Hangat, nyaman dan sunyi. Aroma musk yang berpadu dengan kayu-kayuan menguar dan terendus oleh indra penciuman gadis yang masih meringkuk di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Tangan yang sejak tadi mendekapnya, bergerak semakin merapatkan pelukan hingga tubuh keduanya bersentuhan.
Bias sinar matahari yang berhasil lolos dan mengintip melalui celah tirai yang menutupi jendela, membuat gadis itu mengerjapkan mata karena silau. Dengan sedikit malas, ia terpaksa memutar tubuhnya untuk menghindari sinar matahari yang baru saja mengganggu tidur lelapnya. Namun, belum jua tubuhnya sepenuhnya berbalik, sesuatu yang berat dan melintang di atas perutnya, lantas membuat gadis itu sontak membuka mata dengan terkejut. Tunggu... Wait a minute! Otaknya yang belum sepenuhnya sadar, mulai merunut kembali kejadian demi kejadian yang terjadi padanya beberapa jam yang lalu. Saat netranya menangkap sosok pria yang terpejam dengan damai tepat di depannya, bola mata gadis itu nyaris meloncat keluar. "Si-siapa kamu?" desisnya lirih, bahkan nyaris tanpa suara. Apa-apaan ini! Bagaimana ia bisa tidur seranjang dengan pria asing! Bahkan tubuh mereka menempel satu sama lain tanpa .... Eliza mengintip ke dalam selimut yang menutupi tubuhnya, ia masih tak yakin pada tragedi yang baru saja terjadi padanya. Ketika dilihatnya tak ada satupun benang yang menempel di tubuhnya dan tubuh pria itu, sontak Eliz menutup mulutnya yang hampir saja meloloskan jeritan. Dengan sangat hati-hati, Eliz mengangkat tangan besar dan kekar itu dari atas perutnya. Ia menggeser tubuhnya untuk turun dari ranjang --dengan sangat perlahan, meskipun jantungnya seakan berdebar bak genderang perang. Melihat gaun dan underwear-nya berceceran di lantai, Eliz semakin yakin jika ia tidak sedang bermimpi. Rasa pening masih mengganyang kepalanya ketika dengan terburu-buru ia mengenakan seluruh pakaiannya dan bergegas keluar dari kamar itu. "Lu gila, Eliz! Lu pasti udah gila!!" . "Lu nggak lagi becanda, kan!?" Anne menggebrak meja dan menatap Eliza dengan nanar. Beberapa siswi yang berada di kantin sontak menoleh kearah mereka berdua karena kegaduhan yang baru saja terjadi. Merasa menjadi pusat perhatian, Eliza lantas mengedarkan senyuman pada semua siswa-siswi itu sembari meminta maaf. "Jangan berisik napa!" dengus Eliz kesal karena ia jadi harus meminta maaf atas perbuatan sahabatnya. "Harusnya gue yang marah karena lu udah ninggalin gue tadi malam!" "Tapi, Liz... Astaga! Liz, lu kenapa bisa ceroboh kaya itu sih!" Anne memijat pelipisnya untuk meredakan pening yang seketika mengganyang kepalanya, setelah Eliza mengaku jika ia tidur dengan pria asing semalam. "Gue nggak tahu kalo minuman itu ternyata alkohol. Gue pikir cuma sirup strawberry dikasi soda." "Lu minum berapa gelas?" "Empat." "What!?" Anne terbelalak tak percaya mendengar jawaban polos sahabatnya. "Liz, satu gelas aja udah bisa bikin lu teler. Ini malah empat gelas!" "Mana gue tahu! Lagian lu juga tiba-tiba ngilang. Kalo lu nggak ngilang mungkin misi kita udah berhasil!" Eliza memprotes di tengah rasa pengar yang masih melandanya. "Kalo aja hari ini nggak ada pembagian nomor ujian, gue nggak akan masuk deh. Kepala gue masih puyeng banget. Perut gue juga sakit, Ne." Tetiba Anne teringat pada pokok permasalahan yang menimpa sahabatnya. "Lu nggak fotoin muka itu cowok?" "Buat apa!?" Eliza terbelalak ngeri. "Gue aja udah lupa mukanya kaya gimana!" "Terus kalo lu sampe hamil gimana?" bisik Anne dengan penekanan di setiap kata yang ia ucapkan. "Apa