Share

Bab 5

Annabelle memutuskan untuk tidak membahas masalah tarif dengan Samuel, tapi dia juga tak menolak saat pria itu mengajaknya ke klub malam D'Grey— yang memiliki playlist lagu ala club Crown Kota Jakarta.

Seperti biasa, Annabelle kerap menolak saat dirinya ditawari bir atau minuman beralkohol lain. Bukannya sok suci, tetapi dia memang tak suka minuman beralkohol. Lagian Annabelle juga tak tahu seberapa tinggi tubuhnya memiliki kadar toleransi pada alkohol.

Di samping itu, hanya dengan merokok saja wanita itu sudah dicap sebagai 'neng bengal' oleh keluarga besarnya yang katanya maha benar—dan si ahli menghakimi.

Jadi, Annabelle tak bisa membayangkan apa yang bakalan terjadi kalau semua orang tahu, bahwa selain jadi pembantu rumah tangga, Annabelle nekat mengambil tawaran nyanyi, bahkan jika sangat terdesak, sesekali dia menjadi 'Kembang Latar/Pelacur'.

"Terus kamu mau minum apa?" tanya Samuel saat mereka duduk pada deretan kursi tinggi di depan mini bar.

Ketika Samuel memutar kursi agar berhadapan dengan Annabelle, wanita itu sedikit mencondongkan tubuh setelah memastikan bahwa bartender tak mungkin mendengarkan percakapan mereka.

Mungkin Annabelle tak sadar kalau suara musik dalam klub itu sangat memekakan telinga, sehingga dia berbicara dengan berbisik-bisik.

"Ngomong apaan sih, Anna?" Samuel terkekeh geli saat wanita itu membisikkan minuman yang dia inginkan. "Nggak kedengaran tau."

"Masa nggak kedengaran?" Annabelle menggerutu, tak sadar kalau suaranya kini sedikit tinggi. "Annabelle bilang pengen minum buavita rasa leci. Kayaknya seger. Tapi kalau nggak ada buavita, susu ultra rasa stroberi juga nggak apa-apa."

"Susah emang kalau kencan sama anak-anak." Samuel tertawa hingga nyaris terpingkal-pingkal. "Mana ada minuman kayak gitu di tempat ginian, Anna?"

"Atuh kan tadi si Om yang nawarin aku mau minum apaan?" Annabelle mendengkus kesal, ekspresinya sedikit murung saat mendengar Samuel menyebutnya anak-anak.

Jadi, dia berkata dengan bersungguh-sungguh, "Ngomong-ngomong, usiaku dua puluh satu, Om. Hanya karena nggak suka minum alkohol, atau karena yang dimintanya susu, bukan berarti Annabelle masih anak-anak. Lagian aku pernah nikah dan berumah tangga, berarti udah jelas kalau aku bukan anak-anak!"

Samuel memberingis ngeri melihat Annabelle memasang ekspresi sinis. Biasanya, Samuel tak suka jika wanita yang dia bersamanya memberikan ekspresi tak bersahabat.

Namun, entah mengapa dia justru tertawa mendengar kalimat protes yang dilontarkan Annabelle, terutama saat mengetahui berapa usia wanita itu.

"Tapi kamu memang masih anak-anak kalo dibanding aku." Samuel terkekeh sambil mengacak-acak rambut wanita yang mengaku dirinya bukan bocah itu. "Kalau kamu memang berusia dua puluh satu, artinya saat kamu lahir, kayaknya aku udah mau lulus SMA. Yang artinya lagi, perbedaan usia kita bahkan lebih dari lima belas tahun."

"Oh, pantesan aku lebih nyaman manggil dengan sebutan Om dari pada manggil nama," seru Annabelle dengan ceria. "Emang usia Om berapa?"

Baiklah, satu hal lagi yang membuat Samuel tertawa. Sangat jarang orang dewasa menanyakan usia secara blak-blakan. Memang, usia bukan hal yang perlu dirahasiakan.

Namun, memang sah-sah saja jika ada orang yang tidak mau memublikasikan usianya pada orang lain, kecuali bila diperlukan.

Jadi, menurut Samuel, alangkah baiknya jika memang tidak diperlukan, maka tidak perlu menanyakan umur pada orang lain, khususnya pada orang yang tidak terlalu dekat.

Hanya saja, entah mengapa dia merasa tidak tersinggung, toh Annabelle memang berbicara sangat terbuka, dan faktanya sikap kekanakannya tak bisa disembunyikan. Namun, entah mengapa hal itu menjadi daya tarik tersendiri bagi Samuel.

"Tiga puluh delapan tahun." Samuel berbicara sambil mengambil sebungkus rokok dan pemantik dari saku jaket. Tak lama kemudian, sebatang rokok yang menyala sudah berada di antara jemarinya. "Kamu tungguin bentar, ya?"

