Beranda / Romansa / Istri Ke-4 Tuan Tanah / Membawa istri baru

Share

Membawa istri baru

Penulis: Jenang gula
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-03 10:32:40

Ratih menangis di kamar. Banyak yang diucapkan untuk mendebat Prapto sampai semua idenya habis. Namun, Prapto tetap tak membiarkannya pergi. Kini dirinya tengah duduk di depan meja rias, dipoles oleh dua perempuan yang bisa menyulap wajahnya lebih cantik dari biasa. Hanya saja, Ratih tetap tak ingin melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.

Saat panggilan terdengar jelas menyebut namanya, barulah Ratih mencari dan menemukan ibunya yang berdiri di ambang pintu. Bibir Ratih bergetar, air mata yang sempat mengering, kembali membelah pipinya yang sudah merona oleh sapuan bedak kemerahan.

“Ibu,” panggilnya.

Ibu Ratih mendekat, “Maafkan Ibu, Nduk ayu. Andai Ibu tidak memintamu untuk ikut berjualan jamu, tanah yang kita punya jika dijual juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang diminta Prapto, Ibu tidak rela kamu menikah dengan Prapto, tapi kita bisa apa, Nduk?” Ikut menangis juga, hatinya pilu dan meraung, tapi tak berdaya oleh keadaan ini.

“Jangan berkata seperti itu, Bu. Prapto tidak akan semudah itu mendapatkanku, aku akan membuatnya menyesal sudah berani menginjak harga diri kita. Aku janji, Bu.” Ratih sudah merencanakan sesuatu untuk membuat Prapto jera, tapi saat dia ingin mengatakan rencana itu ke ibunya, dua pria masuk dan memerintah agar dirinya segera ke luar. Ratih menurut karena tak ingin Prapto berkata kasar dan melukai perasaan orang tuanya lagi.

Prapto menoleh ke arah Ratih. Orang yang dibayar untuk merias Ratih memang pandai, terbukti wajah yang beberapa jam lalu pucat, kini segar. Setidaknya, pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang penting seperti RT, RW, dan kepala desa serta dadakan ini, tak membuatnya malu.

Ijab kabul lancar diucap oleh Prapto. impiannya memiliki anak sebentar lagi akan terwujud. Prapto menarik napas panjang dan dalam sebagai wujud rasa syukurnya.

Sedangkan Ratih kembali menangis tanpa suara. Mungkin orang akan melihat tangisan ini haru akan bahagia, tak ada yang tahu kepiluan yang dia rasakan saat dirinya sah menjadi istri ke empat Prapto, dan Ratih juga tahu seperti apa sakit hati ke dua orang tuanya. Demi kehormatan yang tersisa, Ratih tetap mencium punggung tangan Prapto, menurut saat orang mendekat dan menyuruhnya berpose untuk mengambil gambar, seolah dirinya benar-benar bahagia. “Ibu, jangan menangis, aku akan sering berkunjung untuk menjenguk Bapak, aku akan sehat dan makan yang banyak di sana, Ibu dan Bapak juga harus begitu, janji?” kata Ratih yang saat ini memeluk ibunya.

“Iya, Nduk ayu. Kamu harus lebih segar saat ke sini nanti, meski pun Prapto belum sepenuhnya bisa kamu terima, turuti semua ucapannya, dia suamimu sekarang.” Ibu Ratih mengusap punggung putrinya saat memeluk lalu mengurai, menciumi seluruh wajah putrinya, sebelum melepas penuh haru.

Ratih mengangguk, berganti dengan memeluk bapaknya yang berbaring di ranjang, “Jangan menangis, Bapak. Aku akan berkunjung, Bapak harus sudah bisa duduk saat aku ke sini nanti.” Ratih mengurai pelukan itu, mengusap pipi bapaknya perlahan, meninggalkan kecupan di pipi, lalu pergi.

Prapto menghentikan semua tangisan itu.

“Aku menikahi putrimu, bukan menculiknya,” ejeknya setengah geram, “ini mas kawin Ratih!” 

Prapto menyodorkan sebuah amplop yang berisi uang ke ibu Ratih, jumlahnya bisa digunakan untuk membeli sepuluh anak sapi.

“Dan aku akan mengajak Ratih pulang sekarang. Sudah terlalu lama aku di sini, lebih cepat lebih baik karena hutang Ratih padaku tidak harus berbunga,” imbuhnya.

Prapto pun menarik tangan Ratih tak terlalu kencang, membawa Ratih ke luar, dan naik dokar miliknya. Prapto diam di sepanjang perjalanan, bukan karena dia menyombongkan diri, tapi memikirkan akan seperti apa kemarahan Sumi nanti.

