Kriiiiiing.
Dering bel sekolah yang berbunyi nyaring menandakan berakhirnya kegiatan di sekolah hari ini. Semua siswa kelas 12 keluar dari kelas masing-masing dengan wajah berbinar bahagia. Hari ini adalah hari terakhir mereka menyelesaikan ujian praktek kelulusan. Itulah sebabnya rasa lega dan haru menyelimuti suasana siang itu di sekolah elit Ivywild. "Lu langsung pulang?" tanya Eliza pada Anne yang berjalan pelan di sebelahnya. "Temenin gue ke mall, yuk! Gue pengen es krim strawberry." "Lagi??" Anne mendelik tak percaya. "Lu kemarin udah beli, El. Nggak eneg lu?" "Nggak! Gue malah pengen beli pabriknya sekalian biar bisa puas makan tiap jam tiap menit!" Eliza mendahului langkah sahabatnya dan menghentikan taksi yang lewat. "Yuk, buruan!" Di mall tujuan, Eliza menghabiskan dua mangkuk es krim strawberry itu seorang diri, sementara Anne memperhatikannya dengan sesekali bergidik. Ia mulai merasa aneh dengan selera makan Eliza yang selama dua mingguan ini menggila. "Liz, lu udah menstruasi belom bulan ini?" tanya Anne curiga, tiba-tiba saja ia jadi penasaran. Sambil melahap es krimnya, Eliza menggelengkan kepala. "Belom. Kayanya gue telat karena stress mikirin ujian deh!" Anne mengawasi raut wajah sahabatnya dengan seksama. Ia lantas bangkit dan meminta Eliza untuk menunggunya sementara ia akan pergi ke apotek di seberang restoran. "Nih." Anne melemparkan plastik kecil tepat di hadapan Eliza. "Lu tes deh besok pagi!" Dengan bingung, Eliz meletakkan sendok es krimnya dan membuka plastik pemberian Anne. Bola matanya membeliak ketika melihat isi di dalamnya. Tiga buah testpack dengan merk yang berbeda-beda. "Kabarin gue besok pagi. Lu ngga perlu ke sekolah kalo memang hasilnya positif." "Ne, lu jangan nakut-nakutin gue dong!" ujar Eliza keberatan. "Gue telat mens cuma karena stress!" "Mari kita buktikan itu besok. Semoga hasilnya memang negatif." Dan, keesokan paginya. Eliza sudah menempatkan urinnya di wadah kecil yang kemarin sudah dibelikan oleh Anne. Ia menunggu testpack itu menunjukkan hasilnya dengan jantung berdegup kencang. Semalaman, Eliz tak bisa tidur karena kepikiran dengan perkataan sahabatnya, ia mulai cemas dan takut. Saat secara perlahan satu garis merah muncul di benda putih itu, Eliza menahan napasnya dengan gugup. Ia memejamkan mata karena tak mampu melihat hasil akhir yang mungkin akan merubah dunia kecilnya. "Mamaaaaa!!" Eliza menjerit histeris ketika semua testpack menunjukkan dua garis yang terang dan jelas. Sekujur tubuhnya mendadak lemas, Eliza merasa lunglai dan ambruk di lantai kamar mandi yang dingin. GARIS DUA. Ya, garis dua berwarna merah itu membuat dunianya mendadak terhenti detik itu juga. "Nggak mungkin! Nggak mungkin aku hamil!" rutuknya tak percaya. "Ini pasti salah. Testpack ini pasti eror!" "Eliz! Eliza! Ada apa?!" Suara teriakan dari luar kamarnya membuat perhatian Eliz terpecah. Itu mamanya. Tentu saja, mamanya panik karena tadi Eliza sempat berteriak memanggilnya. "Eliz, are you Oke?" teriak sang mama dari luar kamar. "Ya, Ma! I'm Oke!" Eliz balas berteriak dari dalam kamar mandi agar mamanya tenang. Dengan tubuh yang masih terasa ringan, Eliza memaksakan diri untuk bangkit. Ia mencuci testpack itu dengan air dan sabun, lantas membawanya keluar dari kamar mandi. Eliz akan menunjukkan hasil testpack ini pada Anne. Di meja