"Apa sih kak?!" sentak Amanda. Ia sungguh tidak menyukai kalimat yang kakaknya lontarkan, seperti tengah merendahkan dirinya saja. Memang selama ini kakaknya itu membantu keluarga yang sedang krisis ekonomi, kakaknya membantu bekerja di perusahaan, selain itu ia juga adalah seorang model, namanya sudah malang melintang, wajahnya banyak terpampang di berbagai majalah, pendapatannya sebagai model juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun kakaknya itu tidak seharusnya merendahkannya seperti ini. Lagi pula bukan keinginannya untuk tidak membantu keluarga, justru ayah dan ibunya yang menyuruh untuk fokus pada kuliahnya saja. Kemudian kakaknya sendiri pun menyuruhnya demikian, apakah ia lupa atau memang sengaja menyanjungnya selama ini untuk kemudian dijadikan tumbal pada situasi seperti saat ini?
Kalau benar demikian, berarti kakaknya sangat licik.
"Benar kan apa yang Kakak omongin, kamu itu cuma bisanya foya-foya aja, ngerepotin keluarga!"
Amanda mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, berusaha menahan diri untuk tidak menarik rambut panjang kakaknya itu. Memang apa yang kakaknya itu katakan sangat benar, tetapi apakah hanya karena ia tidak membantu keluarga, suka foya-foya, dan merepotkan keluarga, dirinya harus dijadikan korban seperti ini?
Sungguh sangat tidak adil.
Amanda rasanya tidak tahan lagi, tangannya terangkat menarik rambut Clarisa yang sedari tadi seperti menggodanya. Amanda menarik rambut Clarisa sekuat tenaga, jerit kesakitan kemudian menggema di seluruh penjuru ruang makan tersebut.
"Kalau Kakak nggak rela uangnya aku pakai, bilang aja, nggak usah kayak gini!!" pekik gadis itu tanpa melepas jambakannya sama sekali, ia justru semakin keras menarik rambut kakaknya. Sesak yang ia rasakan beberapa menit yang lalu kini sedikit terobati.
"Kenapa?!" pekik Clarisa seraya bangkit dari duduknya, kedua tangannya terulur membalas jambakan sang adik. "Kamu nggak terima Kakak katain beban keluarga, sadar ya kamu itu emang beban keluarga beneran!!"
"Enggak, aku bukan beban keluarga!!" pekik Amanda. Aksi saling jambak-jambakan tidak bisa dihindari, membuat kepala Hermawan maupun Marisa semakin berdenyut nyeri.
"Diam!!" teriak Hermawan seraya menggebrak meja, mau tak mau kedua perempuan itu menghentikan kegiatan mereka. "Keputusan Papa sudah bulat, bahwa kamulah yang harus menikah dengan anak keluarga Hartanto."
"Siapkan dirimu, besok mereka akan berkunjung ke sini."
***
Amanda menyunggingkan salah satu sudut bibir seraya indra penglihatannya terjatuh pada lima orang di bawah sana yang entah dirinya tidak tahu sedang membicarakan hal apa. Dari suara yang dihasilkan yang samar terdengar, mereka sedang bersenda gurau, di halaman rumahnya, sementara ia melihat mereka dari balkon kamar, seraya melipat kedua tangan di depan dada menatap dan tersenyum tipis.
Gadis itu berbalik begitu orang-orang yang dirinya perhatikan mulai menghilang dari indra penglihatan. Amanda duduk di atas ranjang, ekor matanya menatap gaun berwarna putih di meja riasanya juga alat make up lengkap di sana.
Hari ini calon suami beserta keluarganya akan makan malam di kediaman Amanda, tetapi Amanda bahkan belum bersiap sama sekali, dirinya bahkan belum mandi selepas kegiatan padat di kampusnya.
Amanda tidak peduli dengan acara makan malam ini, lagi pula tubuhnya sedang lelah. Ia ingin tidur walau kedua orang tuanya memaksa untuk hadir di acara makan malam itu, Amanda tidak lapar, untuk apa dirinya pergi ke acara itu kan?
Lebih baik dirinya mengistirahatkan diri.
Tatapan Amanda beralih ke arah pintu begitu benda tersebut terdengar diketuk. Bukan membukakan pintu, gadis tersebut justru merebahkan diri dan menarik selimut, tidak lupa memejamkan mata agar siapa pun yang mengetuk pintu tersebut percaya bahwa dirinya tengah terlelap.
Kamar Amanda tidak memiliki kunci atau bahkan alat apa pun untuk membuat kamarnya tidak dimasuki sembarang, itu karena kedua orang tuanya yang melarang selama ini karena katanya agar dirinya mudah untuk di kontrol.
Beberapa detik kemudian, pintu kembali terdengar, kali ini terdengar seperti dibuka, suara Clarissa yang tengah memanggilnya tertangkap indra pendengaran.
