Cara hanya bisa menunduk sambil memilin kesepuluh jemari tangannya yang basah. Setitik keringat dingin kembali menetes di pelipisnya. Wajah gadis itu pun terlihat pucat. Beberapa menit yang lalu pemilik Paradise Club memintanya untuk datang ke ruangannya. Melihat betapa keras wajah lelaki yang duduk di hadapannya, Cara yakin sekali Si Bos sedang marah besar karena dirinya kembali membuat masalah dengan pelanggan.
Lelaki bernama Radit itu menarik napas panjang sebelum bicara. "Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi, Ra? Kau sudah menampar lima pelangganku di bulan ini. Parahnya hari ini kau memukul kepala Tuan Feliks dengan botol. Untung saja Tuan Felix tidak melaporkanmu ke polisi dan menuntut ganti rugi."
"Tapi Tuan Felix yang ...."
"Jangan membalas ucapanku, Cara!" desis Radit tajam.
"Maaf." Cara refleks menunduk karena Radit terlihat sangat menyeramkan saat marah. Dia tidak bisa berbuat apa pun selain minta maaf agar tidak kehilangan pekerjaan.
Cara mengaku salah telah memukul kepala Felix dengan botol hingga berdarah. Namun, dia terpaksa memukul kepala lelaki itu agar berhenti berbuat kurang ajar pada dirinya.
"Kalau kau terus berbuat seperti ini, lama-lama kelab malamku bisa bangkrut."
"Maaf, Pak ...." ucap Cara penuh penyesalan.
Radit menarik napas panjang lalu memberi Cara sebuah amplop cokelat. "Mulai besok kau tidak perlu datang ke Paradise Club lagi."
Tubuh Cara menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak melihat amplop cokelat yang Radit ulurkan. "Ma-maksud, Bapak?"
Alis Radit terangkat sebelah menatap Cara. "Apa ucapanku kurang jelas?"
Cara tanpa sadar meremas kedua pahanya kuat-kuat. Kedua mata gadis itu terasa panas. Dadanya sesak. Apa dia dipecat?
"Kau boleh keluar dari ruanganku sekarang. Sebelum pergi jangan lupa selesaikan dulu pekerjaanmu hari ini."
Kristal bening itu jatuh begitu membasahi pipi Cara. Padahal dia sangat membutuhkan uang untuk biaya berobat sang ibu, tapi dia sekarang malah dipecat. Harus ke mana lagi dia mencari uang?
Cara cepat-cepat menghapus air matanya. Dia tidak suka terlihat lemah. "Terima kasih sudah mau menerima saya, maaf kalau saya sering membuat masalah selama bekerja di Paradise Club."
Radit hanya mengangguk.
"Saya pamit." Cara pun segera undur diri dari ruangan lelaki itu.
***
"Satu juta sembilan ratus, dua juta, dua juta seratus ribu ...." Cara mengela napas panjang setelah menghitung uang pesangon yang Radit berikan. Uang itu tidak cukup untuk membayar kontrakan bulan depan dan makan selama satu minggu ke depan. Apa lagi untuk biaya kemoterapi sang ibu.
Padahal dia sudah bekerja di tiga tempat sekaligus, satu minggu full tanpa hari libur. Namun, uang yang dia dapatkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan biaya berobat sang ibu.
"Kalau kamu butuh uang, bilang aja sama aku, Ra. Aku pasti bantu kamu," ucap Elish. Sahabat sekaligus teman kerja Cara di Paradise Club.
Cara menggelang pelan. Dia tidak mungkin meminta tolong karena hidup sahabatnya itu tidak lebih baik dari dirinya.
"Tapi kamu butuh uang buat biaya berobat Tante Ratna." Elish mencoba membujuk Cara agar menerima bantuannya.
Cara menggenggam kedua tangan Elish dengan lembut. "Terima kasih, aku sangat menghargai kebaikanmu. Tapi aku masih mampu untuk mencari uang sendiri."
"Tapi, Ra ...."
Cara tersenyum agar terlihat baik-baik saja di mata Elish. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu khawatir. "Aku nggak papa. Lanjut kerja, sana! Nanti Pak Bos marah. Aku balik dulu, ya?"
Elish menghela napas panjang karena Cara menolak bantuannya. Padahal dia tulus membantu gadis itu.
