“Tentu saja dari pemilik perusahaan itu sendiri,” jawab Yudha dengan santai. Alya yang penasaran langsung membaca apa yang tertulis pada selembar kertas yang ada di tangannya. Seketika itu pula matanya langsung membulat sempurna melihat tulisan tangan seseorang yang ada pada kertas itu. “I-ini,” ucap Alya dengan mata berkaca-kaca. Yudha mengangguk seraya tersenyum lembut. “Iya, kamu pasti sudah kenal dengan tulisan tangan itu.” Alya tidak bisa berkata-kata, ia benar-benar terharu melihat tulisan tangan almarhum ayahnya. Rasa rindu terhadap sang ayah sedikit terobati setelah melihat hasil goresan tangannya. “Papa, apa yang sebenarnya Papa sembunyikan dari Al?” Alya bergumam sambil mendekap selembar kertas yang terdapat tulisan tangan almarhum ayahnya. Alya benar-benar tidak tahu seperti apa hubungan almarhum ayahnya dengan keluarga Kusuma. Ia bahkan baru mengetahui siapa Yudha sebenarnya setelah menikah dengan laki-laki itu. Sejak ayah dan ibunya masih hidup hingga mereka berdua
Melihat kakak sepupunya kesakitan akibat ditampar oleh sang ibu, Desi bukannya merasa iba, gadis itu justru tersenyum puas.“Makanya kalau bicara sama orang tua itu yang sopan, Mbak,” kata Desi seraya menatap Alya dengan tatapan sinis. “Kalian akan membayar mahal atas apa yang kalian lakukan padaku,” ucap Alya sambil memegang pipinya yang terasa panas. “Hahahaha ….” Ratih malah tertawa mendengar ucapan Alya. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak ingusan sepertimu, Alya Namira Atmadja? Apa, hah?” sentaknya sambil menjambak rambut Alya dengan kuat. “Akh, sakit. Lepasin, Tante!” pinta Alya sambil mencengkram pergelangan tangan Ratih, lalu mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga. “Mama …!” Desi berteriak melihat ibunya didorong oleh Alya. Saat ibu dan anak itu sedang lengah, Alya langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil pakaian dan barang-barang penting lainnya. “Des, telepon Papa! Cepat!” perintah Ratih pada putrinya. “Iya, Ma.” Dengan sigap Desi mengambil pon
“Alya ….” Suara teriakan yang sangat keras dari luar kamarnya, seketika membuyarkan lamunan seorang gadis cantik yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. Gadis itu pun beringsut turun dari ranjang king size yang ia tempati, kemudian berjalan dengan santai menuju ke arah pintu kamar. “Om Pandu, Tante Ratih.” Alya memutar bola matanya setelah melihat paman dan bibinya.“Heh, anak manja! Ngapain aja kamu di kamar? Dari tadi ditungguin,” ucap seorang perempuan paruh baya dengan nada ketus, ia juga menatap Alya dengan sinis. “Nungguin aku? Mau ngapain, Tan? Ada keperluan apa memangnya? Sehingga Tante dan Om harus datang ke kamar aku seperti ini,” ujar Alya sambil melipat kedua tangannya di dada. Pandu berdecak kesal mendengar nada bicara Alya saat berbicara dengan istrinya. “Alya, kamu itu kalau bicara yang sopan, ya. Dia ini Tante kamu,” ujarnya. Laki-laki itu adalah adik kandung dari almarhumah ibunya Alya. “Aku akan bicara sopan sama seseorang yang bisa menghargai aku, Om. Sement
“Saya?” tunjuk orang itu pada dirinya sendiri. “Saya yang menyewa kamar ini, saya juga yang sudah membayar kamu. Sekarang saatnya kita menikmati malam panjang yang penuh gairah,” ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya. “Nggak, ini nggak mungkin. Mona nggak mungkin melakukan ini sama aku, Anda pasti berbohong.” Alya menggelengkan kepala seraya memundurkan langkahnya. “Kenapa tidak mungkin? Buktinya, dia mengirimkan kamu ke sini,” ujar pria itu lagi. “Mona …,” ucap Alya dengan kedua tangan yang terkepal erat. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa sahabat yang selama ini sudah ia anggap seperti saudara, ternyata tega mengkhianatinya dengan cara seperti ini. Tidak cukup dengan paman dan bibinya yang berusaha menjualnya pada seorang mucikari beberapa waktu yang lalu, malam ini pun mereka kembali melakukan hal yang sama dengan menjodohkan dia dengan pria tua yang lebih pantas menjadi ayahnya. Sekarang ditambah lagi sahabat karibnya sendiri yang juga ingin menjerumuskan dirinya sepe
