Share

5. Permintaan Kakek

Sebuah senyuman seperti bulan sabit terpatri di sudut bibir Steven. Jari tangan mengelus pipi yang memerah tanpa henti. Zang—sekretaris Steven menaikkan salah satu alisnya.

“Tuan muda, apa tamparan wanita itu begitu menyakitkan sampai anda tidak berhenti mengelusnya? Perlukah saya meminta office girl untuk mengambilkan kompres?” tanya Zang meminta persetujuan.

Zang takut jika tamparan itu membuat emosi Steven tak stabil dan akan berimbas pada rapat nanti.

“Zang, apa kau pernah melihat aku ditampar oleh wanita?”

Zang menggeleng. “Tidak, Tuan. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan anda,” sahut Zang terus terang.

Steven tersenyum miring. Menambah kesan arogan di wajahnya. Steven mengaggukkan kepalanya beberapa kali. Dia bangga dengan dirinya yang disukai banyak wanita.

Tapi Steven tidak suka pada mereka. Mereka hanyalah hama pengganggu. Haus akan ketampanan dan uang yang dimiliki Steven saja.

“Apa aku ini tampan, Zang?”

Zang sedikit terkejut dengan pertanyaan Steven yang jelas-jelas pria itu tau sendiri jawabannya. Apa Steven ini mau memamerkan ketampannya pada Zang?

Sombong sekali pria itu. Zang juga tau jika Steven tampan, kaya raya, dan cerdas. Tapi Zang juga tampan, meski satu tingkat dibawah Seven.

Zang lantas mengangguk sekali. “Iya, Tuan. Anda sangat tampan.”

Steven membuang napasnya kasar. Dia beranjak berdiri dari kursi besarnya. Lalu melangkahkan kakinya mendekti jendela. Memperhatikan jalanan yang cukup ramai.

“Aku setuju denganmu. Tapi kenapa wanita yang kita temui tadi pagi sangat membenciku?”

Zang tidak tau harus menjawab apa. Sebab Steven sendirilah yang membuat wanita muda itu membencinya.

Beberapa hari yang lalu, Zang mendapatkan perintah dari Steven untuk menyampaikan pesan pada Madam Sherly, jika dia akan membeli wanita untuk satu malam dengannya.

Zang tau, Steven bukanlah lelaki yang akan memuaskan hasrat dengan wanita lain jika bukan pilihannya sendiri.

Namun, saat Steven mendapat kabar jika Madam Sherly telah merekrut anggota baru, Steven dengan cepat membelinya dua kali lipat dari harga jual.

Dengan syarat Madam Sherly tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun jika Steven yang sudah membelinya. Termasuk pada seseorang yang telah menjual wanita itu.

Wanita yang dimaksud adalah Nami, yang ia beli untuk satu malam. wanita yang menampar Steven di depan banyak orang.

“Tuan, bolehhkah saya bertanya?”

Steven menolehkan wajahnya pada Zang tanpa berbalik. “Apa?”

“Apa Tuan kenal dengan wanita itu?”

Steven menampilkan senyum tipis. Senyuman yang menyiratkan sesuatu. “Tidak,” sahut Steven.

“Apa anda jatuh cinta pada wanita itu, Tuan?”

Steven langsung berbalik. Alisnya menukik. “Zang, aku tidak akan pernah jatuh cinta pada siapa pun. Karna bagiku semua wanita sama saja. Mereka hanya menginginkan harta!”

Steven sedikit melonggarkan dasinya. Dadanya terasa sesak. Dia melangkahkan kaki keluar ruangan. “Segera siapkan dokumen yang diperlukan untuk rapat. Kita akan mulai rapatnya lima menit lagi!” perintah Steven.

Setelah Zang menyampaikan perintah itu pada semua karyawan kantor, seluruh ruangan menjadi hiruk piuk. Rapat yang akan dijadwalkan satu jam ke depan dirubah dan dimajukan lima menit lagi.

Terjadi kepanikan. Tidak ada ketenangan. Semua bergegas menuju ruang rapat. Menuruti perintah CEO arogan nan tidak suka dengan kata terlambat. Atau nanti akan mendapatkan hukuman yang tidak diinginkan.

***

Suara dentingan piring serta sendok bergema di ruang makan. Hari ini Steven makan malam bersama keluarga setelah sekian lama. Jika bukan karna permintaan sang mama, mungkin Steven tidak datang.

Sebab Steven tau, apa maksud wanita cantik setengah baya mengundangnya makan malam.

“Sebentar lagi Kakekmu datang,” ucap Sele—Mama Steven.

Terdengar suara helaan dari mulut Steven dan sepertinya Sele tidak mau mendengar alasan apapun. Buktinya, saat Steven mau mengeluarkan suara, wanita itu menyudahi makannya dan berlalu begitu saja.

Di ruang makan hanya tinggal Steven dan juga Zang. Steven meletakkan sendok. Dia tidak nafsu makan. “Kau tau jika Kakek akan datang, Zang?”

Zang mengangguik. “Nyonya besar tidak memperbolehkan saya umtuk memberitahukan hal itu pada anda, Tuan.”

“Kenapa? Aku juga perlu tau hal itu.” Jawab Steven.

“Karna jika anda mengetahuinya, anda tidak datang ke sini.”

“Ya, itu benar.” Zang menghela napas panjang. Sudah ia duga.

Pria baya sudah berumur namun masih terlihat tampan dan berwibawa itu menatap tajam Steven. Kedua tangan bersilang dada. Sedangkan Steven yang tengah ditatap nampak mengabaikan kehadirannya.

