Bagaimana bisa Sierra menikmati makan malamnya, jika saat ini dia berdua saja di dalam vila besar itu bersama sang konglomerat, Paul Pandia? Apalagi sebelum mengizinkan Sierra untuk makan, Paul berpesan agar wanita itu segera menyusul ke kamarnya. Jantung Sierra serasa ingin keluar dari rongganya karena tak mengira akan diperlakukan semanis ini.
"Sadarlah, Si, sadar," Sierra menepuk pelan pipinya sendiri, supaya tidak berandai-andai tentang Paul. Apalagi kondisinya kini sedang patah hati setelah menyaksikan Martin dan Elisha.Setelah menyelesaikan makan malam, Sierra membereskan satu-persatu sajian di sana, bahkan tak lupa mencuci piring bekasnya makan. Dia mengerjakan semuanya dengan sangat santai sambil mengulur waktu. Dia sengaja melakukannya agar bisa menghindar dari perintah Paul yang ambigu.Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Saatnya Sierra untuk beristirahat, setelah seharian bekerja dan karena besok masih hari efektif. Dia tahu dia tidak membawa baju ganti, jadi memutuskan untuk tidur dengan baju seadanya yang melekat di badannya. Bagi Sierra tak susah untuk mencari kamar tidur disana, karena dia sudah cukup familiar. Kamar Paul berada di lantai dua karena memang disanalah kamar utama berada. Maka Sierra memilih untuk istirahat di kamar seadanya yang ada di lantai satu.Sierra cukup lega karena tidak ada tanda-tanda Paul mencarinya meski dua jam sejak kedatangan mereka dan Sierra tidak bergegas menemui Paul. Dia merebahkan tubuhnya sembari bernafas lega, melepaskan segala penat yang membebani pundaknya. Sierra melepas dua kancing kemejanya karena merasa gerah. Dia membayangkan saat ini berada di dalam kamarnya di panti asuhan, bisa melepas semua baju kotornya dan membersihkan diri."Ternyata kamu disini, Si," tegur Paul yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar Sierra.Sierra spontan melompat dari atas kasur, berdiri tegak kelimpungan. "M-maafkan saya, Tuan," ucapnya gemetaran.Paul melipat kedua tangan dan berjalan pelan menghampiri Sierra. "Aku menunggumu sejak tadi,"Sierra menunduk dalam, tak berani menatap wajah Paul.Paul menghembuskan nafas, tampak sedikit kesal namun berusaha dia tahan. "Apa yang kamu pikirkan? Aku memanggilmu ke kamarku karena memang aku butuh bantuanmu,"Pelan-pelan Sierra mendongakkan kepalanya. "Bantuan apa, Tuan?"Paul menyerahkan sekotak kecil obat-obatan pada Sierra dengan wajahnya yang masih kesal. "Jesslyn, sekretaris baruku, dia lupa menandai obat-obatan mana yang harus kuminum," terang Paul. "Apa kamu masih mengingatnya, Si?"Sierra mengambil kotak obat itu dan mengangguk pelan. "Sepertinya saya masih ingat," jawabnya. Lantas memilah-milah berbagai macam obat-obatan, mulai dari vitamin hingga obat jangka panjang yang memang rutin dikonsumsi Paul.Sierra memutuskan untuk duduk di ranjangnya sembari fokus memisahkan obat satu dan lainnya sesuai kegunaan. Dia begitu tajam dan serius, tenggelam dalam kesibukannya hingga tak sadar jika Paul terus mengamatinya dengan senyum."Harusnya kamu yang menjadi sekretarisku, Si," ucap Paul. "Aku bisa membayarmu dua kali lipat lebih tinggi daripada Martin,"Sierra hanya menanggapi dengan seutas senyum. "Terimakasih pujiannya, Tuan," balasnya. Dan setelah selesai menata obat-obatan itu, Sierra menyerahkan kembali pada Paul. "Saya sudah mengeceknya dan memberi label,"Paul mengangguk puas. Namun sebelum berdiri, ekor matanya tak sengaja menatap dua kancing baju Sierra yang terbuka. Spontan jemari Paul mengarah pada kancing itu, membuat Sierra bergerak refleks menutupi kemejanya.Paul terkesiap. "Aku khawatir kamu kedinginan,"Jantung Sierra kembali berdegup kencang. Tak pernah menyangka bahwa berdua saja bersama Paul bisa