Kana kaget setengah mati saat mendengar Paman yang seperti ayahnya sendiri meninggal akibat tabrak lari. Namun tidak hanya itu, ternyata sang Paman meninggalkan hutang yang besar, sedangkan keadaan ekonomi mereka sedang surut. Kana yang dianggap beban oleh Istri Pamannya dipaksa untuk melunasi hutang tersebut. Kana yang hanya seorang pelayan di sebuah restoran bahkan tak memiliki satu persen dari besar hutang pamannya. Di kebingungan yang hampir membuatnya putus asa, tiba-tiba datanglah seorang Pria bernama Ivander Aslan Harvey yang dikira sebagai penagih hutang, tetapi justru Ivander malah membayarkan seluruh hutang Paman Kana dan memberikan uang sejumlah besar hutang Paman Kana. Ternyata Ivander telah membuat kesepakatan dengan Paman Kana, bahwa Ivander akan melunasi semua hutang Paman Kana asal Kana ikut bersamanya. Tanpa pembelaan, Bibinya pun langsung menyerahkan Kana pada Ivander. Kana pun langsung patah hati pada Paman dan keluarganya karena menyerahkannya pada Ivander, sama saja menjual dirinya pada orang kaya. Namun, di dalam kekecewaannya, Ivander meminta Kana untuk tak larut dalam kesedihannya dan fokus pada apa yang harus ia lakukan untuk Ivander, yaitu menjadi istrinya! Ternyata Ivander akan menjadikan Kana istrinya sebagai tameng untuk menghindari perjodohan dengan Mantan Calon Istrinya yang terobsesi padanya. Namun tugas Kana ternyata tidak hanya sekedar menikah, tetapi harus jadi istri sempurna agar Mantan Calon Istri Ivander menyerah, barulah saat itu pernikahan mereka akan berkahir. Sayangnya, jika Kana gagal, maka Ivander akan membuangnya, karena bagi Ivander Kana hanyalah barang tukar. Apakah Kana akan berhasil? Atau nasib buruk akan menghantuinya hingga akhir?
View More"Dasar Pembawa Sial!" pekik sang Bibi sambil mencengkram kerah baju Kana ketika ia baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita berusia 21 tahun itu langsung diseret paksa dan dihempaskan ke lantai hingga lutut dan telapak tangannya membentur lantai dengan keras.
Jantung dan napasnya seolah berhenti sesaat. Bahkan ia tak sempat merasakan sakit di lutut dan telapak tangannya. Matanya membelalak sambil menatap bayangan samarnya di lantai. Kana menatap Bibinya nanar."A-ada apa, Bibi?" lirihnya."Kamu masih tanya kenapa? Dasar Pembawa Sial!" Tiba-tiba sang Adik Sepupu muncul sambil berteriak histeris dari kamarnya dengan penuh derai air mata. Atensi Kana beralih. Kenapa sang Adik Sepupu menangis? Ia pun menoleh ke arah sang Bibi yang wajahnya memerah."Ka-kana benar-benar tidak mengerti? Apa yang terjadi? Paman ada dimana?" bingung Kana berusaha bangkit, tetapi sang Bibi menghampirinya kemudian menjambak rambut pendeknya hingga kepala Kana tertarik ke belakang."Bi-bi ... sa-sakit ..." rintih Kana sambil memegangi tangan sang Bibi agar tidak menarik rambutnya lebih kuat lagi."Sakit katamu?" lirih sang Bibi yang makin kuat menarik rambut Kana."Baru segini, kamu mengeluh sakit? Lalu bagaimana denganku yang harus menahan sepuluh tahun menampung Anak Pembawa Sial sepertimu?" pekik sang Bibi. Kana hanya bisa memejamkan matanya erat-erat mendengar pekikan yang menusuk hati itu.Disebut sebagai "Anak Pembawa Sial", sudah biasa ia dengar sejak pertama kali masuk ke rumah ini setelah kedua orang tuanya meninggal 14 tahun lalu. Sang Paman kukuh mengambil hak asuh atas dirinya karena hanya sang Paman lah satu-satunya keluarga Kana yang tersisa meskipun Bibi dan Sepupunya tidak setuju. Alhasil, setiap ada masalah di rumah ini, Kana selalu dijadikan penyebabnya."Bi-bi ... se-setidaknya, katakan, ada masalah apa? Apa yang terjadi? Apakah penagih hutang datang lagi?" Kana berusaha berpikir jernih meskipun hatinya sejak tadi sudah tersayat-sayat akibat ucapan dan perlakuan dari bibi dan adik sepupunya.Namun, rambutnya kembali dijambak hingga kali ini ia meringis."Dasar Anak Tak Tahu Diri! Kamu berkata seolah masalah akan selesai saat kamu bertanya?" Suara sang Bibi langsung meninggi. Wanita