Home / Romansa / Istri Kedua Dosen Dingin / Bab 2. Ayah atau Harta

Share

Bab 2. Ayah atau Harta

Author: Miss Caya 88
last update Last Updated: 2025-11-19 10:20:47

“Mau kamu apa, Rino?!” tanya Elric.

Ajudan Rino membawakan sebuah tablet. Sebuah video panas Elric dan Lala diputar di layar tablet itu.

“Astaga!” teriak Lala. Dia tak tahu jika malam panasnya itu direkam.

Netra Elric membulat seketika. Ia tidak menyangka kalau Rino merekam semua yang terjadi semalam.

Rino tersenyum seolah mengejek.

“Ini!” Rino menunjukkan kertas itu tepat di depan wajah Elric.

Elric memicingkan mata, mencoba mencari tahu apa yang tertera di kertas tersebut.

Spontan, netra Elric membulat setelah mengetahui kemauan Rino.

“Kamu mau aku mundur dari jabatanku?! Dan nolak jadi pewaris?” Elric menatap Rino tajam.

Rino mengangguk. Tangannya memegang tablet yang masih memutar video panas itu.

“Gampang kan? Apa kamu lebih suka kalau kesehatan Papa memburuk?” ancam Rino lagi. Matanya menatap tajam Elric.

Tablet itu didekatkan ke arah wajah Elric.

“Bayangin reaksi Papa kalo lihat pemandangan panas ini tersebar di seluruh kota. Dia pasti lebih cepat masuk liang kubur! Hahaha!” Rino tertawa.

Elric berusaha menjegal Rino dengan kakinya, tetapi sia-sia.

“Jaga mulutmu, Rino!” Elric makin emosi.

Rino menjauh dari Elric. Tangan Rino meletakkan surat itu di atas meja.

“Well, keputusan ada di tanganmu, El. Setuju atau Papa mati?! Sakitnya bisa tambah parah,” ancam Rino.

Elric tertunduk. Dia menghela napas. Tak ada pilihan lain selain setuju.

“Oke, oke. Aku setuju. Tapi biarin aku tetap rawat Papa,” Elric mengajukan syarat. Tatapan tajam itu tetap terpancar dari mata Elric.

“Oke! Aku juga nggak mau repot ngurus Si Tua Bangka itu.” Rino memberikan aba-aba untuk melepas borgol di tangan Lala dan Elric.

Elric membaca kembali dokumen itu. Dia menghela napas. Lalu membubuhkan tanda tangannya.

Selesai menandatangani kertas itu, Elric melempar pena, kesal. “Sudah kan?! Sekarang lepasin aku dan Lala!”

Rino mengambil kertas itu. Dia tersenyum puas melihat tanda tangan Elric di sana.

“Ya, ya! Cepat sana pergi! Sebelum aku berubah pikiran!” Rino menatap tajam Elric.

Mereka pun segera keluar dari kamar hotel itu. Lala berjalan dituntun oleh Elric. Langkah kakinya gemetar.

“Sembunyiin mukamu, La,” bisik Elric lirih.

Lala langsung menuruti hal itu. Dia teringat acara amal yang diadakan di hotel itu.

‘Bener juga! Kenalan dari kampus bisa aja papasan di sini,’ batin Lala sambil menutupi wajahnya dengan jas milik Elric.

Tiba di lobi hotel, mobil sedan asing sudah menunggu. Mereka pun segera naik, sebelum ada yang mengenali.

“Aku anterin kamu pulang duluan. Di mana rumahmu?” tanya Elric saat memasuki mobil.

Mulut Lala seolah kelu. Dia hanya menunjukkan alamat di aplikasi ojol langganannya.

“Oke.” Elric menunjukkan alamat itu kepada sopir mobil itu. “Ke dekat alamat ini, Bayu,” perintah Elric.

“Baik, Pak!”

Sepanjang perjalanan Lala berusaha menghentikan tangisnya tapi sulit.

‘Gue pengen berhenti nangis, tapi nggak bisa-bisa!’ rengek Lala tanpa suara. ‘Masa depan gue udah hancur!’

Ekor mata Elric menangkap air mata yang jatuh membasahi pangkuan Lala. Namun dia tak tahu harus bagaimana menghadapi perempuan malang itu saat ini.

Tak lama kemudian, mobil berhenti di sebuah halte. Elric sengaja mencari lokasi yang cukup jauh dari kawasan Universitas Lentera Harapan.