memberikan efek sedahsyat ini. "S-saya justru kepanasan, Tuan," timpalnya, masih menutupi kemejanya dengan kedua tangan.Paul menelan ludah, tegang. Bukannya pergi, dia justru meletakkan kotak obat di tangannya dan kini memusatkan seluruh tubuhnya menghadap Sierra. "Kalau begitu lepaskan saja, Si," ucapnya pelan, menuntun jemari Sierra untuk rileks dan tenang.Atmosfer berubah menjadi lebih tenang meskipun rasa canggung masih menyelimuti keduanya. Tanpa sadar Sierra menurut ketika Paul mulai bergerak makin maju, kini justru mengecup lembut bibirnya. Dia tidak berdaya, namun terpedaya pesona Paul yang begitu menawan di usianya yang tak lagi muda. Melihat Paul mengingatkan Sierra akan Martin, dalam versi yang lebih tenang.Keadaan menjadi lebih panas dan panas membuat Sierra tak tahan untuk tidak menanggalkan busananya. Dan setelah itu, mereka berdua menghabiskan sisa-sisa malam yang singkat itu, tenggelam dalam buaian hasrat yang menggoda. Sierra jatuh ke dalam rayuan Paul yang begitu magis dan kuat.***"Tuan!" pekik Sierra, spontan bangun saat menyadari bahwa matahari sudah terik. Sadar jika dia tidak memakai apapun, Sierra menarik selimut untuk membungkus diri. "Tuan, ini pukul berapa?" tanyanya panik.Paul justru tersenyum santai, sambil menyeruput minuman hangatnya. Dia sudah bangun lebih dulu, berpakaian rapi dan duduk menikmati pagi sambil memandang ke arah Sierra yang masih terlelap."Kenapa?" Dia justru balik bertanya."Saya harus masuk kerja! Ini sudah terlambat," Sierra mengibaskan selimut, mencari pakaiannya yang bersembunyi entah dimana.Paul terkikik geli, memperhatikan gerak-gerik bingung Sierra yang menggemaskan di matanya. Apalagi Sierra berjalan mondar-mandir tanpa busana dan tanpa malu di depan Paul."Kamu sadar kamu tidak pakai baju?" Akhirnya Paul bertanya.Sierra tertegun dan menunduk untuk memastikan. Lantas berteriak panik, sekali lagi menarik selimut untuk membungkus dirinya. Sedangkan Paul tak bisa berhenti tertawa melihat tingkah lucu Sierra, yang tidak pernah dia lihat sebelumnya."Maafkan saya, Tuan," pekik Sierra panik.Paul masih tertawa sambil beranjak berdiri. Dia lantas membuka selimut yang membungkus tubuh Sierra dan memeluk wanita itu erat. "Aku suka dirimu yang seperti ini, Si. Benar-benar menenangkanku," akunya.Mendengar pengakuan itu, membuat kepanikan Sierra seketika mereda. Tergantikan perasaan campur aduk antara bingung dan keheranan. Bagaimana bisa dia menghabiskan malam bersama Paul?"Tuan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, saling pandang dengan Paul. "Kenapa kita begini?"Paul tersenyum sembari menyelipkan rambut Sierra ke belakang telinga. "Kita melakukannya. Aku tidak tahu bagimu, tapi aku menyukainya," Paul begitu penuh percaya diri akan perkataannya sendiri. Tidak ada tendensi menekan atau menguasai. Yang ada dia justru memperlakukan Sierra begitu manis layaknya kekasih."Saya … saya tidak tahu harus berkata apa," tanggap Sierra."Kita jalani saja, Si," tandas Paul. "Selanjutnya, aku ingin kita tetap seperti ini. Bagaimana menurutmu?"Sierra tidak bisa menjawab. Atau lebih tepatnya, enggan menjawab. Dia menganggap kejadian semalam merupakan sebuah kesalahan yang dia lakukan di bawah kesadarannya, karena saat dia terbangun kini, dia kembali teringat akan Martin. Saling pandang dengan Paul yang notabene memiliki tekstur wajah mirip Martin, membuat Sierra buru-buru memalingkan muka. Dia tidak ingin mempercayai segalanya."Saya harus kembali, Tuan. Saya sudah terlambat bekerja," pamit Sierra sebelum masuk ke kamar mandi."Tapi aku sudah mengizinkanmu pada Martin," ucap Paul.Ucapan itu seketika membuat Sierra mematung. Dia berdiri diam di depan pintu kamar mandi, membeku layaknya film yang dihentikan sementara."Aku menyuruh Lukman untuk menyampaikan pada Martin, bahwa kamu tidak bisa masuk kantor hari ini," terang Paul sekali lagi, benar-benar tanpa dosa. "Jadi kamu tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan menghabiskan banyak waktu di desa ini,""Permisi, Tuan," Tak lama, salah seorang pelayan mengetuk pintu. Dan setelah P
