Andini seketika berdiri dari tempat duduknya begitu melihat Kafka memasuki ruangannya.
"Apa kamu sudah menunggu lama?"
Andini melihat jam tangannya sebelum menjawab pertanyaan Kafka. Dia sengaja datang ke ruangan tunangannya itu karena ada hal penting yang ingin dia tanyakan. "Em, tidak lama. Baru tiga puluh menit. Bagaimana operasi usus buntu Tuan Nathaniel? Apa semuanya berjalan lancar?"
"Iya," Kafka mengangguk seraya meraih kemejanya yang tergantung di dekat rak buku.
"Syukurlah." Andini mengembuskan napas lega.
"Kita pulang sekarang?"
"Iya," jawab Andini. Mereka berjalan bersama menuju parkiran sambil sesekali balas menyapa rekan medis yang kebetulan berpapasan di koridor rumah sakit.
Kafka membuka pintu Audy RS7 Sportback miliknya begitu tiba di parkiran, lalu mempersilakan Andini untuk duduk di kursi samping kemudi.
"Terima k
Cara memotong wortel dengan kesal sambil menatap Alvaro yang sedang duduk di meja. Rasanya gadis itu ingin sekali memotong tubuh Alvaro menjadi potongan-potongan kecil untuk dijadikan makanan anjing karena sudah dua kali membohonginya.Alvaro mengalihkan pandang dari tablet yang ada di tangannya sekilas untuk menatap Cara. "Fokus saja dengan masakanmu, Caramell. Jangan menatapku seperti itu!"Cara menggeram kesal. Gadis itu merasa menjadi manusia paling bodoh yang pernah Tuhan ciptakan karena mudah percaya dengan apa yang Alvaro katakan."Kenapa Tuan tega bohongin saya?" sengit Cara menatap Alvaro tajam."Aku tidak pernah berbohong. Memangnya kapan aku membohongimu?" Alvaro malah balik bertanya dengan wajah tanpa dosa.Cara mendesah panjang. Gadis itu berusaha mati-matian menahan diri agar tidak melempar pisau di tangannya ke kepala Alvaro. "Di sini tidak mungkin ada Ultramen Tiga. Tuan su
Alvaro langsung menarik tengkuk Cara lantas menyatukan bibir mereka setelah menjawab pertanyaan gadis itu. Sesuai dengan kesepakatan, satu pertanyaan, satu kecupan. Namun, Alvaro tidak hanya mengecup, dia melumat bibir atas dan bawah Cara dengan lembut. Bibir Cara terasa begitu manis, seperti candu yang membuatnya ketagihan. Sambil terus berciuman perlahan tangannya bergerak, melepas kancing baju gadis itu satu-persatu.Cara melepas pagutan bibirnya dengan paksa. "Tunggu!" ucapnya dengan napas terengah sambil menahan tangan Alvaro yang ingin melepas kancing terakhirnya."Kenapa Tuan melepas baju saya? Bukankah kesepakatan awal kita tidak seperti ini?"Alvaro menatap Cara dengan alis terangkat sebelah. "Kamu nggak terima?"Cara mendesah panjang sambil membenahi kembali pakaiannya, tapi Alvaro malah melepas bajunya dengan paksa lalu membuang benda itu entah ke mana, membuat dua buah
Alvaro tertegun di tempat duduknya menatap gadis bermata zamrud yang duduk di meja dekat jendela bersama seorang lelaki yang terlihat tidak asing di matanya. Alvaro tahu betul siapa lelaki yang bersama Cara. Dia, Aditya Kafka, dokter yang merawat ibu Cara. Apa yang Cara dan Kafka lakukan? Apa mereka sedang pergi berkencan? Alvaro tanpa sadar mendengkus kesal. Dia tidak suka melihat Cara pergi bersama pria lain tanpa seizinnya. "Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan Caramell. Felix terlihat begitu senang, dia segera menghampiri Cara sambil membawa piringnya, meninggalkan Alvaro yang masih bergeming di tempat. "Hai, Caramell!" sapa Felix terdengar ramah. Kedua mata Cara sontak membulat. "Tu-Tuan Felix?" pekiknya. Gadis itu benar-benar tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan lelaki berkulit tan tersebut. "Long time no see, Caramell. Bagaimana kabarmu?" "Em, kabar saya baik," jawab Cara terdengar gugup. Gadis itu takut Felix akan berbuat kurang ajar lagi pada d
