Shafana berhenti di depan suaminya. Napas yang masih terengah tidak membuat dia mengambil jeda saat berbicara.
"Mas jangan salah paham, aku enggak tahu kenapa Bang Nendra ada di sini. Aku hanya---." "Apa yang berusaha kamu jelaskan, Shafa!" sarkas Dewa. "Kamu ingin menghina saya!" "Apa?" kaget Shafana. Dia nampak sangat kebingungan saat ini. Namun, Dewa tidak memperdulikan hal itu, kursi rodanya sudah semakin menjauh. "Astaghfirullah, aku lupa kalau Mas Dewa buta," lirih Shafana. "Tapi kenapa aku merasa kalau dia melihat semuanya. Ya ampun, aku terlalu ceroboh, sekarang aku harus gimana." "Tuan Muda, Non Shafa sepertinya tidak sengaja, saya yakin Non Shafa tidak bermaksud menghina Tuan Muda, kata Roy. "Mungkin Non Shafa belum terbiasa." "Tidak perlu menjelaskan hal tidak penting!" Roy mengangguk, dia meminta maaf karena sudah membuat Dewa semakin tidak nyaman. "Batalkan apa yang saya minta sebelumnya." "Tapi, Tuan---." "Saya bilang batalkan, Roy. Tidak perlu mencari barang rongsokan itu lagi." Shafana menghela napasnya. Wanita itu bingung sekarang, dia tahu suaminya buta, tapi dia selalu merasa kalau mata tajam suaminya itu memperhatikan apapun yang terjadi di rumah itu. Langkah gontai Shafana membawanya untuk kembali ke kamar. Namun, suara sesuatu yang aneh membuatnya melangkah ke arah lain. "Apa mungkin ada orang lagi makan," batin Shafana. Namun, suara decapan dan obrolan itu seperti terus menariknya untuk mendekat. "Ngapain kamu!" sarkas Rania tiba-tiba. "Maaf, Mbak. Aku pikir--." Shafana menggantung kalimatnya ketika melihat perona bibir Rania sedikit belepotan. "Mbak itu--!" "Pergi! Ini rumahku Shafa, jangan berkeliaran seenaknya, tempatmu hanya di kamar saja." Shafana menghela napas, dia meninggalkan Rania. Meskipun agak heran karena di pantry masih ada Nendra. Namun, dia yakin kalau ini hanya pikiran buruknya saja, tidak mungkin mereka berani melakukan hal itu. "Istighfar, Shafa!" Dia menenangkan dirinya sendiri. Rania tersenyum penuh kelegaan, dia berbalik menghampiri Nendra dan memukul dadanya manja. "Kamu itu makin nakal, Babe. Aku udah bilang jangan ke sini di jam-jam tertentu, kalau orang lain lihat bagaimana." Wanita itu tersentak saat Nendra menarik pinggangnya dan menyesap bibirnya singkat. "Aku sangat merindukanmu, Sayang." "Ish, gombal. Jangan sibuk sama nafsu terus, kamu sudah janji akan membereskan ini semua secepatnya, Ndra. Aku enggak mau makin lama di sini, kamu juga tahu kan kalau kita tidak bisa meremehkan Dewa." Pria itu membelai lembut wajah cantik Rania, dia tersenyum kemudian berbisik. "Aku sudah mendesak para petinggi, besok, akan ada rapat darurat, mereka akan menunjuk CEO baru untuk sementara waktu." Rania melebarkan senyum, hal yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba. ** ** ** Di dalam sebuah ruang rapat besar di perusahaan LULIOMS, semua petinggi di perusahaan tersebut duduk berjejer. Mereka menunggu kedatangan seseorang. Tak berselang lama, Manendra masuk ke sana. Di susul oleh Nalani dan juga sekretaris Dewa sebelumnya. Nendra menarik ujung bibirnya. Nalani nampak begitu percaya diri, dia sama sekali tidak tahu jika semua orang yang ada di ruangan itu sedang gelisah. "Kenapa rapat darurat ini harus diadakan? Apa kalian tidak percaya pada kemampuan saya!" Seseorang mengangkat tangannya. "Maaf, Bu. Saya tahu Bu Nalani sudah lebih dulu terjun ke dalam bisnis ini, tapi itu juga berkat suami Ibu, kami memerlukan pemimpin yang bisa diandalkan." Semua orang di ruangan