Dia? Maksudmu, perempuan yang kini ada dalam genggamanku?" tanya pria itu sambil menunjukkan tangan Kana yang kini dicengkram kuat olehnya.

"Ya, benar! Dia adalah Kana! Dia adalah keponakanku yang akan membayar hutang mendiang Suamiku! Dia sudah berjanji akan membayarnya!" pungkas sang Bibi panjang lebar.

"Oh ..." Pria itu menaikkan dagunya kemudian menoleh ke arah Kana.

"Jadi perempuan ini yang bernama Kana?" tekan pria itu lagi yang semakin membuat tubuh Kana bergidik. Entah kenapa, pria ini malah menekankan nada bicaranya saat menyebut nama "Kana".

"Ya! Perempuan itu yang bernama Kana Kemala!" Sang Bibi malah menyebut nama lengkap Kana. Habis sudah nasibnya akan berkahir pada pria menakutkan ini. Kana hanya bisa memejamkan matanya erat-erat.

"Ternyata semudah ini aku mendapatkan Kana ..." gumam pria itu yang membuat mata Kana terbuka lebar-lebar. Wanita itu langsung menoleh cepat ke arah pria yang masih setia mencengkram pergelangan tangannya.

"Ben!" seru pria itu sambil menyebut nama pria lainnya. Tiba-tiba saja muncul seorang pria berkacamata dari belakangnya. Pria berkacamata itu menunduk sambil membawa sebuah map.

"Tolong kamu urus semua hutang keluarga ini. Lunasi semuanya dan berikan mereka hadiah sebesar jumlah hutang mereka ..."

"Baik, Tuan!" seru pria yang disebut Ben itu tanpa berani mengangkat kepalanya. Siapa sebenarnya pria ini? Bukannya mau menagih hutang, justru ia mau membayarkan hutang sang Paman! Bahkan memberikan uang sebesar hutang Paman!

"A-apakah kau serius?" tanya Bibi yang kini tercengang mendengar ucapan pria di hadapannya.

"Ya ..." Pria berambut klimis itu mengangkat kedua sudut bibirnya lagi.

"Kau pikir, untuk apa mendiang suamimu datang padaku pagi ini?" kekeh pria berambut klimis itu sambil menandatangi dokumen yang disodorkan oleh pria berkacamata.

Sontak kedua mata sang Bibi terbelalak.

"Tuan Muda Ivander! Apakah Anda Tuan Muda Ivander?" seru Bibinya yang menarik atensi pria berambut klimis itu hingga menaikkan kedua sudut bibirnya.

"Ternyata kau ingat namaku," ujarnya sambil menyeringai, kemudian atensinya kembali pada sang pria berkacamata yang menarik kembali dokumen tadi.

"Urus proses akhirnya dan ..." Perhatiannya kembali pada wanita berkepala empat di hadapannya.

"Karena Anda sudah menyerahkan Kana padaku, maka jangan pernah menemuinya, menghubunginya, apalagi mengakuinya sebagai keluarga, karena kalian telah menjual perempuan ini padaku!" tekan pria itu lagi.

"Iya! Iya, kami mengerti. Bawa saja, bawa Kana dan jangan biarkan kami bertemu lagi dengannya," ujar sang Bibi sambil tersenyum semringah, sementara Kana menatapnya dengan mata yang melotot. Wanita itu menggelengkan kepalanya, tetapi sang Bibi pura-pura tak menyadarinya dengan menatap lurus ke arah pria berambut klimis di hadapannya.

"Baiklah. Kalau begitu, akan aku bawa perempuan ini." Pria itu kemudian menatap Kana yang masih menggelengkan kepalanya.

"Dasar perempuan bodoh!" hardik pria itu.

"Kau ikut aku sekarang dan jangan melawan!" serunya yang langsung pergi sambil menyeret Kana bersamanya.

"Ti-tidak! Bibi! Jangan lakukan ini!" Kana berusaha meminta pertolongan, tetapi sang Bibi yang didekati oleh pria berkacamata tadi sama sekali tak menggubris teriakan Kana.

"Bibi! Tolong! Jangan biarkan Kana dibawa oleh pria ini!" Kana berusaha melepaskan cengkraman pria berambut klimis yang masih menyeretnya.

"Hey, lepaskan! Jangan bawa aku!" tekan Kana, tetapi tidak digubris sama sekali oleh pria yang masih setia menyeretnya.

"Hey, aku mau dibawa ke mana? Kau sebenarnya siapa? Lepas—" Pria bernama Ivander itu langsung menarik tangan Kana dengan kasar hingga tubuhnya hampir saja menubruk tubuh pria itu. Kana reflek memejamkan matanya agar tak harus menatap wajah angkuh pria beraura kuat ini.

