Share

6. Pingsan

“S-siapa anda?”

Nami membeku. Sekujur tubuh Nami gemetaran. Dia tak bisa mendengar ucapan pria itu dengan jelas. Penglihatannya memburam.

Bola matanya membesar. Pria itu jelas ada di depannya persis. Pria itu menaiki ranjang perlahan-lahan mendekati Nami. Secara mendadak, napas Nami sedikit sesak. Dadanya terasa sangat sakit. Semakin pria itu maju, semakin pula Nami mundur hingga di ujung kasur.

“Jangan dekati saya!” teriak Nami terus mengelak saat pria itu mencoba menyentuh tangannya.

Kepala Nami bergoyang-goyang seperti merasakan gempa. Semua pandangan tiba-tiba saja menggelap. Kelopak mata Nami berkerjap lambat sampai akhirnya terpejam dan wanita itu limbung jatuh terjerembab di bawah lantai.

Pria itu duduk di atas ranjang. Kepalanya tertoleh memperhatikan Nami yang sudah pingsan di bawah sana. Ia geleng-geleng kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman.

“Pingsan?” kekehan pelan terdengar sumbang di ruangan itu.

Menghirup udara sedalam mungkin lalu menghembuskannya pelan. Dia gegas beranjak dari kasur dan menghampiri Nami yang sudah tergeletak pingsan layaknya mayat tak bernyawa.

Hanya saja bedanya dada Nami naik turun dalam tempo cepat. Sudah bisa dipastikan bahwa jantung Nami pasti sedang berdegup kencang di dalam sana. Memompa darah mengalirkan ke seluruh tubuh.

Ukuran tubuh Nami kecil serta berat badannya ideal, jadi tak perlu menggunakan tenaga dalam untuk mengangkat Nami dan menidurkannya di atas ranjang. Selimut tebal ia selimutkan ditubuh Nami.

Badannya seakan remuk setelah bekerja seharian dan mondar-mandir kesana kemari, dan malam ini, di sini, di kamar bersama Nami adalah kegiatan terakhirnya untuk hari ini.

Kakinya melangkah panjang menuju sofa. Membuka tas mengambil ponselnya. Memencet sebuah ikon bergambar kamera lalu memilih tulisan video. Pria itu mengambil video sosok Nami yang tertidur pulas.

Mungkin jika orang lain yang melihat video ini tanpa tau kejadiannya, akan mengira Nami tertidur setelah melayani dirinya, padahal yang sebenarnya terjadi adalah Nami pingsan karna ketakutannya.

Setelah merekam, pria itu duduk kembali dan memainkan ponsel. Dia akan menunggu Nami sadar.

***

Nami terdiam. Dia terhenyak setelah mengetahui siapa pria itu. Bukan, dia bukan Steven lelaki brengsek yang sudah merenggut mahkota Nami. Tetapi dia adalah pria yang berbeda.

Nami tidak mengetahui pasti. Pasalnya, Nami merasa belum pernah bertemu dengan pria ini.

“Aku Zang, sekretaris Tuan Steven,” katanya membuat darah Nami kembali mendidih.

Nami sangat benci mendengar kata Steven. “Saya tidak kenal, dan saya tidak tau. Saya juga tidak pernah bertemu anda!” Nami memalingkan wajah. Dia malas menatap wajah yang berhubungan dengan Steven.

“Kalau kamu lupa, kita pernah bertemu beberapa hari yang lalu.”

Kedua alis Nami terangkat ke atas. “Kapan? Dan di mana?”

“Aku ingatkan lagi, kita bertemu saat kamu menampar wajah Tuan Steven di pintu restoran. Tapi sepertinya kamu tidak melihatku.”

Nami mencoba mengingat. Meski rasanya dia ingin kembali ke masa itu dan mengumpat bahkan menghajar laki-laki yang bernama Steven habis-habisan. Nami memang tak memperhatikan sekitar kala itu, yang dilihatnya hanya iblis di dalam tubuh manusia.