“La, maaf. Kamu harus turun di sini,” perintah Elric. “Kita nggak tahu mata siapa yang berkeliaran di dekat sini.”

Lala hanya menggamgguk pelan. Tangannya yang masih gemetar membuka pintu mobil itu.

“Makasih, Pak,” ujar Lala tanpa memandang Elric.

Lala turun tepat di depan halte. Dia berjalan pelan dengan tatapan mata yang seolah kosong.

“Jangan nangis di sini. La. Kuat! Kuat! Harus sampe kos dulu.” Lala menyemangati dirinya sendiri.

Sesampainya di depan kos Lala tak langsung masuk ke dalam. Dia masih merasa syok dengan peristiwa yang baru saja dialaminya.

‘Dari jutaan manusia di dunia kenapa harus gue? Gue udah dapat banyak cobaan dari kecil,’ batin Lala.

Ingatannya kembali mengingat malam panas yang sudah merenggut hartanya yang paling berharga. Ancaman Rino juga seolah terngiang kembali di telinga Lala.

“Sekarang, gimana gue pertanggungjawabin semua ini sama Ibu?” ujar Lala lirih.

Tubuh mungil itu berjongkok dengan tembok pagar kos sebagai sandaran. Lala memeluk lututnya sendiri.

“Lala?!” panggil seseorang. “Ngapain di situ?”

Lala menoleh ke arah suara itu.

“Rosi ….” sahut Lala lirih.

Rosi Audrin. Teman satu kelas dan satu kos dengan Lala.

Melihat Lala dalam kondisi menangis, Rosi langsung menghampiri dan memeluk Lala.

“Astaga, La! Lo kenapa? Ke mana aja kemarin? Gue bingung nyariin lo semalaman.” Rosi memeluk Lala.

Lala hanya bisa menangis.

“Gue ….” Suara Lala tertahan. Dia teringat kesepakatannya dengan Elric.

Mereka sudah setuju untuk melupakan kejadian semalam.

Lala kembali bungkam. Dia hanya menggeleng sambil menatap Rosi.

“Ya udah, nggak papa. Yang penting lo udah balik,” hibur Rosi.

Rosi menuntun Lala masuk ke kamar kosnya. Dia hanya tertunduk sedari tadi.

“Gue mau istirahat, Ros. Please, kasih gue waktu sendirian,” pinta Lala saat Rosi menyerahkan minum kepadanya.

Rosi hanya mengangguk. “Iya, La. Lo kalau butuh sesuatu, bilang ya.”

Lala tak lagi menjawab, sementara Rosi sudah keluar dan menutup pintu kamar Lala.

‘Dunia kejam banget. Gue nggak suci lagi,’ batin Lala.

Lala meringkuk, terbaring di atas tempat tidur sambil memeluk guling.

***

Lala memaksakan diri masuk kuliah keesokan harinya.

Meski pun tubuh Lala masih demam tinggi. Mungkin karena tekanan stres yang terlalu besar.

“La, Lo yakin nggak papa?” Rosi memeriksa dahi Lala.

Lala hanya menggeleng. Dia tetap berusaha fokus membaca surat yang harus ditanda tangani itu.

Kalau bukan karena Lala adalah ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Ilmu Pertanian, mungkin dia sudah mengambil cuti satu semester.

Masih banyak tugas yang harus Lala emban. terlebih karena mereka juga aktif mengadakan acara kampus.

“Nggak papa, nggak perlu khawatir,” timpal Lala cuek.

Tubuh Lala yang terasa tak bertenaga, bersandar penuh pada dinding ruangan sekretariat itu.

Pikiran Lala sebenarnya masih kalut karena peristiwa kemarin. Itulah sebabnya, tubuh Lala jadi terpengaruh.

“Ini font-nya dirapiin lagi ya. Beda-beda gini. Terus, jangan ada typo. Nih, masih banyak!” Tangan Lala mencorat-coret surat itu.

Adik tingkat yang menjadi sekretaris dua hanya mengangguk patuh. Dia segera merevisi surat itu sesuai arahan Lala.

“Lu pulang aja duluan, Ros. Gue masih harus ngurusin surat buat event prodi. Harus dapat tanda tangan Pak Nico hari ini.”

Lala mengusir halus Rosi.

Selain, tidak ingin membuat Rosi khawatir, Lala sebenarnya ingin sendirian dan menenggelamkan diri dalam tumpukan tugas dan pekerjaan di sekretariat.

