Ratih menangis di kamar. Banyak yang diucapkan untuk mendebat Prapto sampai semua idenya habis. Namun, Prapto tetap tak membiarkannya pergi. Kini dirinya tengah duduk di depan meja rias, dipoles oleh dua perempuan yang bisa menyulap wajahnya lebih cantik dari biasa. Hanya saja, Ratih tetap tak ingin melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.
Saat panggilan terdengar jelas menyebut namanya, barulah Ratih mencari dan menemukan ibunya yang berdiri di ambang pintu. Bibir Ratih bergetar, air mata yang sempat mengering, kembali membelah pipinya yang sudah merona oleh sapuan bedak kemerahan.
“Ibu,” panggilnya.
Ibu Ratih mendekat, “Maafkan Ibu, Nduk ayu. Andai Ibu tidak memintamu untuk ikut berjualan jamu, tanah yang kita punya jika dijual juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang diminta Prapto, Ibu tidak rela kamu menikah dengan Prapto, tapi kita bisa apa, Nduk?” Ikut menangis juga, hatinya pilu dan meraung, tapi tak berdaya oleh keadaan ini.
“Jangan berkata seperti itu, Bu. Prapto tidak akan semudah itu mendapatkanku, aku akan membuatnya menyesal sudah berani menginjak harga diri kita. Aku janji, Bu.” Ratih sudah merencanakan sesuatu untuk membuat Prapto jera, tapi saat dia ingin mengatakan rencana itu ke ibunya, dua pria masuk dan memerintah agar dirinya segera ke luar. Ratih menurut karena tak ingin Prapto berkata kasar dan melukai perasaan orang tuanya lagi.
Prapto menoleh ke arah Ratih. Orang yang dibayar untuk merias Ratih memang pandai, terbukti wajah yang beberapa jam lalu pucat, kini segar. Setidaknya, pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang penting seperti RT, RW, dan kepala desa serta dadakan ini, tak membuatnya malu.
Ijab kabul lancar diucap oleh Prapto. impiannya memiliki anak sebentar lagi akan terwujud. Prapto menarik napas panjang dan dalam sebagai wujud rasa syukurnya.
Sedangkan Ratih kembali menangis tanpa suara. Mungkin orang akan melihat tangisan ini haru akan bahagia, tak ada yang tahu kepiluan yang dia rasakan saat dirinya sah menjadi istri ke empat Prapto, dan Ratih juga tahu seperti apa sakit hati ke dua orang tuanya. Demi kehormatan yang tersisa, Ratih tetap mencium punggung tangan Prapto, menurut saat orang mendekat dan menyuruhnya berpose untuk mengambil gambar, seolah dirinya benar-benar bahagia. “Ibu, jangan menangis, aku akan sering berkunjung untuk menjenguk Bapak, aku akan sehat dan makan yang banyak di sana, Ibu dan Bapak juga harus begitu, janji?” kata Ratih yang saat ini memeluk ibunya.
“Iya, Nduk ayu. Kamu harus lebih segar saat ke sini nanti, meski pun Prapto belum sepenuhnya bisa kamu terima, turuti semua ucapannya, dia suamimu sekarang.” Ibu Ratih mengusap punggung putrinya saat memeluk lalu mengurai, menciumi seluruh wajah putrinya, sebelum melepas penuh haru.
Ratih mengangguk, berganti dengan memeluk bapaknya yang berbaring di ranjang, “Jangan menangis, Bapak. Aku akan berkunjung, Bapak harus sudah bisa duduk saat aku ke sini nanti.” Ratih mengurai pelukan itu, mengusap pipi bapaknya perlahan, meninggalkan kecupan di pipi, lalu pergi.
Prapto menghentikan semua tangisan itu.
“Aku menikahi putrimu, bukan menculiknya,” ejeknya setengah geram, “ini mas kawin Ratih!”
Prapto menyodorkan sebuah amplop yang berisi uang ke ibu Ratih, jumlahnya bisa digunakan untuk membeli sepuluh anak sapi.
“Dan aku akan mengajak Ratih pulang sekarang. Sudah terlalu lama aku di sini, lebih cepat lebih baik karena hutang Ratih padaku tidak harus berbunga,” imbuhnya.
Prapto pun menarik tangan Ratih tak terlalu kencang, membawa Ratih ke luar, dan naik dokar miliknya. Prapto diam di sepanjang perjalanan, bukan karena dia menyombongkan diri, tapi memikirkan akan seperti apa kemarahan Sumi nanti.