Clarissa menarik napas melihat adiknya justru berbaring di atas ranjang, tatapannya kemudian jatuh pada gaun yang sudah orang tuanya siapkan untuk adiknya itu. Dirinya yakin Amanda pasti tidak menyentuh benda tersebut sama sekali.
"Bangun, aku tahu kamu cuma pura-pura tidur!"
Amanda tersenyum sinis mendengar seruan kakaknya. Ia membuka matanya secara cepat, menatap perempuan yang tengah menatapnya sinis juga. "Kalau aku emang pura-pura tidur kenapa?"
"Masalah buat Kakak?"
"Nggak, tapi Kakak bakal kasian sama kamu kalau sampai dimarahin Papa sama Mama karena belum siap-siap."
Gadis itu memutar kedua bola matanya, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. "Nggak peduli."
"Cepet siap-siap!"
"Nggak mau!"
"Kamu ini bukan anak kecil lagi Amanda, cepet siap-siap!"
"Nggak mau berengsek!!"
"Amanda!!"
Bukan Clarissa yang menjerit menyerukan nama gadis itu, melainkan ibunya yang baru saja datang. wanita itu menatap Amanda dengan kedua mata yang nyaris melompat keluar. "Siapa yang mengajarkan kamu berkata kurang ajar begitu?!"
Amanda mengembuskan napas kuat-kuat mendengar kalimat yang diucapkan ibunya dengan teriakan itu, ia menggulir kedua bola mata malas. "Ya siapa lagi kalau bukan kalian, Amanda berguru kepada kalian yang juga kurang ajar sama Amanda!"
"Amanda!!" tegur Clarissa, dirinya benar-benar dibuat terbakar oleh sikap adiknya itu. begitu pun dengan Marissa, dirinya begitu kesal karena Amanda yang selalu bersikap manis kepadanya itu kini berani menentangnya dengan perkataan sinis.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan berharap perasaannya jauh lebih tenang. Sudah ada keluarga calon besannya di bawah, akan menjadi tidak enak kalau mereka mendengar pertengkaran keluarganya.Marissa melembutkan tatapan saat menatap Amanda yang masih bergelut di atas kasur dengan pakaian yang sama seperti yang terakhir dirinya lihat saat membawakan pakaian serta alat-alat make up untuk anak gadisnya itu kenakan pada acara makan malam bersama keluarga Hartanto.Amanda belum bersiap sama sekali, Marissa sangsi bahwa anaknya itu bahkan sudah membersihkan diri atau belum."Kenapa kamu belum pakai pakaian yang Mama kasih?" tanyanya seraya menatap Amanda bergantian pada gaun putih yang terletak di meja rias, posisi gaun itu masih sama seperti saat pertama ia meletakkannya. Amanda belum menyentuh gaun itu sama sekali."Males!" jawab gadis itu sinis, lagi-lagi Marissa menarik napas panjang, kali ini supaya emosinya tida
Gadis itu menghela napas pasrah, kemudian mencoba kembali melangkah mengikuti pijakan ibunya. Amanda menyemangati diri sendiri, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa dirinya harus hadir ke acara ini agar cepat berakhir, Amanda meyakinkan diri bahwa jika dirinya terus mengulur waktu, maka pertemuan ini tidak akan pernah selesai.Amanda berjalan seraya menunduk, hingga tanpa sadar bahwa kini ada empat pasang mata yang tengah menatapnya. Merasa diperhatikan, Amanda mengangkat secara perlahan pandangannya hingga indra penglihatannya itu menatap sang ayah yang menatapnya tajam, pria itu pasti marah karena dirinya sangat lama. Amanda dibuat tersentak oleh tatapan ayahnya itu, kemudian tatapannya tanpa sengaja menatap wanita itu yang tengah tersenyum ramah juga pria tua di sebelahnya, kemudian di pria di sebelahnya lagi yang tanpa terlihat lebih muda.
"Amanda nggak mau nikah sama laki-laki itu, Pa!" Pekikan menggema di seluruh sudut-sudut ruangan, gadis itu tidak terima atas keputusan sepihak yang diambil oleh keluarganya dan keluarga Hartanto tanpa meminta pertimbangannya terlebih dahulu.Keluarga Hartanto sudah meninggalkan kediaman keluarga Hermawan beberapa menit yang lalu, menyisakan anggota pemilik rumah yang kini tengah duduk di ruang keluarga. Semula tampak tenang dengan putri sulung mereka yang ikut bergabung sebelum akhirnya suara putri bungsu mereka memecah ketenangan ini.Amanda sudah tidak tahan lagi, ingin memprotes atas hasil pembicaraan beberapa menit yang lalu bersama keluarga Hartanto. Banyak hal yang sudah disepakati, tetapi tidak ada satu pun kesepakatan yang dirinya setujui. Mereka mengambil kesepakatan tanpa meminta persetujuannya, bahkan ayahnya memaksa ia untuk tidak berbicara.
