Share

GARIS DUA

Author: UmiLovi
last update Last Updated: 2025-05-09 21:57:52

Kriiiiiing.

  Dering bel sekolah yang berbunyi nyaring menandakan berakhirnya kegiatan di sekolah hari ini. Semua siswa kelas 12 keluar dari kelas masing-masing dengan wajah berbinar bahagia. Hari ini adalah hari terakhir mereka menyelesaikan ujian praktek kelulusan. Itulah sebabnya rasa lega dan haru menyelimuti suasana siang itu di sekolah elit Ivywild.

  "Lu langsung pulang?" tanya Eliza pada Anne yang berjalan pelan di sebelahnya. "Temenin gue ke mall, yuk! Gue pengen es krim strawberry."

  "Lagi??" Anne mendelik tak percaya. "Lu kemarin udah beli, El. Nggak eneg lu?"

  "Nggak! Gue malah pengen beli pabriknya sekalian biar bisa puas makan tiap jam tiap menit!" Eliza mendahului langkah sahabatnya dan menghentikan taksi yang lewat. "Yuk, buruan!"

  Di mall tujuan, Eliza menghabiskan dua mangkuk es krim strawberry itu seorang diri, sementara Anne memperhatikannya dengan sesekali bergidik. Ia mulai merasa aneh dengan selera makan Eliza yang selama dua mingguan ini menggila.

  "Liz, lu udah menstruasi belom bulan ini?" tanya Anne curiga, tiba-tiba saja ia jadi penasaran.

  Sambil melahap es krimnya, Eliza menggelengkan kepala. "Belom. Kayanya gue telat karena stress mikirin ujian deh!"

  Anne mengawasi raut wajah sahabatnya dengan seksama. Ia lantas bangkit dan meminta Eliza untuk menunggunya sementara ia akan pergi ke apotek di seberang restoran.

  "Nih." Anne melemparkan plastik kecil tepat di hadapan Eliza. "Lu tes deh besok pagi!"

  Dengan bingung, Eliz meletakkan sendok es krimnya dan membuka plastik pemberian Anne. Bola matanya membeliak ketika melihat isi di dalamnya. Tiga buah testpack dengan merk yang berbeda-beda.

  "Kabarin gue besok pagi. Lu ngga perlu ke sekolah kalo memang hasilnya positif."

  "Ne, lu jangan nakut-nakutin gue dong!" ujar Eliza keberatan. "Gue telat mens cuma karena stress!"

  "Mari kita buktikan itu besok. Semoga hasilnya memang negatif."

  Dan, keesokan paginya. Eliza sudah menempatkan urinnya di wadah kecil yang kemarin sudah dibelikan oleh Anne. Ia menunggu testpack itu menunjukkan hasilnya dengan jantung berdegup kencang. Semalaman, Eliz tak bisa tidur karena kepikiran dengan perkataan sahabatnya, ia mulai cemas dan takut.

  Saat secara perlahan satu garis merah muncul di benda putih itu, Eliza menahan napasnya dengan gugup. Ia memejamkan mata karena tak mampu melihat hasil akhir yang mungkin akan merubah dunia kecilnya.

  "Mamaaaaa!!" Eliza menjerit histeris ketika semua testpack menunjukkan dua garis yang terang dan jelas.

  Sekujur tubuhnya mendadak lemas, Eliza merasa lunglai dan ambruk di lantai kamar mandi yang dingin. GARIS DUA. Ya, garis dua berwarna merah itu membuat dunianya mendadak terhenti detik itu juga.

  "Nggak mungkin! Nggak mungkin aku hamil!" rutuknya tak percaya. "Ini pasti salah. Testpack ini pasti eror!"

  "Eliz! Eliza! Ada apa?!"

  Suara teriakan dari luar kamarnya membuat perhatian Eliz terpecah. Itu mamanya. Tentu saja, mamanya panik karena tadi Eliza sempat berteriak memanggilnya.

  "Eliz, are you Oke?" teriak sang mama dari luar kamar.

  "Ya, Ma! I'm Oke!" Eliz balas berteriak dari dalam kamar mandi agar mamanya tenang.

  Dengan tubuh yang masih terasa ringan, Eliza memaksakan diri untuk bangkit. Ia mencuci testpack itu dengan air dan sabun, lantas membawanya keluar dari kamar mandi. Eliz akan menunjukkan hasil testpack ini pada Anne.

