Share

Bab 5 Panggilan Sayang

Alexandra bingung, mengapa suaminya memberinya kartu platinum itu padanya, padahal uang bulanan sudah di transfer.

"Untuk belanja, jika kamu butuh apa-apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pakai saja."

Dengan sedikit canggung, Alexandra menerima kartu ATM beserta kertas yang berisi pin tersebut.

Christian menyodorkan ponsel canggihnya, lalu berkata, "Catat nomormu di ponsel itu."

Alexandra mengambil ponsel tersebut lalu mengetikkan nomor dan juga namanya serta menyimpannya.

"Silakan, Tuan."

Christian memeriksa nomor tersebut, lalu melakukan panggilan.

"Itu nomorku, simpan nomorku baik-baik."

"Baik, Tuan."

"Lalu, berhentilah memanggilku dengan sebutan Tuan. Kamu istriku bukan pembantuku."

"Hhmm …," Alexandra menjeda kalimatnya, "saya harus memanggil Anda apa?"

"Sayang, Honey, Baby, Darling. Memangnya kamu tak pernah pacaran, sampai tak tahu sebutan untuk sepasang kekasih?" 

Alexandra menggeleng lemah. Dia memang tak pernah berpacaran, hari-harinya hanya dipenuhi dengan belajar dan pekerjaan rumah.

Christian mendengus, tapi dia cukup senang, karena ciuman tadi pagi memang yang pertama untuk Alexandra.

"Berhenti juga menggunakan bahasa formal, aku-kamu sepertinya lebih baik."

"Baik …." Kalimat Alexandra terhenti, bingung ingin mengucapkan panggilan apa untuk mengganti kata Tuan.

Christian melirik pada istrinya, sejujurnya dia menanti panggilan apa yang akan disematkan padanya.

Pada akhirnya Alexandra hanya diam tak meneruskan kalimatnya.

"Tunggulah di sini. Nanti David akan menjemputmu. Kamu masih ingat wajah dia, bukan? Pria yang menjemputmu."

"Iya, Mas." 

Christian tersenyum tipis nyaris tak terlihat.

'Mas? Tidak terlalu buruk,' gumamnya dalam hati.

Christian bergegas menuju ke kantornya, setelah menghubungi Alvin. 

"Alvin, kenapa kamu membiarkan Alexandra masuk ke dalam kamarku?" tanya Christian, saat keduanya sedang berada dalam perjalanan menuju ke kantor.

Alvin mengernyitkan keningnya.

"Kenapa ekspresimu seperti itu?" geram Christian.

"Bukan aku yang mengantarmu pulang, Pak. Tapi Nona Erinna."

"Apa? Kenapa kamu mengizinkan wanita itu mengantarkanku? Dasar bodoh."

"Maafkan aku, Pak. Nona Erinna memaksa."

Christian mengerang kesal, ada sedikit rasa bersalah pada Alexandra di dalam hatinya.

"Lain kali jangan biarkan wanita itu menyentuhku, Alvin."

"Maksud Bapak siapa? Nyonya Alexandra atau Nona Erinna?"

Christian berdecak kesal, tapi tak memberi jawaban. Alvin jelas tahu jawabannya adalah Erinna, tapi masih saja menggodanya.

Pukul 9.00 pagi, bel pintu apartemen berbunyi, David dan salah satu anak buahnya sudah menjemput. Pria itu sama dinginnya dengan Christian, matanya bahkan lebih tajam.

'Aku tidak akan kabur, kenapa harus dikawal seperti ini,' monolog Alexandra dalam hati.

Sepanjang perjalanan Alexandra hanya diam. Setelah melalui kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya Alexandra sampai di rumah sang Ayah.

Alexandra menatap bangunan dua lantai itu dengan mata berkaca, tak menyangka jika dia harus pergi dari rumah peninggalan ibunya, dengan cara yang tak biasa.

"Ma, aku merindukanmu," gumam Alexandra sebelum akhirnya melangkah menuju ke pintu utama.

Alexandra memasuki rumah itu seperti biasa, namun tiba-tiba terdengar suara Astari membuatnya menghentikan langkah.

"Dasar tidak tahu sopan santun, masuk ke dalam rumah orang tanpa permisi."

Alexandra menarik nafas perlahan, lalu menghembuskanya.

Alexandra menoleh pada ibu tirinya lalu memutar tubuhnya.

"Maaf, Bu. Bukankah aku masih anggota keluarga ini, jadi aku pikir aku bisa masuk seperti biasa," balas Alexandra.

"Kamu sudah tak ada hak untuk datang ke rumah ini, apalagi datang dengan sesuka hatimu," ketus Astari.

Alexandra kembali menarik nafas sebelum mengeluarkan kata.