itu mulai berbisik-bisik. "Saya juga sependapat, Bu. Pak Sanjaya sering sakit-sakitan, Pak Dewa juga..." Nampak orang itu agak ragu. "Maaf, Pak Dewa juga sekarang buta, sebagai pemilik saham di perusahaan ini, kami menginginkan sesuatu yang pasti. Menjadikan orang buta sebagai pemimpin perusahaan, hal itu membuat kami merasa direndahkan." Manendra menarik ujung bibirnya. Namun, ekspresi itu tiba-tiba berubah kesal. "Maaf, Pak. Ucapan yang Anda katakan barusan sepertinya sangat tidak sopan, kakak saya memang buta, tapi kalian juga sudah sangat tahu kemampuannya." Nalani memicing, dia menatap beberapa orang yang ada di sana. Tidak ada satupun dari mereka yang terlihat ada di pihaknya. "Kenapa kita tidak menjadikan Pak Nendra sebagai CEO di perusahaan ini?" Orang-orang itu mulai kembali berbisik. "Saya setuju, lagipula adik Pak Dewa sudah lama menjabat sebagai direktur pemasaran." "Iya betul, saya setuju dengan itu." Lagi-lagi Manendra menarik ujung bibirnya, dia melirik orang pertama yang menyerukan untuk menunjuk dirinya. Kedua orang itu tersenyum aneh. Tepat saat Nalani mengangkat tangan, ketika wanita itu ingin menggebrak meja, pintu ruang rapat dibuka dengan lebar. Sosok Dewananda, pria yang masuk dengan kursi rodanya itu membuat orang-orang diam menatap ke arahnya. Nalani memejamkan kelopak matanya. Kedatangan Dewa hari ini membuatnya gelisah, dia begitu takut kalau orang-orang akan semakin memojokkan cucunya.Di bawah cahaya lembut yang menari di lantai marmer, langkah tergesa seorang wanita tua melintasi lorong yang sunyi. Oma Nalani, dengan pakaian anggunnya yang berwarna gading, masuk ke dalam kamar Dewa dan Shafana tanpa menunggu aba-aba. Wajahnya menyiratkan kecemasan yang dalam, kedua matanya langsung tertuju pada sosok perempuan yang tengah terbaring di ranjang king-size.Di samping ranjang, seorang dokter tengah melepas stetoskopnya. Dengan suara tenang, ia menjelaskan kondisi pasiennya."Demamnya sudah mulai turun, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya hanya memberikan infus vitamin booster agar kondisinya cepat pulih," ujar sang dokter kepada Dewa. "Nyonya Dewa akan baik-baik saja."Mata Dewa menatap lurus menatap perempuan itu. Sementara itu, Shafana yang mendengar dokter menyebutnya sebagai Nyonya Dewa, menegang. Ia menelan ludah, lalu perlahan memalingkan wajahnya, tidak berani bertemu tatapan suaminya meksipun dia tahu kalau suaminya buta. Ada debar tak biasa dalam dada
Malam itu, Rania mengenakan gaun merah anggun yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya dihiasi riasan yang menonjolkan kecantikannya. Namun, tatapan matanya penuh tipu daya. Masa ovulasinya tiba, membuatnya lebih bersemangat, tapi bukan untuk mendekati suaminya.Dewa, yang duduk di kursi roda dengan wajah dingin tanpa ekspresi, hanya mengangguk kecil ketika Rania pamit dengan alasan pekerjaan dadakan. Dia tahu perempuan itu berbohong, tapi memilih tidak berkata apa-apa. Saat Rania mencoba mengecup pipinya, Dewa menghindar dengan halus. Sikapnya semakin menunjukkan bahwa hubungan mereka hanya formalitas semata."Aku pergi ya, Mas. Kalau ada apa-apa minta sama Mbak Ima.""Heumm!" Dewa yang kala itu ada di ruang keluarga berpaling. Setelah Rania pergi, suasana rumah kembali hening. Dewa memutar roda kursi rodanya menuju lift untuk naik ke kamar. Ada sesuatu yang membuatnya terusik malam ini. Dia berhenti di depan pintu kamar mandi, mengetuk perlahan.“Shafa,” panggilnya dengan su