"Kenapa kamu keluar dari mobil Ayah?" tuntut Martin dengan kening berkerut.Sierra yang gugup belum ingin membuka suara. Dia memilih untuk menunggu aba-aba dari Paul, karena takut jika satu kata yang keluar dari mulutnya merupakan sebuah kesalahan. Dan benar, Paul berdiri di depan menghalangi tubuh Sierra berhadapan dengan Martin."Aku sengaja memberinya pekerjaan semalam," jawab Paul.Sierra menelan ludah. Ya, Paul tidak berbohong. Dia memang mendapatkan pekerjaan dari pria tua itu–dalam tanda kutip."Pekerjaan apa sampai dia harus tidak masuk kerja?" Martin masih tidak terima. "Kukira dia sakit, tapi kata Rachel dia tidak pulang semalaman,"Rachel adalah teman sekamar sekaligus teman paling akrab dengan Sierra di panti. Dan apesnya, Sierra lupa memberitahu Rachel keberadaannya semalam, hingga tentu saja Rachel yang tak tahu apa-apa itu menjawab interogasi Martin dengan jujur."Sierra!" panggil Rachel, keluar dari dalam rumah dengan wajah cemas. "Kamu kemana saja semalam?" Dia menamb
Tubuh Sierra seakan seringan kapas setelah mendengar ajakan kencan dari Martin. Perasaannya yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar, dan Sierra merasa seperti melayang di atas awan.Senyumannya merekah tak terkendali, membuat wajah Sierra merona penuh kebahagiaan.“Oke, ayo kita coba,” jawabnya. Berusaha untuk tetap bersikap tenang meski hatinya memekik girang.Martin tersenyum lebar, senang mendengar jawaban positif dari Sierra. Mereka merencanakan tempat dan waktu untuk kencan mereka yang pertama, membuat Sierra antusias luar biasa.“Besok berangkat kerja, aku jemput, ya?” tawar Martin.Sierra mengangguk cepat. Meski dia tetap berusaha bersikap tenang. Dia tidak bisa terlalu senang karena Martin baru saja patah hati ditolak oleh Elisha.“Ngapain kamu jemput dia?” tegur Rachel, yang menyeruak menyuguhkan sebotol minuman dingin ke hadapan Martin. Dia memicingkan mata memandang Martin dan Sierra bergantian. “Dia sudah biasa naik ojek online, Tin,” selorohnya santai.S
“T-tentu saja, Pak Lukman,” jawab Rachel terbata-bata. Dia selalu segan pada Lukman, karena pria tua itu adalah tangan kanan Paul Pandia yang cukup disegani oleh banyak pegawai.Dengan isyarat mata, Lukman mengajak Sierra untuk pergi menjauh dari Rachel. Lukman mengajak Sierra menuju mobilnya yang terparkir rapi di luar pagar panti.Kemudian pria itu membukakan pintu belakang mobil, mempersilahkan Sierra untuk masuk ke dalamnya. Betapa terkejut Sierra sesaat setelah pintu itu dibuka, sosok Paul tengah duduk melipat tangan. Pandangn pria tua itu lurus menatap Sierra.“T-Tuan?” seru Sierra, benar-benar terkejut. Dengan gerakan kikuk, dia perlahan masuk ke dalam mobil itu.Paul tersenyum. “Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Martin, eh?”Sierra hanya menyahut dengan senyuman kaku. “Kami menyempatkan makan siang bersama untuk membahas kerjaan, Tuan,” jawabnya.Paul menggeleng. Lantas menarik nafas panjang. “Tidak masalah bagiku. Kamu memang sekretaris Martin,” timpalnya.Sierra meng