Nami ingin mencabik-cabik tubuh Steven!

“Tidak ingat,” ketus Nami menutup seluruh tubuh dengan selimut. Sedikit lega karena pria itu tidak menyentuhnya dan mencuri kesempatan saat ia pingsan.

Entah berapa lama Nami pingsan. Nami juga tidak peduli. Nami ingin pingsan lagi. Supaya dia ada alasan menolak melayani.

Pria itu adalah Zang, sekretaris sekaligus asisten Steven. Zang membuang napasnya kasar. Dia menyandarkan punggungnya di sofa.

“Kamu tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu.”

Beberapa kerutan muncul di kening Nami. “Kenapa?” merasa takut, tapi ia juga bingung kenapa pria itu tidak mau menyentuhnya.

Bukankah jika sudah memesan pasti akan melakukan sesuatu?

Tidak! Tidak!

Nami tidak kecewa dengan perkataan Zang, sebaliknya dia sangat senang jika Zang tidak akan menyentuhnya, hanya saja, Nami merasa heran.

Zang mengangguk sekali. “Kamu milik Tuanku, Steven. Jadi, tidak mungkin aku merebutmu darinya,”

Sontak jawaban Zang membuat Nami mendelik dan melemparkan bantal ke wajah Zang. Pria itu sigap menangkapnya. Zang tidak marah, justru dia tertawa keras melihat reaksi Nami.

“Sialan! Tadinya saya menghormati anda, tapi ternyata sama saja dengan manusia iblis itu!” Nami menggerutu kesal.

“Tidak perlu formal. Jangan pakai anda, aku tidak begitu senang dengan panggilan anda kecuali dalam pekerjaan,” ujarnya.

Nami menghela napas pelan. Dia hanya mengedikkan bahu. Baginya, tidak sopan jika Nami langsung memanggil dengan sebutan ‘kamu’ pada orang baru. Apalagi umurnya jauh di atas Nami.

Ya, walaupun dia sempat mengumpat. Tapi jangan salahkan Nami jika dia mengumpat. Salahkan pria itu yang sudah memancing emosi Nami.

“Aku hanya salah pesan. Jika aku tau pesananku adalah kamu, Aku pasti akan membatalkannya,” sahut Zang.

Nami menatap cengo. Dia tidak paham. Nami menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "Maksudnya?"

Zang membuang napas. Pria itu beranjak berdiri sembari mengambil jasnya. Pria itu berjalan mendekati Nami. Nami membulatkan mata.

“Mohon maaf, Bapak! Jangan mengingkari perkataan anda sendiri!” tegas Nami setengah berteriak. Dia mendengar jelas bahwa pria itu tidak akan menyentuhnya.

Tapi apa ini?

Kenapa dia melangkah mendekat?

Pria itu menyodorkan sebuah kartu nama dan menaruhnya di atas nakas. “Jika kamu butuh pekerjaan lain, datanglah ke kantor ini. Aku akan membantumu bekerja paruh waktu di sana.”

Nami mengerutkan dahi. Memperhatikan lamat-lamat kartu nama itu. Dia mendongak, tatapannya seolah bertanya pada Zang tanpa berniat mengambil kartu nama tersebut.

“Aku hanya lulusan SMA.”

“Hubungi aku jika datang.”

Zang gegas berlalu pergi. Sebelum pergi, pria itu memberikan sebuah amplop coklat berisi uang ratusan ribu di atas nakas.

“Saya tunggu di kedatanganmu,” tiba-tiba dia berubah menjadi formal.

Setelah kepergian Zang, Nami mgambil amplop coklat. Membuka isinya. Nami terkejut. Beberapa lembar bahkan ratusan lembar di dalam amplop itu.

