Ratih sedang malas ke luar, dia tetap di kamar dan duduk menghadap ke jendela. Langkah kaki datang, dia pun menoleh sejenak, tersenyum saat menemukan Sumi di sana. “Mbak, jangan menyibukkan dirimu sendiri.” Ucapnya sambil memberi tempat untuk istri tertua Prapto itu.Sumi ikut tersenyum, “Ada apa? Kulihat kamu murung dari tadi, dan mata itu, aku yakin itu bukan kelelahan, tapi kamu begadang. Saat aku ke ruang makan, aku berpapasan dengan kakang Prapto, dan itu artinya semalam dia tidak tidur denganmu, kan? Ceritakan, mungkin aku bisa membantumu.”Ratih menggeleng, “Rasanya tidak mungkin, Mbak. Semua terlalu kacau.”“Apa maksudmu, Ratih? Kau sedang hamil besar, jangan terlalu banyak pikiran.” Sumi yang tadinya ingin menyulam, kini malah kawatir dengan keadaan dan ucapan Ratih barusan.Ratih menghela napas, dia tak mungkin menahan beban ini sendiri, “Semalam mas Prapto memang tidur denganku,”Mendengar itu, Sumi marah, dia cemburu, tapi semua dia tahan demi anak yang dikandung Ratih. Ba
“Minumlah.” Pria itu memberi Siti kelapa muda yang baru saja dipetik kemarin, itu adalah milik Ratih yang mewajibkan harus ada kelapa muda di kandang untuk diminum setiap hari.Siti segera mengambilnya lalu meminumnya.“Kamu sakit? Apa aden Prapto menyakitimu?” dia kawatir karena Siti berjalan teramat pelan sejak ke luar dari warung goyang.Siti menggeleng, “Kami hanya membicarakan beberapa hal penting di sana, lagi pula mana mungkin aden Prapto menyakitiku? Aku akan pelayan pribadi ndoro Ratih.”“Kalau memang begitu, izin saja barang sehari, tidak biasa kamu muntah, kan? Aku kawatir.” kata pria itu.Siti terkekeh, “Jangan kawatirkan aku, aku ini bukan anak kecil.”“Kalau kamu bukan anak kecil, kamu tidak akan pernah bermimpi bisa bersanding dengan aden Prapto.”Siti merasa kelapa muda di tangannya jadi hambar, “Kenapa kau mengatakan itu?! Apa kau punya urusan dengan semua mimpi-mimpiku, huh?!”Pria itu tersenyum, “Kenapa kamu tersinggung? Kalau dipikir, di sini kamu yang jahat, banya
“Kenapa? Tidak biasa kamu datang ke kamarku?” tanya Prapto. Baru saja selesai menyisir rambutnya, menyemprotkan parfum, dan kini duduk di kursi panjang yang sudah ada Sumi di sana.“Katakan, Kakang. Apa yang membuatmu mau bermain gila dengan Siti?” todong Sumi.Prapto mengerutkan kening sangat dalam, tidak mengira kalau Sumi sudah mengetahui tentang semua ini. “Aku tidak pernah main gila dengannya.” sanggah Prapto. Dia tak akan pernah mengakui hubungan itu karena memang tak ada apa pun antara dirinya dan Siti.“Kalau memang begitu, kenapa Ratih mendengar hal lainnya?”Prapto lebih kaget lagi, apa kiranya Siti yang menyebarkan semua aib ini?“Aku tidak sudi Kakang menikah dengan Siti, mau jadi apa keluarga ini, Kakang? Dia pelayan dari kelas rendahan, jangan membuat Kakang malu sendiri nanti. Meski aku tidak bisa memberimu seorang anak, setidaknya Ratih sudah melahirkan anak untukmu, kan? Anak yang nantinya kurawat dengan ke dua tanganku, dengan penuh kasih sayang, setidaknya Ratih ada
Prapto terkekeh, “Kau memang tidak tahu malu. Aku menarikmu ke sini bukan karena ingin meminta jatah darimu, tapi aku minta tanggung jawabmu, ke mana kau dari tadi hingga tak melihat majikanmu hampir melahirkan, huh?!” andai Siti lelaki, mungkin lebih baik dipukul saja agar memahami akan pekerjaannya.Siti malah tertawa, dia melepas tangan Prapto yang menaut lengannya, dan menyeringai, “Buat apa? Bahkan sebentar lagi aku juga akan menjadi istrimu, seorang anak akan lahir dari rahimku, kenapa aku harus bekerja?”Tidak salah, memang wanita di depannya ini bukan wanita biasa, Prapto sudah menduganya sejak lama, “Hanya sehari dan kau bilang kau mengandung anakku? Kenapa secepat itu? Kau pikir aku bodoh, huh?!”“Lambat laun anak itu akan hadir, aku sudah menyiapkan semuanya, rahimku sangat sehat dan kau mengeluarkannya di dalam, apa lagi yang harus diragukan?” Siti tak menyangka kalau Prapto cukup kuat.“Aku yakin—““Aden Prapto, ndoro Ratih sudah melahirkan, anak Njenengan seorang putra.”
