Share

Bab 04 - Pembahasan Pernikahan

Gadis itu menghela napas pasrah, kemudian mencoba kembali melangkah mengikuti pijakan ibunya. Amanda menyemangati diri sendiri, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa dirinya harus hadir ke acara ini agar cepat berakhir, Amanda meyakinkan diri bahwa jika dirinya terus mengulur waktu, maka pertemuan ini tidak akan pernah selesai.

Amanda berjalan seraya menunduk, hingga tanpa sadar bahwa kini ada empat pasang mata yang tengah menatapnya. Merasa diperhatikan, Amanda mengangkat secara perlahan pandangannya hingga indra penglihatannya itu menatap sang ayah yang menatapnya tajam, pria itu pasti marah karena dirinya sangat lama. Amanda dibuat tersentak oleh tatapan ayahnya itu, kemudian tatapannya tanpa sengaja menatap wanita itu yang tengah tersenyum ramah juga pria tua di sebelahnya, kemudian di pria di sebelahnya lagi yang tanpa terlihat lebih muda.

Sejenak Amanda terpaku kepada pria matang tersebut, satu kata yang Amanda pikirkan saat pertama kali bersitatapnya adalah 'tampan'. Apakah pria itu yang akan menikahinya?

Memang tampan, tetapi usia tidak bisa membohongi. Pria tampan itu terlihat matang, mempesona, tetapi sayang bukan Amanda sudah telanjur membencinya. Andai Amanda tidak bertemu dengan pria itu dalam situasi seperti ini, Amanda pasti akan menggilainya. Namun sayang mereka bertemu dalam situasi yang tidak tepat, yang hanya ingin dirinya lakukan saat ini justru menginginkan menusuk kedua bola mata pria itu yang kini tengah menatapnya tajam, seperti predator yang bertemu dengan mangsanya. Menyeramkan, Amanda tidak suka.

Amanda mengalihkan tatapannya ke arah lain saat ibunya menuntun ia untuk duduk di sebelah ayahnya berhadapan dengan pria itu. Amanda tidak berani mengangkat kepala lebih tinggi lagi, apalagi kini wanita di sebelah pria itu tengah menatapnya juga.

"Maaf harus membuat kalian menunggu lama," ucap Hermawan seraya menatap tiga orang di depannya tidak enak.

"Tidak apa-apa, namanya perempuan kalau berdandan memang suka lama," ucap wanita paruh baya yang sedari tadi menatap Amanda dengan kedua sudut bibir yang menyungging sempurna, matanya sedikit menyipit yang menandakan wanita itu sangat tertarik sekali dengan perempuan muda di hadapannya. "Semakin lama berdandan, itu artinya semakin penting bagi mereka acara yang akan didatang tersebut," lanjutnya diikuti kekehan.

Baik Hermawan maupun Marissa ikut terkekeh mendengar jawaban yang diberikan calon besan mereka tersebut, tersenyum senang sekaligus menarik napas lega, mereka pikir anak bungsunya itu akan menampilkan kesan yang buruk di hari pertama pertemuan, ternyata tidak seperti itu.

Kelima orang itu melanjutkan obrolan-obrolan ringan mereka, sementara Amanda hanya berdiam diri seperti patung dan hanya akan berbicara jika ditanya atau diajak berbicara. Sedari tadi dirinya menahan risi karena pria di hadapannya itu sesekali menatapnya tajam, seolah dirinya adalah seorang kriminal dan pria itu adalah hakim yang sedang mengadilinya.

Amanda tidak bisa ditatap seperti itu, dirinya merasa tersinggung, ia kemudian memberanikan diri untuk membalas tatapan pria itu saat merasakan kedua indra penglihatan pria itu seperti tengah memperhatikannya. Benar saja, saat Amanda menatap pria itu, pria itu pun tengah menatapnya.

Melalui ekor matanya, ia melihat para orang tua tengah asyik mengobrol diselingi dengan sedikit tawa. Gadis itu menyunggingkan salah satu sudut bibirnya sebelum kembali menatap pria di hadapannya dengan sebelah alis terangkat dengan kepala yang sedikit miring ke kiri.