berkepala empat itu langsung menatapnya sambil melotot."Asal kamu tahu, suamiku ..." Suara wanita berkepala empat itu mulai bergetar."Gara-gara kamu ..." Napas wanita itu tercekat, suaranya tiba-tiba saja hilang. Kana benar-benar tidak bisa mendapatkan petunjuk apa yang sebenarnya terjadi selama ia bekerja."Dasar! Asal kamu tahu, gara-gara kamu, Ayah meninggal!" sergah sang Adik Sepupu yang lebih terdengar seperti sambaran petir baginya. Seketika seluruh energi Kana lenyap."Pa-paman? Me-meninggal?" Kana masih tidak percaya apa yang ia dengar. Tidak mungkin ini terjadi! Kedua tangannya langsung bergerak dan menutup telinganya."Tidak ... Ini gak mungkin!" histeris Kana yang langsung dapat tamparan keras dari Adik Sepupunya hingga jambakan sang Ibu terlepas dan menyisakan helai rambut di tangan wanita berkepala empat itu."Ini semua karena kamu Kana!" tuding Adik Sepupunya yang kini menatapnya dengan mata menyalak."Ga-gara-gara aku?" ulang Kana yang memegangi pipi bekas tamparan."Dasar Anak Tak Tahu Diri!" Sang Bibi langsung menarik kerahnya."Kamu mau bersikap seolah tidak bersalah?" tukas sang Bibi."Tapi, Bi, apa penyebab Paman meninggal? I-ini pasti berita yang salah. Mungkin saja ini penipuan! Bibi juga tahu, 'kan, banyak penipuan beredar untuk mengeruk uang—" Tiba-tiba saja wajah Kana diludahi."Kamu berani berkata begitu? Aku bahkan sudah melihat tubuh kaku suamiku sendiri di pemulsaran jenazah!" pekik sang Bibi frustasi hingga napasnya terengah-engah. Wanita berkepala empat itu kembali mengangkat kepalanya sembari menatap dingin pada Kana."Dia meninggal sore ini setelah jadi korban tabrak lari sepulang dari mencari penjamin hutangnya!" pekik sang Bibi yang sekali lagi membuat tubuh Kana lemas. Cengkraman sang Bibi di kerahnya pun melemah. Wanita berkepala empat itu pun terduduk lemas di lantai."Andai saja ... Andai saja kami tidak harus memungutmu! Andai saja suamiku mendengarkanku ... Andai saja kau ikut mati bersama kedua orang tuamu ... Ini semua pasti tidak akan terjadi! Suamiku pasti tidak harus berhutang karena harus menanggung beban anak pungut sepertimu!" Suara Bibi memekik di kalimat terakhirnya, tetapi wanita itu pun juga sudah kehabisan energi. Ia hanya bisa memukul-mukuli lantai atas apa yang telah terjadi.Sebuah bulir bening menetes begitu saja melewati pipi Kana. Hatinya terasa remuk mendengar penuturan sang Bibi, tetapi dari lubuk hatinya pun berpendapat sama. Dulu orang tuanya yang harus meregang nyawa untuk mememuhi keinginannya berlibur di pegunungan, sekarang malah pamannya yang harus meregang nyawa demi mencukupi hidupnya."Ma-maafkan aku—" Tiba-tiba kerahnya kembali ditarik oleh Adik Sepupunya."Kalau kamu mau minta maaf, maka, serahkan semua gajimu!" titahnya yang membuat mata Kana membulat. Gaji? Benar, hari ini Kana baru saja gajian. Atensi sang Adik Sepupu beralih pada tas selempang yang masih menggantung di pundak Kana."Mana? Dimana kamu menyimpan gajimu?" Gadis berusia 18 tahun itu menarik tas selempang tersebut hingga terlepas dari pundak Kana kemudian mengobrak-abrik isinya dengan brutal."I-itu—""Ini dia!" Sang Adik Sepupu menemukan sebuah amplop putih yang agak tebal dengan bertuliskan nama Kana di sana. Adik Sepupunya menunjukkan amplop putih itu di depan wajah Kana."Anggap, ini adalah bayaran hidupmu selama ini!" sinisnya kemudian melemparkan kembali tas selempang lusuh itu pada Kana. Gadis berusia 18 tahun itu pun mengeluarkan isi amplop tersebut dan menghitungnya lembarnya."Hanya dua juta?" tekannya yang menarik perhatian sang Ibu."Gajimu hanya dua juta? Kamu pikir, berapa uang yang telah dihabiskan oleh ayahku sampai harus meregang nyawanya! Dasar Pembawa Sial!" Tubuh Kana didorong Adik Sepupunya sendiri dengan kasar hingga tersungkur ke lantai."Ma-maafkan aku ... Gajiku sebagai waiter hanya segi—" Tiba-tiba tangan Kana ditarik paksa oleh Bibinya."Bi-bi ....""Bangun!" perintah sang Bibi dengan suara dingin."Tapi, Bibi ...." lirih