Dewa tanpa sadar menarik ujung bibirnya ketika melihat Shafana yang tertidur bersandar di bahunya. Pria itu membetulkan duduknya agar Shafana lebih nyaman. Roy yang melihatnya dari depan tersenyum tipis. Plak! Hening, keromantisan yang sebelumnya terasa berubah menjadi kepanikan untuk Roy. Dia ingin sekali pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat. "Kenapa banyak nyamuk," gumam Shafana dalam tidurnya. Kelopak mata Dewa terpejam, pria itu menurunkan tangan Shafana dari wajahnya, tapi hal yang lebih gila terjadi, wanita itu merubah posisinya, dia meringkuk, menjadikan paha Dewa sebagai bantalan. Kedua tangan Dewa mengepal, dia berusaha untuk tetap baik-baik saja ketika wajah Shafana menyentuh area yang seharusnya tidak dia sentuh. Dewa memalingkan wajah, menggigit bibir dalamnya gelisah. Roy kembali tersenyum, wajah Shafana yang menghadap perut Dewa pasti membuat Dewa tidak nyaman. ** ** Di dalam kamar mandi, Dewa terdiam cukup lama di bawah guyuran air dingin. P
Dewa duduk di kursi kerjanya, matanya tak bisa lepas dari pintu yang masih tertutup. Apa yang dia harapkan sebetulnya, Shafana? Namun, harapan itu pupus seiring waktu berlalu dan kursi di sebelahnya masih kosong. Jari-jarinya drumming di atas meja, sebuah tanda kegelisahannya yang tak bisa dia sembunyikan. Meski berusaha keras untuk fokus pada dokumen di depannya, pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan aneh yang sedang dilakukan Bima dengan istrinya. "Aku pasti sudah gila," gumam Dewa lantas menggelengkan kepalanya. Ponsel di sakunya bergetar, isyarat panggilan masuk, tapi bukan dari Shafana. Dewa menghela napas, menahan diri untuk tidak meluapkan kegelisahannya. Baru saja dia hendak menghubungi Roy, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Shafana muncul, napasnya terengah-engah. "Maaf, Pak Dewa, aku terlambat," ucap Shafana cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Ada masalah mendadak di kantor Pak Bima yang harus aku selesaikan." Dewa hanya mengangguk pelan, berdehe
Jantung Shafana berdebar kencang, dipenuhi rasa lega dan kekosongan yang aneh. Kenangan malam sebelumnya, saat Dewa menciumnya dan meninggalkan bekas yang menyengat di bibirnya, terasa begitu nyata. Namun saat dia melihat pantulan dirinya di cermin, dia tidak melihat tanda-tanda pertemuan itu. Itu hanyalah mimpi. "Aku pasti sudah gila, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bibirnya, seperti bukan mimpi." Shafana menghela napas kasar. Dia mengabaikan perasaan yang masih tersisa dan menuruni tangga, wajahnya tertutup hijab yang mengalir, kecantikannya semakin terpancar dengan kesederhanaan dan keanggunan pakaian itu. Saat dia mencapai ruang makan, dia melihat Dewa dan Rania, istri pertama suaminya sudah duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Tatapan Shafana tertuju pada Dewa, dan dia terkejut melihat luka mengering di sudut bibirnya. "Mas Dewa, apa yang terjadi pada bibirmu?" tanyanya, suaranya hanya bisikan. Dewa meliriknya, ekspresinya tak terbaca. "Tidak apa-apa," katanya si