makan, semua anggota keluarga Pratama sudah untuk sarapan sebelum mulai menjalani aktifitas. "Ma, boleh nggak hari ini Eliz ijin keluar sama Anne?" "Mau ke mana?" Andreas, sang papa, memotong permintaan ijin putrinya. "Mau nonton, kan kami habis ujian." Eliza meraih setangkup roti dan mengoleskan selai strawberry di atasnya. "Tapi kamu harus udah balik sebelum jam enam, ya? Karena jam delapan nanti kita akan makan malam sama keluarga Benedict." Andreas memperingatkan putrinya. "Papa minggu depan akan sibuk di Singapore, jadi jadwal makan malam dimajukan hari ini." Beban pikiran yang sedang Eliza rasakan saat ini, membuatnya mengangguk tanpa banyak protes pada perintah papanya. Ia akan menyelesaikan satu persatu masalahnya dulu, sebelum menyelesaikan masalah yang lain dengan keluarga Benedict. Di apartemen Anne, Eliza menangis tersedu-sedu sejak datang satu jam yang lalu. Tiga buah testpack berjajar di meja ruangan kecil itu, dan semuanya menunjukkan hasil yang valid, Eliza positif hamil. "Terus, lu maunya gimana sekarang?" Anne menatap sahabatnya dengan prihatin. "Sejak awal 'kan gue udah minta lu nyari cowok itu. Kalo udah kaya gini, susah kita nyari dia, Liz!" "Kalo gue aborsi gimana, Ne?" "Gila lu, ya!" Anne berteriak keras mencerca Eliza. "Lu udah berdosa dengan tidur sama cowok asing. Jangan tambah dosa lu dengan membuang janin gak bersalah itu!" "Tapi gue nggak siap hamil, Ne! Gue juga akan nikah sama cowok lain!" "Emangnya lu udah setuju nikah sama dia?" Anne melipat kedua tangannya di dada dan memandang Eliza dengan dingin. "Bukannya awalnya lu nolak buat nikah sama cowok itu? Kok sekarang malah berubah gini?" "Terus gue harus gimana, Ne! Gue lagi nge-blank! Gue nggak bisa mikir!" ratap Eliza dengan kesal. "Justru ini kesempatan lu buat nolak perjodohan itu, Liz. Lu hamil, mereka nggak akan mau nerima calon istri yang udah nggak suci lagi!" Anne mencengkeram kedua pundak sahabat karibnya yang polos dengan gemas. "Lu jujur aja sama keluarga lu dan mereka semua. Jangan ada yang ditutupi!" "Kalo gue diusir sama papa gimana?" "Nggak mungkin! Ortu lu sayang banget sama lu, bodoh! Yang ada mereka pasti akan bantu lu buat dapetin cowok sialan yang berani hamilin lu ini! Itu lebih gampang daripada kita nyari cowo itu sendirian," terang Anne berapi-api. "Makan malamnya hari ini, kan? Udah sana, lu buruan pulang dan siap-siap! Jangan lupa bawa testpack ini sebagai bukti. Gue do'ain semoga lu cepet ketemu sama cowok mokondo itu dan nuntut pertanggungjawaban dia!" "Ta-tapi gue nggak mau nikah sama cowok yang udah bikin gue hamil, Ne. Gue nggak sudi!" tampik Eliza masih dengan air mata menggenang di pipi. "Terus lu maunya nikah sama siapa?" Anne menatap sahabatnya dengan tajam. "Nggak mau nikah! Gue bisa rawat bayi ini sendirian." "Jangan ngadi-ngadi deh, El! Lu pikir gampang apa hamil dan ngerawat bayi sendirian. Lu bakal digunjing, lu bakal dikucilkan dan anak lu bakalan jadi bahan ejekan orang-orang sebagai anak haram. Lu mau kaya gitu!?" beber Anne berapi-api, dan Eliza sontak menggeleng cepat dengan mimik wajah ketakutan. "Udah sana buruan pulang, istirahat. Lu harus nikah sama siapapun itu buat nutupin kehamilan lu. Mau sama cowok yang dijodohin itu atau sama bapaknya bayi ini terserah. Yang penting, lu dateng dulu ke acara nanti malem." Siang berganti sore, sore berganti