Kana seraya menatap sang Bibi dengan bola mata bergetar."Aku bilang bangun! Maka kamu harus bangun!" bentak sang Bibi lagi yang langsung membuat Kana berdiri. Tepat setelah itu, sang Bibi langsung menyeret Kana menuju pintu keluar."Bi-bi ... Bibi, kita mau ke mana?" bingung Kana."Mau ke mana kamu bilang? Sekarang adalah tugasmu untuk mencari sisa hutang pamanmu! Kamu lah yang harus membayarnya!" pekik sang Bibi."Ta-tapi, Bibi ... Ini sudah larut, dimana Kana harus mencari uang—""Lakukan apapun, sekalipun harus menjual dirimu! Yang penting kamu baru boleh kembali jika sudah mendapatkan uang lima ratus juta!" pekik sang Bibi lagi yang sekali lagi membuat mata Kana membulat."Li-lima ratus juta? Bukankah hutang Paman dua ratus tiga puluh juta?" Kana ingat, bahkan ia pernah membantu sang Paman untuk menyusun daftar nama orang yang dihutangi oleh Pamannya."Kamu pikir, hutang-hutang itu tak berbunga? Dasar Anak Tak Tahu Diuntung!" Sang Bibi membuka pintu dan langsung melempar Kana keluar rumahnya hingga tubuh yang tak lagi memiliki energi itu terlempar begitu saja, tetapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang menangkapnya.Sontak Kana mengangkat kepalanya dan menemukan sesosok pria berambut klimis yang mengebakan baju turtle neck dan jaket kulit tengah menatap lurus ke arah Bibi dan Adik Sepupunya."Wah, wah, wah ... Ada apa ini? Apakah begini cara keluarga ini berkabung?"Dahi Kana mengernyit mendengar suara angkuh nan dingin Pria tersebut. Kana pun langsung buru-buru berdiri dan berbalik, melihat Bibi dan Adik Sepupunya yang kini berdiri mematung sambil membulatkan matanya. Aura Pria itu begitu kuat hingga membuat suasana jadi mencekam.Telunjuk sang Bibi yang gemeteran pun diangkat dan mengarah pada Pria yang kini berdiri di samping Kana."Si-siapa kamu?"Seketika sekujur tubuh Kana terasa lemas. Tubuhnya langsung meluruh ke lantai tepat ketika Ivander keluar dari kamarnya. Kini dia tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, tetapi dadanya terasa sangat sesak hingga ia sulit bernapas. "Kenapa rasanya sangat sakit ...." pedih Kana dengan suara tercekat. Apakah dia mulai mengharapkan cinta Ivander? Apa itu tidak terlalu serakah? Kenapa Kana menginginkan hal yang mustahil terjadi? Sementara itu, Ivander langsung menyandarkan punggungnya ke dinding setelah menutup pintu kamar Kana. Dia memejamkan matanya erat-erat sambil mengepalkan tangan. Ivander menggemerutukkan giginya. Napasnya kini terasa sesak. Dadanya terasa sangat gusar. Dia ingin menangis, tetapi tidak bisa menangis. "Sial ...." umpatnya sambil melepas kepalan tangannya, tetapi sang tangan malah bergetar hebat. Sebenarnya Ivander kenapa? Apakah perasaan yang selama ini ia belenggu di lubuk hatinya yang terdalam mulai memberontak keluar? Tidak, Ivander tidak boleh membiarkan rasa
Ivander terkesiap mendengar ucapan Iola. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Kana adalah istri Ivander, itu memang benar adanya. Sekalipun ada kontrak pernikahan yang mereka tanda tangani, tetapi mereka melaksanakan pernikahan yang sah dan diakui negara. Apa salahnya jika Ivander menganggap Kana istrinya?"Kenapa kamu diam, Ivander?" tegur Shein yang menatapnya dengan nanar. Entah kenapa melihat ekspresi wajah Shein yang agak "shock" membuat jantung Ivander terasa diremas. Apakah ia berbuat kesalahan? Kenapa Shein menatapnya begitu, bahkan Iola yang menatapnya dengan tajam.Iola menghela napas. "Oke, sekarang aku tanya satu hal!" ucap Kana yang menarik atensi Ivander. "Apa itu?" tanya Ivander.Iola langsung menatapnya dengab lurus."Jawab jujur dari hatimu, apakah bagimu Kana adalah wanita yang pantas menerima cintamu?" Dahi Ivander langsung mengernyit. "Cinta? Cinta apa? Jangan bercanda, Iola. Di hidupku mana ada yang namanya "Cinta". Kamu sangat tahu itu," kekeh Ivand
