Suara azan subuh berkumandang membangunkan Faiz dan Aisyah yang masih setengah sadar. “Aaaa!” jerit Aisyah saat melihat pakaian mereka berdua berserakan di lantai. "Apa yang terjadi, Humairaku?" tanya Faiz kebingungan sambil menatap wajah Aisyah. "Ada apa?" "Ihhh, Kak Faiz, ngapain unboxing, sih?" ucap Aisyah kesal sambil menatap Faiz. "Maaf, Humairaku," ucap Faiz merasa bersalah. Aisyah memalingkan wajahnya dan hendak turun dari kasur, namun merasakan sakit di area tubuhnya. "Aduh, sakit banget," keluh Aisyah. "Yang mana yang sakit, Humairaku? Apakah ada yang bisa aku bantu?" tanya Faiz. "Tahu ahh!" Aisyah mengerucutkan bibirnya. Faiz mendekat dan mengelus lembut rambut Aisyah, lalu mencium singkat. "Maaf ya, Humairaku. Lain kali aku nggak bakal minta jatah, sampai kamu sendiri yang memutuskan untuk memberikannya," ucap Faiz sambil memasang wajah sedih dan memeluk Aisyah. "Hmm," jawab Aisyah singkat. "Yuk, aku bantu ke kamar mandi, habis itu kita sholat bareng ya?" uc
"Happ" Faiz berhasil menangkap Aisyah, "Sayang, aku sudah bilang pegangan yang erat, kamu jadi jatuh," ucap Faiz dengan khawatir. Aisyah tersenyum, "Hehe, maaf ya, Pak Suami, Aisyah terlalu senang sehingga lupa pegangan," ucap Aisyah sambil nyengir. "Iya, tapi lain kali hati-hati ya. Aku tidak mau melihat kamu sampai terluka lagi, oke?" ucap Faiz sambil menurunkan Aisyah dari gendongannya. "Iyaa, Aisyah akan lebih hati-hati," jawab Aisyah sambil tersenyum pada Faiz. Faiz mengelus kepala Aisyah, "Baiklah, sekarang mau main apa lagi?" tanya Faiz. Aisyah memikirkan sambil melihat sekeliling. "Aku mau makan es krim itu," tunjuk Aisyah, "tapi sepertinya Aisyah sudah menghabiskan banyak uang ya? Kita pulang saja," ucap Aisyah merasa tidak enak meminta lagi kepada Faiz. Faiz memegang wajah Aisyah, "Sayang, jika aku bisa membuatmu bahagia, rezeki akan selalu mengalir. Selama aku punya uang, jangan khawatir, beli saja apa yang kamu inginkan, oke?" ucap Faiz dengan lembut. Aisyah mengang
"Apa yang harus aku lakukan? Kuliah atau kerja?"Aisyah menatap ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Pikirannya berkecamuk. Semenjak ibunya harus mendapatkan perawatan intens di rumah sakit, ia jadi bingung menentukan masa depannya."Jika aku kuliah, dari mana aku akan mendapatkan biaya yang begitu besar, belum lagi uang untuk pengobatan ibu," pikiran Aisyah kembali berisik. "Tapi jika aku bekerja, bagaimana dengan cita-citaku?"Andaikan saja ayahnya masih di sini, Aisyah tidak akan merasa sendirian seperti ini. Sebagai anak tunggal dan seorang yatim, satu-satunya teman Aisyah adalah sang ibu. Dia menghapus air matanya, mengingat betapa cerianya ibunya dahulu, yang selalu memberikan kasih sayang setiap hari. Namun, kini, dia hanya bisa menyaksikan ibunya terbaring lemah tak berdaya."Ibu, jujur, Aisyah tidak bisa jauh dari Ibu. Aisyah harus bagaimana? Aisyah tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan ibu yang terbaik." gumamnya, suara lembutnya pecah di ruangan yang su
Aisyah yang kebingungan, untuk menjawab pertanyaan dari ibunya kemudian berucap, "Ibu, bolehkah Aisyah bicara berdua dengannya?" ucap Aisyah mengalihkan matanya menatap Faiz.Kemudian Umi Fatimah menjawab, "Boleh dong, Sayang. Silahkan," ucapnya tersenyum. "Aisyah, ibu harap kamu mengambil keputusan yang tepat ya? Dan ibu mohon pertimbangkan perjodohan ini.""Nak, ibu yakin Nak Faiz yang terbaik untukmu. Ibu harap Aisyah menerima perjodohan ini, agar ketika ibu meninggalkanmu, ibu merasa tenang," ucap ibunya menatap serius Aisyah.Aisyah merasa terjepit dalam sebuah pilihan yang sulit. Di satu sisi, dia merasa perlu untuk memenuhi keinginan ibunya, tetapi di sisi lain, dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri."Faiz, Aisyah, Umi mengerti bahwa ini adalah keputusan besar yang harus dibuat. Tapi percayalah, kami hanya menginginkan yang terbaik untuk kalian berdua," ucap Umi Fatimah dengan suara lembut, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di udara.Faiz mengangguk, menco