lu nggak mikir sejauh itu?" Dengan lugunya, Eliza menggelengkan kepala. "Emang bisa hamil ya meskipun kita cuma ngelakuin itu sekali doang?" "Yakin cuma sekali? Lu mabok, Liz! Gue yakin cowok itu juga sama maboknya kaya elu! Sapa yang berani jamin kalian mainnya cuma sekali?" Seketika itu seluruh tubuh Eliza meremang. Anne benar, Eliz bahkan tak ingat apa saja yang sudah ia dan pria itu lakukan semalam, dan bagaimana mereka bisa berakhir di ranjang yang sama. Jika tak melakukan apapun, mustahil keduanya tidur berpelukan dalam keadaan telanjang, bukan? Dan lagi, perut bagian bawah Eliza masih sangat sakit dan perih, pastilah semalam ia melalui malam panas yang liar bersama pria itu. "Terus gue harus gimana dong? Gue nggak mau ketemu cowok itu lagi, Ne! Kita lupain aja kejadian ini." "Nggak bisa, Liz. Lu tetep harus ketemu dia dan minta dia tanggung jawab." "Gue nggak mungkin hamil. Percaya deh!" tukas Eliza menegaskan. "Lagian cowok itu belum tentu mau tanggung jawab kalo gue datangin dia. Bisa aja dia mengelak dan bilang kita sama-sama mabok dan gak sadar!" "Tapi lu kehilangan keperawanan elu, Liz. Satu-satunya harta yang harus lu jaga buat suami lu kelak." Eliza tersenyum kecut mendengar kata 'suami' yang baru saja Anne katakan. Toh, ia akan menikah dengan pria itu, bukan? Jadi biar saja dia menerima Eliza dengan keadaan yang seperti ini. "Bahkan lu nggak pernah mau dicium Rio. Ini malah tidur sama cowok gak jelas!" protes Anne mengingatkan. "Ini juga salah lu, Ne! Coba kalo lu nggak asyik sendiri di pesta itu, gue nggak akan sampe kaya gini!" Eliza menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba melempar kesalahan yang semalam ia lakukan. "Jadi stop nyalahin gue." Usai mengucapkan ultimatum itu, Eliza bangkit dan bergegas kembali ke kelasnya dengan kesal. Ia tahu semua ini murni kesalahannya, tapi dipojokkan seperti tadi entah mengapa malah membuatnya semakin depresi. Belum usai rasa bersalahnya pada Rio -kekasihnya, atas perjodohan itu, kini Eliza malah tidur dengan pria yang tak ia ketahuilah asal-usulnya. *******Dinginnya ruangan VVIP di restoran ini tak cukup menyejukkan hati dan pikiran Nicholas yang mendadak gelisah ketika melihat keluarga Pratama dan dua putrinya tiba. Hembusan napas berat dan panjang berulang kali ia lepaskan demi menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Wajah itu ... Ya, betul. Nick ingat sepasang netra berwarna hazel itu menatapnya dengan binal malam itu, sebelum kemudian mereka berciuman dan melakukan kesalahan satu malam. Nick yang malam itu berada di bawah pengaruh obat perangsang, tentu saja tak bisa menahan gejolak nafsunya yang menggila dan butuh dilampiaskan. Bagai gayung bersambut, sepasang manusia yang sama-sama kehilangan akal sehat itu menghabiskan malam penuh gairah. "Nick." Nicholas tersentak, ingatan liarnya seketika musnah, berganti tatapan orang-orang di sekelilingnya. Dengan gelagapan, Nicholas mengendurkan tali dasinya dan menundukkan kepala pada calon mertuanya. Sial! Ternyata dia masih merindukan malam panjang penuh erotisme itu. "Perkenalkan d