Lagipula, dia harus menyelesaikan tanggung jawabnya secepat mungkin.

Namun, sebagai teman terdekatnya, tentu saja Rosi tak tega melihat wajah Lala yang pucat.

“Ish! Gue temenin lah. Nanti mau minta tanda tangan ke ruang dosen juga, kan?”

Lala hanya mengangguk pelan. “Tapi, gue aja yang minta tanda tangan Pak Nico, Ros. Biar lebih cepat selesai.”

“Oke. oke! Seenggaknya ada yang nemenin.” Rosi bersikeras tetap berada di dekat Lala. “Gue takut lo pingsan atau apa di jalan.”

Lala pun menyerah. Dia hanya berharap Rosi tidak lagi bertanya dan menyuruhnya pulang. Kalau sendirian lagi, dia pasti menangis mengingat kejadian itu.

Setelah beberapa saat, surat untuk event Hima Pertanian sudah selesai direvisi dan dicetak. Sekretaris Hima pun memasukkan surat tersebut ke dalam map.

“Kak, ini sudah.” Sang sekretaris segera menyerahkan map coklat tadi.

Lala mengangguk dan berterima kasih. Ia membereskan pekerjaannya yang tanggung sebelum beranjak menuju ruang dosen.

“Gue ke ruang dosen dulu ya. Minta tanda tangan Pak Nico.”

Karena acaranya minggu depan, maka Lala harus segera mendapatkan tanda tangan dosen pembina Hima itu.

“Weits! Ayo, gue temenin!” Rosi segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan merangkul tangan Lala.

Lala dan Rosi berjalan menuju ke ruangan dosen prodi Pertanian. Di depan ruangan itu terpasang papan besar berisikan nama-nama dosen yang mendiami ruangan itu.

“Gue lupa kalau orang itu ada di sini,” gumam Lala tanpa sadar saat membaca nama Elric.

Hati Lala sesak kalau mengingat malam panas itu.

Rosi yang mendengar gumaman pelan Lala tadi pun mengernyit. “Siapa maksud lo?”

Lala mengerjap. Dia lupa kalau ada Rosi di sampingnya. Kemudian ia menggeleng pelan.

“Nggak papa. Efek demam.” Lala beralasan.

Rosi pun tak melanjutkan rasa penasarannya. Dia membantu mengetuk pelan pintu ruangan dosen itu sambil melihat ke arah ruangan.

“Permisi— Eh, Pak Nico ada, La. Ayo, masuk!”

Lala dan Rosi pun segera masuk ke dalam ruangan itu.

Hanya ada beberapa dosen di sana. Yang lain mungkin sedang mengajar.

Kebetulan juga, meja Elric bersebelahan dengan meja Pak Nico. Walau sebenarnya, Elric juga punya ruangan sendiri sebagai wakil direktur Universitas, terkadang dosen tersebut lebih suka menghabiskan waktu bersama rekan dosen lainnya.

“Permisi, Pak Nico!” Rosi memulai pembicaraan.

“Oh! Lala, Rosi? Ada apa?” Pak Nico yang sedang berbincang dengan Elric langsung teralih perhatiannya.

Begitu mendengar nama Lala disebut, mata Elric langsung memandang ke sumber suara.

Elric terkejut melihat Lala memakai jaket oversize. Mukanya pun sangat pucat. Dia terlihat lemas dalam gandengan Rosi.

‘Apa dia sakit karena peristiwa kemarin?’ batin Elric semakin merasa bersalah.

“Ini, Pak.” Lala menyerahkan map coklat yang dibawanya. “Saya perlu tanda tangan bapak, buat surat izin event hima minggu depan.”

“Oh ya, sini duduk dulu.” Pak Nico segera menepikan beberapa buku yang memenuhi mejanya dan meletakkan map tadi.

“Kamu keliatan capek dan pucat banget, La? Kenapa?” tanya Pak Nico.

Sebagai dosen pembina Hima, dia perlu juga memperhatikan para pengurus Hima agar tidak ada yang sampai memaksakan diri.

Pak Nico menambahkan, “Kalau kamu mau istirahat, kasih kerjaan ke pengurus yang lain, La. Jangan memaksakan diri lho!”

Kalimat dari Pak Nico semakin membuat Elric merasa bersalah. Lala membuang muka saat Elric menatap ke arahnya.

“Nah, ini. Sudah saya tanda tangan.” Pak Nico segera memasukkan lagi surat itu dan menyerahkannya pada Lala.

