Pagi itu, Eliza baru saja selesai mencuci muka dan bersiap sarapan ketika ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari Ricky. Eliza mengerutkan kening sejenak sebelum membuka pesan tersebut.[Pagi, Eliza. Maaf mengganggu. Aku sudah coba hubungi kakakku tapi belum dibalas. Momma dan daddy mengundang kalian makan malam di mansion utama malam ini. Ini makan malam terakhir sebelum momma balik ke Italia besok pagi. Aku tahu ini mendadak, tapi aku harap kamu bisa datang dan bawa Kak Nick juga.]Eliza menggigit bibirnya. “Ricky... pagi-pagi udah ngajak makan malam,” gumamnya pelan. Dia mendesah, lalu melirik ke arah kamar Nicholas yang pintunya masih tertutup rapat.Beberapa menit kemudian, Nicholas keluar dengan kaos longgar dan rambut masih sedikit berantakan. Ia langsung menuju dapur, membuat kopi tanpa menoleh.“Pagi, Nick,” sapa Eliza sambil menarik kursi.“Hm. Pagi,” sahut Nicholas datar, menyeduh kopinya.“Lo tidur nyenyak?”“Lumayan." Nicholas menoleh dan menatap Eliza dengan hera
Pagi itu, sinar matahari baru menembus tirai jendela kamar ketika Eliza terbangun lebih awal dari biasanya. Perutnya terasa melilit, rasa mual datang begitu hebat hingga ia tak sempat berpikir. Dengan cepat, ia bangkit dari ranjang dan berlari kecil ke kamar mandi. Nicholas yang semula masih tertidur, terjaga karena suara langkah tergesa dan pintu kamar mandi yang dibanting terbuka. Ia membuka mata, refleks bangkit dari tempat tidur. "Eliza?" Dari dalam kamar mandi terdengar suara muntahan. Tanpa pikir panjang, Nick menyusul. Ia berdiri di ambang pintu dan mendapati Eliza berlutut di depan kloset, tubuhnya gemetar, rambut berantakan menutupi sebagian wajahnya. "Hei, kamu kenapa?" Nick berjongkok di belakang Eliza, menyibakkan rambut gadis itu ke belakang, lalu memijat tengkuk dan pundaknya perlahan. Eliza tak menjawab, hanya mengangkat tangannya memberi isyarat agar Nick tidak mendekat terlalu dekat. "Bau... jangan deket-deket, Nick! Lo bisa jijik..." "Saya nggak jijik," sa
Malam itu mansion kecil Nicholas terasa lebih hening dari biasanya. Setelah pesta peresmian yang megah dan melelahkan, Eliza memilih langsung membersihkan riasannya dan mengganti gaunnya dengan piyama nyaman. Ia masih memikirkan ucapan dan pidato Nick malam itu, juga tatapan mata pria itu yang seakan menyimpan banyak luka tak terucap.Saat Eliza hendak menarik selimut, terdengar ketukan pelan di pintu."Liza, boleh saya masuk sebentar?" suara Nick terdengar pelan, nyaris ragu.Eliza perlahan turun dan membuka pintu, sedikit kaget melihat pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah yang lebih tenang dari biasanya. "Lo kok belum tidur?" tanya Eliza heran."Belum. Saya sudah janji akan cerita malam ini. Itupun kalau kamu masih mau dengerin."Eliza diam sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuk aja."Nick lantas masuk dan duduk di pinggir ranjang, menjaga jarak. Sementara Eliza duduk bersila di sisi lain, menatapnya dalam diam."Saya nggak tahu harus memulai cerita ini dari mana
Pagi itu mansion kecil milik Nicholas sudah ramai. Eliza bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini penting bagi suaminya. Sejak matahari baru naik, ia sudah duduk di meja rias, didandani oleh MUA terbaik pilihan Nick sendiri. Nick tidak ke kantor pagi itu. Ia memilih berada di rumah, menemani Eliza. Dengan setelan jas hitam yang telah disiapkan Geri, Nick tampak lebih tenang dari biasanya. Tapi matanya menyimpan kecemasan kecil yang hanya bisa dipahami oleh Eliza."Lo takut, ya?" Eliza bertanya sambil tersenyum dari balik cermin.Nick mendekat dan berdiri di belakangnya, menatap pantulan mereka. "Saya nggak takut. Tapi... ada rasa deg-degan sedikit. Ini momen besar dalam hidup saya setelah pernikahan kita."Eliza tertawa kecil. "Lo pasti bakalan keren di atas panggung nanti. Semua orang pasti bakal kagum. Don't worry!"Nick menatap istrinya. Napasnya tertahan sesaat."Kamu jauh lebih memukau. Saya bahkan takut nggak bisa fokus malam ini karena terus liatin kamu."Eliza lalu b
Italia, dua puluh empat tahun lalu.Usia Nicholas baru lima tahun saat ia resmi meninggalkan Indonesia. Hari itu, tangannya digenggam erat oleh Ettan—ayahnya—sambil menaiki pesawat menuju benua yang sama sekali asing. Ia tidak tahu bahwa itu adalah perjalanan satu arah. Ia tidak tahu, bahwa ibunya tidak akan menyusul.Perceraian Ettan dan Veria terjadi dengan cepat. Dan ketika pengadilan menjatuhkan hak asuh pada Ettan, dunia kecil Nicholas runtuh tanpa bisa ia pahami.“Mommy akan selalu sayang kamu,” adalah kalimat terakhir Veria sebelum tubuh mungil Nick diboyong jauh dari tanah kelahirannya.Di Italia, Ettan memulai kehidupan baru. Ia menikahi seorang wanita elegan bernama Athena, lalu tak lama lahirlah Ricky. Nick tumbuh dengan adik tiri yang sangat ia sayangi. Mereka tidur sekamar, bermain bola di taman belakang, bahkan belajar mengendarai sepeda bersama.Tahun-tahun awalnya bersama Athena terasa biasa saja. Perempuan itu selalu tersenyum, menyuruh Nick menyebutnya “Mamma”, dan s
Pagi itu, matahari mengintip malu-malu dari balik tirai jendela dapur. Nicholas duduk di meja makan, mengenakan kemeja biru muda dan celana panjang abu-abu. Ia menyuap bubur oatmeal yang dimasak Eliza dari resep internet—lumayan bisa dimakan, walau rasanya terlalu manis.Eliza duduk di seberangnya, masih mengenakan daster ungu. Rambutnya diikat asal, wajahnya polos tanpa riasan. Tapi semangatnya pagi ini begitu kontras dengan rasa canggungnya di malam sebelumnya.“Gue kemarin udah dapat baju, Geri yang bantu milihin,” ujarnya tiba-tiba.Nick menatapnya, tak yakin harus senang atau cemas dengan kabar itu. Eliza melanjutkan, “Lo tahu gak, dia bilang lo tuh... punya phobia sama sentuhan.”Nick langsung meletakkan sendoknya. “Dia bilang begitu ke kamu?”“Ya,” jawab Eliza santai. “Awalnya gue pikir lo cuma jijik sama gue.”Nick menarik napas dalam. Wajahnya menegang. “Itu urusan pribadi saya, dan dia tidak seharusnya menceritakan ke orang lain. Apalagi ke kamu.”Eliza mendelik. “Whoa, san