Pria itu fokus pada pekerjaanya. Mengecek dan memperbaiki dokumen penting. Jari lentiknya menari di atas keyboard laptop.

“Kapan kamu akan menikah?” pertanyan yang sama setiap kali bertemu.

Steven berhenti mengetik. Kepalanya mendongak malas. “Bisa Kakek tidak membahas itu?”

Arroyan—Kakek Steven menggebrak meja keras. Matanya menatap nyalang cucu satu-satunya. “Tidak bisa, kamu harus secepatnya menikah! Kakek akan mewariskan perusahaan ini pada anakmu.”

Steven memijat pangkal hidungnya. Dia bersandar di sofa. “Steven cucu Kakek. Steven lebih bisa memegang kendali perusahaan.”

Arroyan membuang muka. “Tidak mau. Pokoknya bulan depan kamu harus menikah. Jika tidak, Kakek yang akan menjodohkanmu dengan rekan bisnis dan-“ ucapan Arroyan terpotong.

“Baiklah, akan Steven usahakan,” tandas Seven. Dia tidak suka berdebat dengan pria tua yang memiliki penyakit jantung itu. Lebih baik menyudahi dan segera pergi.

Malam ini Steven butuh hiburan untuk merileksasikan pikirannya. Pria itu beranjak dan pergi keluar. Meninggalkan kakeknya yang terus merneriaki nama Steven.

Sejak bulan lalu, Arroyan selalu mendapatkan jawaban seperti itu, namun nyatanya sampai sekarang Steven belum menikah.

“KAKEK TUNGGU! JIKA DALAM DUA MINGGU KAMU TIDAK MEMPERKENALKAN CALON ISTRIMU, KAMU AKAN KAKEK PECAT, STEVEN!”

***

Nami menarik napasnya dalam-dalam. Seluruh badannya panas dingin. Pujangga menggenggam erat tangan Nami. Dia meecoba untuk memberikan ketenangan serta semangat untuk Nami. Karna malam ini adalah malam pertama Nami bekerja di rumah bordil.

Nami menahan air mata. Dia tidak sanggup. Napasnya tercekat tangannya bergetar hebat. Nami sangat ketakutan. Nami masih trauma, tapi haruskah dia mendapat trauma lagi?

Nami ingin kabur. Tapi ada dua bodyguad khusus untuk menjaga Nami. Ini terlalu berlebihan. Nami bseperti seekor burung yang dikurung dalm sangkar.

Tidak!

Sampai kapan pun Nami tidak akan siap dengan pekerjaan ini. Nami berharap ada pangeran berkuda putih yang akan membawa Nami pergi dari sini.

Nami menggigit bibirnya. Dia bergerak tak tenang. Dia gelisah, takut, dan khawatir. Rasanya Nami ingin menghilang dari muka bumi ini.

Suara ketukan pintu terdengar. Nami menoleh cepat ke arah Pujngga. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya memohon pertolongan pada Pujangga. “Pujangga, tolong aku,” pinta Nami memelas. sunnguh, dia sangat takut.

Pujangga hanya bisa menghela napas pelan. Dia memeluk Nami. Mengelus punggungnya yang bergetar hebat akibat tangisan. Nami menangis sesenggukan.

“Jiika aku bisa, aku pasti akan menolongmu, Nami. Tapi apa daya, kita sama-sama terjebak di dalam sangkar.”

Nami semakin mengeratkan pelukannya. Tangisannya semakin keras hingga terdengar dari luar. “A-aku takut. Aku tidak mau melayani para hidung belang. Aku harus bagaimana, Pujangga?” Nami tidak tau harus berbuat apa.

“Jangan menangis, Nami. Tenangkan dulu dirimu.”

Nami melepas plukan dia menatap tajam Pujangga. “Bagaimana aku bisa tenang, Pujangga!”

“Ini bukanlah pekerjaan yang aku mau-“ suara dari luar menghentikan ucpan Nami.

“Pujangga, cepat keluar! Biarkan pelanggan kita masuk dan Nami melakukan perkejaannya!” Madam Sherly menggedor-gedor pintu. Sudah tiga menit lalu pelanggan datang.

Madam Sherly memang menyuruh Pujangga untuk menasehati Nami supaya wanita itu mau melayani pelanggan.

Pujangga mengelus lengan Nami. “Jalani takdirmu, Nami. Temanilah pelanggan malam ini,” ucap Pujangga sebelum ia keluar.

“INI BUKAN TAKDIR!” teriak Nami tidak terima.

Seorang pria berbeadan tegap masuk. Nami tegang. Dia mundur hingga ujung ranjang. Dia memeluk kakinya. Bibirnya bergetar ketakkutan.

Napasnya tertahan bahkan untuk menelan ludah, Nami kesusahan. Pria itu berjas hitam. Nami yakin, pria itu adalah pekerja kantoran.

“J-jangan dekati s-saya,” lirihnya dengan suara yang amat melas.

Pria itu membuka jas. Menampilkan kemeja putih yang meperlihatkan dada bidang serta perut kotak-kotak. Meski kemeja itu tak di lepas, Nami bisa mengetahuinya. Kemeja putih itu mencetak jelas tubuh atletis pria itu.

Pria itu melemparkan jas di atas sofa. Lalu berjalan ke samping ranjang. Nami menghindar. Dia menjauh. Laki-laki itu menampilkan senyum smirk. Seluruh tubuh Nami merinding seketika.

“Apa kamu tidak mengingat saya, Nona?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status