Home / Romansa / Istri Kedua Dosen Dingin / Bab 3. Aku Sudah Hancur

Share

Bab 3. Aku Sudah Hancur

Author: Miss Caya 88
last update Last Updated: 2025-11-19 10:20:50

“Ngomong apaan, La?!”

Rosi kembali tak yakin dengan kondisi Lala. Dia beberapa kali melihat Lala bicara sendiri. “Kayaknya bener. Lo musti istirahat! Lo jadi suka ngomong sendiri deh!”

Lala menatap Rosi kemudian cemberut. “Apa gue keliatan kayak orang gila, Ros?”

“Ya … nggak juga. Cuma kayak orang stres.” Rosi menjawab jujur. “Kenapa? Berat kerjaan di Hima?”

Lala terdiam.

Dia berharap itulah alasan stresnya saat ini. Sayang, yang membuat dirinya terlihat seperti orang sakit jiwa, bukan hal remeh seperti beban kuliah atau organisasi.

Karena ini tentang harga dirinya sebagai seorang wanita utuh.

Namun, tidak mungkin juga dia membuka aib itu pada Rosi. Dia tidak tahu akan seperti apa reaksi Rosi kalau tahu.

“Paling gue kecapekan kali ya.” Lala menutupi beban sesungguhnya.

“Nah! Itu paham!” tukas Rosi. “Mendingan buruan ke sekre, terus kita balik kos. Gimana?”

Lala mengangguk setuju. “Oke deh!”

Baru saja mereka mulai melangkah meninggalkan area dosen, ponsel Lala bergetar pendek. Dia tak menghentikan langkahnya, walau sambil membuka pesan baru yang diterima itu.

Netranya membulat ketika membaca isi pesan yang ternyata dari Elric. Lala jadi menyesal karena membuka pesan itu cepat-cepat.

‘Sore nanti? Ugh! Dia nggak sadar apa gue lagi sakit gini?’ batin Lala semakin kesal.

Lala berniat menolak, tapi dia juga penasaran.

Apa lagi yang mau dibahas? Apa soal semalam? Bukannya mereka sudah setuju untuk melupakan kejadian kemarin?! Apa tentang kuliah?

Pada akhirnya, Lala setuju untuk bertemu Elric sore nanti.

Setelah menyerahkan dokumen yang sudah ditanda tangan, Lala dan Rosi kembali ke kos.

**

Sore harinya.

Lala mau tak mau harus sembunyi-sembunyi keluar dari kos. Dia tidak tahu harus beralasan apa pada Rosi, kalau ditanya untuk apa dia keluar saat sedang sakit seperti ini.

Dengan mengendarai ojek online, Lala segera menuju lokasi yang dimaksud Elric.

Tiba di sana, ia segera diarahkan ke ruang tertutup. Elric sudah duduk sambil berkutat dengan laptopnya.

“Duduk, La!” ujar Elric menunjuk pada kursi di seberangnya.

Elric segera menutup laptop itu dan menatap Lala. Ia tidak tahu harus bicara dari mana. Jadi, alih-alih langsung ke inti masalah, Elric mempertanyakan hal yang sudah ada jawabannya.

“Kamu sakit?”

Kalau Lala tak ingat sopan santun, ia sudah memutar bola matanya, kesal. Namun, ia diajarkan untuk tahu tata krama.

“Iya, Pak. Agak demam,” jawab Lala singkat.

Mereka terdiam. Masing-masing dengan pikirannya.

Tak tahan lagi, Lala pun memberanikan diri untuk bertanya, “Jadi, Bapak mau ngomong apa?”

Elric menatap Lala. Rasa bersalah jelas terlihat dalam pandangannya.

“Lala, soal semalam—”

“Buat apa dibahas?” Lala memotong ucapan Elric. Air matanya kembali berkumpul di pelupuk.

Ia menarik nafas, menahan tangisnya dan melanjutkan ucapannya. “Bukannya kita setuju untuk lupain semua?”

Ternyata tebakannya benar. Makanya, Lala langsung muntab.

Melihat Lala masih menangis, Elric pun tak bisa mengabaikan perasaan bersalahnya lebih jauh lagi.

‘Aku benar-benar sudah menghancurkan masa depan seorang perempuan,’ batin Elric.

Lala tertunduk. Tangannya saling mengepal, berusaha menahan air mata yang mungkin sebentar lagi akan jatuh.

“Saya cuma mau hidup tenang.” Lala berkata dengan nada hampir seperti memohon. “Jadi, mending Bapak nggak usah urusin saya!”

Mendengar itu Elric pun angkat bicara. “Kamu pikir saya lelaki nggak punya hati? Saya juga merasa sangat bersalah, La.”