Pria itu seperti tidak menyangka bahwa akan ditatap sedemikian rupa oleh gadis di hadapannya, ia sedikit melebarkan mata sebelum akhirnya membalas tatapan gadis itu hingga kini keduanya saling melempar tatapan tajam. Pria itu tidak menyangka bahwa gadis yang terus menunduk seperti tikus yang sedang ketakutan itu kini berani menatap matanya langsung seolah sedang menantang.

"Kenapa kalian belum terdengar memperkenalkan diri?" tanya wanita paruh baya bernama Alina itu seraya menatap putranya dan perempuan yang duduk di hadapan putranya itu secara bergantian.

Amanda langsung merubah ekspresinya detik itu juga.

Marissa langsung menatap Amanda, ia kemudian terkekeh. "Putri kami memang pemalu, sepertinya tidak berani berkenalan duluan."

"Harusnya putraku yang memperkenalkan diri lebih dahulu, secara dia pria dan usianya jauh lebih dewasa."

Pria itu berdeham mendengar kalimat yang diutarakan oleh ibunya, mau tak mau kemudian ia mengulurkan sebelah tangannya yang dibalas dengan enggan juga oleh Amanda. "Nama saya Rendra."

"Amanda."

Setelah menyebutkan nama masing-masing, jabatan tangan itu terlepas begitu saja, tetapi membuat baik orang tua Rendra maupun orang tua Amanda tersenyum senang.

"Baik," ucap Hartanto yang sedari tadi belum memulai percakapan sama sekali. "Saya tidak ingin berbasa basi lagi, kedatangan kami ke kediaman Hermawan ingin membicarakan perihal perjodohan."

Pria yang usianya jauh lebih tua dari ayah Amanda itu menatap Amanda. "Kamu sudah mengetahui hal ini kan?"

Amanda hanya mengangguk saja, tenggorokannya terasa mengering seketika saat ditatap oleh pria tua yang memiliki tatapan sama dengan putranya itu, tatapan pria tua itu bahkan jauh lebih menyeramkan daripada tatapan ayahnya, Amanda jadi takut saat ingin bertingkah.

Pria bernama Hartanto itu mengalihkan tatapan dari amAmanda ke ayahnya. "Bagaimana Pak Hermawan, putri anda setuju kan untuk dijodohkan dengan anak kami?"

"Tentu saja Pak," jawab Hermawan mengundang ejekan dalam hati oleh Amanda. "Putri kami sangat menerimanya, dia sangat setuju dengan rencana perjodohan ini."

Apa ayahnya itu tidak merasa ingin tersedak mengutarakan kalimat-kalimat kebohongan tersebut? Apa dirinya tidak merasa bersalah sedikit saja? Amanda benar-benar tak habis pikir.

"Baguslah kalau begitu." Hartanto menyunggingkan kedua sudut bibir lebar-lebar, begitu pun dengan wanita yang duduk di sebelahnya. "Kami tidak ingin menundanya lebih lama lagi, mungkin malam ini kita bisa langsung membicarakan soal pernikahan?"

Amanda memelototkan matanya lebar-lebar mendengar penuturan pria tua itu, ia terkejut sekaligus tidak menyangkah bahwa pria tua itu akan membicarakan pembicaraan yang terlalu jauh. Pernikahan?

Bukankah biasanya yang membahas pernikahan lebih dahulu itu pihak perempuan? Mengapa mereka terlihat terburu-buru seperti ini? Amanda ingin berkata tidak mau, tetapi urang bagaimana menyeramkannya ekspresi pria tua itu. Bisa jadi dia akan dibuat meninggal detik itu juga jika berani melawan. Amanda bergidik, walau di dalam hati ia memprotes apa yang mereka tengah bicarakan dirinya tidak berani melawan, terlalu menakutkan.

Ada baiknya mungkin ia membicarakan lagi nanti bersama orang tuanya setelah acara ini. Gila saja, dijodohkan saja dirinya tidak mau, apalagi sampai pada tahap pernikahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status