Sang dosen pembina pun melanjutkan, “Kamu mendingan pulang, Lala. Banyak istirahat, jadi minggu depan kamu fit lagi waktu acara!”

Lala tersenyum menanggapi kekhawatiran dosen itu. “Terima kasih, Pak!”

“Pamit ya, Pak!” Rosi sedikit melambai ke arah Pak Nico dan juga Elric.

Sepeninggalan Lala, hati Elric yang memang sudah tak nyaman beberapa hari ini semakin dirundung badai rasa bersalah yang teramat sangat.

‘Kayaknya kami perlu bicara,’ batin Elric.

Sang dosen segera membuka layar ponselnya dan mencoba mengirim pesan pada Lala.

To Lala: Lala, temui saya segera sore ini di Restoran Green Tulip. Kita harus bicara.

Elric juga sekalian mengirim koordinat restoran yang dimaksud, agar Lala tidak tersesat.

Sementara itu, di depan pintu ruang dosen, Lala diam berdiri di sana. Dia merasa kesal melihat sikap Elric yang biasa saja.

“Hah! Gue yakin dia pasti nggak peduli sama keadaan gue! Dasar dosen sialan!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 7. Apa yang Kuharapkan?

    “La, udah ada yang jemput tuh di depan,” terdengar suara Murinah memanggil Lala. Lala terus menghembuskan napas panjang lewat mulutnya. Dia melihat penampilannya lagi di kaca lemari yang sudah buram itu. “Iya, bentar, Bu,” sahut Lala. Mata Lala berusaha memastikan jika penampilannya rapi. Ada drama yang harus diperankan lagi hari ini. ‘Harus bersikap senatural mungkin di depan Ibu. Tapi, jujur gue juga deg-degan mau keluar sama Pak Elric,’ batin Lala. Lala keluar dari kamar. Dia sudah berpakaian rapi dengan blus warna biru muda. Cincin lamaran dari Elric sudah dikenakan di jari tangannya. “Ayo, cepetan! Kau jangan buat calonmu nungguin,” Murinah menarik tangan Lala. Nampak Elric sudah berdiri di depan halaman rumah Lala. Sorot matanya dingin, senyumnya seolah dipaksakan. Lala bisa merasakan hal itu dalam sekali tatap. “Kami pergi dulu, Bu. Mungkin sore hari baru kembali,” Elric meminta izin membawa Lala. “Iya, titip Lala ya,” sahut Murinah singkat. Elric han

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 6. Setuju atau Tidak?

    Murinah memandang Elric dengan tatapan tajam. “Secepat itu?” Suasana hening. Murinah berusaha mencerna kenyataan yang ada di hadapannya. Sebagai seorang ibu tentu dia ingin putrinya cepat menikah. Tapi sungguh, ini terlalu dadakan. “Kenapa cepat banget?” Murinah mengulang pertanyaannya. Lala kembali berdebar. “Bu, Lala kan udah bilang. Pak Elric mau serius jadi tolong kasih restu.”“Kau tahu nikah itu kayak apa? Nikah itu tanggung jawab, La. Ibu nggak pengen kau dapat yang orang sembarangan meskipun kaya,” Murinah menasehati Lala.“Izin bicara, Bu,” Bayu, asisten Elric meminta izin bicara. “Pak Bos saya ini dosen pembimbing proyek penelitian Non Lala. Beliau sudah kenal Non Lala sejak lama. Beliau hanya ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius tidak ada niat lain.”Elric menatap ke arah Bayu. Seolah memberi tanda jika itu hal yang ingin dia ungkapkan. Bayu menatap balik ke arah Elric dengan gelengan pelan kecil. Seolah menyuruh melanjutkan pembicaraan. Elric menghela napas. “

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 5. Orang Dari Kota

    “Wah, Bu Mur! Ada orang kaya raya cari Lala!” “Dari kota katanya. Pasti mukanya ganteng!” “Lala hebat banget nih!” Karena desa kecil, berita seperti itu tersebar dengan cepat. banyak orang mulai berkerumun di dekat rumah Lala. Semua tetangga sibuk mempertanyakan siapa gerangan orang kaya dari kota itu. Padahal belum bertemu, tetapi mereka sudah menebak sembarangan. Murinah hanya tersenyum menanggapi mereka. Dia terus berjalan menuju ke rumah Pak Kades. Tangan Lala digandeng erat. “Kamu nggak bikin masalah kan, La?!” bisik Murinah. Lala menggeleng sambil menatap Murinah. “Nggak, Bu. Lala nggak pernah bikin masalah sama siapa pun!” Jantung Lala berdebar. Dia sendiri juga khawatir hal buruk akan menimpanya lagi. ‘Kalau orang kota yang datang itu ternyata suruhan Pak Rino, habislah gue! Bisa aja gue diculik,’ batin Lala. Nampak rumah besar dengan pendopo kayu di halaman depan. Itu adalah rumah kepala Desa Pandan Wangi, Bapak Tresna Wibawa. “Budhe, yang nyari Mbak Lala