Lek Tejo mengeluarkan kantong uang, diletakkan di meja bersamaan dengan buku catatan, “Sisa seekor.”Prapto menyerahkan putranya ke pelayan, “Bawa masuk, mungkin ngantuk, biar Sumi yang mengurusnya.”“Inggih, Aden Prapto.” jawab pelayan itu lalu pergi.Prapto membuka kantong uang, menghitung dan membaca buku catatan, “Aku sangat rindu dengan pasar, seperti apa suasa di sana?” terkekeh. Hasil dari menjual sapai tak pernah mengecewakan.“Lancar, ramai seperti biasanya. Njenengan dapat salam dari aden Bima.” ucap lek Tejo.“Bima? Lapaknya cukup jauh, dia yang datang atau Lek Tejo bertemu di warung?” Prapto menyimpan kembali semua uang yang hitungannya benar dan sesuai dengan catatan.“Aden Bima yang datang. Dia ...” lek Tejo gamang, apakah dia harus menceritakan semuanya? “Ndoro Ratih sudah mau ke luar dari rumah.” Imbuhnya dan segera menunduk.Prapto berhenti, beberapa uang belum masuk kantong, dan kini tangannya menjadi lemas kembali. Sudah lama dia menghindari pembicaraan ini, tapi le
Sumi membuka pintu kamar pribadi Prapto, melihat suaminya duduk di depan jendela, menatap ke arah taman, Sumi datang dan mengusap pundak Prapto.Prapto menoleh dan tersenyum, “Tole sudah tidur? Dia rewel tadi.”Sumi mengangguk, “Sampun, Kakang. Makan siang sudah siap, ayo kita makan dulu.” Lirih Sumi, dia ingin menyejukkan hati Prapto yang terlihat semakin hari semakin menyedihkan saja.“Aku tidak lapar.” Tolak Prapto halus. “Oiya, aku sangat lama tidak ke pasar, kata lek Tejo banyak yang menanyakanku, mungkin aku minggu depan akan ke pasar.” Prapto menepuk ruang kosong di sebelahnya, Sumi segera duduk, dan Prapto kembali menatap ke arah luar.“Aku senang kalau Kakang ke pasar lagi, mencari kesibukan, dan menemukan nyawa Kakang kembali.” Sumi mengambil tangan Prapto, menaruhnya di dada dan memeluknya.Prapto terkekeh, “Bukankah aku di sini? Semua yang kamu rasakan berbeda hanya karena pemikiranmu saja, Sumi.”“Anggap saja memang pemikiranku, tapi sekarang sudah waktunya makan siang, a
Bima terkekeh, “Aku pergi dulu.” Ratih yang mengangguk, Bima ikut mengangguk juga dan beranjak. Semua masih abu-abu dan Bima seolah tertantang untuk menyingkap semuanya.Ratih menghela napas. Dia tadi ingin ke kebun, melihat ada apa di sana, jadi setelah yakin Bima benar-benar pergi, Ratih pun berangkat ke kebun. Matahari sudah tinggi, yakin kalau pekerja kebun tengah istirahat saat ini. Saat tebakannya benar, Ratih pun bergabung, duduk dengan dua pekerja yang baru saja selesai makan siang itu.“Ndoro Ratih, kapan datang?” tanya pekerja yang lebih tua.“Kemarin.” dusta Ratih, “Panen apa sekarang, Lek?” tanyanya meski tadi di rumah ibu sudah bercerita.“Jagung, Ndoro. Tapi ini jagung manis, bibitnya cukup mahal, ibu yang beli di pasar, ibu memang lebih banyak paham dari pada kita.” Pekerja tua itu terkekeh.“Kapan dibawa ke pengepul?” tanya Ratih.“Ini panen terakhir, besok pagi kita ke sana, baru lusa sisanya dibawa ke pasar.” Jawab pekerja muda.“Bagaimana dengan dokarnya? Apa ibu ju
Lek Tejo menarik tali, tiga kuda itu pun berhenti, dan dia tersenyum sambil menoleh ke dalam. “Tidak biasa Aden mengajak saya ke pasar? Bukankah kita sudah punya pelayan yang belanja?” tanyanya.Prapto tersenyum juga, “Ada yang harus kubeli dan rasanya pelayan itu juga tidak akan mengerti dengan yang kumaksudkan. Lek Tejo, mau ikut?” tawarnya.“Tidak, Aden Prapto. Biar aku di sini saja.” Lek Tejo memilih untuk membeli kopi dan makan gorengan di warung depan pasar. Bertemu dengan kusir lain, menceritakan banyak hal mengenai kuda dan pakannya, cukup lama hingga kopi di depannya tinggal separuh pendek.“Ayo!” Prapto yang tahu di mana warung yang dituju lek Tejo tadi, mengejutkan lek Tejo yang masih seru.“Mari!” lek Tejo pamit ke semua kusir di sana dan membayar apa yang sudah masuk perut. “Sudah ketemu, Aden?” tanyanya sembari naik ke kemudi dokar.Prapto terkekeh, “Sudah. Oiya, apa selama ini Lek Tejo tidak pernah bertemu dengan mbok Jum? Apa dia juga tidak pernah ke pasar?”“Tidak. Pe