Di meja makan, semua anggota keluarga Pratama sudah untuk sarapan sebelum mulai menjalani aktifitas.

  "Ma, boleh nggak hari ini Eliz ijin keluar sama Anne?"

  "Mau ke mana?" Andreas, sang papa, memotong permintaan ijin putrinya.

  "Mau nonton, kan kami habis ujian." Eliza meraih setangkup roti dan mengoleskan selai strawberry di atasnya.

  "Tapi kamu harus udah balik sebelum jam enam, ya? Karena jam delapan nanti kita akan makan malam sama keluarga Benedict." Andreas memperingatkan putrinya. "Papa minggu depan akan sibuk di Singapore, jadi jadwal makan malam dimajukan hari ini."

Beban pikiran yang sedang Eliza rasakan saat ini, membuatnya mengangguk tanpa banyak protes pada perintah papanya. Ia akan menyelesaikan satu persatu masalahnya dulu, sebelum menyelesaikan masalah yang lain dengan keluarga Benedict.

Di apartemen Anne, Eliza menangis tersedu-sedu sejak datang satu jam yang lalu. Tiga buah testpack berjajar di meja ruangan kecil itu, dan semuanya menunjukkan hasil yang valid, Eliza positif hamil.

"Terus, lu maunya gimana sekarang?" Anne menatap sahabatnya dengan prihatin. "Sejak awal 'kan gue udah minta lu nyari cowok itu. Kalo udah kaya gini, susah kita nyari dia, Liz!"

"Kalo gue aborsi gimana, Ne?"

"Gila lu, ya!" Anne berteriak keras mencerca Eliza. "Lu udah berdosa dengan tidur sama cowok asing. Jangan tambah dosa lu dengan membuang janin gak bersalah itu!"

"Tapi gue nggak siap hamil, Ne! Gue juga akan nikah sama cowok lain!"

"Emangnya lu udah setuju nikah sama dia?" Anne melipat kedua tangannya di dada dan memandang Eliza dengan dingin. "Bukannya awalnya lu nolak buat nikah sama cowok itu? Kok sekarang malah berubah gini?"

"Terus gue harus gimana, Ne! Gue lagi nge-blank! Gue nggak bisa mikir!" ratap Eliza dengan kesal.

"Justru ini kesempatan lu buat nolak perjodohan itu, Liz. Lu hamil, mereka nggak akan mau nerima calon istri yang udah nggak suci lagi!" Anne mencengkeram kedua pundak sahabat karibnya yang polos dengan gemas. "Lu jujur aja sama keluarga lu dan mereka semua. Jangan ada yang ditutupi!"

"Kalo gue diusir sama papa gimana?"

"Nggak mungkin! Ortu lu sayang banget sama lu, bodoh! Yang ada mereka pasti akan bantu lu buat dapetin cowok sialan yang berani hamilin lu ini! Itu lebih gampang daripada kita nyari cowo itu sendirian," terang Anne berapi-api.

"Makan malamnya hari ini, kan? Udah sana, lu buruan pulang dan siap-siap! Jangan lupa bawa testpack ini sebagai bukti. Gue do'ain semoga lu cepet ketemu sama cowok mokondo itu dan nuntut pertanggungjawaban dia!"

"Ta-tapi gue nggak mau nikah sama cowok yang udah bikin gue hamil, Ne. Gue nggak sudi!" tampik Eliza masih dengan air mata menggenang di pipi.

"Terus lu maunya nikah sama siapa?" Anne menatap sahabatnya dengan tajam.

"Nggak mau nikah! Gue bisa rawat bayi ini sendirian."

"Jangan ngadi-ngadi deh, El! Lu pikir gampang apa hamil dan ngerawat bayi sendirian. Lu bakal digunjing, lu bakal dikucilkan dan anak lu bakalan jadi bahan ejekan orang-orang sebagai anak haram. Lu mau kaya gitu!?" beber Anne berapi-api, dan Eliza sontak menggeleng cepat dengan mimik wajah ketakutan. "Udah sana buruan pulang, istirahat. Lu harus nikah sama siapapun itu buat nutupin kehamilan lu. Mau sama cowok yang dijodohin itu atau sama bapaknya bayi ini terserah. Yang penting, lu dateng dulu ke acara nanti malem."

