PART 7
“Apanya yang enggak? Saya tukang nguping juga, Neng. Saya hafal semua jurus nguping, hehehe. Ini esnya,” candanya sambil menyerahkan es.
“Ini uangnya. Makasih, Bang.” Segera kuberi uang pas untuk membayar es.
“Judes amat. Awas, nanti jatuh cinta sama saya.”
Aku tak memperdulikan candaan dari abang penjual es itu. Memang manis, sih. Eh, aku mikir apaan?
Segera kupercepat langkah kaki agar sampai toko. Kedai es ini tak jauh jaraknya, hanya dua puluh meter. Jalanan terasa gerah karena matahari bersinar menyengat kulit. Aku selalu berhati-hati saat menyeberang jalan sebab tikungan depan toko sangat mengerikan. Mengapa pula Kakak memilih tempat seperti ini. Mengerikan.
Kuletakkan satu bungkus es di meja Kakak. Rupanya si Mas Parno kembali datang hari ini. Mau beli apa? Bukannya kemarin sudah beli beras banyak? Lelaki yang terang-terangan mengaku memakai jimat agar peternakannya lancar. Apa bagusnya pamer begituan. Dosa.
Aku tak suka kalau Kakak berteman akrab dengan orang begitu, takut membawa pengaruh buruk. Teman yang bisa meracuni otak dengan keyakinan yang dianggapnya menguntungkan walau sesat. Semoga Kakak tak terpengaruh, setahuku Kakak sangat menentang ucapan Mas Parno. Hari ini ada yang berbeda. Ya, setidaknya kali ini ia tak memarkir mobil sembarangan lagi. Mobilnya rapi di parkiran depan toko.
“Mau beli apa, Mas Parno? Berasnya kurang?” tanya Kak Heru.
“Iya, kurang banyak. Keluarga saya dari Kalimantan mau datang semua besok. Tambah lagi lima karung beras dan dua karung kacang kedelai.” Mas Parno berkata dengan bangga.
“Siap, pesanan segera disiapkan.” Kakak mencatat nota.
Aku tak suka dengan lelaki itu. Ia selalu tertawa terkekeh-kekeh disela-sela obrolan walaupun tak ada yang lucu. Mungkin terbawa perasaan senang berlebihan karena usahanya naik daun. Pastinya punya uang banyak.
Saat hendak masuk ke dalam mengantarkan es ke Mbak Rena, datanglah beberapa motor. Ya, terpaksa kutunda dulu menemui Mbak Rena dan langsung cekatan melayani pelanggan. jam segini biasanya ia masih berdiam diri di kamar. Entah menangis, entah merenung. Aku pun tak tahu jelasnya, yang pasti semua kebiasaan itu terkesan aneh. Tak lazim dilakukan orang pada umumnya.
“Cantik sekali pekerja barumu itu.”
“Itu bukan pekerja, Mas. Itu adik saya,” jawab Kak Heru.
“Wah, bagus. Gimana kita jodohkan saja dengan adik saya. Ganteng, loh.” Mas Parno berkata serius.
Tentu saja, aku sambil berjualan mampu mendengar pembicaraan itu. Baguslah, ada alasan untuk tak menyahut. Pura-pura sibuk dan banyak tanya pada pembeli kacang hijau ini. Kebetulan ibu ini ramah sekali.
“Belum bisa, adik saya mau kuliah dulu, Mas Parno.”
“Tak apa, urusan uang bukan masalah di keluarga kami. Mau kuliah sampai S10 kalau ada pun bisa, hahaha.” Ia kembali menyombongkan diri.
Mana ada S10? Asal sebut demi memuja uang. Itu hanya sebuah gaya untuk ajang pamer kekayaan. Aku pun tak akan mau walaupun dipaksa, tak mau berurusan dengan hal yang jauh dari agama. Hidup di dunia tidak lama. Hanya sementara. Perjodohan apaan itu? Penyogokan uang.
“Pasti karena jimat, kan? Saya tidak mau adik saya ikut hal begituan. Kami mau hidup normal saja,” tolak Kak Heru.
Kali ini Mas Parno tak menjawab, ia malah kembali terkekeh seolah mengejek. Entah apa yang lucu. Tingkahnya seperti orang tak waras kalau sudah tertawa.
“Ini kembaliannya, Bu. Makasih sudah belanja di toko ini.” Aku memberikan uang dua puluh ribu pada pembeli kacang hijau.
“Sama-sama. Saya memang sering ke sini, Neng. Ini toko langganan saya sejak belum ada kamu,” jawabnya sambil senyum ramah.
Matahari makin naik, motor dan mobil makin banyak berdatangan untuk berbelanja. Aku berkeringat karena tak bisa istirahat. Es tebu Mbak Rena sampai tak dingin lagi, biarlah nanti kumasukkan kulkas saja. Akhirnya, menjelang asar sudah agak tenang. Toko sudah lengang, tak banyak manusia. Merasa sudah bisa ditinggal, aku masuk ke dalam.
“Mbak, sudah makan belum?” tegurku di depan kamarnya.
“Mbak, udah sore.”
Tok! Tok!
“Mbak? Mbak Rena jangan diam aja, dong?”
Lelah sekali rasanya menunggu sahutan dari Mbak Rena. mana pintu kamarnya dikunci lagi. Aku jadi khawatir, takut ada apa-apa dengannya. Apa pingsan? Masa, iya gak bangun dari tadi pagi. Gak mungkinlah, tapi nyatanya Mbak Rena gak menyahut sama sekali.
Panik. Jantungku berdebar.
“Kakak! Mbak gak keluar-keluar. Siti takut dia kenapa-napa. Kakak sini,” panggilku.