"Hah? Beneran, Aisyah? Kamu terima?" ucap Faiz bertanya dengan penuh antusias."Iyaa, aku terima," ucap Aisyah sedikit tersenyum."Terimakasih, Aisyah. Terimakasih sudah mau menerima perjodohan ini," ucap Faiz, nampak begitu senang.Aisyah juga senang, namun karena gengsinya, ia berbalik meninggalkan Faiz. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum, dan hatinya berdebar-debar sangat kencang."Aduuh, apa ini? Namanya baper ya?" ucap Aisyah karena untuk pertama kalinya dia merasakan hal semacam ini.Melihat kepergian Aisyah, Faiz berteriak, "Calon istriku mau kemana?" teriak Faiz sedikit menggoda Aisyah.Aisyah berbalik, "Ihhh, Faizz! Apasiih!" ucap Aisyah mengulum senyumnya malu tauu!! Pipinya merona mendengar ucapan Faiz.Melihat tingkah Aisyah, Faiz bergumam, "Aku tidak menyangka bahwa takdirku akan menikahi gadis kecil seperti Aisyah. Aku tidak sabar menantikan melewati hari-hari bersamanya," gumamnya sambil tersenyum.Melihat Faiz tersenyum sendiri, Aisyah berkata, "Kamu kenapa senyum-s
Hari pernikahan mereka pun tiba. Aisyah duduk tengah di kursi make up, didampingi oleh ibunya. Di hari pernikahannya, Aisyah mengenakan hijab.“Waah, Aisyah, kamu cantik sekali. Kamu adalah klien tercantik yang pernah aku make up,” ucap MUA itu kepada Aisyah.“Terimakasih ya,” ucap Aisyah tersipu. “Memang betul, anak ibu ini sangatlah cantik,” ucap ibunya bangga.Aisyah berdiri di depan cermin, hatinya berdebar kencang, merasakan campuran gugup dan kebahagiaan. Kemudian, ibunya memanggilnya untuk duduk di hadapannya. Aisyah tersenyum sambil menatap mata ibunya dengan penuh kasih.Ibu memperhatikan wajah Aisyah dengan cermat. “Nak, ibu sangat bahagia bisa melihatmu menikah hari ini,” ucap ibunya sambil berkaca-kaca.Aisyah mengangguk menahan tangisannya. “Aisyah juga senang, ibu. Ibu bisa melihat Aisyah menikah,” ucap Aisyah dengan suara bergetar.Sementara di luar, Faiz merasa agak tegang. Penghulu telah tiba dengan para tamu undangan.Kini Faiz dan penghulu sudah duduk berhadapan, sa
"Ibu, bangunlah," ucap Aisyah sambil mengguncang tubuh ibunya. "Kak Faiz, ayo kita bawa ibu ke rumah sakit," tambahnya, air mata mengalir dari matanya.Faiz mengecek denyut nadi ibunya, lalu berkata, "Innalillahi wa inna ilahi raji'un, wa inna ila rabbina lamunqalibun. Allahummaktubhu indaka fil muhsinin, waj'al kitabahu fi'illiyyin, wakhlufhu fi ahlihi fil ghabirin, wa la tahrimnaa ajrahu wala taftinna ba'dahu."Aisyah, ibu sudah tiada," ucap Faiz sambil memeluk Aisyah, turut menangis melihat keadaan istri dan anaknya yang terpukul. Faiz kemudian mengusap lembut kepala Aisyah, mencoba memberinya kekuatan.Fatimah melangkah gontai mendekati Dinda, "Mengapa kamu pergi begitu cepat? Kamu udah janji akan sembuh dan sehat, tapi mengapa kamu meninggalkan kita semua?" Tangis Fatimah pecah, memeluk erat tubuh Dinda."Umi, tenanglah," ucap Abi Faizal menenangkan Fatimah, lalu menatap Aisyah, "Nak, seperti yang dikatakan ibumu, Allah lebih menyayangi beliau sehingga mengambilnya. Kita harus be
"Assalamualaikum warahmatullah, Assalamualaikum warahmatullah"Setelah salam selesai, Faiz berbalik, dan Aisyah segera mencium punggung tangan Faiz, sementara Faiz mencium pipi Aisyah berkali-kali, mengelus rambutnya, dan memeluknya. "Humairaku, mungkin akan banyak masalah yang menghampiri kita, namun kita akan melaluinya bersama. Mungkin juga banyak kebahagiaan yang akan kita rasakan bersama," ucap Faiz dengan penuh kasih.Faiz melanjutkan, "Humairaku, mungkin di luar sana ada banyak pria yang lebih sholeh dariku, dengan iman yang lebih kuat, dan ketampanan yang lebih. Namun aku merasa sangat beruntung, bisa mendapatkan kasih sayangmu. Percayalah, aku tidak akan pernah meninggalkanmu saat kau jatuh atau sedang terbang tinggi."Aisyah tersenyum bahagia mendengar ucapan Faiz. "Kak Faiz, dipertemukan denganmu adalah hal paling bahagia bagiku. Terima kasih telah menjadikanku istrimu, dan terima kasih karena telah membuatku percaya bahwa kehilangan bukanlah ak