Siang berganti sore, sore berganti malam. Tepat jam tujuh, keluarga Pratama mulai berangkat menuju restoran di mana mereka akan bertemu dengan keluarga Benedict. Ini kali pertama Eliza akan bertemu dengan calon suami yang menurut rumor adalah pria tampan dan kharismatik. Tak banyak yang Eliz ketahui tentang calon suaminya karena ia sangat membenci pria itu, pria yang telah menghancurkan impiannya untuk menikah dengan pria yang ia cintai.

Mobil lantas memasuki halaman restoran dan berhenti di teras lobi. Mereka semua lantas turun, dengan diantar oleh pelayan menuju ruangan private di mana keluarga Benedict telah menunggu.

"Selamat malam, Mr. Etttan!"

"Oh, Hai! Selamat malam, Mr. Andreas!"

****************

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kecil Tuan CEO   KITA MULAI LAGI DARI AWAL | END

    Satu tahun setelah kecelakaan itu. Udara pagi di Benz Group terasa segar dengan semilir angin dari taman vertikal di sisi gedung. Di antara lalu-lalang karyawan yang sibuk, langkah seseorang menarik perhatian, Nicholas Benedict, CEO muda yang dulu sempat dikabarkan lumpuh total, kini berjalan pelan dengan bantuan tongkat logam hitam di tangan kanan. Ia mengenakan setelan abu muda, dasinya rapi, wajahnya lebih cerah dari biasanya. Setiap langkahnya masih hati-hati, tapi tegap. Senyum kecilnya muncul setiap kali menyapa karyawan yang menunduk hormat padanya. “Pagi, Pak Nicholas,” sapa Geri, yang kini kembali menjadi asisten pribadinya setelah sempat “dipecat pura-pura” oleh Ettan. “Pagi, Geri,” jawab Nicholas tenang sambil menepuk bahunya. “Laporan minggu ini sudah kamu kirim ke email Daddy?” “Sudah, Pak. Beliau nitip salam, katanya bangga karena Bapak akhirnya balik ke kantor, bukan cuma memantau dari rumah.” Nicholas terkekeh pelan. “Kalau di rumah terus, nanti aku malah ke

  • Istri Kecil Tuan CEO   LANGKAH PERTAMA

    Langit sore itu tampak bersahabat, meski ada selapis awan kelabu di ujung barat. Angin lembut berembus dari arah danau, membawa aroma rerumputan basah dan wangi tanah yang baru tersiram hujan semalam. Di tepi taman kota, di bawah pohon besar yang rindang, selembar tikar bermotif bunga sudah tergelar. Di atasnya, tersusun rapi bekal piknik yang disiapkan Eliza sejak pagi. “Lihat, Sus, sandwich-nya sampai tiga lapis,” gumam Eliza sambil terkekeh kecil. “Ah, biar puas, Nyonya. Nanti Tuan Nicholas pasti suka,” jawab Sus Tini sambil menata gelas plastik di sebelah keranjang buah. Nicholas mengangguk kecil, lalu mengelus kepala Nicola yang sedang berusaha memegang sendok. Bocah itu mengoceh riang, suaranya belum jelas tapi penuh semangat. “Papah…papah… cucu!” katanya sambil menunjuk jus mangga di depannya. Nicholas tertawa kecil. “Iya, itu jus buat Papa, bukan cucu,” godanya lembut. Tawa kecil itu menular. Eliza ikut tertawa sambil menuangkan jus ke gelas plastik kecil, sementara Sus

  • Istri Kecil Tuan CEO   KEJUTAN

    Hari sudah menjelang sore ketika Ettan akhirnya mengajak Nicholas pulang dari kantor.“Daddy yakin nggak ada yang perlu aku tanda tangani lagi?” tanya Nicholas curiga. “Kayaknya semua laporan tadi cuma revisi lama.”Ettan terkekeh kecil. “Kamu sekarang terlalu mudah curiga. Sudahlah, kita pulang aja. Eliza pasti udah nunggu di rumah.”Nicholas hanya mengangguk lemas. Ia tak ingin berdebat. Badannya pegal setelah terapi, pikirannya pun lelah karena sepanjang hari terasa aneh. Geri menghilang, Eliza sibuk dengan Nicola, dan bahkan di hari ulang tahunnya ini, tak ada yang terasa spesial.Ia tak tahu kalau sepanjang hari itu, seluruh keluarga sibuk berlarian di mansion utama. Eliza memimpin semuanya dengan cermat—mengatur dekorasi, memastikan katering datang tepat waktu, dan menyembunyikan balon-balon raksasa bertuliskan“Happy Birthday, Nicholas!” di balik tirai ruang keluarga yang megah.Nicola, meski baru 15 bulan, tampak bersemangat ikut membantu. Ia terus menunjuk balon-balon dan ter