"Lepas, kau bilang?" ulang Ivander.

"Apa kau tidak dengar, Bibimu, baru saja menjualmu padaku! Jadi sekarang kau milikku! Kau adalah milik Ivander Aslan Harvey!" tekan pria itu lagi. Sontak mata Kana terbuka lebar dan manik matanya tak sengaja bertemu dengan manik mata pria bernama Ivander ini yang begitu dingin.

"Harvey" adalah nama yang tidak asing baginya karena nama itu begitu berbekas di ingatannya. Harvey Land adalah sebuah sangraloka terindah di bawah naungan Harvey Grup yang menjadi tempat impian Kana untuk berlibur bersama orang tuanya. Namun karena ingin mewujudkan keinginan Kana 14 tahun lalu, orang tuanya malah menjadikan Kana anak yatim piatu. Andaikan saja dulu Kana tidak memaksa kedua orang tuanya pergi ke sangraloka yang terletak di atas pegunungan dengan jalur ekstrim itu, jalan hidupnya pasti akan berbeda.

"Jika kamu ingin selamat, sebaiknya, ikuti saja perkataanku!" sarkasnya yang langsung membuyarkan lamunan Kana. Pria itu kembali menyeret Kana dengan paksa menuju sebuah mobil coupe berwarna hitam yang terparkir tak jauh dari rumahnya.

"I-ini ... kita akan ke mana?" tanya Kana seraya menatap rahang Ivander yang lebih tinggi darinya.

Pria itu membuka pintu mobilnya.

"Sudahlah, jangan banyak tanya dan masuk saja!" serunya yang langsung melempar tubuh Kana dengan kasar masuk ke dalam mobil. Kana yang merasa dibebaskan karena cengkraman pria berambut klimis itu lepas pun langsung bangkit dan berusaha keluar dari mobil. Namun tangan besar Ivander langsung menyentuh lehernya dan menekan ibu jarinya di urat nadi Kana.

"K-kau! A-apa yang kau la-lakukan? K-kau ... Kau ingin membunuhku?" lirih Kana dengan suara tercekat. Cengkraman Ivander di lehernya kini jauh lebih kuat daripada di tangannya. Ia sama sekali tak bergerak.

Pria itu dengan sigap masuk ke dalam mobil sambil melemparkan sorot mata yang tajam ke arah Kana.

"Ini adalah akibatnya jika kau berani melawanku!" tekan Ivander lagi seraya duduk di samping Kana dan menutup pintu. Dengan sisa kekuatannya, Kana berusaha mencengkram tangan pria itu yang kini mencekik lehernya.

"Le-lepas! A-apa k-kau me-memba-waku u-untuk membunuhku?" tukas Kana.

"Aku hanya akan melepaskan jika kau diam!" tegas Ivander.

"Ba-bagaimana aku bisa diam? Ka-kau pikir, a-apa y-yang ba-barusan k-kau la-lakukan pa-padaku?" sinis Kana yang langsung menaikkan kedua sudut bibir Ivander.

"Apa yang aku lakukan?" Ivander mendekatkan wajahnya ke wajah Kana yang mulai membiru.

"Aku telah membelimu, sayang ... Kau sudah dijual—"

"Bo-bohong!" potong Kana yang meringis, berteriak saat dicekik seperti menarik urat nadinya sendiri hingga putus. Kepalanya mulai pusing.

"Bohong katamu?" ulang Ivander yang malah mengeratkan cengkramannya di leher Kana. Ia pun mendekati telinga Kana.

"Asal kau tahu, yang menerima uang bayaran atas dirimu memang Bibimu ... Tapi, orang yang menjualmu adalah Pamanmu sendiri," bisik Ivander yang langsung membuat Kana melebarkan matanya.

"A-apa? Pa-paman?" lirihnya.

"Ya, Pamanmu datang padaku dan menjadikanmu jaminan hutanganya!" beber Ivander.

"Ti-tidak mungkin!" Akhirnya Kana berhasil melepaskan cengkraman tangan pria itu di lehernya. Seketika ia pun terbatuk-batuk. Sementara pria berambut klimis itu malah tersenyum sambil duduk menyilang.

"Dasar wanita bodoh! Jelas-jelas kau tidak dianggap berarti, malah masih mempercayai orang-orang bejat itu—"

"Hentikan!" jerit Kana dengan napas yang menderu-deru.

"Jangan katakan kebohongan lagi! Atau aku akan—"

"Akan apa?" tantang Ivander yang kini memegang dagu Kana dengan telunjuk panjangnya.

"Kau yang tidak punya keluarga, tidak punya uang, tidak punya otak dan tidak punya harga diri, memangnya bisa apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status