"Jadi selama ini kalian hanya menikah kontrak?" Iola langsung berdiri begitu mendengar semua penjelasan Ivander tentang pernikahan mereka. Sementara Shein masih duduk tercengang dan sibuk dengan pikirannya sendiri."Ya. Itulah kenyataannya," jawab Ivander santai seolah tidak ada beban. Apa akan baik-baik saja jika Iola dan Shein diberitahu begini? Kana hanya bisa menghela napas.Iola kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa."Kalian gila! Tidak, kamu gila, Ivander!" tukas Iola. Ivander malah terkekeh."Bukankah kamu sudah tahu kalau aku ini gila," jawab Ivander malah geli sendiri. "Tapi ... kamu keteraluan, Ivander!" Shein mulai angkat bicara, membuat atensi Ivander beralih padanya."Kamu menjadikan Kana tameng dari Jenni! Kamu tahu sendiri, 'kan kalau melawan Jenni, maka Kana akan dalam bahaya!" tekan Shein. Ivander malah tersenyum seraya merangkul Kana yang duduk dengan tegang di sampingnya."Tenang. 'Kan ada aku. Aku yang akan melindunginya. Iya, 'kan, Sayang?" Kana terhenyak da
Kana terbangun duluan. Ternyata dia masih berada di dalam dekapan Ivander. Sampai akhirnya, setelah Kana puas menangis, mereka bercinta lagi. Kini, mereka berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun dan hanya mendekap satu sama lain di bawah selimut agar tidak kedinginan. Kana paling suka saat-saat seperti ini, ketika Ivander masih terlelap dan dia bisa bebas memandangi wajah polos pria ini. Jari-jari kecilnya mulai menyentuh tiap inchi wajah tampan Ivander. Hal lain yang paling menyenangkan, adalah pria ini tidak akan protes karena masih terlelap. "Kenapa tidak cium saja, Sayang ...." Tiba-tiba Ivander bersuara, membuat Kana terhenyak. Wanita itu langsung terduduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. "Uhm, ma-maaf. Kalau begitu, aku pak—Ah!" Ivander malah menarik tubuh Kana hingga wanita itu kembali berakhir dalam dekapannya. "Siapa yang mengizinkanmu pergi, hm?" goda Ivander kemudian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana. "I-ivander ... geli," pro
Sudah berjam-jam berlalu saat Ivander memutuskan untuk tidur, tetapi tubuhnya tetap tak merasa nyaman. Sejak tadi, dia hanya bisa mengubah-ubah posisi tidurnya, tetapi matanya tidak mau terpejam. Jantungnya terus berdebar dan kepalanya terus berpikir. Sebuah pertanyaan di benaknya sampai sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan. Apa yang membuat Ivander terus merasa tidak tenang dari tadi semenjak Kana meninggalkannya sendirian?"Arrgh!" Ivander muak! Dia langsung terduduk sambil mengacak-acak rambutnya yang selalu ia sisir rapih sebelum tidur. "Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan padaku?" geram Ivander seraya memandang ke arah lemari yang menghubungkan kamar mereka. Pria itu sempat terdiam cukup lama. Kira-kira, apakah Kana sudah tidur? Pakaian tidur apa yang dia kenakan? Bagaimana gaya tidurnya? Apakah dia mengenakan selimut? Jangan-jangan dia kedinginan? Tunggu, kenapa Ivander berpikir sejauh itu?Ivander kembali mengacak-acak rambutnya sambil
Akhirnya mereka selesai dan kini berada di dalam mobil menuju rumah. Pada akhirnya, mereka melakukannya sampai tiga ronde dan ronde terakhir adalah yang paling gila karena Kana melakukannya di atas Ivander dan pria itu membiarkannya mendominasi. Padahal jika dilihat dari karakter pria angkuh ini, dia tidak suka jika orang lain mendominasinya. Namun mereka berdua tetap sama-sama menikmatinya. Kana tersenyum tiap memikirkan apa yang mereka berdua lakukan tadi. Mereka sudah sama-sama kehilangan akal. Namun senyum Kana sirna. Tiga kali mereka melakukannya, tiga kali juga Ivander memberikan harta berharganya pada Kana dan menyimpannya di perut ini. "Apakah aku akan hamil?" gumam Kana. Dia tidak boleh hamil anak Ivander! Jika sampai hamil, maka, hubungannya dengan Ivander akan semakin rumit. Kana kemudian memandang wajah plos Ivander yang tengah tertidur yang sejak tadi. Apakah bercinta membuatnya kelelahan? Namun, itu tidak masalah, jika pria ini tertidur, Kana bisa bebas memandanginya h
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments