"Jangan beritahu soal apa?"Gluk! Emily memelan salivanya dengan susah payah. Setelah itu, dia dan Chrisa menoleh ke arah pintu ruang kesehatan dan .... "Katakan Emily! Hal apa yang akan kamu tutup-tutupi dari aku dan Opa?" tanya Axel sambil menatap tajam ke arah Emily. Gluk! Emily kembali menelan salivanya dengan susah payah. Dia tidak menyangka dengan keberadaan Axel di sana. Sementara Chrisa, dia langsung bangun dari duduknya. Dia membungkukkan badannya pada Axel. Setelah itu, dia pergi dari sana, tidak mau mengganggu kedua majikannya. Axel menatap Chrisa yang berjalan pergi. Dengan segera Axel menutup pintu ruang kesehatan itu. Dia berjalan ke arah Emily sambil terus menatap istri kecilnya itu. "Kenapa diam saja?" tanya Axel ketika sudah sampai di sebelah brankar Emily. "Jawab!" teriak Axel ketika tidak kunjung mendapat jawaban dari Emily. "Bu-bukan apa-apa, Om. Tadi aku sama Kak Chrisa hanya sedang berbicara hal yang tidak penting. Jadi jangan di pikirkan, Om," jawab Emi
Axel menatap Emily yang sedang menundukkan kepalanya. "Kamu boleh pergi, Arthur."Arthur mengangguk patuh. Dia mundur beberapa langkah, setelahnya dia keluar dari ruang kesehatan di mana Emily dan Axel berada. "Apa yang terjadi?" tanya Chrisa ketika Arthur baru saja keluar dari dalam ruang kesehatan. Arthur menatap Chrisa yang sedang berdiri di depan ruang kesehatan bersama Maxime. "Tidak ada," jawab Arthur, "Tuan Muda hanya menanyakan siapa yang telah membawa Nona Muda ke ruang kesehatan saat Nona Muda pingsan.""Lalu apa yang kamu katakan?" tanya Chrisa. "Ya apa lagi? Aku mengatakan kalau yang membawa Nona Muda adalah Raihan.""Astaga!" Chrisa mengusap wajahnya dengan kasar. "Arthur! Kenapa kamu bodoh sekali sih! Kenapa juga kamu mengatakan hal itu? Seharusnya kamu itu jangan bilang kalau yang bawa Nona itu Raihan! Kalau seperti ini bagaimana nasib Nona!"Arthur menatap Chrisa dengan tatapan bingung. "Memangnya kenapa?"Chrisa langsung menatap Arthur dengan tajam. "Masih tanya ke
"Bagaimana? Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?" tanya Axel sambil menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menghiasi setiap sudut kota. "Sudah, Tuan Muda.""Bagus. Aku tidak akan membiarkan orang-orang yang sudah mengganggu milikku."Maxime menatap punggung Axel. "Jadi ... apa Tuan Muda akan kembali ke mansion malam ini?" Axel berbalik, dia menatap Maxime yang juga sedang menatap dirinya. "Untuk malam ini aku masih akan di sini. Jika kamu mau pulang, pulanglah. Aku tidak akan melarang kamu.""Jika Anda masih ingin di sini, maka saya juga akan tetap di sini.""Terserah kamu," ucap Axel kembali berbalik menatap gedung-gedung pencakar langit, "sekarang kamu boleh pergi, Max.""Kalau begitu saya permisi, Tuan." Maxime membungkukkan tubuhnya, setelah itu dia segera keluar dari ruangan Axel. Axel terus menatap gedung-gedung pencakar langit. Namun, ketika dia sedang menatap gedung salah satu gedung tiba-tiba bayangan istri kecilnya terlintas di pikiran A
Emily membuka matanya dengan berat, entah kenapa kepalanya terasa sangat berat. Mungkin akibat semalam Emily sempat terjaga dan susah tidur kembali. Emily bangun, merubah posisinya menjadi duduk. Dia meraih ponsel yang semalam dia letakan di atas nakas di samping tempat tidurnya. Untuk melihat sudah jam berapa saat ini. Emily melebarkan kedua bola matanya ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh tujuh menit. Dengan segera Emily menggeser tubuhnya ke pinggiran ranjang dan meregangkan tubuhnya. Baru saja Emily akan berdiri, pintu kamarnya sudah terbuka. Cek lek ....Emily tersenyum ketika melihat siapa yang membuka pintu kamarnya. "Selamat pagi, Nona," sapa Chrisa dengan penampilan yang sudah rapi. Dengan setelan jas dan celana serba hitam yang menjadi seragam hariannya begitu pas di tubuh Chrisa. Beberapa hari ini Chrisa sengaja memakai seragam hariannya, agar lebih leluasa ketika tiba-tiba ada hal yang terjadi. "Selamat pagi, Kak," balas Emily. Seperti bia
