Share

Part 8

Tak berselang lama, pintu kamar pun dibuka. Kakak berhasil masuk dari jendela dan membuka pintu. Setelah masuk, tampaklah Mbak Rena masih tiduran dengan mata basah. Bantalnya pun basah karena air mata. Kusentuh keningnya, tak ada gejala demam. Biasa saja. Apa ia tak punya tenaga untuk menyahut panggilanku tadi? Sampai cemas dibuatnya. 

“Mbak? Mbak kenapa? Jangan nangis.”

“Mbak pusing, mual.” Suara Mbak Rena terdengar sengau, kasihan.

“Jangan khawatir, Siti. Mbak kamu itu lagi hamil, setiap kali hamil memang begitu dia. Nangisnya makin jadi.” 

Aku menatap Kak Heru heran. Dari mana ia tahu kalau Mbak Rena sekarang sedang hamil? Kami baru masuk kamar ini dan Mbak Rena tak bilang apa-apa tentang itu. Kakak sok tahu banget! Masa ada orang hamil yang gejalanya suka nangis-nangis kejer kayak orang sawan. 

“Kakak tahu dari mana?” Pertanyaan itu pun terlontar tak tertahankan.

“Tahulah, kamu gak usah banyak tanya, Siti.”

“Aku tidak hamil, Mas. Aku tidak hamil!” sanggah Mbak Rena. 

Beberapa detik kemudian tangisnya kembali pecah. Aku bingung dengan kondisi ini. Kak Heru menyunggingkan senyum, pertanda bahagia sedangkan berbanding terbalik dengan istrinya yang seolah tak terima dengan kehamilan itu. Tangannya meremas-remas bagian perut. 

Masih tanda tanya, apakah kehamilan Mbak Rena yang sebelum-sebelumnya juga Kakak tahu? Lantas, bungkusan test pack yang kutemukan di bawah sprei itu maksudnya apa? Mengapa disimpan hanya benda begitu. Setahuku kalau sudah dipakai akan dibuang. Buat apa disimpan seperti barang berharga. 

“Kamu hamil! Sudah, jangan menangis terus. Jaga kesehatan kamu, Rena.” 

Kakak tersenyum penuh arti menatap wajah sembab istrinya. Tentu saja, siapa yang tak senang kalau istrinya hamil. Namun, aku masih tak percaya. Kakak bukanlah seorang dokter, mana mungkin bisa menyimpulkan secepat itu kalau Mbak Rena hamil. 

“Aku tidak hamil! Tidak!” 

“Mengaku saja, sebelum aku naik pitam dan khilaf menampar wajahmu.” Kakak tampak tersulut emosi.

Aku hanya bisa diam, jadi penonton. Tak berani berkata apa-apa lagi. Akan tetapi, aku akan siap menghalangi kalau Kakak sampai main tangan lagi. Aku tak terima kalau Mbak Rena disakiti terus, sudah dinikahi malah dikasari. 

“Iya, aku hamil lagi. Puas kamu, Mas,” ucap Mbak Rena dengan tatapan tajam bak harimau hendak menerkam.

Ia bangkit dan menunjukkan test pack garis dua yang dikeluarkannya dari kantong daster. Benar, ia positif hamil. Aku senang, sekaligus sedih. Tak seharusnya kehamilan itu disambut dengan air mata dan keributan seperti ini. Tak sama seperti pasangan pada umumnya. 

“Puas kamu! Kamu menang kali ini.” 

Mbak Rena membanting test pack itu ke lantai dengan geram. Aku menatap dengan perasaan takut bercampur tegang.

“Siti, kamu keluar sebentar, ya. Ada urusan yang mau diselesaikan,” pinta Kakak.Tak berselang lama, pintu kamar pun dibuka. Kakak berhasil masuk dari jendela dan membuka pintu. Setelah masuk, tampaklah Mbak Rena masih tiduran dengan mata basah. Bantalnya pun basah karena air mata. Kusentuh keningnya, tak ada gejala demam. Biasa saja. Apa ia tak punya tenaga untuk menyahut panggilanku tadi? Sampai cemas dibuatnya. 

“Mbak? Mbak kenapa? Jangan nangis.”

“Mbak pusing, mual.” Suara Mbak Rena terdengar sengau, kasihan.

“Jangan khawatir, Siti. Mbak kamu itu lagi hamil, setiap kali hamil memang begitu dia. Nangisnya makin jadi.” 

Aku menatap Kak Heru heran. Dari mana ia tahu kalau Mbak Rena sekarang sedang hamil? Kami baru masuk kamar ini dan Mbak Rena tak bilang apa-apa tentang itu. Kakak sok tahu banget! Masa ada orang hamil yang gejalanya suka nangis-nangis kejer kayak orang sawan. 

“Kakak tahu dari mana?” Pertanyaan itu pun terlontar tak tertahankan.

“Tahulah, kamu gak usah banyak tanya, Siti.”

“Aku tidak hamil, Mas. Aku tidak hamil!” sanggah Mbak Rena. 

Beberapa detik kemudian tangisnya kembali pecah. Aku bingung dengan kondisi ini. Kak Heru menyunggingkan senyum, pertanda bahagia sedangkan berbanding terbalik dengan istrinya yang seolah tak terima dengan kehamilan itu. Tangannya meremas-remas bagian perut. 

Masih tanda tanya, apakah kehamilan Mbak Rena yang sebelum-sebelumnya juga Kakak tahu? Lantas, bungkusan test pack yang kutemukan di bawah sprei itu maksudnya apa? Mengapa disimpan hanya benda begitu. Setahuku kalau sudah dipakai akan dibuang. Buat apa disimpan seperti barang berharga. 

“Kamu hamil! Sudah, jangan menangis terus. Jaga kesehatan kamu, Rena.” 

Kakak tersenyum penuh arti menatap wajah sembab istrinya. Tentu saja, siapa yang tak senang kalau istrinya hamil. Namun, aku masih tak percaya. Kakak bukanlah seorang dokter, mana mungkin bisa menyimpulkan secepat itu kalau Mbak Rena hamil. 

“Aku tidak hamil! Tidak!” 

“Mengaku saja, sebelum aku naik pitam dan khilaf menampar wajahmu.” Kakak tampak tersulut emosi.

Aku hanya bisa diam, jadi penonton. Tak berani berkata apa-apa lagi. Akan tetapi, aku akan siap menghalangi kalau Kakak sampai main tangan lagi. Aku tak terima kalau Mbak Rena disakiti terus, sudah dinikahi malah dikasari. 

“Iya, aku hamil lagi. Puas kamu, Mas,” ucap Mbak Rena dengan tatapan tajam bak harimau hendak menerkam.

Ia bangkit dan menunjukkan test pack garis dua yang dikeluarkannya dari kantong daster. Benar, ia positif hamil. Aku senang, sekaligus sedih. Tak seharusnya kehamilan itu disambut dengan air mata dan keributan seperti ini. Tak sama seperti pasangan pada umumnya. 

“Puas kamu! Kamu menang kali ini.” 

Mbak Rena membanting test pack itu ke lantai dengan geram. Aku menatap dengan perasaan takut bercampur tegang.

“Siti, kamu keluar sebentar, ya. Ada urusan yang mau diselesaikan,” pinta Kakak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status