Nicholas Dante Benedict. Si empunya nama membubuhkan tanda tangannya di lembaran kertas yang berisi surat kontrak antara perusahaannya dengan pihak ketiga. Sorot matanya yang tajam dan dingin, membuat siapapun yang menatapnya akan bergidik ngeri. Di atas mata elang itu, ada alis tebal yang selalu berkerut setiap saat ia membuka mulut. "Terimakasih, Pak." Sekretaris andalannya, Geri, membungkuk sopan ketika Nick --begitu pria itu biasa dipanggil, usai menandatangani berkas-berkas penting itu. Dengan bolpoin yang masih dalam posisi berdiri, Nicholas lantas melirik sekretarisnya. Geri, sontak menundukkan kepala ketika tatapan mereka bertemu selama beberapa detik. "Apa kau belum menemukannya, Ger?" tanya Nick penasaran. "Sudah tiga minggu dan kalian belum memberiku update informasi apapun!" "Ma-maaf, Pak. Butuh waktu cukup lama untuk mendapat salinan CCTV di hotel itu." "Apa susahnya membayar mereka dengan uang lebih!?" "Masalahnya, hotel itu milik calon mertua anda, Pak. Me
Kriiiiiing. Dering bel sekolah yang berbunyi nyaring menandakan berakhirnya kegiatan di sekolah hari ini. Semua siswa kelas 12 keluar dari kelas masing-masing dengan wajah berbinar bahagia. Hari ini adalah hari terakhir mereka menyelesaikan ujian praktek kelulusan. Itulah sebabnya rasa lega dan haru menyelimuti suasana siang itu di sekolah elit Ivywild. "Lu langsung pulang?" tanya Eliza pada Anne yang berjalan pelan di sebelahnya. "Temenin gue ke mall, yuk! Gue pengen es krim strawberry." "Lagi??" Anne mendelik tak percaya. "Lu kemarin udah beli, El. Nggak eneg lu?" "Nggak! Gue malah pengen beli pabriknya sekalian biar bisa puas makan tiap jam tiap menit!" Eliza mendahului langkah sahabatnya dan menghentikan taksi yang lewat. "Yuk, buruan!" Di mall tujuan, Eliza menghabiskan dua mangkuk es krim strawberry itu seorang diri, sementara Anne memperhatikannya dengan sesekali bergidik. Ia mulai merasa aneh dengan selera makan Eliza yang selama dua mingguan ini menggila. "Liz, lu
Hangat, nyaman dan sunyi. Aroma musk yang berpadu dengan kayu-kayuan menguar dan terendus oleh indra penciuman gadis yang masih meringkuk di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Tangan yang sejak tadi mendekapnya, bergerak semakin merapatkan pelukan hingga tubuh keduanya bersentuhan. Bias sinar matahari yang berhasil lolos dan mengintip melalui celah tirai yang menutupi jendela, membuat gadis itu mengerjapkan mata karena silau. Dengan sedikit malas, ia terpaksa memutar tubuhnya untuk menghindari sinar matahari yang baru saja mengganggu tidur lelapnya. Namun, belum jua tubuhnya sepenuhnya berbalik, sesuatu yang berat dan melintang di atas perutnya, lantas membuat gadis itu sontak membuka mata dengan terkejut. Tunggu... Wait a minute! Otaknya yang belum sepenuhnya sadar, mulai merunut kembali kejadian demi kejadian yang terjadi padanya beberapa jam yang lalu. Saat netranya menangkap sosok pria yang terpejam dengan damai tepat di depannya, bola mata gadis itu nyaris meloncat ke
Delapan belas jam sebelum tragedi besar itu terjadi, di kantin yang ramai oleh siswa-siswi SMA, Eliz tengah duduk bersama seorang sahabat baiknya. Selembar undangan tergeletak di meja dan dua remaja itu memandanginya dengan lekat."Lu yakin?" Anne, sahabat Eliza, bertanya untuk kesekian kali."Yakin lah, Ne! Ini kesempatan gue buat ketemu pria itu!" Eliza ngotot dengan keputusannya. "Kapan lagi gue bisa nemuin pria itu kalo bukan malam ini! Gue harus nemuin dia sebelum pertemuan keluarga bulan depan. Dan, lu harus bantuin gue!""Tapi, 'kan masih banyak waktu, El.""Nggak ada! Mulai minggu depan kita udah sibuk ujian, Ne. Please, temenin gue, ya!?" Eliza memohon dengan tatapan memelas yang selalu jadi andalannya untuk membujuk Anne. "Lu 'kan tahu, gue nggak sejago lu dalam merayu orang! Cuma lu yang bisa gue andelin buat nemuin pria itu."Sembari menghembuskan napasnya berat, akhirnya Anne menganggukkan kepala."Oke, gue temenin lu! Tapi sebagai gantinya, lu harus beliin gue--""Gue ak