malam. Tepat jam tujuh, keluarga Pratama mulai berangkat menuju restoran di mana mereka akan bertemu dengan keluarga Benedict. Ini kali pertama Eliza akan bertemu dengan calon suami yang menurut rumor adalah pria tampan dan kharismatik. Tak banyak yang Eliz ketahui tentang calon suaminya karena ia sangat membenci pria itu, pria yang telah menghancurkan impiannya untuk menikah dengan pria yang ia cintai. Mobil lantas memasuki halaman restoran dan berhenti di teras lobi. Mereka semua lantas turun, dengan diantar oleh pelayan menuju ruangan private di mana keluarga Benedict telah menunggu. "Selamat malam, Mr. Etttan!" "Oh, Hai! Selamat malam, Mr. Andreas!" ****************“Nicky?”Suara perempuan. Ringan. Nyaring. Dan... akrab.Eliza memutar kepala. Detak jantungnya langsung berubah ritmenya. Di sana, berdiri seorang perempuan cantik dengan balutan gaun sederhana berwarna hijau zaitun. Rambutnya sebahu, bibirnya tersenyum—tapi mata itu berbinar tajam, penuh kejutan yang tak bisa disembunyikan."Oh, hai, Lidya." Nicholas mengangguk dan menurunkan pandangannya yang sempat terpaku pada sosok wanita itu."Ini ... istrimu?" “Ya. Dia Eliza,” sahut Nick pelan, bahkan cenderung kaku. “Liza, ini... Lidya.”Dada Eliza terasa dicekik sesaat. Nama itu. Wajah itu. Tatapan itu.Tepat. Dia perempuan yang duduk satu meja dengan Nicholas siang itu di restoran. Perempuan yang membuat Anne menaruh curiga. Perempuan yang membuat Nicholas berbohong.Lidya menatap Eliza. Matanya sempat turun ke arah perut Eliza yang terlihat membulat di balik dress longgar berwarna krem.“Oh, kamu hamil?” ucap Lidya pelan, nyaris tak percaya. “Wow, selamat ya!”“Terima kasih,” jawab Eliza
Nicholas tak pernah menyangka sebuah gulungan banner yang jatuh bisa menjadi awal dari sesuatu yang terus tinggal dalam memorinya bertahun-tahun ke depan.Sore itu, langit kota terlihat kelabu, dan siswa-siswa SMA Kencana perlahan mengosongkan gedung sekolah. Hanya segelintir yang masih bertahan di ruang kelas, OSIS, dan tentu saja—perpustakaan.Itu tempat favorit Nicholas. Sunyi, tenang, tidak ada yang memperhatikan. Ia menyukai aroma kertas tua, denting jam dinding, dan bunyi samar halaman-halaman buku yang dibalik. Bagi Nicholas, perpustakaan adalah tempat yang tidak menuntutnya untuk bicara.Sampai akhirnya, hari itu…Sebuah banner besar tiba-tiba jatuh dari atas pintu saat ia hendak masuk. Nicholas reflek menunduk. Gulungan kain itu menyentuh sepatunya. Ia menatap ke dalam ruangan dan melihat seorang siswi berdiri di atas meja dengan selotip dan senyum kikuk.Rambutnya panjang dan dikuncir tinggi. Wajahnya sedikit berkeringat tapi tetap cerah. Ia menatap Nicholas dengan tatapan m
Sarapan pagi itu seperti biasanya—hening, tapi tidak setegang minggu-minggu lalu.Eliza duduk di sisi meja, mengaduk teh jahe hangat tanpa benar-benar berniat meminumnya. Nicholas di seberangnya, membaca sesuatu di layar tablet sambil sesekali menyuap potongan roti panggang. Tidak ada yang berbicara lebih dari tiga kalimat dalam satu waktu. Tidak ada topik besar. Tidak juga ada pertengkaran. Dan bagi mereka berdua, itu sudah cukup baik.Setelah menyelesaikan sarapannya, Nick bangkit lebih dulu. Ia membereskan piringnya sendiri, lalu menghampiri Eliza sebentar.“Saya ke kantor dulu,” ucapnya singkat, suaranya datar tapi tidak dingin.Eliza hanya mengangguk pelan, “Hati-hati.”Nicholas menoleh sebentar, lalu pergi. Tak ada kontak mata. Tapi saat ia sudah keluar dari pintu, Eliza diam-diam menatap punggungnya… cukup lama.---Hari itu, di kantor, Nicholas sibuk seperti biasa. Tapi sekitar pukul tiga sore, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Anita.[Nick, maaf. Mama nggak bisa temenin El