Nami meneguk ludahnya susah payah. Ini pertama kalinya Nami memegang uang sebanyak itu. “Jadi ini hasil yang didapat jika bekerja di rumah bordil?”

Nami geleng-geleng kepala. Meski uang yang didapat banyak, tetap saja, Nami ingin keluar. Entah bagaimana caranya. Nami pasti akan menemukan jalan.

“Baiklah, karna Zang memberikan dengan tulus, uang ini akan aku buat membayar hutang rumah sakit.”

Nami menyimpan uangnya. Lagi, dia menelisik kartu nama berwarna putih itu. Hanya tertera nama Zang serta alamat perusahaan.

“Gerrard Group?”

Senyum Nami terbit. “Aku harus memberitahu Iko, kita pasti bisa bekerja bersama di sana.”

“Tunggu!!”

Pikiran Nami kembali jernih. Nami menatap kartu nama Zang cukup lama. Kedipan mata Nami cepat. Dia menyadari ada yang janggal.

“Bukannya Zang adalah sekretaris Steven? Jika dia memberikan kartu nama ini padaku, dan menawarkanku bekerja di sana, itu artinya aku akan bertemu Steven?”

Nami menggeleng kuat.

“Tidak! Tidak!!”

“Aku tidak sudi bertemu dengan pria menyebalkan itu lagi!!”

Nami meremas kartu nama Zang lalu membuangnya ke tempat sampah.

“Zang sialan! Mau jebak aku rupanya,” umpat Nami.

***

Nami berjalan linglung di koridor rumah sakit. Tubuhnya sangat lemas. Semalam dia begadang dan tak bisa tidur. Terdapat mata panda di bawah area matanya.

Nami menguap lebar. Berhenti sejenak seraya memegang salah satu tiang. Mengerjapkan mata beberapa kali berharap rasa kantuk bisa hilang.

Nami juga merasa sedikit pusing. Wajahnya pucat pasti. Perutnya terasa mules dan mual. Sudah dua kali Nami mual dan mengeluarkan isi perut di kamar mandi.

Apa ini karna ia memakan mie instan kadaluarsa?

Malam kemarin, perut Nami keroncongan dan hanya ada mie instan di dapur. Tanpa melihat periode, Nami memasaknya dan memakannya dengan lahap.

Setelah sekali makan, baru Nami tau jika mie dalam kemasan tersebut sudah kadaluarsa. Nami memijat kening kepalanya.

“Mual sekali,” Nami berusaha untuk terus berjalan dan mengabaikan rasa tidak nyamannya.

Bisa jadi karena ia ini terjadi sebab ia terlambat datang bulan. Nami mengelus perutnya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya.

Nami bergegas menuju resepsionis dan membayar pengobatan ayahnya yang masih belum lunas. Nami disambut hangat oleh beberapa suster. Mereka sudah mengenal Nami cukup lama, dan Nami termasuk orang yang mudah bersosialisasi.

“Hai, Nami. Lama tidak terlihat. Bagaimana kabarmu?” tanya Vika, perawat ayahnya dulu.

“Baik, Kak Vika,” jawab Nami ramah.

“Syukurlah, selama ini kamu pasti sudah bekerja keras. Iam so proud of you, Nami,” Vika menepuk-nepuk pundak Nami. Dia bangga pada Nami.

Nami tersenyum lebar. “Terima kasih, Kak Vika.”

Perbincangan singkat itu berakhir. Nami segera membayar biaya pengobatan almarhum ayah. Masih ada sisa 70% lagi untuk lunas.

Nami sangat bersyukur diberi kesempatan untuk menyicil hutang oleh dokter.

"Ayah, maafkan Nami. Nami membayar hutang dengan uang hasil bekerja di rumah bordil," sesal Nami bergumam pelan.

"Ayah tenang saja, sebentar lagi Nami pasti akan keluar dari sana dan menyicil hutang atas jerih payah Nami sendiri."

"Pastinya bukan dengan uang haram."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status