Sementara itu, di ruang baca, Dewananda merenung. Dia masih berusaha memikirkan kenapa Shafana tiba-tiba marah padanya. Roy, yang setia berdiri di sampingnya, mulai berbicara. “Pak, hari ini banyak hal terjadi. Saya mendengar percekcokan di rumah Non Shafana,” katanya hati-hati. Dewananda menatap Roy dengan alis terangkat. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga. Roy menghela napas. “Saya meletakkan penyadap di rumah Non Shafana, seperti yang Anda minta,” jawabnya pelan. Dewananda terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Perdengarkan,” perintahnya. Roy mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan memperdengarkan suara kekacauan yang terjadi di rumah Shafana. Suara tangisan, teriakan, dan percakapan yang penuh emosi terdengar jelas. Dewananda mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Shafana tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat selimut. Kesadaran atas kesalahannya menghantamnya sepert
Dengan tangan gemetar, dia menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang. "Ayah, ini untuk kebutuhan sehari-hari atau modal usaha," katanya dengan suara serak.Malik menatap amplop itu dengan ragu. "Dari mana kau mendapatkan uang ini, Shafa? Ayah tidak ingin menerima uang dari Dewa," katanya tegas, menyebut nama suami Shafana dengan nada penuh kebencian. Malik sudah berusaha untuk tidak menaruh dendam, tapi dia tetap kecewa pada keluarga Dewa setelah mereka merebut Shadana darinya. Shafana menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Ayah, ini bukan dari Mas Dewa. Ini hasil jerih payahku sendiri. Aku menulis cerita dan berhasil menjualnya," jawabnya dengan tegas, meski hatinya terasa berat.Malik terdiam, matanya menatap dalam ke mata Shafana yang bengkak. "Menulis? Sejak kapan kau menulis, Nduk?" tanyanya, setengah tidak percaya.Shafana tersenyum pahit. "Sejak aku merasa dunia ini terlalu sempit untuk menampung semua perasaanku, Ayah. Menulis adalah carak
"Kenapa masih di sini?" tanya Dewa. Shafana yang tengah duduk di tepian ranjang itu menoleh, menatap suaminya penuh curiga. "Pak- mmas tahu aku di sini?" Jari jemari Arthur mulai bergerak, salahkan dia yang terpancing karena keberadaan istri keduanya. Dia selalu lepas kendali dan tidak bisa bersikap sesuai keinginannya. "Mas Dewa!" Shafana mengibaskan tangannya di depan wajah Dewananda. "Mas udah sembuh?" "Baumu tercium," kata Dewa. Anggaplah ini sebuah alasan yang jelas, tapi pada kenyataannya pun, dia memang bisa membedakan bau Shafana dengan bau orang lain. "Maaf, Mas. Aku memang belum mandi." Dewa memilih untuk tidak perduli. "Mas!" Shafana menahan kursi roda suaminya. "Besok, aku mau ketemu ayah." Ia memperhatikan wajah suaminya. "Boleh?" "Ayahmu?" "Kenpa?" tanya Shafana bingung. "Apa kau masih menganggap mereka keluargamu?" Kelopak mata Shafana terpejam perlahan, lantas, jika bukan keluarganya, dia mau menanggap mereka apa. "Aku hanya meminta izin, Mas. Kalau b
"Bu, sebetulnya jika Bu Rania menyerah sekarang, tidak akan ada yang menyalahkan Bu Rania." "Apa?" kaget Rania. "Menyerah? Sekarang?" Wanita itu tertawa, membuat dokter yang ada di depannya kebingungan. "Bu, sudah 3 tahun kakak Anda koma, saya hanya takut kalau semuanya akan menjadi sia-sia." Rania mengepalkan kedua tangannya. Mata wanita itu memerah tajam. "Pantaskan seorang dokter mengatakan hal itu? Saya merawat kakak saya di sini bayar, Dok." Dokter pria itu memejamkan matanya untuk beberapa saat. "Saya mengerti maksud Bu Rania, tapi Bu. Andai semuanya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, saya hanya takut Bu Rania kehilangan segalanya tanpa hasil apa-apa." "Saya tidak perduli," marah Rania. "Kakak saya harus hidup, dia akan melihat apa yang akan saya lakukan, tugas dokter hanya merawatnya dengan baik, cukup lakukan itu." "Maafkan saya, Bu." "Pergilah!" titah Rania. "Tapi, Bu... Pasien sedang...." "Saya tahu kakak saya sedang makan, saya yang akan menunggun