Mansion Kecil – Pukul 20.03 WIBSuara televisi menyala pelan di ruang tengah. Eliza bersandar di sofa dengan selimut tipis melingkari kakinya, remote TV di tangan, tapi pandangannya kosong. Matanya lebih sering menatap ke arah pintu utama daripada ke layar.Jam di dinding sudah melewati pukul delapan malam. Satu jam lebih dari biasanya Nicholas pulang. Tangannya meremas selimut, dan begitu terdengar suara mobil memasuki halaman depan, tubuhnya langsung tegak.Tak lama, pintu terbuka.Nicholas masuk, tampak rapi seperti biasa, namun ada gurat lelah di wajahnya. Ia menenteng tas kerja di tangan kiri, sementara tangan kanannya membuka jas dan menggantungnya di dekat pintu.“Eliza,” sapa Nick singkat, matanya menatap sekilas ke arah sofa.“Lo baru pulang,” balas Eliza tanpa menoleh. “Jam berapa sekarang?”Nick berjalan mendekat dan duduk di ujung sofa, memberi jarak.“Saya rapat sampai sore. Ada beberapa tambahan pembahasan sama investor.”Eliza akhirnya menoleh, menatap wajah Nick yang t
Pagi itu, suasana kantor kembali seperti biasanya. Geri sudah berdiri di depan ruang kerja Nicholas dengan berkas-berkas di tangannya, siap melaporkan progres dan jadwal hari itu."Selamat pagi, Pak Nicholas," ucap Geri sopan sambil membukakan pintu.Nicholas mengangguk singkat. "Pagi, Geri."Baru saja ia meletakkan tas kerjanya di meja, pandangannya langsung tertuju pada benda kecil yang tak biasa di atas permukaan meja kayu mahoni itu. Sebuah bros. Bentuknya bulan sabit, berwarna emas pucat dengan detail batu kecil yang berkilau di tengahnya.Geri segera menyadari sorot mata atasannya. "Oh, itu tadi ditemukan OB saat bersih-bersih. Di karpet di dekat sofa Anda, Pak. Mungkin terjatuh kemarin."Nicholas mengambil bros itu dan memperhatikannya. Benda itu mengusik memorinya. Ia ingat melihatnya kemarin, tersemat di dada blus Lidya.“Bros ini… milik Lidya,” gumam Nicholas, lebih kepada dirinya sendiri.“Perlu saya hubungi orangnya, Pak?” tanya Geri, hati-hati.Nicholas mengangguk pelan.
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai kamar. Eliza membuka mata perlahan, menyadari posisi tubuhnya dalam pelukan Nicholas. Ia nyaris tak bergerak, hanya menatap wajah laki-laki itu yang terlihat jauh lebih damai dari semalam.Pelan-pelan, ia melepaskan diri, bangkit dari tempat tidur, dan berjalan menuju kamarnya sendiri di lantai dua. Ia merasa tubuhnya ringan walau sedikit pusing. Tapi dibandingkan kemarin, mualnya jauh berkurang. Sambil mandi dan sikat gigi, Eliza sempat melirik bayangannya di cermin. Rambutnya mulai terlihat kusut dan tak terurus."Gue butuh potong rambut," gumamnya sendiri.Setelah mengganti baju santai dan mengeringkan rambut, ia turun ke ruang makan. Nicholas sudah duduk di sana, mengenakan kemeja putih dan celana abu-abu. Penampilannya rapi, tapi sorot matanya langsung menunduk ketika Eliza masuk.Meja makan pagi itu tersaji makanan sederhana: roti panggang, selai cokelat, telur dadar, susu dan teh hangat."Udah bangun," sapa Nick pelan.El
Mobil melaju menembus dinginnya malam. Suasana di dalamnya sama dinginnya. Nicholas duduk di kursi kemudi dengan wajah kaku, pandangannya lurus menatap jalanan, tapi pikirannya ke mana-mana. Jemarinya menggenggam setir terlalu erat, hingga buku-bukunya memutih. Eliza duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah suaminya. Ia tahu Nicholas marah. Terlalu terlihat. Dari tatapannya yang tajam tadi saat melihatnya bersama Rio, dari nada bicaranya yang berubah. Tapi yang paling Eliza tak habis pikir, kenapa Nicholas harus sesensitif itu? Kenapa begitu defensif tiap kali nama Rio muncul? “Nick,” panggil Eliza pelan. Nicholas tak menjawab. “Lo kenapa diem aja?” “Saya nggak mau ribut,” jawab Nicholas datar, pandangan tetap ke jalan. “Justru karena lo diem, semuanya makin nyesek. Gue nggak suka digantung kayak gini. Kalau lo ada yang pengin diomongin, omongin sekarang.” Nicholas menarik napas panjang. “Eliza, saya lelah. Kita baru pulang dari acara keluarga kamu. Bisa kita bahas b
Kantor Benz Group mulai meredup di bawah cahaya senja. Di dalam ruang CEO yang terletak di lantai paling atas, Nicholas tengah menatap layar komputernya dengan mata lelah. Ia memijit pelipisnya pelan, sementara Geri berdiri di sampingnya, membawa setumpuk dokumen untuk ditandatangani."Geri, jadwal setelah pukul empat tolong dikosongkan ya," kata Nicholas sambil menandatangani satu dokumen. "Aku harus pulang lebih awal. Ada acara keluarga."Geri mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan alihkan dua meeting internal dan satu sesi wawancara ke hari Senin."Nicholas mengangguk. "Bagus. Dan pastikan tidak ada yang menggangguku mulai jam lima. Aku nggak mau terlambat."Geri belum sempat menjawab ketika suara ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Nicholas tanpa menoleh.Pintu terbuka perlahan, dan sosok perempuan berambut panjang dengan gaun krem yang elegan masuk dengan langkah percaya diri."Hai, Nicky."Geri langsung menoleh kaget. Nicholas spontan menegakkan duduknya, ekspresi wajahnya berubah
Pagi itu, aroma kopi memenuhi dapur kecil di mansion Nicholas. Eliza sudah duduk di meja makan dengan rambut dikuncir asal, mengenakan kaus longgar dan celana rumah. Wajahnya masih sedikit sembab karena mual tadi subuh, tapi senyumnya mulai kembali muncul.Nick turun dari tangga, mengenakan kemeja putih bersih dan celana kain abu-abu gelap. Dia membawa map kerja di tangan kiri dan ponsel di tangan kanan.“Lo udah bangun?” tanya Eliza sambil menatap Nick.“Saya denger kamu bangun duluan. Saya kira kamu tadi muntah lagi?” Nick duduk di seberangnya dan menuang kopi dari teko.Eliza mengangguk pelan. “Iya, tapi udah mendingan sekarang. Gue juga udah minum teh jahe. Enak, bikin hangat.”Nick menghela napas. “Harusnya saya temenin kamu tadi.”“Lo juga butuh tidur, Nick. Gue nggak papa,” jawab Eliza sambil tersenyum tipis.Nick hanya diam, menyesap kopinya dengan pandangan waspada ke arah Eliza. Lalu Eliza membuka suara lagi.“Gue mau ke rumah mama hari ini.”Nick meletakkan cangkirnya. “Nga