Share

Bab 8 Masih Dipantau

Waktu sudah mulai malam, Revalina dan Felix baru saja tiba di apartemen. Ketika masuk kamar Revalina menanyakan perihal kepergian Felix tanpa alasan kala berada di rumah mertuanya. 

"Kamu bisa meminta uang pada saya kapan saja kamu mau, tapi saya tidak bisa memberikan uang secara cuma-cuma walaupun itu hasil kerja keras kamu." 

"Cuma-cuma gimana, Pak? Bapak sudah tahu dengan jelas kalau adik saya membutuhkan uang." 

Ucapannya bagaikan angin yang berlalu bagi seorang pria berusia 35 tahun itu. Berbeda dengan di tempat lain, kekasihnya sedang menghadiri acara reuni bersama teman kuliahnya. Mereka tampak senang apalagi dengan Raisa yang banyak memamerkan kekayaannya, terlebih memiliki kekasih sekaya Felix. 

Ya walaupun duda beranak satu, tetapi itu tidaklah masalah bagi Raisa yang terpenting pria mapan berkedudukan tinggi. Bagaimana tidak kaya, Felix adalah putra satu-satunya yang akan menjadi pemilik tunggal dari perusahaan yang dahulu dikelola oleh ayahnya. Bukan hanya itu, kekayaannya juga cukup berlimpah ruah, memiliki satu hotel yang terbilang mewah dan terkenal. 

"Kalian harus tahu kalau pacarku itu bisa membelikan apapun yang aku mau," jelas Raisa yang membuat teman-temannya merasa iri dengan keberuntungannya. 

"Walaupun itu mahal?" tanya salah seorang temannya. 

"Tentu saja dia akan memberikannya padaku, apa sih yang nggak Felix kasih buat aku? Secara, ya dia itu orang kaya jadi gak masalah kalau harus keluar banyak uang demi aku." 

"Wahhh, belum menikah aja Felix udah ngasih apa aja yang kamu minta, apalagi kalau udah menikah, ya." 

"Tapi bisa aja itu hanya pencitraan sebelum jadi istri," timpal temannya yang lain. 

Raisa menatap jengkel pada wanita tersebut, "Hey, kamu pikir Felix itu pria rendahan yang cuma bisa baik sebelum menikah? Jangan menyamakan dia dengan pacarmu!" 

"Aku gak menyamakan, ya. Justru kamu yang menuduh pacarku gak baik!" 

"Kamu juga menuduh Felix dan aku gak terima! Bilang aja kalau kamu itu iri karena pacarku lebih segalanya daripada pacar kamu yang hanya orang biasa gak bisa ngasih apa-apa."

Raisa menarik tasnya sembari melangkah cepat dari hadapan mereka. Semua orang yang ada di sana terheran-heran. Beberapa mencoba untuk menenangkan wanita yang berseteru dengan Raisa. 

***

Keesokan harinya Raisa datang ke tempat di mana kekasihnya berada. Namun, pagi itu ia tidak mendapatinya di sana, hanya ada Revalina saja. 

"Hey wanita jaminan, di mana pacar saya?" tanya Raisa sambil menatap nyalang. 

"Bukannya Mbak Raisa pacarnya, ya. Kenapa nanya ke saya? Seharusnya Mbak yang lebih tahu daripada saya." 

"Kamu siapa di sini? Cuma wanita jaminan, kamu itu gak ada harganya dan gak pantas untuk dihargai. Jadi jangan berlagak seperti Nyonya ketika di hadapan saya!" 

Revalina menatap pilu pada gadis tersebut, lalu mengatakan kalau Felix sudah pergi meeting sejak beberapa menit yang lalu. Raisa merasa kecewa karena kekasihnya tidak memberitahunya lagi kalau meeting-nya akan sepagi itu. 

Gadis berambut cokelat kehitaman itu berbicara di dalam hatinya, 'Apa ini? Revalina tahu dia berangkat meeting pagi ini, lalu aku gak dikasih tahu? Sangat tidak adil, seharusnya Felix ngasih tahu aku sebelum perempuan ini tahu.' 

Ia mendorong kakinya keluar menutup pintu tanpa perasaan. Sebagai sesama wanita, Revalina cemas karena baru pertama kali melihat raut wajah Raisa semarah itu. 

