Lavira menggelengkan kepalanya cepat saat kesadaran menghampirinya. Gadis itu kembali menoleh dan menatap Avram yang ternyata juga sedang menatapnya. Napas Lavira tercekat melihat tatapan intens mata tajam Avram. Merasa tidak sanggup, Lavira mengalihkan kepalanya dengan gerakan kaku.“Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin meminta izin kepada Anda. Saya akan pergi ke sekolah,” tutur Lavira dengan suara pelannya.Avram menatap penampilan Lavira dari atas sampai bawah. Laki-laki itu baru menyadari jika gadis itu sedang memakai seragam sekolah. Setelahnya Avram kembali sibuk dengan laptopnya seakan tidak tertarik.Lavira melirik ke arah Avram yang masih tidak bersuara. Melihat Avram kembali sibuk dengan pekerjaannya, membuat Lavira menghela napas pelan. ‘Anggap saja dia mengizinkan aku. Dia kan tidak membanta, itu artinya aku sudah dizinkan,’ batin Lavira.“Ka-kalau begitu terima kasih, Tuan.” Lavira berucap sambil menundukkan kepalanya ke arah Avram.Setelahnya gadis itu mulai melangkah mendek
‘Dia memanggil perempuan itu dengan panggilan Nyonya Dakasa. Sedangkan aku selama ini hanya dipanggil Nyonya Siara,’ rutuk Siara di dalam hati.Lavira menatap Rino dengan pandangan tidak paham gadis itu tidak mengenal siapa Rino. Melihat kebingungan dan raut polos Lavira, Rino kembali bersuara. “Maafkan saya, perkenalkan nama saya Rino Putra. Saya adalah asisten sekaligus tangan kanan Tuan Dakasa,” tutur Rino memperkenalkan diri.‘Oh, jadi dia tangan kanan Tuan Dakasa? Tapi kenapa dia begitu sopan kepadaku, apalagi dia memanggilku Nyonya Dakasa?’ batin Lavira tidak paham.“Tuan Rino kenapa harus berucap sopan seperti itu kepadanya? Dia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dia kan hanya penebus hutang,” papar Feria nampak tidak suka melihat Rino berbicara begitu lembut dan sopan kepada Lavira. Sedangkan saat bersamanya selama ini, Rino bahkan tidak pernah menanggapi kalimat Feria.“Mari, Nyonya. Saya antar ke sekolah,” Rino bersuara kembali menghiraukan kalimat Feria. Jelas saja hal
“Hai, Lavira.” Suara seseorang mengalihkan perhatian Lavira dari makannya. Gadis itu menatap Joana dan Kili dengan pandangan waspada. Lavira bisa menebak apa yang akan terjadi kepada dirinya setelah ini.Jelas dari tatapan dan senyum jahat yang terlihat di wajah dua gadis itu. Lavira hanya bisa pasrah dengan nasibnya hari ini. Tidak lepas dari satu hari pun bagi Lavira yang selalu mendapat perlakuan buruk dari Joana dan satu temannya itu.“Wah, apa menu makan siangmu kali ini? Masih tidak berubah, ya. Apa kau tidak bosan?” Kili bersuara sambil menatap jijik ke arah dua potong roti tawar di atas meja itu.“Heh, namanya juga gembel. Bosan tidak bosa, ya harus dimakan supaya tidak mati.” Joana menyahut kalimat Kili sambil tertawa mengejek. Kili ikut tertawa mendengar kalimat Joana. Begitu pula dengan beberapa murid lain yang mendengar perkataan Joana.Lavira hanya dia, gadis itu memang tidak pernah membantah. Seperti apapun orang-orang menghina dan mencaci makinya. Lavira akan tetap dia
“Lebam ini kenapa?” tanya Avram dengan suara dinginnya. “O-oh, i-ini karena ada kejadian di sekolah,” cicit Lavira.Avram masih menatap wajah Lavira dengan pandangan intens. Hal itu membuat Lavira merasa begitu gugup dan kehilangan akal. Bukannya semakin menjauhkan, Avram malah semakin mendekatkan wajahnya kepada Lavira.Lavira menahan napas saat jarak antara wajahnya dengan wajah Avram hanya sekitar tiga senti meter. Bahkan Lavira bisa merasakan hembusan napas hangat Avram menyapu kulit wajahnya. Detak jantung Lavira semakin berlomba di dalam sana.Cup … deg ….Lavira terdiam kaku dengan napas tercekat saat Avram mendaratkan bibirnya tepat di ujung bibir gadis itu. Ujung bibir Lavira yang masih mengeluarkan darah karena tamparan Joana dan Kili tadi di sekolah. Entah apa yang dipikirkan Avram sampai melakukan hal itu kepadanya.Ternyata tidak sampai di sana. Mata Lavira melotot saat gadis itu merasa lidah hangat Avram sedang bergerak di ujung bibirnya. Laki-laki itu seakan sedang men
