Wanita itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan berharap perasaannya jauh lebih tenang. Sudah ada keluarga calon besannya di bawah, akan menjadi tidak enak kalau mereka mendengar pertengkaran keluarganya.
Marissa melembutkan tatapan saat menatap Amanda yang masih bergelut di atas kasur dengan pakaian yang sama seperti yang terakhir dirinya lihat saat membawakan pakaian serta alat-alat make up untuk anak gadisnya itu kenakan pada acara makan malam bersama keluarga Hartanto.
Amanda belum bersiap sama sekali, Marissa sangsi bahwa anaknya itu bahkan sudah membersihkan diri atau belum.
"Kenapa kamu belum pakai pakaian yang Mama kasih?" tanyanya seraya menatap Amanda bergantian pada gaun putih yang terletak di meja rias, posisi gaun itu masih sama seperti saat pertama ia meletakkannya. Amanda belum menyentuh gaun itu sama sekali.
"Males!" jawab gadis itu sinis, lagi-lagi Marissa menarik napas panjang, kali ini supaya emosinya tidak meledak yang hanya akan membuat mereka menjadi lebih lama lagi.
"Ya udah ayo Mama bantu kamu bersiap."
Amanda langsung menatap ibunya yang bertutur kata lembut dengan tatapan tidak suka, kemudian menatap kakaknya yang sudah anggun dengan gaun berwarna hitam lengkap dengan riasan wajah dan kepala. Ia menunjuk perempuan itu dengan dagunya. "Kenapa nggak Kak Clarissa aja yang dikenalin sebagai calon istri anaknya Pak Hartanto-Hartanto itu, Kak Clarissa kan yang udah siap."
Mendengar perkataan Amanda, Clarissa langsung menghancurkan rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa hingga tak berbentuk, lebih mirip orang sudah tidak keramas hingga berbulan-bulan. Kemudian mengusap bibirnya yang dipoles pewarna merah hingga belepotan mengenai pipi dan dagu, ia juga mencopot bulu mata dan riasan di sekitarnya. Melihat aksi kakaknya, Amanda melebarkan kedua mata tak percaya.
"Kakak gila?!"
"See?" ucap perempuan itu seraya menunjuk rambut dan wajahnya. "Kakak sekarang udah berantakan, dan sepertinya Kakak juga nggak bisa ikut nemuin mereka."
Marissa benar-benar lelah melihat aksi kedua putrinya, yang bisa dirinya lakukan hanya menggelengkan kepala tak habis pikir. Ia kemudian kembali fokus pada anak bungsunya.
"Ayo Amanda, kamu mau ya?"
Amanda tidak menghiraukan kalimat yang dilontarkan Marissa.
"Kali ini aja kamu bantu Mama." Marissa duduk di ranjang sebelah Amanda, kemudian menangkup kedua tangannya dengan ekspresi memelas. "Mama mohon sama kamu Amanda, Mama mohon kamu nurut sama Mama kali ini aja."
Bagaimana bisa Amanda setega itu untuk menentang ibunya kembali jika ibunya itu sampai memohon kepadanya seperti ini, bagaimanapun ada sedikit sisi kemanusiaan Amanda yang tergerak walau rasa kesal lebih mendominasi saat ini. wajar kan kalau dirinya kesal karena seperti dijadikan tumbal oleh keluarganya sendiri?
Walau ribuan kali dirinya memohon dan meminta, mereka tetap akan melancarkan rencana mereka itu demi kesejahteraan keluarga, ayahnya pun sudah membuat keputusan yang sangat bulat, dan dirinya tidak diberikan pilihan lain selain bersedia mengikuti semua rencana merek. Kecuali mungkin dirinya nanti meninggal atau barangkali kabur.
Amanda mengangguk lesu, menerima permohonan ibunya, sementara Marissa menyunggingkan kedua sudut bibir senang. Diam-diam Marissa menarik napas lega. "Ya sudah kalau begitu kamu cepet ganti baju."
"Tapi Amanda belum mandi Ma."
"Nggak apa-apa sayang, kamu udah cantik walau nggak mandi."
Lagi-lagi Amanda hanya mengangguk saja, ia mengganti pakaiannya di depan Marissa dan Clarissa tanpa tahu malu, dirinya tak peduli, yang terpenting sekarang adalah dirinya menuruti keluarganya itu.
Setelah gaun putih selutut itu melekat pas di tubuhnya, Amanda dipaksa duduk di depan meja rias. Marissa menyemprotkan minyak wangi ke seluruh Amanda, sementara Clarissa mulai membubuhkan alat-alat make up ke gadis itu. Sebenarnya Amanda bisa merias wajah sendiri walau hasilnya sederhana, tetapi entah mengapa ibu dan kakanya bersikeras untuk membantu merias wajahnya.
Dua perempuan itu mungkin takut Amanda mengacau kembali jika merias wajah sendiri. Mereka takut Amanda akan bermake up ala cosplay.