"Kenapa. Hmm?" Amanda tidak kunjung menjawab membuat Alex kembali membuka suara.Walau sebentar, tetapi Amanda cukup puas karena sudah bisa sedikit menumpahkan kesedihan dan rasa sesak di dadanya dengan menangis. Gadis itu mengelap air matanya sendiri kemudian menatap Alex dengan kedua sudut bibir yang tersungging tipis. Perasaannya kini sudah jauh lebih membaik.Amanda sudah memikirkan ini semalaman, ia harus memberitahukan Alex tentang permasalahanya, bagaimanapun nanti tanggapan laki-laki itu walau dirinya yakin sudah pasti Alex akan mengakhiri hubungan mereka. Namun itu hal yang baik bukan, Alex berhak bahagia bersama wanita yang lebih baik darinya."Bisa kita bicara di tempat yang agak sepi?"Alex menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian kembali
Amanda menatap tidak suka pada orang-orang yang berjaga di depan rumahnya, orang-orang bertubuh besar dengan pakaian serba hitam serta wajahnya yang bagi Amanda sangat menyeramkan. Orang-orang tersebut adalah orang suruhan keluarga Hartanto untuk menjaga rumahnya, lebih tepatnya adalah orang suruhan nyonya Alina, jumlahnya kalau Amanda hitung ada dua puluh orang. Mereka tersebar ke seluruh penjuru rumahnya, mulai dari halaman depan hingga halaman belakang, kemudian sisi kanan dan sisi kiri, serta setiap lekuk bentuk rumahnya.Amanda heran mengapa kedua orang tua serta kakaknya tidak merasa risi akan keberadaan orang-orang tersebut, berbanding terbalik dengan dirinya yang benar-benar tidak nyaman juga ketakutan. Mengapa orang tuanya mau-mau saja dikirimi penjaga oleh Nyonya Alina, dan untuk apa pula Nyonya Alina mengirim penjaga sebanyak itu ke rumahnya.Kalau Nyonya Alina tahu, tidak ada satu pun harta benda berharga yang tersisa di rumahn
Pria pemilik nama panjang Narendra Hartanto tersebut tersentak mendengar suara pintu mobil yang ditutup secara kasar, pelaku tentu adalah gadis yang beberapa hari lagi akan resmi menjadi istrinya. Seperti itu perlakuan Amanda kepadanya setiap mereka bertemu, seperti tidak ada hal baik yang dimiliki gadis itu dalam dirinya. Kalau bukan atas permintaan ibunya yang katanya ia jarang sekali mengantar dan menjemput Amanda, ia juga sangat tidak bersedia melakukan apa yang sudah dilakukannya ini. Beberapa saat lalu, Amanda bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun, kata pamit atau bahkan ucapan terima kasih karena sudah mengantar selamat sampai tujuan.Namun bukan itu yang Rendra inginkan, ia bukan pria gila hormat yang akan mengamuk bila ada seseorang yang berperilaku sedikit kurang ajar kepadanya, tetapi hanya merasa heran mengapa ibunya justru menyukai gadis yang kurang memiliki sikap sopan santun sepert
"Kita makanan dulu yuk, aku lapar belum makan apa pun dari pagi," ucap gadis manis yang mencepol rambutnya tersebut diangguki gadis yang rambutnya terurai indah berwarna marun di bagian bawahnya."Ayo Man," ucap gadis rambut marun–Divya seraya meraih tangan Amanda yang terkulai lemah di kedua sisi tubuhnya, Divya mengernyitkan kening melihat Amanda yang lesu tidak bersemangat itu.Francie yang menyadari kebingungan Divya sedikit menyikut bahunya. "Sudah dari tadi seperti itu, kita makan di apartemen kamu aja, drive thru.""Baiklah," ucap Divya dan kini bersama Francie menyeret lengan kiri dan kanan Amanda yang sepertinya tidak akan bergerak sedikit pun jika tidak dengan cara seperti itu. Seraya berjalan dengan menyeret Amanda supaya berjalan agak cepat, keduanya terus bertanya apa yang telah terjadi dengan. Na
"Aku akan menikah tanggal satu besok."Baik Francie maupun Divya langsung terbatuk sedetik setelah Amanda mengutarakan kalimatnya. Keduanya secara kompak menatap Amanda dengan tatapan horor serta mata berair karena tenggorokan mereka yang sakit akibat tersedak."Jangan bercanda!" seru keduanya secara kompak, merasa tidak percaya Amanda membicarakan soal pernikahan, padahal dulu anti sekali membicarakan hal tersebut walau sudah memiliki kekasih."Kamu sudah hamil?" tanya Divya mengutarakan apa yang terlintas di kepalanya saat ini karena pemberitahuan Amanda akan menikah itu cepat sekali, hari ini tanggal 25 untuk ke tanggal satu membutuhkan hanya waktu tujuh hari, yang benar saja. Kalau Amanda tidak bercanda, kemungkinan opsi sudah hamil adalah yang paling benar.Bukan Fr