Andai saja Cara mau menjual diri seperti dirinya. Gadis itu tidak akan kesulitan uang seperti sekarang. Namun, Cara sangat menjaga kesuciannya. Gadis itu tidak akan memberikan keperawanannya pada lelaki lain selain suaminya.
"Hati-hati, Ra. Aku yakin kamu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari tempat ini," pesan Elish sebelum Cara keluar meninggalkan Paradise Club.
Cara mengangguk lantas melayangkan senyum tulus untuk Elish. Langkah gadis itu terasa begitu ringan meninggalkan tempat hiburan malam itu. Seperti apa yang Elish katakan, Cara yakin sekali dia akan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari tempat ini.
"Ugh!"
Cara cepat-cepat menolong lelaki yang berada tidak jauh darinya. Lelaki berwajah tampan itu nyaris saja terjatuh karena terlalu mabuk.
"Anda tidak apa-apa?" tanya Cara terdengar khawatir.
Alvaro mengerutkan dahi. Samar-samar dia masih bisa melihat wajah gadis yang sudah menolongnya. "Caramell?"
***
[ Bersambung ]
Alvaro terus meneguk sebotol wine di tangannya karena ingin berhenti memikirkan masalahnya dengan Angela sejenak. Namun, ucapan wanita itu terus berputar-putar di kepalanya.'Kalau kamu ngotot ingin memiliki anak dariku? Lebih baik kita berpisah.'"Sialan! Beri aku minuman lagi!" pintanya pada bartender."Tapi Anda sudah terlalu mabuk, Tuan."Alvaro menatap pemuda berusia awal dua puluh tahunan yang berdiri di hadapannya dengan tajam. "Berisik! Cepat buatkan minumanku, Bodoh!"Pemuda itu tergagap lalu segera membuat segelas cocktail sesuai perintah Alvaro. Namun, Alvaro malah ambruk sebelum minumannya selesai dibuat. Dia pasti sudah sangat mabuk."Hei Al, bangunlah! Apa kau mau tidur di sini?" tanya Felix sambil menepuk pipi Alvaro.Alvaro megerjabkan mata perlahan, lalu memandang ke sekitar dengan bingung. Sepertinya alkohol sudah
Byur! Alvaro sontak bangun karena Mama menyiram wajahnya dengan air satu ember. "Bangun, Alvaro!" geram Mama dengan mata melotot. Alvaro mengusap wajahnya yang basah sebelum mendudukkan diri di atas tempat tidur. "Sshh ...." Dia meringis karena kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit. Perutnya pun terasa pengar. Sepertinya efek mabuk semalam baru terasa sekarang. Ah, rasanya benar-benar tidak nyaman. "Kenapa kamu bisa mabuk seperti itu, Alvaro? Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan lari ke minuman. Kamu itu bukan anak-anak lagi. Cobalah bersikap selayaknya orang dewasa, Al." Alvaro meringis. Kepalanya semakin terasa pening karena mendengar omelan Mama. "Berisik!" Mama sontak melotot. "Apa kamu bilang?" "Alvaro nggak bilang apa-apa," jawab Alvaro sambil beranjak ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri agar tubuhnya tera
Cara terus menunduk sambil meremas kesepuluh jemari tangannya. Air mata turun semakin deras membasahi pipinya. Dalam hati dia tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan sang ibu. Semakin hari penyakit kanker darah yang diderita ibunya semakin parah. Padahal Ibu sudah menjalani kemoterapi selama enam bulan terakhir. Namun, penyakit itu semakin menang melawan tubuh ibunya. Telapak tangan Cara semakin dingin dan basah. Jantung pun berdetak tidak nyaman. Gadis itu merasa takut, bingung, dan cemas. Cara takut Ibu tidak selamat karena hanya wanita itu yang dia miliki di dunia ini. "Tuhan, aku mohon selamatkan Ibu ...." gumamnya dengan suara gemetar. Dia benar-benar takut kehilangan sang ibu untuk selamanya. "Caramell." Cara sontak menghampiri lelaki berjas putih yang baru saja keluar dari ruang Unit Gawat Darurat. Dia, Aditya Kafka. Dokter muda yang telah merawat ibunya selama ini.