Ratih terlalu muda. Prapto juga tidak pulang selama dua hari dan tiba-tiba dirinya kembali bersama Ratih. Namun, mau bagaimana lagi? Keegoisannya terkadang membutakan semua indra yang dia punya. Saat dokar tiba di rumah, Prapto turun lebih dulu, menoleh ke Ratih yang masih diam di dalam.

“Kamu tidak turun? Mau di sana sampai besok pagi? Lusa? Tahun depan?” ucap Prapto tanpa ekspresi.

Ratih membuang napas kasar. Persis seperti perkiraannya, Prapto adalah orang yang kasar dan tak berprikemanusiaan. Ratih dibiarkan turun sendiri, Prapto tidak menolongnya.

Lagi-lagi, Prapto membuatnya semakin membenci. Ratih mengenakan kebaya putih kain sutra yang berpadu dengan jarik motif Sidomukti kualitas terbaik, tapi itu tak membuat kegugupannya hilang. Banyak pasang mata menatapnya saat ini. 

Ratih membawa kakinya ke sana, lalu berhenti tepat di samping Prapto. “Perlakukan aku dengan baik atau aku tidak akan pernah melahirkan anak untukmu,” ucapnya lirih. Ratih ingin hanya Prapto saja yang mendengarnya.

Prapto terkekeh, menoleh ke Ratih, “Apa kamu pikir di sini kamu yang berkuasa? Kamu lupa kalau kamu ke sini untuk membayar hutangmu? Aku bukan pengemis di rumahku sendiri, jadi jaga sikapmu,” ucap Prapto yang ikutan pelan karena semua kalimat itu khusus untuk Ratih saja.

“Mbok Jum!” teriaknya, dan tanpa menunggu lama semua penghuni rumah pun sudah ke luar untuk menyambutnya.

“Iya, Aden Prapto,” jawab mbok Jum sambil mendekat.

Ratih semakin gugup, jantungnya berdebar lebih cepat lagi, kini wanita yang terkebaya anggun sudah menampakkan diri. Ratih bisa menebak kalau ketiganya adalah istri Prapto. Keringat di keningnya keluar, “Aku—“

“Diamlah,” desis Prapto yang segera berjalan meninggalkan Ratih, lebih mendekat ke mbok Jum, “Dia Ratih, istri baruku, beri dia satu pelayan, dan tempatkan di kamar dekat taman samping, aku akan beristirahat sebentar.” 

Setelah melihat mbok Jum mengangguk, Prapto pun ke kamarnya untuk beristirahat.

Mbok Jum menoleh ke Sumi, menyeringai. Baru saja kemarin membicarakan hal ini, dan semua sudah menjadi kenyataan.

“Mari, kamarmu di sini. Namaku Jum, panggil saja Mbok. Itu Sumi, istri pertama aden Prapto,” tunjuknya ke Sumi dengan senyuman yang lebih lebar, “itu, Iis, istri kedua, dan itu Fitri, istri ketiga.” Mbok Jum memperkenalkan semua anggota inti di rumah ini agar pengantin baru di depannya tidak canggung.

Ratih tersenyum, mengangguk ke semua istri Prapto. Dia lalu berjalan di belakang mbok Jum.

Dia tak menanyakan apa pun karena memang tak ingin tahu. Bahkan, kamar yang dirasa terlalu jauh, Ratih juga tak protes.

Saat mbok Jum membukakan pintu untuknya, barulah Ratih membuka mulut, “Terima kasih.”

Ratih juga membiarkan mbok Jum saat wanita tua itu pamit untuk kembali ke dapur.

Ratih mendekat ke meja rias, duduk di sana, dia segera melepas sanggul dan cunduk mentul di rambut. Ratih ingin membuang ingatan kalau dia menikah dengan Prapto beberapa jam yang lalu. Namun, pintu kamarnya terbuka, membuatnya urung dan memilih berbalik.

“Mbak Sumi—“

Sumi mengangkat tangannya yang terbuka ke udara, cukup sukses untuk menghentikan istri baru Prapto yang entah akan berucap apa. Dia berjalan mendekat ke Ratih, menyeringai, melihat Ratih dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Ke-4 Tuan Tanah   Lembaran baru - END - EPILOG

    Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.

  • Istri Ke-4 Tuan Tanah   Apa kau mencintai?

    Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok

  • Istri Ke-4 Tuan Tanah   Nasi jadi bubur

    “Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau

  • Istri Ke-4 Tuan Tanah   Satu sisi

    Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb

  • Istri Ke-4 Tuan Tanah   Kenyataan tak diinginkan

    Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem

  • Istri Ke-4 Tuan Tanah   Nama baik

    Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status