Tidak sampai 15 menit, Amanda sudah siap. Walau tidak mandi, tetapi kini wajah Amanda terlihat fresh dengan pewarna peach yang digradasi dengan warna merah muda di bibirnya yang dibubuhi lip gloss juga. Riasan kelopak mata diberi warna yang senada, rambutnya yang panjang diikat setengah kebelakang sementara setengahnya lagi dibiarkan terurai di sisi kanan dan kiri bahunya, poninya yang sedikit panjang dibagi dua sama panjang dibiarkan terurai menutupi setengah kening dan kedua pelipis.
Walau benci pada acara malam ini, tetapi tetap Amanda gugup juga. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya secara perlahan, ia mengeratkan pegangannya pada jemari Marissa saat hendak menjejakan kaki di tangga. Jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat dari biasanya dengan kedua tangan dan kaki terasa sedingin salju.
Saking gugupnya Amanda merasa dirinya inggin buang air kecil juga buang air besar secara bersamaan, ia mules. "Mama, Amanda nggak mau," cicit gadis itu, seraya menarik kembali kakinya yang dibalut sepatu hak setinggi lima senti dari undakan tangga yang pertama. "Takut."'
Semua perempuan yang hendak bertemu dengan calon suami dan keluarganya pasti merasakan apa yang Amanda rasakan saat ini, apalagi tidak tahu menahu mengenai calon suami dan keluarganya itu. Setelah pemberitahuan bahwa dirinya akan 'dijual' kemarin, Amanda memang memutuskan untuk tidak mencari tahu siapa pria itu. Dirinya hanya takut pria itu tidak sesuai ekspektasinya, Amanda takut pria itu adalah pria tua bangka buruk rupa yang memiliki perut buncit. Kalau tidak seperti itu, maka pria yang akan dinikahkan dengannya pasti akan mencari calon istri sendiri dibandingkan memaksa anak gadis orang untuk menikah dengannya seperti ini kan?
Amanda yakin pasti pria itu adalah pria jelek, membayangkannya saja sudah membuat Amanda ingin meninggal saja.
"Jangan takut, ada Mama," ucap wanita yang menuntunnya itu seraya meremas jemari dinginnya dengan erat, seolah meyakinkan bahwa apa yang ditakutkannya itu tidak perlu.
Ucapan Marisa tidak membuat Amanda tenang sama sekali, jantungnya yang berdebar beberapa kali lebih cepat bahkan seperti ingin meloncat dari tempatnya ini justru membuatnya ingin pingsan detik ini juga. Sayang Amanda bukan tipe orang yang mudah pingsan dalam situasi apa pun, termasuk situasi saat ini.
Sudah satu minggu berlalu sejak pembicaraan antara Rendra dan Alina di ruang kerja pria itu, ia masih belum memberitahukan perihal rencana bulan madu kepada Amanda karena masih sibuk mengerjakan pekerjaannya yang sangat banyak akibat di kantornya terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan.Namun walau begitu, Rendra masih menyempatkan diri untuk mengantar anak-anak ke sekolah dan mengantar Amanda ke kampus. Seperti biasa, dirinya terlebih dahulu mengantar Dean dan Mikayla, kemudian mengantar Amanda.Kini mobil yang dikendarai Rendra berhenti di tempat parkir universitas tempat sang istri menimba ilmu. Ia masih belum membuka kunci benda tersebut sehingga Amanda masih bertahan, padahal biasaanya Amanda akan langsung pergi begitu saja.Amanda kembali menyentuh handle pintu, mendorongnya tetapi masih belum mau terbuka. Gadis itu berdecak di dalam hati.“Saya bisa telat!” ujarnya tegas, tetapi Rendra tidak menghiraukan sama sekali. Dirinya tahu pasti pukul berapa sang istri memulai kegiatan
Amanda tersenyum canggung mendapati telapak tangan Alina bertengger di puncuk kepalanya, mengelusnya lembut seraya kedua sudut bibirnya tidak berhenti mengungkap betapa betapa bersyukurnya ia karena Amanda sudah kembali setelah lima hari meninggalkan rumah.“Nggak ada kamu di sini suasana jadi hampa,” ungkap Alina. Lagi-lagi Amanda hanya tersenyum dan mengudarakan tawa kecil, tidak tahu harus menanggapi ucapan wanita itu bagaimana.Di dalam hati Amanda mengejek, tidak percaya akan ucapan mertuanya karena selama ini keberadaannya di sini hanya sekadarnya saja, ia lebih sering menghabiskan waktu di kampus daripada di rumah, tentu kehadirannya tidak berpengaruh sama sekali.Ibu mertuanya itu pasti hanya ingin membesarkan hatinya saja.“Masa sih Ma?” Akhirnya Amanda membuka suara, tidak enak juga jika terus menanggapi setiap ucapan wanita itu dengan senyum atau tawa.Alina tertawa ringan menanggapi ucapan menantunya, ia mengangguk samar.“Iya,” jawabnya. “Kalau Rendra bikin kamu marah ata