Bola mata Elisha bergetar. Tapi hanya beberapa detik karena dia buru-buru menunduk dengan memeluk erat dokumen yang sedang dia bawa.Kemudian dia mendongak, kali ini sambil tersenyum begitu lebar. “Selamat, ya, Sierra,” ucapnya. Lantas menunduk ke arah Martin. “Selamat, Pak Martin,”Sama halnya seperti Elisha, Martin juga merasa sedikit sakit di dalam hatinya. Hingga tanpa sadar tubuhnya membeku, membiarkan Elisha pergi dengan sejuta kekecewaan.Sementara itu, Sierra yang paham hanya dijadikan sebagai selingan, berusaha untuk menghibur diri sendiri. Dia melangkah tegap meninggalkan Martin, menuju meja kerjanya sendiri yang terletak tepat di depan pintu ruang kerja Martin.Martin hendak menghampiri Sierra, tapi seketika dia sadar bahwa mereka sedang berada di kantor. Mau tak mau dia berusaha untuk menahan diri demi menjaga profesionalitasnya.***Tanpa terasa, begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga Sierra baru bisa mengalihkan pandangan dari layar laptop ketika matahari
“Sierra, buka pintu!” Martin menggedor dengan membabi-buta, karena Sierra mendekam di dalam kamar mandi cukup lama setelah sebelumnya sempat mendadak mual.Di dalam kamar mandi Sierra masih bersimpuh, dengan sejuta ketakutan. Dia tidak pernah mual seperti ini dan ini adalah kali pertama untuknya. Bagaimana jika dia hamil? Bayangan akan wajah Paul Pandia terus timbul tenggelam di matanya, kemudian tergantikan akan wajah Martin yang tersenyum ke arahnya.“Sierra!” Martin berteriak makin keras.Sierra segera bangun dari lamunannya sendiri, mematut diri di depan cermin dan memastikan tidak ada hal aneh di wajahnya. Setelah yakin semuanya berjalan tanpa keanehan, Sierra pun segera keluar dari kamar mandi. Dia cukup terkejut melihat raut wajah Martin yang tampak sangat cemas.“Apa yang terjadi? Kamu sakit?” Martin mencengkeram kencang dua bahu Sierra.Sierra menggeleng dan pelan-pelan melepaskan cengkeraman tangan Martin dari bahunya. “Martin, sepertinya aku harus pulang,” ucap Sierra pelan
Sebelum benar-benar menjawab teguran Rachel, Sierra yang panas dingin lebih dulu melirik ke arah Paul. Tampak pria tua berwibawa itu tersenyum tipis, seakan menertawai kebodohan Sierra.“Sierra?” panggil Rachel karena Sierra tidak menyahut. Kemudian wanita itu membungkuk hormat ke arah Tuan Paul, yang kini memilih duduk di kursi yang dipersilahkan oleh Sierra. “Selamat malam, Tuan Paul,” sapa Rachel.Bagi Rachel, Paul Pandia bak malaikat berfisik nyata. Selama hidup di panti asuhan bersama Sierra, dia sangat tahu kalau Pandia Group menjadi salah satu sponsor penting yang menyambung seluruh kehidupan para penghuni panti. Rachel menganggap Paul sebagai panutan yang wajib disegani.“Kamu baru pulang, Chel?” sapa Paul. “Apa kamu juga ingin membeli nasi goreng untuk Sierra?” Sembari bertanya, Paul melirik Sierra dengan tatapan geli.“Saya kira … Sierra sudah pulang,” jawab Rachel ragu.“Oh, begitu,” Paul bangkit berdiri. Dia menghadap ke arah Sierra. “Si, setelah selesai makan, sebaiknya k
“Kenapa kamu diam saja? Apa pertanyaannya terlalu sulit untukmu?” tanya Paul karena Sierra masih diam meski hampir satu menit berlalu.Sierra menggigit bibir sembari memainkan jemarinya. “Tuan tahu … ““Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri, Si,” sambar Paul, dengan suara tenang nyaris tanpa ada nada tinggi maupun rendah. Benar-benar seimbang.“Maafkan saya, Tuan … “ Lagi-lagi Sierra menunduk. “Semua itu kesalahan. Saya berjanji untuk tidak melakukannya lagi,”Untuk kali ini Sierra tidak menunggu dua kali, dia bergegas keluar dari mobil Paul. Tak peduli meski Paul menjadi murka atas sikapnya. Dia bahkan tidak menghiraukan Lukman yang sempat memanggil namanya, meminta penjelasan. Sierra sudah terlalu gugup dan muak kepada dirinya sendiri, serta diliputi penyesalan ketika harus mengingat malam panas waktu itu.“Tuan, apa perlu saya susul Sierra?” Lukman melongok melalui jendela untuk mengecek keadaan Paul.Paul mengangkat lima jarinya, tanda menolak. “Biarkan saja dia, Lukman. Aku ti