“Shh ….” Lavira meringis saat Avram memberikan salep pada sudut bibirnya. Laki-laki itu tadi juga sempat mengompres pipi lebam Lavira dengan es batu.Avram menatap wajah Lavira yang saat ini sedang memejamkan matanya seakan menahan sakit. Secara perlahan tangan besar Avram terangkat mengusap salep pada sudut bibir Lavira. Merasakan sentuhan Avram, Lavira membuka matanya dan terkejut saat melihat Avram ternyata sedang menatap intens ke arahnya.Tring … Tring … Tring …Suara telepon genggam Avram memecahkan keheningan di antara sepasang suami istri itu. Avram menarik tangannya dan meraih benda pintar yang saat ini sedang berteriak di dalam saku celananya. “Hem,” deham Avram menjawab panggilan telepon dari Rino.“Kami sudah bersiap, Tuan,” tutur Rino di seberang telepon.Avram tidak menyahut kalimat Rino. Laki-laki itu malah menoleh dan menatap wajah cantik Lavira. Lavira terkejut saat dengan tiba-tiba Avram malah menatap ke arahnya.“Besok,” sahut Avram.“Maaf, Tuan?” tanya Rino tidak m
“Tidur di sini.”Kalimat itu sukses membuat Lavira tertegun di tempat. Matanya membulat, kepalanya perlahan mendongak dan menatap Avram yang sudah sempat menutup mata. Pria itu kembali membuka matanya saat merasakan kepala Lavira bergerak di atas dada bidangnya. Dua pasang mata itu saling tatap hanya beberapa detik, sampai detik berikutnya Lavira mengalihkan wajah.“S-saya cukup berat, Tuan. Nanti Tuan sesak napas karena saya tidur di sini,” cicit Lavira.‘Berat katanya? Bahkan aku tidak merasakan apa pun sekarang. Badan kurus seperti ini mengaku berat?’ batin Avram heran.“Tidak berat, tidur saja,” tutur Avram dengan suara dinginnya.Lavira tak mampu lagi membantah. Seakan sudah menjadi kodratnya seorang Lavira, dia begitu patuh. Bahkan mungkin jika disuruh oleh orang lain untuk melompat dari gedung tinggi, b
Pagi nan cerah itu dinyanyikan oleh kicauan burung-burung. Entah karena terlalu nyaman atau kenapa. Lavira yang biasa terbangun di pagi hari, sekarang nampak masih terlelap nyaman. Dengan tidak sadar di dalam tidurnya, gadis kecil itu saat ini sudah berada di atas tubuh Avram.Entah sejak kepan posisi itu terjadi. Lavira malah terlihat sangat nyenyak dan nyaman di dalam tidurnya. Avram, laki-laki dingin nan misterius itu mulai terusik saat segaris cahaya yang menyelinap dari balik gorden menyapa sebelah matanya. Pria itu masih memejamkan mata, sambil berniat menggelian, tetapi tertahan sesuatu di atas tubuhnya.“Kenapa berat?” gumamnya terdengar serak.Perlahan sepasang kelopak mata Avram mulai terbuka. Beberapa detik, pria tampan itu terdiam di tempatnya. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah kepala hitam seseorang yang menghalangi pemandangannya. Avram menggosok pelan kedua matanya dan kembali menatap apa yang berada di atas tubuhnya saat ini.“Ini ....”Beberapa detik terdiam d
Beberapa menit di dalam kamar mandi, Lavira lebih sering melamun. Gadis kecil itu masih memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu. Dia terus mengusap wajahnya merasa malu sekaligus takut.“Bagaimana bisa aku berada di atas tubuhnya? Padahal tadi malam aku sudah turun? Ya ampn, ini akibat kalau tidur terlalu lasak. Bagaimana sekarang? Kalau Tuan Dakasa marah bagaimana? Aku bisa dikubur hidup-hidup,” celoteh Lavira malu dan takut.Perempuan itu menarik napas dalam sambil menatap kakinya yan masih berdenyut. Sepertinya hari ini dia akan kesulitan berjalan. Entah keseleo atau sekadar sakit biasa saja. Lavira tidak tahu dan dia tak bisa memperbaiki kakinya sendiri yang sakit.“Ini tidak akan membengkak ‘kan?” gumam Lavira lagi.Beberapa menit berlalu, tanpa sadar Lavira menghabiskan cukup banyak waktu di dalam kamar mandi tersebut. Dia melangkah dan melotot saat tidak menemukan selembar handuk pun di sana. Perempuan polos itu menutup mulutnya dengan kedua tangan saat mengingat jika diri