Rendra tersenyum begitu indra penglihatannya menangkap bahwa Amanda sedang memainkan ponsel yang tempo hari dirinya berikan.Ternyata walau gadis itu berkata tidak mau, tetapi tetap benda tersebut diterima juga. Rendra senang, berarti untuk masalah ponsel ini sudah selesai. Entah apa yang sedang Amanda lakukan dengan ponsel barunya, gadis itu terlihat sangat fokus sampai kehadirannya saja tidak dihiraukan.Rendra menghampiri Amanda yang tengah duduk berselonjor kaki di ranjang, kemudian duduk di sisi kosongnya. Amanda langsung mengalihkan perhatiannya begitu merasakan tempat yang tengah didudukinya bergerak. Tatapan keduanya saling bertubrukan, Amanda langsung menurunkan ponselnya.“Kenapa?” tanya Amanda heran karena suaminya tersebut tiba-tiba saja duduk di sebelahnya.“Kamu sudah putus dengan pacarmu itu?” Amanda tersenyum lebar mendengar pertanyaan tak terduga yang dilontarkan oleh suaminya.Amanda tentu sangat senang ditanya seperti itu, itu artinya dirinya tidak perlu repot-repo
Rendra membuka pintu mobilnya begitu berhenti di depan sebuah gerbang rumah, indra penglihatannya tertuju pada seseorang yang tengah berjongkok seraya menelangkupkan kepala di hadapan kendaraannya. Ia mengenal betul orang tersebut, tetapi pertanyaannya adalah apa yang sedang orang ini lalukan?Pria tersebut berjalan menghampiri, kemudian berhenti dan berdiri menjulang benar-benar di hadapannya.“Apa yang sedang kamu lalukan?” Rendra mengutarakan pertanyaan yang ada di dalam benaknya.Namun Amanda tidak kunjung mengangkat kepala dan menjawab pertanyaannya, gadis itu masih setia menelangkupkan kepalanya. Hal itu membuat Rendra menghela napas panjang.“Ayo pulang,” ucapnya sekali lagi.Ia ke sini memang untuk menjemput Amanda, ia pikir akan sulit mengajak istrinya ini pulang, tetapi ternyata Amanda suadah ada di luar rumah sedang melakukan hal aneh pula. Kenapa gadis itu tidak masuk ke rumah?Apakah gadis itu diusir oleh keluarganya sebab terlalu lama menginap dan tidak mau pulang ke rum
“Kapan kamu akan pulang?” tanya Marissa seraya merapikan kembali meja makan yang berantakan selepas dipakai.Sudah lima hari sejak kedatangan Amanda ke rumah untuk pertama kalinya lagi dan Amanda masih belum kembali pulang ke rumah keluarga suaminya walau suaminya sering kali menjemput. Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya itu, ia sudah capek menasihati Amanda supaya cepat pulang, dirinya sudah merasa tidak enak kepada keluarga besannya kalau Amanda tidak kunjung kembali.Detik itu juga, Amanda menatap wanita yang melahirkannya dengan tatapan sedikit sinis, sedikit tidak terima mendengar nada pengusiran darinya. “Nggak seneng ya aku tinggal di sini?”“Bukan begitu!” balas Marissa langsung seraya mendelik, kekeras kepalaan putrinya tersebut sungguh sangat memancing emosinya. “Kamu kan sudah menikah, nggak sepatutnya kamu tinggal di sini terus, kasihan suami kamu!”“Biarin aja, dia udah besar, nggak akan nangis walau aku tinggalin lima tahun!”“Ya memang tidak akan menangis, tap
Rendra mengemudikan kendaraannya menuju kediaman Amanda demi menuruti perintah ibunya yang meminta ia untuk membujuk istrinya itu. Dalam hati ia merutuki mengapa Amanda pulang ke rumah orang tuanya tanpa izin.Dirinya mengerti bahwa ponsel gadis itu sudah hancur, tetapi paling tidak gadis itu pulang terlebih dahulu dan meminta izin secara langsung bahwa dirinya ingin menginap di rumah orang tuanya. Bukan justru pergi tanpa izin dan membuat semua orang khawatir terutama mamanya.Tadi dirinya juga sempat khawatir sekaligus bingung bagaimana cara menemukan gadis itu sementara tidak ada ponsel yang bisa dihubungi. Ia tidak berpikir kalau ternyata istrinya tersebut pulang ke rumah orang tuanya, ia justru berpikir bahwa Amanda pergi bersama kekasihnya.Syukur kini semua sudah tahu di mana keberadaan Amanda.Gadis itu yang membuat kesalahan, ia juga yang harus membujuk dan meminta maaf kepadanya. Sungguh sangat menyebalkan, tetapi mau bagaimana lagi, sepertinya