“Terus mau apa, Pak?!” Lala hampir saja berdiri, murka.

“Tenangkan dirimu, Lala.”

Elric memijat keningnya. Dia bersyukur, mereka ada di dalam ruang tertutup. Kalau tidak, pasti sudah menarik perhatian pelanggan restoran itu.

Bertepatan dengan itu, pintu ruangan diketuk. Staf restoran ternyata membawakan pesanan Elric. Satu set teh manis panas dan jajanan pasar.

Lala terdiam sambil menunggu staf itu pergi. Perlahan, dia kembali duduk.

Sepeninggalan staf tadi, Lala langsung menunduk. “Maaf, Pak! Saya tertekan karena kejadian ini.”

Suasana hening sejenak. Lala dan Elric tak berbicara.

“La, semua trik yang dilakukan kakak saya sasarannya adalah saya.” Elric membuka penjelasan. “Saya hanya bisa mohon maaf. Tidak seharusnya kamu terlibat dalam urusan ini.”

Lala tak membalas. Dia sibuk menangis dan membersihkan hidungnya.

“Lala.” Elric memanggil lagi, kali ini suaranya terdengar teduh.

Lala sampai mendongak, penasaran dengan wajah seperti apa Elric memanggilnya barusan. “Ya, Pak?”

“Saya sudah mempertimbangkan ini beberapa hari belakangan.” Elric menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, “Bagaimana jika kita menikah saja?”

Mendengar apa yang diusulkan Elric, Lala tertegun. “Ha?”

Seolah otaknya selesai mencerna ucapan Elric, Lala memekik lagi. “Ha?! Menikah?! Bapak kira menikah itu main-main, Pak?”

Elric menatap Lala. Dia kembali menarik nafas dan menghembuskannya lagi perlahan.

“Ini bentuk tanggung jawab saya pribadi terhadap kamu, Lala. Saya juga tidak main-main dengan pernikahan.”

Lala tertunduk, alisnya bertaut kebingungan. Ia tidak pernah membayangkan ada pilihan seperti ini dalam pikirannya.

Hatinya melemah.

Lala mengangkat kepala lagi dan memberi pertimbangan lain. “Tapi Bapak kan sudah punya istri. Bagaimana nanti reaksi istri Bapak?”

Elric terdiam sejenak. Dia berusaha mencari alasan.

‘Istriku nggak tahu tentang hal ini. Tapi pikirkan itu nanti. Aku cuma ingin menghapus rasa bersalah yang menghantui,’ batin Elric.

Lala menghela napas. Jelas usulan Elric tak berdasar menurutnya. ‘Pasti cuma buat nenangin aku aja.’

Namun, Elric berkata lagi. Berdusta.

“Istri pertama saya sudah setuju. Saya ingin menikah denganmu tapi secara rahasia.”

“Ha?! Beneran?!” Lala semakin bingung.

Keduanya terdiam sesaat. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada ucapan yang keluar baik dari mulut Lala maupun Elric.

Kepala Lala semakin terasa pusing dibuatnya. Dia ingin melupakan semua kecelakaan yang menimpa dirinya dengan Elric, tapi sepertinya malah terseret semakin dalam.

“Tapi, Pak, kalau sampai hal ini diketahui banyak orang—”

“Makanya itu.” Elric memotong ucapan Lala. “Saya bilang pernikahan ini harus dilakukan dengan rahasia.”

Elric kembali menghela napas. Dia akhirnya merasa cukup tenang untuk menyesap teh panas di dalam cangkirnya.

“Ini jalan terbaik, La. Kita tahu, malam itu membuatmu luka.” Elric menambahkan lagi.

‘Apa iya? Menikah adalah jalan yang tepat? Gue nggak tahu juga apa ada efek dari peristiwa itu buat rahim gue,’ batin Lala.

Pikiran Lala masih bertentangan di dalam kepalanya sendiri. Dia memikirkan segala kemungkinan terburuk.

“Bapak yakin? Menikahi saya?”

Elric, tentu saja tidak yakin. Dia harus bisa menutupi semua ini dari pandangan keluarganya. Bukan hal mudah.

Namun, hanya itu yang bisa Elric berikan untuk meringankan luka hati Lala.

“Tentu saja, Lala,” jawab Elric. “Jadi? Bagaimana?”

Pada akhirnya, Lala sampai pada keputusan bulat. “I—iya, Pak. Saya … setuju. Mungkin.”

Elric tersenyum lega mendengar keputusan itu.

“Supaya nggak ada yang tau, sebaiknya diadakan di desamu. Gimana?”

Sambil mengatakan itu, Elric membuka ponselnya dan mengecek jadwal sepanjang tahun.