  • Istri Kecil Tuan CEO   HARI YANG MENYEBALKAN

    Sejak pagi, suasana rumah Nicholas sudah terasa “aneh.” Ia terbangun lebih awal dari biasanya, berharap menemukan Eliza dan Nicola di kamar. Tapi yang ia temukan hanya secarik catatan kecil di atas meja nakas.[Sayang, aku ke rumah sakit sama Nicola ya. Hari ini jadwal dia vaksin dan sus Tini mendadak cuti. Sarapan udah aku siapin di dapur.]Nicholas mendesah panjang. Ia menatap jam di dinding — baru pukul tujuh pagi.“Kenapa harus sekarang sih vaksinnya?” gumamnya kesal. Ia tahu, hari ini jadwal terapinya di RS pusat dengan dokter Doni, dan biasanya Eliza selalu menemaninya. Tapi kali ini? Ia harus pergi sendiri.Nicholas mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif. Tapi begitu turun ke dapur, suasana makin menguji kesabarannya.Sarapan yang “sudah disiapkan” ternyata hanya roti panggang dingin dan segelas susu dingin yang sudah tak terlalu segar.“Luar biasa,” keluhnya dengan nada sarkas. “Ulang tahun paling spesial dengan sarapan susu basi.”Pak Johan, sopir setianya, muncul

  • Istri Kecil Tuan CEO   TIGA BULAN KEMUDIAN

    Tiga bulan sudah berlalu sejak Nicholas mulai menjalani terapi intensif bersama dr. Doni. Pagi-pagi buta, suara kursi rodanya bergulir di lantai marmer ruang latihan menjadi pemandangan yang biasa. Peluh menetes di pelipisnya, namun setiap gerakan—sekecil apa pun—selalu diikuti dengan tekad kuat di matanya.“Pelan-pelan, Pak Nicholas. Fokus di lututnya dulu,” ujar dr. Doni sambil menahan kaki kanan Nicholas agar tetap stabil.Nick mengerang pelan menahan sakit, tapi ia tidak berhenti. “Saya bisa, Dok,” katanya dengan nada menahan perih.Eliza yang berdiri di sudut ruangan menggenggam tangan di dadanya, menatap Nick dengan perasaan campur aduk—antara kagum dan khawatir.Sejak terapi bulan kedua, Nicholas tak pernah lagi mengeluh. Jika dulu ia mudah frustrasi, kini ia justru menjadi orang paling disiplin di ruangan itu. Setiap instruksi dijalaninya tanpa protes. Ia bahkan sering datang lima belas menit lebih awal hanya untuk melakukan pemanasan sendiri.Dr. Doni sempat berkelakar, “Pasi

  • Istri Kecil Tuan CEO   MEMAAFKAN

    Ruang makan di mansion utama malam itu terasa berbeda dari biasanya. Lampu gantung kristal yang menjuntai di atas meja panjang memantulkan cahaya lembut, memberi suasana hangat yang seolah berusaha mencairkan segala kekakuan di udara. Ettan duduk di ujung meja, mengenakan kemeja abu-abu rapi seperti biasa, sementara Athena di sisi kanan, dengan senyum yang sedikit gugup tapi tulus. Ricky duduk di sebelah ibunya, dan di hadapan mereka, Eliza mendorong kursi roda Nicholas perlahan. Begitu memasuki ruangan, suara sendok dan piring berhenti sejenak. Semua mata tertuju pada Nicholas. Lelaki itu tampak tenang, tapi Eliza tahu betul, di balik wajah datarnya, ada badai kecil yang berusaha dikendalikannya. “Selamat malam, Nick. Eliza,” sapa Ettan hangat, berdiri untuk menyambut mereka. “Selamat malam, Dad,” jawab Eliza lembut, membungkuk sedikit. Nicholas hanya mengangguk sopan. “Selamat malam.” Sus Tini menggendong Nicola yang tampak antusias melihat banyak orang di ruangan itu. Rick

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status