“Ah, masa. Tunggu depan pintu, Kakak mau masuk dari jendela aja.” Kak Heru segera ke samping rumah, berusaha masuk dari jendela.
Hai, kita jumpa lagi. Happy reading yahh.PART 15“Siti, kamu udah sadar? Alhamdulillah,” kata Mbak Rena.Aku bingung saat menatap sekeliling. Ruangan putih, di mana ini? Lamunan ini terhenti kala merasa sekujur tubuh ngilu. Seperti habis dipukul kayu berat di bagian tengkuk dan punggung. Kepala juga terasa pusing tak karuan.“Kamu di rumah sakit. Tadi malam kamu pingsan di ladang tebu,” timpal Mbak Rena seolah paham kebingunganku.Aku menatapnya lekat. Beberapa saat kemudian, aku baru ingat kejadian tadi malam. Aku berusaha mencari keberadaan Mbak Rena dan kakak yang tiba-tiba menghilang. Menerobos hujan hanya mengkhawatirkan mereka.Namun, bukannya mereka yang kutemui. Malah menemukan keanehan yang baru. Masih jelas terbayang apa yang terjadi dalam gubuk itu. Siapa lelaki itu?“Kamu kena
PART 21“Siti, kamu kembali,” kata Kakak seperti heran.Berkali-kali ia mengucek mata. Terakhir, ia mencubit pipiku.“Ini kamu, Siti?”“Apaan, sih, cubit-cubit. Sakit, tau.”Wajah Kakak sembab seperti baru habis menangis, dikantong bajunya ada HP yang masih menyala cahayanya.“Kakak baru aja mau hubungin keluarga di desa,” ucapnya tiba-tiba.Memang apa hubungannya kedatanganku dengan keluarga di desa? Mengapa pula Kakak menangis. Apa kecelakaan di tempat ini disebabkan oleh Kakak? Aku mulai curiga. Namun, aku masih belum bisa menjadikan ini sebagaii petunjuk. Belum ada bukti nyata.Lagian masa iya Kakak tega menumbalkan aku yang adik kandungnya. Jangan-jangan ini gara-gara Mbak Rena?“Siti, kamu kenapa luka-luka?&r
Tiba-tiba firasatku tak enak, segera kubaca ayat kursi sebanyak-banyaknya dalam hati dan memohon perlindungan dengan Allah. Mataku berkedut-kedut tak karuan. Filosofi orang dahulu, artinya akan menangis. Aku jadi takut dan gelisah.“Siti, kamu antarkan kacang tanah ini ke rumah Bi Inah.” Kakak menyerahkan kantong berisi kacang tanah.Tak berat, mungkin hanya sekitar tiga cupak. Bi Inah adalah wanita penjual peyek, aku pernah beberapa kali diminta Kakak mengantarkan kacang tanah ke rumahnya. Tak jauh, seberang jalan dan masuk gang sedikit.“Iya, Kak.”Aku berjalan untuk menjalankan perintah Kakak, tapi entah mengapa ia terus menatapku tanpa henti. Tak berkedip dengan wajah sendu. Aneh. Lalu, ia segera
PART 19Kami pulang ke rumah setelah melewati kejadian menjengkelkan itu. Mbak Rena kumaki habis-habisan dan tak segan-segan kuancam layaknya seorang narapidana. Ia tak melawan, hanya diam sambil menangis. Mungkin menyesali diri atau mungkin menyesal telah membawaku ikut ke tempat terkutuk itu.Sangat tak mampu diterima akal sehat, perbuatan yang bejat moral. Makin berat saja tugasku harus pula menjaga kandungan Mbak Rena. aku sangat tidak ikhlas kalau bayi itu digugurkan. Sungguh, tak akan segan melaporkan ke pihak berwajib.“Ingat, Mbak. Kalau berani macam-macam lagi, Siti tak segan melaporkan kalian berdua ke polisi!” ancamku.“Mbak sadar kalau salah. Maafkan, ini tidak akan terulang kembali.” Mbak Rena menyahut saat motor sudah di depan toko.Kami turun dan melihat Kakak sedang duduk manis. Tatapan mata mereka bertemu, seketika aku
Jangan-jangan semua isi plastik di sana itu adalah janin yang diaborsi. Ya Allah! Siapa pelakunya? Jangan-jangan Mak Pia itu dukun aborsi! Entah mengapa pikiran negatif itu langsung menghampiriku. Saat ini aku sangat mengkhawatirkan nasib Mbak Rena.Apa mungkin ia datang untuk menggugurkan janinnya? Gila, sungguh gila! Kresek itu kubawa berlari ke rumah Mak Pia. Ngos-ngosan karena lelah pun tak kuperdulikan, dalam kepala hanya ada keselamatan Mbak Rena.“Aduh! Pintu terkunci lagi.”&nb
PART 17HAPPY READING.Seusai salat subuh, aku merasa pusing. Bayangan kejadian tadi malam membuat kesal sekaligus tegang. Setelah berpikir panjang, aku mengajak Yani pulang ke rumahnya tadi malam. Dengan keyakinan kalau semua akan baik-baik saja, sebuah keributan itu tidak akan mencelakakan salah satu dari kakak atau Mbak Rena.“Kamu gak pa-pa?” tanya Yani khawatir.“Enggak, kok.”“Sebenarnya kejadian tadi malam itu aib keluarga, semoga kamu tak memberi tahu siapapun. Hanya kamu dan Bude Ratmi yang tahu. Tolong rahasiakan dan jangan takut denganku,” ucapku sambil menatap wajah Yani lekat-lekat.“Iya, aku gak akan. Kamu dalam masalah besar, selidikilah. Kalau ada apa-apa hubungi nomorku atau langsung datang ke sini. selama Allah di hati, kamu akan selamat.”&l