"Mau ke mana?" tanya Annabelle, refleks ikut turun dari kursi tinggi dan berdiri di hadapan Samuel. "Ikut atuh."

"Bentaran, jawab telepon doang." Samuel mengedikkan kepala, menginstruksikan agar Annabelle kembali duduk.

Namun, wanita itu malah murung, tampaknya terlalu takut ditinggal sendirian di tempat asing yang kebanyakan penghuninya adalah orang-orang yang sudah hanyut oleh alkohol, mereka menari-nari mengikuti irama musik yang memekakkan telinga.

Ketika Samuel akan melangkah, Annabelle menarik ujung jaket bagian belakang pria itu sambil mengikuti dan memekik, "Om, Annabelle takut dideketin orang mabuk, ih!"

Akhirnya Samuel menahan umpatan dan menoleh, lalu menyadari bahwa manik mata Annabelle memang memancarkan ketakutan seperti anak-anak.

Akhirnya Samuel merangkul pinggang Annabelle, menyuruhnya kembali duduk di kursi tinggi.

"Istriku nelpon. Kamu tungguin bentar, karena di sini terlalu berisik untuk menjawab telepon," kata Samuel sambil mengecup pipi Annabelle. Dia menoleh pada dua pria yang menari di dekat sound system besar di sudut ruangan. "Dia karyawanku, kalau ada apa-apa, kamu panggil dia. Aku keluar nggak sampe lima menit, kok."

Annabelle sebenarnya ingin protes, ingin mengatakan pada Samuel, untuk apa dia membawanya ke tempat seperti itu jika akhirnya ditinggalkan?

Namun, ketika Samuel menyebutkan kata 'istriku' dengan nada serba salah, mau tak mau Annabelle hanya menelan keluhannya.

Berupaya melipat ketakutan akan adanya gangguan dari para pria yang mabuk, Annabelle menyalakan sebatang rokok dan memusatkan fokusnya pada game tetris dalam blackberry-nya. Memilih berpura-pura tuli saat beberapa pria bersiul, memanggilnya untuk bergabung menari dengan mereka.

Oh, Annabelle memang bukan wanita baik-baik. Namun, keberadaannya di tempat seperti itu, meski tak memakai pakaian terbuka, tetapi tetap saja dia merasa sangat buruk.

Beberapa menit berlalu, dua batang rokok sudah habis, dan game tetris yang dimainkan Annabelle sudah mencapai level 11. Namun, Samuel masih belum kunjung muncul, dan hal itu membuat degup jantung Annabelle berdentam-dentam ketakutan.

Akhirnya Annabelle mendongak dan menatap ke arah pintu, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang hiruk pikuk. Berupaya melakukan apa saja agar dia tak begitu takut, tetapi yang ada justru dia dikenali oleh seorang pria yang berada di kerumunan orang tersebut.

Annabelle tak bisa mengingat siapa pria yang kini melambaikan tangan dan menghampirinya, tetapi kemudian pria itu duduk dan memperkenalkan diri, yang katanya beliau adalah orang yang pernah membooking Annabelle beberapa minggu lalu.

Ah, memang bukan gagasan bagus untuk mengingat salah satu pelanggannya. Karena hal itu hanya membuat Annabelle semakin teringat berapa banyak dosa yang sudah dia timbun.

Meski begitu, Annabelle tetap menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan pria itu. Sesekali dia tertawa dipaksakan, meski dalam hatinya bertanya-tanya kapan Samuel kembali.

Ketakutan Annabelle semakin menjadi saat pria yang mengaku sebagai tamunya itu ingin tidur dengannya. Sadar bahwa dia datang ke sana bukan untuk menjajakan tubuh, tentu saja Annabelle menolak gagasan pria itu.

Namun, pria itu tampaknya sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Dia menarik tangan Annabelle hingga wanita itu terpaksa turun dari kursinya.

"Kang, maaf, aku dateng ke sini bukan untuk nglayanin tamu," kata Annabelle sambil berupaya menarik tangannya dari genggaman pria itu.

"Ah, nggak usah pura-pura dan jual mahal deh, Anna." Pria itu kembali menyambar pergelangan Annabelle. "Kerjaannya lonte udah pasti nyari tamu berkantong tebal. Udahlah, daripada nyari tamu nggak jelas, mending layani aku sampai—"

Ucapan pria itu terputus ketika seseorang dari belakang menepuk pundaknya hingga dia menoleh, lalu sebuah tinjauan melayang di pipi kirinya. Mau tak mau dia terhuyung dan melepaskan cengkramannya dari tangan Annabelle.

"Nggak usah bikin onar kalau lagi di tempat hiburan!"

Samuel menggeram jengkel saat melihat pria mabuk itu terhuyung dan dibantu beberapa orang untuk berdiri, sementara dia langsung menarik Annabelle ke dalam pelukan. "Kamu nggak apa-apa kan, Anna?"