Beberapa menit kemudian, gadis tersebut menemui kekasihnya di kafe yang telah dijanjikannya. Ia sempat protes perihal masalah tadi. Ia ingin apapun yang dilakukan Felix yang harus diutamakan itu adalah dirinya bukan Revalina. 

"Sayang, Revalina itu berhak tahu kemana aku pergi karena gimna kalau tiba-tiba aja ibuku datang dan nanya sama dia kemana aku pergi? Apa yang mau dia jawab?" 

"Ya bilang aja gak tahu, apa susahnya. Kamu gak harus ngasih tahu dia tentang urusanmu." 

"Itu gak mungkin, kalau Revalina gak tahu aku pergi dia bisa membuat Ibuku curiga. Kamu mau semuanya terbongkar?" 

"Ya nggak, tapi, kan ..." 

Felix berkata sambil menyentuh lengan gadis itu, "Kumohon mengertilah, ini juga demi hubungan kita." 

Raisa berpikir kalau saja bukan demi Felix bisa mendapatkan hak warisnya, ia tidak mau berusaha mengalah pada kenyataan saat ini. 

"Tapi kamu janji, kan kalau kamu udah mendapatkan hak waris akan bercerai dengan perempuan itu?" 

"Iya sayang, kalau kita menikah sekarang sebelum ibuku memberikan hak warisnya, kita akan hidup sengsara, aku gak mau membawa tuan putri seperti kamu hidup miskin." 

Raisa tersenyum sambil mengusap tangan pria tersebut. Menit berikutnya, Felix kembali lagi ke apartemen ia berjalan dengan sangat hati-hati karena pulang dari kafe sempat melihat salah satu anak buah ibunya. 

"Tadi Mbak Raisa ke sini nanyain Bapak," ucap Revalina mengawali pembicaraan. 

"Ya saya tahu, kita harus berhati-hati karena orang suruhan Ibu saya ada masih mengawasi." 

"Kalau saran saya, untuk beberapa hari sebaiknya Mbak Raisa tidak ke sini dulu. Kita baru menikah jadi saya pikir ibunya Bapak pasti masih mencurigai kita." 

"Actually, sekarang kita pergi keluar. Berjalanlah dengan saya layaknya pasangan asli," jelas Felix yang diangguki oleh istrinya. 

Revalina menggandeng lengan suaminya dengan pandangan lurus ke depan dipadukan senyuman yang penuh kebahagiaan. Sesekali Felix mengusap tangan istrinya sambil memuji-mujinya membuat hati para wanita yang mendengarnya meleleh. 

"Tapi Pak, kita mau pergi kemana, ya?" 

"Tugasmu hanya melakukan apa yang saya katakan, jadi jangan bertanya." 

"Tapi semua ide ini muncul karena saya menyadarkan Bapak," sahut Revalina. 

Jika bukan karena membutuhkan aktingnya, jelas saja Felix akan menendang wanita itu jauh-jauh. Dirasa sangat bawel, banyak tingkah, dan terkadang terkesan bodoh. Bagi Felix yang memiliki wawasan dan level yang tinggi tentu saja tidaklah sefrekuensi. 

Keduanya tiba di kampus yang tempat belajar adiknya Revalina. Tentu dalam hati gadis itu bertanya-tanya, tetapi tidak ingin menanyakan pada Felix yang sangat angkuh. Apa yang tidak bisa Felix lakukan demi bisa menutup mulut istri jaminannya. Ia melunasi semua biaya kampus adik Revalina sampai lulus. Sebagai seorang Kakak yang sangat menyayangi adiknya, tentu sangat bahagia. 

"Ingat, uang bayaran kamu saya potong." 

"Iya, Pak. Lagian, saya juga paham mana mungkin Bapak ngasih uang sama saya kalau gak ada kerjanya." 

"Ya bagus kalau kamu tahu diri, jadi apapun yang saya lakukan tidak lebih dari sekedar bayaran buat kamu bukan peduli." 

"Saya gak pernah menganggap Bapak peduli, kok." 

"Iya, kamu itu cuma wanita bayaran!" 

"Apa?" tanya seseorang di belakang mereka. 

Keduanya saling pandang dengan perasaan yang was-was, bagaimana mungkin tidak terkejut jika kesepakatannya yang penting itu diketahui orang lain. Sebab, pernikahan kontrak itu hanyalah rahasia bertiga saja tidak menyangkut yang lainnya lagi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status