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 4. Rahasia Tetap Rahasia

    “Duh! Gimana caranya ngasih tau Ibu ya?” Liburan semester tiba. Sesuai rencana, Lala pulang lebih dulu ke Desa Pandan Wangi. Hari ini sudah hari ketiga semenjak kepulangannya. Dia masih belum tahu bagaimana memberitahu sang ibu terkait pernikahannya dengan Elric. Lala melangkah mondar-mandir di kamarnya yang masih berlantai tanah. Gelisah. Tanpa sadar, dia menggigit kuku di ibu jari tangan kanannya. Lagi, Lala bermonolog pelan, “Pak Elric juga belum ngabarin mau datang kapan. Katanya baru ada acara penting.” Dia mencoba merangkai kata di dalam kepalanya dan memikirkan kemungkinan reaksi sang ibu. “Oke. Yang penting jangan sampai gue bahas soal jadi istri kedua. Tinggal bilang kalo gue bakal nikah.” Merasa sudah mantap dengan skenario yang disusun, Lala membaringkan dirinya di atas dipan kayu itu. Nampak sebuah kertas tertempel di dinding, berisikan catatan impian gadis muda itu. “Nikah muda dan jadi istri kedua nggak ada dalam list ini,” gumam Lala sedikit kecewa. “Padahal

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 3. Aku Sudah Hancur

    “Ngomong apaan, La?!” Rosi kembali tak yakin dengan kondisi Lala. Dia beberapa kali melihat Lala bicara sendiri. “Kayaknya bener. Lo musti istirahat! Lo jadi suka ngomong sendiri deh!” Lala menatap Rosi kemudian cemberut. “Apa gue keliatan kayak orang gila, Ros?” “Ya … nggak juga. Cuma kayak orang stres.” Rosi menjawab jujur. “Kenapa? Berat kerjaan di Hima?” Lala terdiam. Dia berharap itulah alasan stresnya saat ini. Sayang, yang membuat dirinya terlihat seperti orang sakit jiwa, bukan hal remeh seperti beban kuliah atau organisasi. Karena ini tentang harga dirinya sebagai seorang wanita utuh. Namun, tidak mungkin juga dia membuka aib itu pada Rosi. Dia tidak tahu akan seperti apa reaksi Rosi kalau tahu. “Paling gue kecapekan kali ya.” Lala menutupi beban sesungguhnya. “Nah! Itu paham!” tukas Rosi. “Mendingan buruan ke sekre, terus kita balik kos. Gimana?” Lala mengangguk setuju. “Oke deh!” Baru saja mereka mulai melangkah meninggalkan area dosen, ponsel Lala bergetar

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 2. Ayah atau Harta

    “Mau kamu apa, Rino?!” tanya Elric. Ajudan Rino membawakan sebuah tablet. Sebuah video panas Elric dan Lala diputar di layar tablet itu. “Astaga!” teriak Lala. Dia tak tahu jika malam panasnya itu direkam. Netra Elric membulat seketika. Ia tidak menyangka kalau Rino merekam semua yang terjadi semalam. Rino tersenyum seolah mengejek. “Ini!” Rino menunjukkan kertas itu tepat di depan wajah Elric. Elric memicingkan mata, mencoba mencari tahu apa yang tertera di kertas tersebut. Spontan, netra Elric membulat setelah mengetahui kemauan Rino. “Kamu mau aku mundur dari jabatanku?! Dan nolak jadi pewaris?” Elric menatap Rino tajam. Rino mengangguk. Tangannya memegang tablet yang masih memutar video panas itu. “Gampang kan? Apa kamu lebih suka kalau kesehatan Papa memburuk?” ancam Rino lagi. Matanya menatap tajam Elric. Tablet itu didekatkan ke arah wajah Elric. “Bayangin reaksi Papa kalo lihat pemandangan panas ini tersebar di seluruh kota. Dia pasti lebih cepat masuk lian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status