Sebelum Annabelle sempat menjawab, pria mabuk itu tampaknya tak terima dengan perlakuan Samuel. Dia berdiri tak stabil sambil berkacak pinggang dan berkata, "Siapa yang buat onar? Kamu datang-datang langsung main pukul orang sembarangan dan main ambil pacarku!"

Wajah Samuel mengeras dan menoleh pada Annabelle, tetapi wanita itu langsung menggeleng cepat dan menyanggah, "Annabelle pernah ketemu dia sekali, dia bukan pacarku. Beneran."

"Iya, kamu bukan pacarku," pria itu membenarkan. "Tapi malam itu kan kamu layani aku, Annabelle? Aku cuma mau berbaik hati, daripada kamu ngelonte dan nyari tamu di tempat kaya gini, mending aku make kamu lagi malem ini. Eh, ini pria sok jagoan tiba-tiba datang dan main nyosor dan ngambil kamu! Siapa lu, sialan?"

Baiklah, Samuel belum sepenuhnya mabuk. Dan dia tak ingin menghabiskan lebih banyak energi untuk menghadapi pria itu, karena dari bicaranya yang tak keruan saja Samuel tahu pria itu benar-benar sudah mabuk.

Namun, ketika Samuel akan mengajak Annabelle keluar, pria itu kembali menarik tangan Annabelle—seolah begitu percaya diri bahwa dia yang membawa Annabelle ke tempat tersebut. Bahkan, meski beberapa orang mencoba mengendalikan pria itu, tetapi dia tetap saja berteriak, "Ayolah, Annabelle … dompetku lagi tebel. Aku baru gajian dan bisa bayar kamu semalaman."

Samuel tak ingin menggubris, tetapi pria mabuk itu benar-benar berhasil menyulut emosinya, dan dia ingin marah saat pria itu lagi-lagi membahas kata lonte yang dilontarkan pada Annabelle dengan suara keras. Memang, dia tak memungkiri bahwa Annabelle memang wanita malam—bahkan dirinya sendiri pun bertemu dengan cara seperti itu.

Namun, saat melihat Annabelle menggigit bibir sementara manik matanya tampak terluka, ada rasa nyeri yang mencuat di hati Samuel. Akhirnya dia menarik tangan Annabelle keluar, sementara beberapa orang mengamankan orang mabuk itu agar tak lagi berbuat onar.

"Aku mau pulang." Tiga kata itu yang diucapkan Annabelle ketika mereka baru saja keluar dari klub dan berjalan menuju parkiran.

Air wajah Samuel berubah masam dan tak sedap dipandang, terutama ketika Annabelle menyentak lepas tangannya dari genggaman pria itu.

"Kamu marah?"

Itu bukan terdengar seperti pertanyaan, tetapi sebuah teguran galak yang membuat Annabelle mengerutkan dahi.

"Nggak ada alasan buat marah," kata Annabelle datar. "Mana boleh aku marah sama suami orang?"

Tentu saja dia tidak berani mengakui bahwa dia memang benar-benar marah pada Samuel. Walaupun dia memang kesal karena Samuel meninggalkannya selama hampir lima belas menit dalam klub, tetapi dia yakin pria itu tidak akan peduli padanya 'kan?

Annabelle yakin, pria itu hanya tahu bahwa Annabelle harus menemaninya malam ini, dan sudah dapat dipastikan Samuel tak akan peduli bahwa dia terluka oleh perlakuan dan ucapan pria mabuk barusan.

"Bisa nggak ngomongnya yang rada enakan dikit?" gerutu Samuel sambil menyambar tangan Annabelle kembali, lalu menarik paksa wanita itu agar masuk mobil. "Aku ngajak kamu ketemu karena aku kangen. Kamu ngerti nggak?"

"Kalau kangen, kenapa bawa aku ke tempat kayak gini?" Annabelle menggerutu setelah Samuel mengitari mobil dan masuk ke kursi di balik kemudi.

Selanjutnya, Annabelle tak bisa menahan diri saat mengingat apa yang diucapkan pria mabuk itu saat menggodanya.

"Kayaknya seneng banget nunjukin sama orang-orang kalau aku ini lonte!" Annabelle menelan ludah dengan susah payah setelah melontarkan kalimatnya.

Samuel menoleh dan menatap kesal mendengar kalimat Annabelle yang penuh sindiran.

"Kamu pikir aku sengaja ngelakuin itu?" tanya Samuel galak. "Picik banget otak kamu? Kalau aku tau kamu bakal dibikin malu, aku juga nggak mungkin ngajak kamu ke tempat kayak gini. Yang jelas, aku cuma mau lebih lama sama kamu, nggak melulu ngabisin waktu di tempat tidur terus kamu buru-buru pulang. Kamu paham nggak sih perasaanku, Anna?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status