Share

Bab 03 - Pasrah

Wanita itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan berharap perasaannya jauh lebih tenang. Sudah ada keluarga calon besannya di bawah, akan menjadi tidak enak kalau mereka mendengar pertengkaran keluarganya.

Marissa melembutkan tatapan saat menatap Amanda yang masih bergelut di atas kasur dengan pakaian yang sama seperti yang terakhir dirinya lihat saat membawakan pakaian serta alat-alat make up untuk anak gadisnya itu kenakan pada acara makan malam bersama keluarga Hartanto.

Amanda belum bersiap sama sekali, Marissa sangsi bahwa anaknya itu bahkan sudah membersihkan diri atau belum.

"Kenapa kamu belum pakai pakaian yang Mama kasih?" tanyanya seraya menatap Amanda bergantian pada gaun putih yang terletak di meja rias, posisi gaun itu masih sama seperti saat pertama ia meletakkannya. Amanda belum menyentuh gaun itu sama sekali.

"Males!" jawab gadis itu sinis, lagi-lagi Marissa menarik napas panjang, kali ini supaya emosinya tidak meledak yang hanya akan membuat mereka menjadi lebih lama lagi.

"Ya udah ayo Mama bantu kamu bersiap."

Amanda langsung menatap ibunya yang bertutur kata lembut dengan tatapan tidak suka, kemudian menatap kakaknya yang sudah anggun dengan gaun berwarna hitam lengkap dengan riasan wajah dan kepala. Ia menunjuk perempuan itu dengan dagunya. "Kenapa nggak Kak Clarissa aja yang dikenalin sebagai calon istri anaknya Pak Hartanto-Hartanto itu, Kak Clarissa kan yang udah siap."

Mendengar perkataan Amanda, Clarissa langsung menghancurkan rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa hingga tak berbentuk, lebih mirip orang sudah tidak keramas hingga berbulan-bulan. Kemudian mengusap bibirnya yang dipoles pewarna merah hingga belepotan mengenai pipi dan dagu, ia juga mencopot bulu mata dan riasan di sekitarnya. Melihat aksi kakaknya, Amanda melebarkan kedua mata tak percaya.

"Kakak gila?!"

"See?" ucap perempuan itu seraya menunjuk rambut dan wajahnya. "Kakak sekarang udah berantakan, dan sepertinya Kakak juga nggak bisa ikut nemuin mereka."

Marissa benar-benar lelah melihat aksi kedua putrinya, yang bisa dirinya lakukan hanya menggelengkan kepala tak habis pikir. Ia kemudian kembali fokus pada anak bungsunya.

"Ayo Amanda, kamu mau ya?"

Amanda tidak menghiraukan kalimat yang dilontarkan Marissa.

"Kali ini aja kamu bantu Mama." Marissa duduk di ranjang sebelah Amanda, kemudian menangkup kedua tangannya dengan ekspresi memelas. "Mama mohon sama kamu Amanda, Mama mohon kamu nurut sama Mama kali ini aja."

Bagaimana bisa Amanda setega itu untuk menentang ibunya kembali jika ibunya itu sampai memohon kepadanya seperti ini, bagaimanapun ada sedikit sisi kemanusiaan Amanda yang tergerak walau rasa kesal lebih mendominasi saat ini. wajar kan kalau dirinya kesal karena seperti dijadikan tumbal oleh keluarganya sendiri?

Walau ribuan kali dirinya memohon dan meminta, mereka tetap akan melancarkan rencana mereka itu demi kesejahteraan keluarga, ayahnya pun sudah membuat keputusan yang sangat bulat, dan dirinya tidak diberikan pilihan lain selain bersedia mengikuti semua rencana merek. Kecuali mungkin dirinya nanti meninggal atau barangkali kabur.

Amanda mengangguk lesu, menerima permohonan ibunya, sementara Marissa menyunggingkan kedua sudut bibir senang. Diam-diam Marissa menarik napas lega. "Ya sudah kalau begitu kamu cepet ganti baju."

"Tapi Amanda belum mandi Ma."

"Nggak apa-apa sayang, kamu udah cantik walau nggak mandi."

Lagi-lagi Amanda hanya mengangguk saja, ia mengganti pakaiannya di depan Marissa dan Clarissa tanpa tahu malu, dirinya tak peduli, yang terpenting sekarang adalah dirinya menuruti keluarganya itu.

Setelah gaun putih selutut itu melekat pas di tubuhnya, Amanda dipaksa duduk di depan meja rias. Marissa menyemprotkan minyak wangi ke seluruh Amanda, sementara Clarissa mulai membubuhkan alat-alat make up ke gadis itu. Sebenarnya Amanda bisa merias wajah sendiri walau hasilnya sederhana, tetapi entah mengapa ibu dan kakanya bersikeras untuk membantu merias wajahnya.

Dua perempuan itu mungkin takut Amanda mengacau kembali jika merias wajah sendiri. Mereka takut Amanda akan bermake up ala cosplay.

Tidak sampai 15 menit, Amanda sudah siap. Walau tidak mandi, tetapi kini wajah Amanda terlihat fresh dengan pewarna peach yang digradasi dengan warna merah muda di bibirnya yang dibubuhi lip gloss juga. Riasan kelopak mata diberi warna yang senada, rambutnya yang panjang diikat setengah kebelakang sementara setengahnya lagi dibiarkan terurai di sisi kanan dan kiri bahunya, poninya yang sedikit panjang dibagi dua sama panjang dibiarkan terurai menutupi setengah kening dan kedua pelipis.

Walau benci pada acara malam ini, tetapi tetap Amanda gugup juga. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya secara perlahan, ia mengeratkan pegangannya pada jemari Marissa saat hendak menjejakan kaki di tangga. Jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat dari biasanya dengan kedua tangan dan kaki terasa sedingin salju.

Saking gugupnya Amanda merasa dirinya inggin buang air kecil juga buang air besar secara bersamaan, ia mules. "Mama, Amanda nggak mau," cicit gadis itu, seraya menarik kembali kakinya yang dibalut sepatu hak setinggi lima senti dari undakan tangga yang pertama. "Takut."'

Semua perempuan yang hendak bertemu dengan calon suami dan keluarganya pasti merasakan apa yang Amanda rasakan saat ini, apalagi tidak tahu menahu mengenai calon suami dan keluarganya itu. Setelah pemberitahuan bahwa dirinya akan 'dijual' kemarin, Amanda memang memutuskan untuk tidak mencari tahu siapa pria itu. Dirinya hanya takut pria itu tidak sesuai ekspektasinya, Amanda takut pria itu adalah pria tua bangka buruk rupa yang memiliki perut buncit. Kalau tidak seperti itu, maka pria yang akan dinikahkan dengannya pasti akan mencari calon istri sendiri dibandingkan memaksa anak gadis orang untuk menikah dengannya seperti ini kan?

Amanda yakin pasti pria itu adalah pria jelek, membayangkannya saja sudah membuat Amanda ingin meninggal saja.

"Jangan takut, ada Mama," ucap wanita yang menuntunnya itu seraya meremas jemari dinginnya dengan erat, seolah meyakinkan bahwa apa yang ditakutkannya itu tidak perlu.

Ucapan Marisa tidak membuat Amanda tenang sama sekali, jantungnya yang berdebar beberapa kali lebih cepat bahkan seperti ingin meloncat dari tempatnya ini justru membuatnya ingin pingsan detik ini juga. Sayang Amanda bukan tipe orang yang mudah pingsan dalam situasi apa pun, termasuk situasi saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status