Share

Terinjaknya harga diri

Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi.

“Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya.

“Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih.

“O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya.

“Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya.

Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu.

Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir.

“Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari permukaan itu sendiri. Mbak Sumi belum tahu siapa aku. Jangan sampai ucapan Mbak Sumi malah berbalik ke Mbak Sumi sendiri.” Ratih tidak tahan kalau tak membangkang. Perempuan seperti Sumi ini satu kotak dengan Prapto. Mereka tidak bisa dikasih hati, Ratih harus berhati-hati setelah melihat kibaran bendera perang.

“Kamu cukup bernyali ternyata.” Sumi tersenyum, segera pergi dari kamar Ratih karena ada satu hal yang lebih penting menurutnya.

Ratih menutup pintu kamarnya keras. Tebakannya benar adanya. Menikah dengan Prapto adalah awal hidupnya memasuki neraka. Andai dia tak asal bicara, mungkin tak seperti ini sekarang.

*****

Prapto ....

Pria itu baru selesai mandi, menghilangkan jejak penat di tubuhnya. Handuk yang baru saja digunakan untuk mengeringkan rambut disampirkan ke tempatnya. Prapto mengambil sisir dan merapikan rambutnya di depan cermin. Dari sana pula terpantul Sumi yang baru saja membuka pintu kamar. Prapto tetap merapikan rambutnya, tangan Sumi yang meraba tubuh telanjangnya dari belakang. Namun, hanya dibalas senyuman saja oleh Prapto.

Sumi menyandar di punggung Prapto. “Dari sekian banyak wanita yang kamu bawa ke sini hingga akhirnya kamu menikah dengan Iis dan Fitri, kamu selalu meminta izin dariku dulu. Apa istimewanya Ratih sampai kamu melupakan hal sepenting itu, Kakang?” tanya Sumi yang belum melepas pelukannya.

Prapto terkekeh, meletakkan sisirnya, dan mengurai tangan Sumi yang membelit tubuhnya. Prapto berbalik, duduk di kursi santai yang ada di kamarnya, “Tidak ada yang lebih penting sekarang, kamu tahu atau tidak, tetap tidak akan mengubah keputusanku,” jawab Prapto.

Sumi ikut duduk di sebelah Prapto, “Apa cintamu untukku sudah hilang?”

Prapto terkekeh, “Tidak ada yang hilang, tidak ada juga yang tumbuh, kamu tetap menduduki posisi tertinggi di hatiku.” Prapto menjauhkan diri, merebahkan kepala di pangkuan Sumi, saat Sumi mengusap kepalanya, Prapto memejamkan mata untuk menikmati sentuhan itu.

Sumi tersenyum mendengarnya, “Benarkah? Aku sangat bahagia.” Tangan Sumi masih membelai, lalu memijit karena gemas dengan Prapto.

“Ini sangat nyaman, Sumi.” puji Prapto. Dia pun membuka mata dan segera menarik tengkuk Sumi agar menunduk untuk bisa mencium bibir Sumi. Saat lumatan kecil menjadi semakin liar, letupan gairah pun memanas dengan sendirinya. Prapto mengajak Sumi memadu kasih, saling memacu untuk merengkuh asa bersama, tanpa memikirkan hal lain yang menyapanya silih berganti.

*****

Malam kini tiba. Ratih tidak pernah tahu kalau rumah sebesar ini memiliki kamar mandi di setiap kamarnya. Seperti dirinya saat ini, dia tak perlu ke luar kamar hanya untuk membuang seni dan mandi sekali pun. Saat ketukan di pintu terdengar, Ratih berdiri untuk membukakan pintu itu.

“Ya?”

“Ndoro Ratih, saya yang diperintahkan mbok Jum untuk menemani Anda. Makan malam sudah siap, Anda diminta bergabung ke ruang makan.”

Ratih menarik napas panjang dan dalam, “Di mana ruang makannya?”

“Saya akan mengantar Anda, Ndoro Ratih. Mari!” Pelayan itu berjalan lebih dulu meski sesekali menoleh ke majikan barunya.

Sesampainya di ruang makan, Ratih duduk di tempat yang diperuntukkannya, tak mengambil apa pun karena semua orang yang duduk juga belum mengambil makanan. Prapto tidak ada di tempat ini, sepertinya semua orang menunggu Prapto.