Nick menunduk di atas piringnya, mencoba mengunyah perlahan walau tak ada rasa apa-apa di lidahnya. Malam terasa hampa, seperti malam-malam sebelumnya sejak Eliza memilih diam di balik pintu dan Nick hanya bisa menunggu di luar tanpa kepastian.Bunyi langkah kaki di tangga mengusik keheningan yang menyiksa. Sebuah langkah ringan tapi ragu, seperti seseorang yang tengah menimbang-nimbang apakah ini keputusan yang benar. Nicholas langsung menoleh.Eliza.Ia memakai baju tidur sederhana berwarna biru muda. Rambutnya digerai, wajahnya polos tanpa riasan, dan mata itu… mata yang dulu sering menatapnya dengan marah atau bingung, kini menatapnya dengan tenang. Bukan tanpa luka—tapi juga bukan tanpa harapan.Nick refleks berdiri dari kursinya. “Saya… saya akan pergi,” katanya buru-buru, menghindari tatapan itu karena takut membuat Eliza merasa tidak nyaman.“Tetap di situ.”Suara Eliza terdengar pelan tapi mantap.Seketika Nicholas terdiam, setengah membeku. Perlahan, ia menoleh dan menemukan
Langit Jakarta berawan pekat ketika Nicholas mengangkat ponselnya dan menekan nomor Ettan. Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena jendela rumah besar itu tak lagi terbuka seperti biasa. Mungkin juga karena Eliza belum keluar dari kamarnya sejak hari itu."Ya?" suara Ettan terdengar tegas di ujung sana."Dad, aku ingin minta ijin." Suara Nicholas pelan, hampir tak terdengar."Kenapa tidak masuk kantor? Kamu CEO sekarang, Nicholas. Kamu tahu tanggung jawabmu.""Aku tahu." Nick menghela napas. "Tapi aku... perlu waktu. Untuk menyelesaikan sesuatu di rumah."Hening.Ettan mendesah. "Apa ini soal Eliza?"Nicholas tak menjawab. Tapi keheningan itu cukup sebagai konfirmasi."Baik. Tapi kamu tetap harus pegang kendali. Geri bisa bantu pantau dari kantor. Aku akan tetap cek laporan tiap sore.""Terima kasih, Dad."Telepon terputus. Nicholas menyandarkan kepala ke dinding kamarnya, menatap langit-langit kosong seolah berharap ada petunjuk tentang bagaimana caranya mem
Eliza duduk di ujung sofa di kamarnya, tubuhnya kaku, kedua tangannya menggenggam ujung bantal kecil yang disediakan di pangkuannya. Cahaya sore menyelinap masuk dari sela tirai jendela, membentuk bayangan lembut di lantai. Di seberangnya, Dr. Meira duduk dengan sikap santai namun penuh perhatian, mengenakan kemeja putih dan celana kain abu. Wajahnya ramah, tidak menghakimi.“Terima kasih sudah mau bicara, Eliza,” sapa Dr. Meira lembut.Eliza mengangguk pelan. “Saya... nggak tahu harus mulai dari mana.”“Tidak apa-apa. Di sini, tidak ada yang memaksa. Kamu boleh diam. Atau menangis. Atau marah. Kita mulai dari apa pun yang kamu mau.”Eliza menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca bahkan sebelum satu kalimat keluar.“Saya... takut,” bisiknya. “Saya nggak tahu kenapa saya bisa begini. Semalam... saya merasa tubuh saya dicuri lagi. Sama seperti waktu itu.”Air matanya menetes. “Saya pikir, pernikahan bisa jadi tempat aman saya. Tapi ternyata...”Dr. Meira mengambil selembar tisu d