Alya berteriak saat dia tak sengaja menabrak sebuah mobil di depannya, untung saja kendaraan roda empat itu sedang berhenti. Pemilik mobil itu pun tidak mengetahui apa yang terjadi, karena dia sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.Melihat Alya nyaris kecelakaan, sang manajer pun tak tinggal diam, segera berlari menyusul gadis itu. “Nona, Anda tidak apa-apa?” tanyanya. Pemuda itu terlihat sangat khawatir dengan keadaan Alya. “Saya baik-baik saja,” sahut Alya sambil mengatur tarikan napasnya. “Nona, saya bisa jelasin semuanya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Orang yang ada di dalam mobil itu adalah atasan saya, beliau adalah orang baik. Percaya sama saya,” ujar sang manajer dengan lembut. Alya bergeming di tempatnya, ia tidak ingin percaya begitu saja. Karena sudah beberapa kali dia dikhianati oleh orang-orang terdekatnya. Akan tetapi, mengingat waktu yang semakin larut dan dia tidak tahu harus pergi ke mana, maka dengan terpaksa Alya menuruti keinginan
“Pak Bos, Nona Alya. Saya permisi ke kamar mandi dulu, ya. Soalnya saya belum cuci muka,” ujar Reno, ia juga sudah tidak tahan ingin segera buang air kecil. “Loh, Mas Reno tahu nama saya dari mana? Perasaan, saya belum sempat memperkenalkan diri dari semalam.” Alya cukup kaget saat mendengar Reno menyebut namanya. “Oh, iya. Soal itu, saya memang sudah tahu. Sudah ya, saya sudah nggak tahan ini.” Reno berbicara sambil mengernyit karena menahan rasa ingin buang air kecil. Alya masih penasaran dengan siapa sebenarnya orang-orang yang sudah menolongnya, apalagi melihat pria di hadapannya yang terus saja menggunakan penutup wajahnya. “Oh, ya. Siapa nama kamu?” tanya Yudha. Alya tersenyum kecut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yudha. “Saya tidak yakin kalau Anda belum mengetahui nama saya,” jawabnya. “Mas Reno selaku bawahan Anda saja sudah tahu siapa nama saya, rasanya sangat tidak mungkin jika Anda belum mengetahuinya.” Yudha mencebik bibirnya di dalam masker, ia lupa bahwa a
“Kamu mau ke mana?” tanya Yudha. “Saya mau pergi, karena di sini bukan tempat saya. Terima kasih sudah mengizinkan saya menginap di sini semalam,” ucap Alya, gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. “Kamu yakin mau pergi dari sini? Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu masih punya tempat untuk pulang? Oh, iya, Pak Pandu dan istrinya pasti sudah menunggu kedatanganmu. Silahkan kalau kamu mau kembali ke rumah itu lagi. Kita lihat saja nanti,” kata Yudha. Alya terdiam sejenak di tempatnya, tetapi ucapan Yudha tetap saja tidak merubah keputusannya untuk segera pergi dari tempat itu. Alya tidak mau menikah dengan pria asing yang baru saja dia kenal. Bahkan, ia tidak tahu seperti apa rupa pria itu karena wajahnya selalu ditutupi. “Anda tenang saja, saya sudah terbiasa menerima perlakuan buruk mereka.” Tanpa menunggu lama, Alya segera melanjutkan langkahnya menuju pintu, lalu keluar dari apartemen mewah itu. “Reno, sudah tahu ‘kan, apa yang harus kamu lakukan?” tanya Yudha
“Iya. Ayo, kita menikah!” Alya kembali mengulang ucapannya dengan posisi yang masih berlutut di hadapan pria asing yang baru dikenalnya. “Kamu bicara apa? Saya tidak salah dengar? Apa yang membuat kamu merubah keputusan begitu cepat? Beberapa waktu yang lalu kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak mau menikah dengan saya,” ujar Yudha seraya melipat kedua tangannya di dada. “Kamu juga bilang kalau saya lebih pantas menjadi ayahmu,” lanjutnya.Alya terdiam dengan kedua mata yang masih terpejam. Seakan menjilat ludah sendiri, ia merasa sangat malu mendengar apa yang dikatakan oleh Yudha. Namun, sekarang bukan saatnya memikirkan gengsi dan harga diri. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia pikirkan.“Saya minta maaf soal ucapan saya yang tadi, tapi sekarang saya benar-benar serius. Saya butuh bantuan Anda,” ucap Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung di hadapannya. Salah satu sudut bibir Yudha terangkat ke atas, pria itu mengulas senyum tipis mendengar uca