Ratih terlalu muda. Prapto juga tidak pulang selama dua hari dan tiba-tiba dirinya kembali bersama Ratih. Namun, mau bagaimana lagi? Keegoisannya terkadang membutakan semua indra yang dia punya. Saat dokar tiba di rumah, Prapto turun lebih dulu, menoleh ke Ratih yang masih diam di dalam.
“Kamu tidak turun? Mau di sana sampai besok pagi? Lusa? Tahun depan?” ucap Prapto tanpa ekspresi.
Ratih membuang napas kasar. Persis seperti perkiraannya, Prapto adalah orang yang kasar dan tak berprikemanusiaan. Ratih dibiarkan turun sendiri, Prapto tidak menolongnya.
Lagi-lagi, Prapto membuatnya semakin membenci. Ratih mengenakan kebaya putih kain sutra yang berpadu dengan jarik motif Sidomukti kualitas terbaik, tapi itu tak membuat kegugupannya hilang. Banyak pasang mata menatapnya saat ini.
Ratih membawa kakinya ke sana, lalu berhenti tepat di samping Prapto. “Perlakukan aku dengan baik atau aku tidak akan pernah melahirkan anak untukmu,” ucapnya lirih. Ratih ingin hanya Prapto saja yang mendengarnya.
Prapto terkekeh, menoleh ke Ratih, “Apa kamu pikir di sini kamu yang berkuasa? Kamu lupa kalau kamu ke sini untuk membayar hutangmu? Aku bukan pengemis di rumahku sendiri, jadi jaga sikapmu,” ucap Prapto yang ikutan pelan karena semua kalimat itu khusus untuk Ratih saja.
“Mbok Jum!” teriaknya, dan tanpa menunggu lama semua penghuni rumah pun sudah ke luar untuk menyambutnya.
“Iya, Aden Prapto,” jawab mbok Jum sambil mendekat.
Ratih semakin gugup, jantungnya berdebar lebih cepat lagi, kini wanita yang terkebaya anggun sudah menampakkan diri. Ratih bisa menebak kalau ketiganya adalah istri Prapto. Keringat di keningnya keluar, “Aku—“
“Diamlah,” desis Prapto yang segera berjalan meninggalkan Ratih, lebih mendekat ke mbok Jum, “Dia Ratih, istri baruku, beri dia satu pelayan, dan tempatkan di kamar dekat taman samping, aku akan beristirahat sebentar.”
Setelah melihat mbok Jum mengangguk, Prapto pun ke kamarnya untuk beristirahat.
Mbok Jum menoleh ke Sumi, menyeringai. Baru saja kemarin membicarakan hal ini, dan semua sudah menjadi kenyataan.
“Mari, kamarmu di sini. Namaku Jum, panggil saja Mbok. Itu Sumi, istri pertama aden Prapto,” tunjuknya ke Sumi dengan senyuman yang lebih lebar, “itu, Iis, istri kedua, dan itu Fitri, istri ketiga.” Mbok Jum memperkenalkan semua anggota inti di rumah ini agar pengantin baru di depannya tidak canggung.
Ratih tersenyum, mengangguk ke semua istri Prapto. Dia lalu berjalan di belakang mbok Jum.
Dia tak menanyakan apa pun karena memang tak ingin tahu. Bahkan, kamar yang dirasa terlalu jauh, Ratih juga tak protes.
Saat mbok Jum membukakan pintu untuknya, barulah Ratih membuka mulut, “Terima kasih.”
Ratih juga membiarkan mbok Jum saat wanita tua itu pamit untuk kembali ke dapur.
Ratih mendekat ke meja rias, duduk di sana, dia segera melepas sanggul dan cunduk mentul di rambut. Ratih ingin membuang ingatan kalau dia menikah dengan Prapto beberapa jam yang lalu. Namun, pintu kamarnya terbuka, membuatnya urung dan memilih berbalik.