Cara cepat-cepat membuka kaca mobil di sampingnya, lantas menyembulkan kepalanya keluar untuk melihat ponsel jadulnya yang tergeletak di jalan. Sedetik kemudian gadis itu berteriak keras karena sebuah truk melindas ponselnya hingga hancur tak berbentuk. "Ponselku!" teriaknya dramatis. Cara pun meminta Alvaro untuk menghentikan mobilnya. Namun, lelaki itu malah semakin menambah kecepatan kendaraan roda empat miliknya. "Tuan Alvaro, saya bilang berhenti!" pinta Cara. Dia ingin mengambil kartu selulernya karena semua nomor penting ada di sana. "Berisik! Aku akan membelikanmu ponsel baru," sengit Alvaro tanpa menghiraukan Cara yang terlihat sangat kesal. "Tapi semua nomor penting ada di kartu itu. Tolong hentikan mobilnya, Tuan. Saya harus turun ...." Alvaro melirik Cara sekilas. "Nomor penting siapa? Apa nomor Dokter itu?" Cara mengangguk. Selain nomor Angela dan Elish, nomor Kafka termasuk kontak penting karena dia harus menghubungi Dokter itu jika ingin tahu bagaimana kondisi sang
Cara mengerjabkan mata perlahan saat cahaya matahari jatuh mengenai wajah cantiknya. Gadis itu pun bangun, lalu mendudukkan diri di atas tempat tidur. Dia memandang sekitar dengan bingung. Seingatnya dia semalam menunggu Alvaro pulang di ruang tamu hingga larut malam lantas ketiduran. Siapa yang membawanya ke kamar? Apa mungkin Alvaro?"Kamu sudah bangun?""Kenapa Tuan tidak pakai baju?" Cara refleks menutup kedua wajahnya dengan kedua telapak tangan karena melihat Alvaro keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahanya. Dada bidang dan perut lelaki itu terlihat jelas oleh kedua matanya.Alvaro terlihat err ... sangat sexy. Apa lagi dengan tubuh dan rambut yang sedikit basah. Aroma laut dan kayu manis yang menguar dari tubuh Alvaro membuat Cara megap-megap. Gadis itu lupa bagaimana caranya bernapas.Alvaro malah terkekeh. "Memangnya kenapa? Apa kamu tergoda melihat tubuhku
Terhitung sudah lebih dari sepuluh kali Cara mengelilingi ruangan Alvaro. Dia melihat-lihat rak buku, setelah itu lukisan yang tertempel di dinding, kemudian menengok pemandangan di luar dari balik kaca jendela yang berukuran sangat besar. Jika lelah dia akan mengempaskan diri ke sofa pojok yang ada di sudut ruangan. Hanya itu yang dia lakukan sejak dua jam yang lalu.Embusan napas panjang kembali lolos dari bibir mungil Cara. Gadis itu sudah mulai bosan. Tidak terasa sudah dua jam lebih dia menunggu Alvaro yang sedang menghadiri rapat. Rasanya dia ingin sekali mengelilingi kota Seoul untuk mengusir bosan. Namun, Alvaro tidak memberinya izin untuk pergi keluar.Cara sontak berdiri dari tempat duduknya karena seorang lelaki memasuki ruangan. "Apa pekerjaan Tuan Alvaro sudah selesai?"Alvaro mengangguk. Untung saja dia cepat mene
Cuaca belum juga membaik, di luar salju masih setia turun membasahi bumi kota Seoul. Selama itu pula Alvaro dan Cara tidak pernah keluar dari kamar hotel tempat mereka menginap. Kedua sejoli itu selalu menghabiskan malam dengan penuh kehangatan dan berbagi pelukan. Alvaro mendekap tubuh mungil Cara sepanjang malam untuk menghalau hawa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang. Senyum tipis menghiasi bibirnya melihat Cara yang tidur begitu lelap. Entah kenapa gadis itu terlihat begitu menggemaskan di matanya sekarang. Seperti bayi. Cup, Alvaro mengecup bibir Cara sekilas karena gemas. Kening Cara terlihat berkerut karena merasa terganggu. Alvaro pikir Cara akan bangun, tapi tidak lama gadis itu malah kembali tidur. Di luar langit masih terlihat gelap padahal sekarang sudah pukul 7 KST. Pada saat musim dingin di Korea Selatan sinar matahari memang muncul lebih pendek. "Kamu tidak ingi
"Kenapa warnanya pink?" tanya Cara karena Alvaro membeli gembok berwarna merah muda. "Memangnya kenapa?" "Warna ini terlalu manis, saya tidak suka." "Jangan banyak protes!" "Tapi kan, ih. Warna merah saja ya, Tuan. Kan, lebih romantis." Cara berusaha membujuk Alvaro agar mau menukar gemboknya dengan warna merah. "Tidak mau," ucap Alvaro tidak bisa dibantah. Lagi pula dia juga malas menukarnya. Cara mengerucutkan bibir kesal. Percuma saja dia merengek karena tidak akan pernah bisa menang melawan Alvaro. Dasar pria egois! Alvaro pun memberi gembok yang dibelinya tersebut ke Cara untuk dipasang. Kedua mata gadis itu sontak membulat ketika membaca tulisan di gembok berwarna merah muda itu. "Kenapa tulisannya jadi kayak gini?" "Memangnya kenapa?" tanya Alvaro dengan wajah tanpa dosa seperti biasa.