Sumi baru datang. Iis dan Fitri segera tersenyum ke arahnya dan dibalas oleh anggukan dari Sumi. Dia menoleh ke Ratih dan dapat melihat keangkuhan  di wajah itu, Sumi pun terkekeh melihat sikap Ratih.

Tak lama, Prapto pun datang. Pria itu segera duduk dan memberikan piring kosong ke Sumi. “Bukankah malam ini tidak ada orang yang datang untuk minta sumbangan?” tanya Prapto.

“Acara tujuh harian sudah selesai, Kakang,” jawab Fitri.

Prapto mengangguk. “Malam ini kita bicara dulu, setelah makan jangan langsung tidur.”

“Ini, Kakang.” Sumi memberikan piring Prapto, baru kemudian mengambil makanan lagi untuk dirinya sendiri, dan disusul oleh penghuni lain.

Setelah semua orang yang ikut duduk di meja makan mengambil makanan, barulah Ratih mengambil makanan untuknya. makan dalam diam sambil menunggu kejadian apa saja yang akan dilewatinya di rumah besar ini.

Seperti yang diinginkan tadi, Prapto dan keempat istrinya duduk di ruang tengah, “Di rumah ini tidak ada yang lebih tua atau yang baru,” Prapto menoleh ke Ratih, “seperti Ratih, semua di sini sama, tidak ada yang istimewa dan berhak minta jatah lebih banyak atau apa pun, aku akan memperlakukan semuanya secara adil. Hanya ada satu kepala keluarga, dan itu adalah aku, jadi siapa yang akan tidur bersamaku hanya aku yang boleh memilih.”

Prapto mengedarkan padangan, menatap semua istri-istri yang selalu taat padanya, “Paham?” 

“Iya, Kakang,” jawab ketiganya serentak.

Hanya Ratih yang tak menjawab. Dia tak tertarik sedikit pun dengan pembicaraan yang membosankan ini. Dirinya malah bergidik dan membayangkan apa yang dikatakan Prapto membuatnya semakin jijik.

Prapto menoleh ke Ratih. Hanya Ratih yang tidak menjawab dan itu membuatnya heran. “Kamu tidak menjawab? Apa ada yang membuatmu keberatan atau bahkan masih bingung?” tanya Prapto.

Ratih membuang napas kasar, “Apa kamu tahu? Apa yang kamu katakan barusan menjijikkan. Tidakkah kamu merasa risi? Mengumbar semuanya di depan kami? Bahkan, tanpa kamu katakan, kami pun tahu tentang kewajiban kami. Tapi, kamu membeberkan semuanya seolah kamu ini hebat. Memalukan!” Ratih berdiri. Dia menarik jarik yang dia kenakan setinggi lutut, dan kembali ke kamarnya.

Prapto tak menyangkal. Namun, harga dirinya seolah dirobek oleh Ratih. Wibawanya runtuh di depan ketiga istrinya karena digulung begitu saja oleh Ratih.

“Kakang—“ Sumi segera menutup mulutnya saat Prapto menghentikan protesnya melalui tangan yang terangkat.

Prapto yang terbakar emosi segera ke luar. Dia ingin menyegarkan dirinya sendiri untuk beberapa saat atas penghinaan ini.

“Mbak Sumi, siapa Ratih? Anak itu sepertinya menentang kakang Prapto?” tanya Iis saat suaminya sudah tidak di ruangan itu.

“Jangan berpikir begitu, Ratih memang masih sangat muda, umurnya saja jauh dariku,” bela Fitri, “sepertinya, Ratih masih kaget karena tahu kakang Prapto punya tiga istri.” imbuhnya lagi.

Sumi terkekeh, “Jangan membelanya, Fitri! Iis benar, Ratih memang menantang Prapto tadi. Sangat terlihat kalau dia tidak suka, tapi aku juga tidak tahu kenapa semua sikapnya seolah berbanding terbalik dengan kenyataan Ratih yang mau menjadi istri kakang Prapto.” 

Iis mengangguk, “Iya, aku setuju sama Mbak Sumi.”

Sumi pun terkekeh lagi.

“Kalian tidurlah, biar aku yang mengajari Ratih tentang cara bersopan santun di sini.” Sumi segera beranjak dari ruang keluarga untuk pergi ke kamar Ratih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status