Akan ada liburan semester beberapa minggu lagi.

Namun, Lala sedikit ragu. Tanpa sadar dia menggigit bibirnya.

“Apa nggak bisa jika di kota ini aja, Pak? Di desa saya fasilitas kurang memadai.”

Elric menggelengkan kepalanya. “Kamu mau semua orang tahu? Teman kuliah? Dosen?”

‘Ah! Benar juga. Bisa-bisa aku dicap sebagai mahasiswa yang cari nilai dengan menggoda dosen.’ Lala berpikir ulang. ’Sudahlah setuju saja.’

Elric menyesap tehnya untuk terakhir kali. Tanda percakapan mereka sudah sampai di tahap akhir.

“Lala, jangan sampai keluarga dan orang-orang di tempat tinggalmu tahu kalau kamu jadi istri kedua.” Elric memberi arahan.

Kalimat itu semakin membuat Lala pusing. Satu lagi beban yang harus ada di hidupnya.

“Saya paham, Pak,” ujar Lala pasrah. “Lalu, kapan Bapak berencana menemui keluarga saya?”

“Saya akan datang melamar dan menemui keluargamu saat libur semester tahun ini,” ujar Elric yang sudah menandai kalender di ponselnya.

Lala mengangguk. Dia kemudian meminum habis teh yang sudah mulai dingin itu. Seolah menjadi media baginya untuk tidak lagi ragu.

“Kalau begitu, saya tunggu kedatangan Pak Elric.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 7. Apa yang Kuharapkan?

    “La, udah ada yang jemput tuh di depan,” terdengar suara Murinah memanggil Lala. Lala terus menghembuskan napas panjang lewat mulutnya. Dia melihat penampilannya lagi di kaca lemari yang sudah buram itu. “Iya, bentar, Bu,” sahut Lala. Mata Lala berusaha memastikan jika penampilannya rapi. Ada drama yang harus diperankan lagi hari ini. ‘Harus bersikap senatural mungkin di depan Ibu. Tapi, jujur gue juga deg-degan mau keluar sama Pak Elric,’ batin Lala. Lala keluar dari kamar. Dia sudah berpakaian rapi dengan blus warna biru muda. Cincin lamaran dari Elric sudah dikenakan di jari tangannya. “Ayo, cepetan! Kau jangan buat calonmu nungguin,” Murinah menarik tangan Lala. Nampak Elric sudah berdiri di depan halaman rumah Lala. Sorot matanya dingin, senyumnya seolah dipaksakan. Lala bisa merasakan hal itu dalam sekali tatap. “Kami pergi dulu, Bu. Mungkin sore hari baru kembali,” Elric meminta izin membawa Lala. “Iya, titip Lala ya,” sahut Murinah singkat. Elric han

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 6. Setuju atau Tidak?

    Murinah memandang Elric dengan tatapan tajam. “Secepat itu?” Suasana hening. Murinah berusaha mencerna kenyataan yang ada di hadapannya. Sebagai seorang ibu tentu dia ingin putrinya cepat menikah. Tapi sungguh, ini terlalu dadakan. “Kenapa cepat banget?” Murinah mengulang pertanyaannya. Lala kembali berdebar. “Bu, Lala kan udah bilang. Pak Elric mau serius jadi tolong kasih restu.”“Kau tahu nikah itu kayak apa? Nikah itu tanggung jawab, La. Ibu nggak pengen kau dapat yang orang sembarangan meskipun kaya,” Murinah menasehati Lala.“Izin bicara, Bu,” Bayu, asisten Elric meminta izin bicara. “Pak Bos saya ini dosen pembimbing proyek penelitian Non Lala. Beliau sudah kenal Non Lala sejak lama. Beliau hanya ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius tidak ada niat lain.”Elric menatap ke arah Bayu. Seolah memberi tanda jika itu hal yang ingin dia ungkapkan. Bayu menatap balik ke arah Elric dengan gelengan pelan kecil. Seolah menyuruh melanjutkan pembicaraan. Elric menghela napas. “