Cara tanpa sadar meremas secarik kertas yang berada di genggaman. Kertas berwarna kuning tersebut berisi nomor telepon wanita yang memberi tawaran Elish untuk melahirkan anaknya. Namun, Elish malah memberikan tawaran tersebut pada dirinya karena sahabatnya itu tahu jika dia sekarang lebih membutuhkan uang.Cara meremas kertas tersebut semakin erat hingga meninggalkan kerutan di sana. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Gadis itu mendadak sangat bimbang sekarang.Apakah yang dia lakukan ini benar?Bagaimana jika sang ibu tahu dia akan melahirkan anak untuk orang lain.Cara yakin sekali Ibu pasti akan sangat kecewa jika tahu. Namun, dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan uang dalam waktu dekat."Tuhan, aku tidak tahu harus bagaimana lagi? Semoga ini
"Mmhh..." Tubuh Angela meremang hebat. Wajahnya semakin memerah ketika suara ciuman mereka tertangkap oleh indera pendengarannya. Wanita itu ingin segera dipuaskan oleh lelaki yang kini sedang menindih tubuhnya.Suara lenguhan Angela yang tertelan dalam ciuman membuat suasana semakin terasa panas. Bahkan Alvaro tidak bisa lagi menahan tangannya untuk memberikan sentuhan lembut pada paha mulus Angela yang tidak tertutupi gaun."Erngh ...." Alvaro melepas pagutan bibirnya saat mendegar erangan keluar dari bibir Angela. Memberi kesempatan pada wanita itu untuk mengambil napas.Angela segera menarik napas sebanyak mungkin karena Alvaro tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. "Seharusnya malam ini kamu tidur di kamar Caramell, Al," ucapnya dengan napas terengah.Wajah Alvaro
Tidak terasa sudah hampir satu bulan Cara tinggal di rumah Alvaro. Setiap hari gadis itu harus mengurus rumah, selain itu mengurus Alvaro karena Angela tidak becus mengurus suami. Yang bisa dilakukan wanita itu hanya bermalas-malasan dan menghabiskan uang Alvaro. Cara selalu bangun sebelum matahari terbit, setelah itu memasak, kemudian mencuci baju dan membereskan rumah. Benar-benar melelahkan karena dia mengerjakannya seorang diri. Alvaro pun tidak berubah. Lelaki itu masih suka marah dan bersikap kasar pada dirinya. Sejak awal dia memang tidak menyukai ide gila Angela untuk menikahi Cara demi memberi Mama cucu. Alvaro bisa langsung marah jika Cara berbuat salah, sekecil apa pun itu. Cara dulu selalu diam saat Alvaro menghina dan merendahkan dirinya. Dia menelan semua ucapan Alvaro yang terasa pahit seperti obat. Namun, dia sekarang mulai b
Cara kembali masuk ke kamarnya dan membanting pintu lumayan keras untuk melampiaskan kekesalan. Ucapan Alvaro tadi benar-benar melukai hatinya. Jika Alvaro menganggapnya perempuan murahan, maka dia akan bertingkah seperti jalang.Cara membuka lemarinya dengan kasar. Di dalam tergantung lingeri dengan berbagi model yang dia dapatkan dari Angela. Dia mengambil satu buah lingeri secara asal lalu memakainya. Cara sebenarnya jijik memakai pakaian kurang bahan tersebut. Namun, dia harus memakainya untuk menggoda Alvaro."Akan aku buktikan pada Tuan Alvaro kalau aku bukan jalang!"***Alvaro menghela napas panjang. Sepertinya Angela benar-benar sudah gila, pikirnya. Bagaimana mungkin wanita itu menyuruhnya untuk segera menghamili Cara? Apa Angela tidak tahu kalau dia tidak ingin melak
Alvaro merasa menjadi lelaki paling berengsek yang pernah Tuhan ciptakan setelah penyatuan mereka semalam. Selama ini dia selalu menganggap Cara jalang. Namun, gadis itu ternyata berhasil membuktikan jika dirinya bukanlah jalang seperti yang dia pikirkan. Cara ternyata masih perawan meskipun pernah bekerja di kelab malam.Jujur, Alvaro merasa sangat beruntung dan bahagia menjadi lelaki pertama bagi Cara. Dia juga begitu menikmatinya semalam. Dia bahkan menginginkan gadis itu lagi.Cara mengerjabkan mata perlahan saat cahaya matahari jatuh mengenai wajah cantiknya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang berat sedang menindih perutnya. Cara pun berusaha membuka mata walaupun masih terasa berat. Kedua alis gadis itu menyatu saat melihat dada bidang seorang pria.Kedua mata Cara sontak membelalak lebar. "Aa ... hhft ...."Alvaro segera membekap mulut Cara sebelum gadis itu berteriak. "Kau