"Mungkin Ibu lupa, rumah ini adalah rumah peninggalan Mamaku. Aku adalah satu-satunya orang yang memiliki hak atas rumah ini. Jangan lupa bahkan surat rumah ini ada di tangan suamiku," balas Alexandra. Ini pertama kalinya Alexandra sedikit meninggikan suara pada ibu tirinya.

"Sombong sekali kamu sekarang! Mentang-mentang sudah menjadi Nyonya besar, harusnya bukan kamu yang menjadi istri–"

"Ibu pikir Tuan Christian membawaku untuk dijadikan budak? Ibu menyesal, kenapa tidak Nikita saja yang menjadi tumbal dan menikah dengannya?" Alexandra memotong perkataan ibu tirinya.

Selama lima belas tahun hidup bersama Astari, ini kali pertamanya Alexandra melawan. Dia hanya merasa sekarang dia memiliki pendukung. Tidak masalah 'kan jika dia berharap Christian akan mendukungnya?

"Berani kamu, hah?" Astari mengangkat tangannya, mengarahkan tamparan ke arah Alexandra.

"Apa yang kamu lakukan pada anakku, Astari?" 

Harry mencekal tangan istrinya dari belakang. David pun menghentikan langkahnya.

David yang sedari tadi memperhatikan interaksi keduanya dari ambang pintu pun merasa lega sebab Alexandra tak terkena tamparan. Jika itu terjadi, akan tamat riwayat Astari yang telah berani menyentuh istri seorang Christian Hoover.

"Papa?" Wanita itu mengira, suaminya telah pergi bekerja.

Harry menatap tajam pada istrinya, lalu menggeleng lemah. Dulu Harry hanya diam saja jika Alexandra diperlakukan semena-mena, tapi sekarang, meski untuk terakhir kalinya dia ingin berada di pihak anak kandungannya.

"Jadi seperti ini yang kamu lakukan pada anakku, jika aku tak ada?"

Astari terlihat gugup, kemudian menjelaskan jika itu hanya kesalahpahaman. Tapi, ayah kandung Alexandra itu tak begitu saja percaya, karena Harry melihat interaksi keduanya sejak tadi.

"Papa, aku ingin mengambil beberapa barangku," Alexandra menyela pertengkaran ayah dan juga ibu tirinya.

Alexandra hanya tak ingin dipersalahkan, sebagai penyebab pertengkaran mereka. Lagi pula, Christian sudah berpesan untuk tidak berlama-lama berada di rumah ini.

"Tadi Tuan Christian sudah memberi tahu Papa, jika kamu akan datang, jadi papa sudah meletakkan beberapa buku yang kamu butuhkan ke dalam kardus," ujar Harry seraya mengajak anaknya berjalan menuju kamarnya.

Tanpa perintah ataupun persetujuan, David dan anak buahnya mengikuti langkah ayah dan anak itu.

"Apa Tuan Christian memperlakukanmu dengan baik?" 

"Tentu saja, Pa. Papa tak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja di sana."

Harry membuka pintu kamar anaknya. Alexandra mengambil koper dan menata beberapa pakaiannya.

"Maafkan Papa, Alexa. Selama ini Papa menutup mata tentang perlakuan ibu tirimu padamu." Alexandra menghentikan aktivitasnya sejenak.

"Ini sudah sangat terlambat, Pa. Aku sudah terlalu lama menunggu Papa agar melihat ke arahku walau hanya sekejap saja," ucap Alexandra. Suaranya terdengar sengau menahan tangis.

Baik Alexandra maupun Harry terdiam, mereka menetralkan rasa yang ada di dalam dada masing-masing.

"Papa berharap kehidupanmu bersama Tuan Christian akan lebih baik." Netra pria paruh baya itu terlihat berkaca.

'Semoga semuanya sesuai dengan harapanmu, Pa. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan jalani hidup ini dengan sebaik mungkin,' monolog Alexandra dalam hati.

"Nyonya, kita harus segera kembali," suara David memecah keheningan antara ayah dan anak itu.

"Baiklah, Pa. Aku harus segera kembali. Jaga dirimu baik-baik, aku sangat menyayangimu, jika ada apa-apa segera kabari aku," ucap Alexandra, lalu memeluk ayahnya.

David dan anak buahnya membantu membawa barang yang masih ada di kamar.

Alexandra menuruni tangga dengan menggandeng pria, cinta pertamanya itu. 

Di lantai bawah Astari sama sekali tak terlihat batang hidungnya, Alexandra tak ingin mencari atau sekedar basa-basi pada wanita itu.

"Hati-hati di jalan, Nak."

Harry memeluk dan mengecup kening anak gadisnya.

Alexandra melambaikan tangan pada ayahnya sebelum mobil meninggalkan rumah tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status