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 5. Orang Dari Kota

    “Wah, Bu Mur! Ada orang kaya raya cari Lala!” “Dari kota katanya. Pasti mukanya ganteng!” “Lala hebat banget nih!” Karena desa kecil, berita seperti itu tersebar dengan cepat. banyak orang mulai berkerumun di dekat rumah Lala. Semua tetangga sibuk mempertanyakan siapa gerangan orang kaya dari kota itu. Padahal belum bertemu, tetapi mereka sudah menebak sembarangan. Murinah hanya tersenyum menanggapi mereka. Dia terus berjalan menuju ke rumah Pak Kades. Tangan Lala digandeng erat. “Kamu nggak bikin masalah kan, La?!” bisik Murinah. Lala menggeleng sambil menatap Murinah. “Nggak, Bu. Lala nggak pernah bikin masalah sama siapa pun!” Jantung Lala berdebar. Dia sendiri juga khawatir hal buruk akan menimpanya lagi. ‘Kalau orang kota yang datang itu ternyata suruhan Pak Rino, habislah gue! Bisa aja gue diculik,’ batin Lala. Nampak rumah besar dengan pendopo kayu di halaman depan. Itu adalah rumah kepala Desa Pandan Wangi, Bapak Tresna Wibawa. “Budhe, yang nyari Mbak Lala

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 4. Rahasia Tetap Rahasia

    “Duh! Gimana caranya ngasih tau Ibu ya?” Liburan semester tiba. Sesuai rencana, Lala pulang lebih dulu ke Desa Pandan Wangi. Hari ini sudah hari ketiga semenjak kepulangannya. Dia masih belum tahu bagaimana memberitahu sang ibu terkait pernikahannya dengan Elric. Lala melangkah mondar-mandir di kamarnya yang masih berlantai tanah. Gelisah. Tanpa sadar, dia menggigit kuku di ibu jari tangan kanannya. Lagi, Lala bermonolog pelan, “Pak Elric juga belum ngabarin mau datang kapan. Katanya baru ada acara penting.” Dia mencoba merangkai kata di dalam kepalanya dan memikirkan kemungkinan reaksi sang ibu. “Oke. Yang penting jangan sampai gue bahas soal jadi istri kedua. Tinggal bilang kalo gue bakal nikah.” Merasa sudah mantap dengan skenario yang disusun, Lala membaringkan dirinya di atas dipan kayu itu. Nampak sebuah kertas tertempel di dinding, berisikan catatan impian gadis muda itu. “Nikah muda dan jadi istri kedua nggak ada dalam list ini,” gumam Lala sedikit kecewa. “Padahal

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 3. Aku Sudah Hancur

    “Ngomong apaan, La?!” Rosi kembali tak yakin dengan kondisi Lala. Dia beberapa kali melihat Lala bicara sendiri. “Kayaknya bener. Lo musti istirahat! Lo jadi suka ngomong sendiri deh!” Lala menatap Rosi kemudian cemberut. “Apa gue keliatan kayak orang gila, Ros?” “Ya … nggak juga. Cuma kayak orang stres.” Rosi menjawab jujur. “Kenapa? Berat kerjaan di Hima?” Lala terdiam. Dia berharap itulah alasan stresnya saat ini. Sayang, yang membuat dirinya terlihat seperti orang sakit jiwa, bukan hal remeh seperti beban kuliah atau organisasi. Karena ini tentang harga dirinya sebagai seorang wanita utuh. Namun, tidak mungkin juga dia membuka aib itu pada Rosi. Dia tidak tahu akan seperti apa reaksi Rosi kalau tahu. “Paling gue kecapekan kali ya.” Lala menutupi beban sesungguhnya. “Nah! Itu paham!” tukas Rosi. “Mendingan buruan ke sekre, terus kita balik kos. Gimana?” Lala mengangguk setuju. “Oke deh!” Baru saja mereka mulai melangkah meninggalkan area dosen, ponsel Lala bergetar

  • Istri Kedua Dosen Dingin    Bab 2. Ayah atau Harta

    “Mau kamu apa, Rino?!” tanya Elric. Ajudan Rino membawakan sebuah tablet. Sebuah video panas Elric dan Lala diputar di layar tablet itu. “Astaga!” teriak Lala. Dia tak tahu jika malam panasnya itu direkam. Netra Elric membulat seketika. Ia tidak menyangka kalau Rino merekam semua yang terjadi semalam. Rino tersenyum seolah mengejek. “Ini!” Rino menunjukkan kertas itu tepat di depan wajah Elric. Elric memicingkan mata, mencoba mencari tahu apa yang tertera di kertas tersebut. Spontan, netra Elric membulat setelah mengetahui kemauan Rino. “Kamu mau aku mundur dari jabatanku?! Dan nolak jadi pewaris?” Elric menatap Rino tajam. Rino mengangguk. Tangannya memegang tablet yang masih memutar video panas itu. “Gampang kan? Apa kamu lebih suka kalau kesehatan Papa memburuk?” ancam Rino lagi. Matanya menatap tajam Elric. Tablet itu didekatkan ke arah wajah Elric. “Bayangin reaksi Papa kalo lihat pemandangan panas ini tersebar di seluruh kota. Dia pasti lebih cepat masuk lian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status