“Mbak Sumi—“
Sumi mengangkat tangannya yang terbuka ke udara, cukup sukses untuk menghentikan istri baru Prapto yang entah akan berucap apa. Dia berjalan mendekat ke Ratih, menyeringai, melihat Ratih dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi. “Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya. “Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih. “O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya. “Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya. Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu. Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir. “Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari per
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Ratih mencuci tangan setelah puas memberi makan kelinci pemberian Prapto. Hari ini terasa rumah besar ini begitu sepi, tak seramai biasanya, dan itu membuat Ratih rindu dengan ibu dan bapak yang dia tinggalkan tak lebih dari sebulan itu. Dia pun pergi ke dapur, para pelayan yang sibuk segera menunduk hormat, dan itu membuatnya canggung. Ratih hanya diam di tempat saat ini.“Ndoro Ratih, membutuhkan sesuatu atau ingin membuat sesuatu?” tanya pelayan pribadi Ratih.“Apa ...aku boleh menggunakan dapur?” tanya Ratih.“Tentu saja. Mari, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mempersilakan juragannya. “Ndoro lainnya juga menggunakan dapur ini, Njenengan bisa ke sini kalau ingin masak sesuatu, saya akan membantu dan mencarikan apa pun yang tidak tersedia di dapur bersih ini.” ucap pelayan itu lagi.Ratih tersenyum, mendekat ke dapur yang ditunjuk pelayan itu, dia membuka almari, banyak bahan makanan dan perabotan yang bagus. Ratih tersenyum semakin lebar, tangannya yang lincah segera menghasilkan karya,
Ratih membuka mata, ini bukan kamarnya, dan cuitan burung di luar seolah menyadarkan kalau hari sudah berganti. Lebih mengejutkan lagi saat Prapto terlelap di sebelahnya. Ratih segera bangun, dia menimang bagaimana dirinya bisa lancang naik ke ranjang dan tidur, kalau Prapto tahu? Ratih segera menggeleng, turun dan duduk di tempat yang semalam didudukinya. Tangannya dengan enggan mengulur untuk menyentuh kening Prapto, dingin melebihi tangannya sendiri, Ratih yakin kalau Prapto sudah membaik. Dia pun ke luar dari kamar itu, “Akh!” Terkejut saat melihat Fitri di depannya.“Ratih? Kamu tidur di kamar kakang Prapto?” tanya Fitri heran.“Hm ...Mbak Fitri ...kapan pulang?” tanya Ratih sambil menunduk.Fitri tak akan terpengaruh, “Baru saja, mbak Iis masuk mandi, tapi kenapa kamu sepagi ini di kamar kakang Prapto? Kamu—““Ada apa?” Prapto baru muncul dari balik pintu kamarnya.Fitri menarik salah satu sudut bibirnya, “Kakang Prapto, semalam tidur dengan Ratih?” tanyanya yang diangguki oleh
Sedari kebun Ratih tidak fokus dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Saat ini dia ada di kadang memberi makan kelincinya, pikirannya terus melayang ke beberapa jam nanti, dan itu membuatnya tak dengan saat Iis memanggilnya. Lengannya yang terasa tercubit meski kecil, membuat Ratih sadar, dan menoleh, “Mbak Iis?”“Aku memanggilmu seperti orang gila dan kamu tetap melamun di sini dengan kelinci tak bergunamu ini?” tanya Iis sinis.“Maaf, Mbak Iis.” Ratih merasa tak ada yang benar sejak tadi.Iis hanya membuang napas kasar, “Ini.” Diulurkannya lumpang, “Fitri sibuk, dia memberikan ini padaku agar diberikan ke kamu, kuharap lumpang itu bisa berguna bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua penghuni rumah besar ini, apa kamu paham?” tanyanya setengah mengejek.Ratih mengangguk. Setelah Iis pergi, dia pun melihat lumpang barunya, tersenyum karena sesuai dengan apa yang dia perkirakan, dan segera membawanya ke dapur. Ratih membuat jamu, dengan begitu dia akan merasakan suasa rumah, kerindu
Kebaya merah melekat ke kulit langsat yang bersih. Lampu temaram yang sudah meredup membuat drama semakin seru, dada naik turun Ratih membuatnya Prapto tahu kalau gadis kecil itu sangat gugup. “Kamu ...” ucapannya terus menggantung karena sorot mata tak kunjung lega.“Ingat, Mas Prapto. Setelah kamu memiliki anak dariku, maka lepaskanlah aku.” Ucapan itu sangat menyakitkan untuk Ratih, tapi dia juga tak ingin terus mendekam dalam sangkar emas ini.“Aku tidak akan membiarkan perceraian hadir dalam hidupku.” tolak Prapto tegas.“Aku di sini hanya untuk membayar hutangku, tidak lebih, tak ada perasaan apa pun, berbeda dengan ke tiga istrimu, Iis yang kau ajak bercanda di taman tadi—““Apa kamu cemburu?” tukas Prapto.Ratih menahan amarahnya, tombak ucapan Prapto menancap tepat di dadanya.“Meski semua kata sengaja kamu katakan untuk menggagalkan malam ini, aku akan tetap melakukan apa yang seharusnya, Ratih.” Prapto membuka kancing surjan yang dia kenakan, “Kalau kamu memang menganggap s