Emily, Rara dan Winda sampai di kantin. Emily langsung mencari keberadaan Chrisa dan Arthur. Tidak butuh waktu lama Emily bisa menemukan Chrisa yang sedang duduk di sebuah bangku dengan ponsel di tangannya. Emily menautkan alisnya ketika tidak melihat Arthur, padahal biasanya Arthur selalu bersama Chrisa. "Di mana Arthur?" Satu pertanyaan itu yang ada di dalam benak Emily, karena tidak biasanya Arthur tidak ada. "Emily, kita mau pesen makanan, kamu mau nitip makan sekalian nggak?" tanya Winda sambil menatap Emily yang masih melihat ke arah Chrisa. Emily beralih menatap Winda. "Terima kasih, Win. Kalian pesan dulu aja, aku mau langsung ke sana saja," tolak Emily sambil menunjuk ke arah Chrisa. "Ok. Kalau gitu kita pesan dulu ya," ucap Winda sambil melambaikan tangannya pada Emily. Emily membalas lambaian tangan Winda dan Rara sambil tersenyum. Setelah itu, dia segera beralih ke arah Chrisa lagi, berjalan mendekat ke arah asisten pribadinya itu. "Keliatannya seru banget, Kak. Main
Emily berbalik hendak pergi dari ruangan Axel. Namun, langkahnya terhenti ketika Axel menahan tangannya. "Apa lagi?" tanya Emily kesal. "Kenapa? Apa kamu marah?" tanya Axel sambil menatap Emily. "Aku tidak marah, hanya saja aku tidak suka sama tindakan Om yang seenaknya itu," ucap Emily sambil menatap Axel dengan tatapan kecewa. "Apa salah Raihan? Kenapa Om malah buat Raihan pindah ke luar negeri?""Apa kamu tidak suka jika orang yang kamu cintai pergi?" tanya Axel sambil menatap Emily dengan tajam. Emily melebarkan kedua bola matanya. Dia bertanya-tanya kenapa Axel bisa tahu akan hal itu. Ah, iya! Emily lupa siapa suaminya itu. Axel bahkan akan sangat mudah mencari tahu tentang identitas seseorang dalam hitungan menit. Karena itu, Emily tidak boleh bermain-main dengan suaminya itu. "Kenapa? Apa kamu terkejut dengan kenyataan kalau aku tahu siapa Raihan?" tanya Axel sambil menatap wajah Emily yang masih terlihat tersebut, "ingat Emily! Kamu itu istri ku yang artinya kamu itu mili
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" tanya Maxime dari seberang telepon. "Belikan baju untuk Emily."Baru saja Maxime akan membuka mulutnya untuk menyahut, tetapi Axel secara sepihak sudah mematikan sambungan telepon mereka. Maxime mendengkus dengan kelakuan bos sekaligus sahabatnya itu. Kenapa dari dulu dia tidak pernah berubah? Selalu melakukan hal sesuka hatinya."Kebiasaan banget jadi orang! Mentang-mentang bos berlaku seenaknya gitu." Maxime menaruh telepon kantor pada tempatnya kembali dengan kasar. "Tadi dia bilang apa? Beli baju buat Nona Muda?" Maxime mengingat perintah Axel. "Bagaimana aku bisa beli baju untuk Nona Muda? Sementara aku tidak tahu ukurannya. Lagi pula, untuk apa beli baju untuk Nona Muda. Apa Axel ingin memberi kejutan untuk Nona Muda?"Setelah itu, Maxime mengangkat teleponnya kembali dan menekan satu nomor hingga sambungan telepon terhubung. "Selamat siang, Pak Maxime?" tanya seseorang dari seberang telepon. "Sandra, Nona Emily apa saat ini ada di ruang
Ting! Pintu lift terbuka tepat di lantai tiga. Chelsea dengan segera berjalan menuju kamar yang dia tuju. Dia menekan bel kamar tersebut, hingga tidak lama kamar itu terbuka dan memperlihatkan seorang pria yang secara tiba-tiba langsung menarik Chelsea ke dalam kamar tersebut. Pria itu langsung mencium bibir Chelsea dengan rakus. Dia menahan tengkuk Chelsea dan memegang tangan Chelsea ke belakang tubuh Chelsea, mengunci tangan Chelsea agar gadis itu tidak memberontak. Pria itu terus melumat bibir Chelsea, bahkan sesekali dia menggigit bibir itu karena sangat gemas. "Sebenarnya apa mau kamu, hah?!" sentak Chelsea ketika pria itu sudah melepas ciumannya. "Kamu tahu apa yang aku inginkan, Chelsea." Pria itu mengusap rambut Chelsea dengan lembut. Semakin lama usapannya semakin turun hingga saat ini tangan itu sudah sampai di pinggang Chelsea. Setelah itu, pria itu menarik pinggang Chelsea ke dalam pelukannya. "Lepasin, Alfa! Ingat! Hubungan kita ... itu sudah berakhir hhh!" ucap Che