Share

Bab 6

Alih-alih mengerti dan memahami pengakuan Samuel yang blak-blakan, Annabelle justru merasa bulu kuduknya meremang dan bergidik ngeri setelah mendengar kalimat yang dilontarkan Samuel dengan jelas dan tegas.

Baiklah, beberapa saat lalu Annabelle memang mengatakan dirinya bukan anak-anak. Namun, sekarang dia tak cukup dewasa untuk bisa mengerti dan mencerna kata-kata Samuel.

Bagaimana mungkin seorang pria yang baru saja menjawab panggilan dari istrinya, lalu di detik berikutnya bisa dengan begitu mudah minta dimengerti perasaannya oleh wanita lain?

Butuh upaya keras bagi Annabelle untuk mencari jawaban itu, tetapi otaknya terlalu terbatas, dan dia kesulitan memahami pria yang jelas-jelas jauh lebih tua daripada dirinya itu.

Terlebih lagi, mereka baru saja bertemu satu kali. Jadi, menurut Annabelle, terlalu prematur jika dia harus memahami perasaan Samuel.

"Lebih baik kita nggak usah ketemu lagi." Akhirnya Annabelle kembali menemukan suaranya, dan hal itu berhasil membuat Samuel yang tengah memanuver persneling mobilnya tertohok dan seketika menatap Annabelle dengan tak habis pikir.

Alih-alih melajukan mobil dan keluar dari parkiran klub, Samuel justru mengembuskan napas kasar. Annabelle yang duduk menatap keluar jendela langsung terperanjat saat pria itu tiba-tiba mencondongkan tubuh ke arahnya, memaksa Annabelle agar menoleh dan seketika memagut bibirnya dengan posesif.

Annabelle bisa merasakan napas Samuel begitu memburu, seperti seseorang yang dikuasai emosi—dan begitu juga bibir Samuel menguasai bibir Annabelle. Sangat rakus dan penuh dahaga. Annabelle berupaya mendorong bahu Samuel, tetapi pria itu tak berniat melepaskan pagutannya yang semakin intens.

Samuel menahan kedua bahu Annabelle agar tak melawan, sementara bibirnya terus mengulum bibir Annabelle hingga wanita itu kesulitan bernapas. Samuel baru menghentikan ciumannya saat menyadari pipi Annabelle basah, sementara kedua mata wanita itu terpejam rapat.

"Annabelle," bisikan Samuel terdengar parau saat mengecup pipi Annabelle, kemudikan menyadari tubuh wanita itu menggigil sehingga Samuel langsung menyalakan lampu kabin.

Pria itu melipat kekhawatiran saat menyadari wajah Annabelle berubah pucat. Wanita itu tak membuka mulut atau berkomentar sepatah kata pun, tetapi air matanya terus bercucuran—meski Annabelle sendiri berupaya menghentikan tangisnya.

Annabelle tak tahu kenapa insiden yang terjadi lebih dari tujuh tahun lalu itu tiba-tiba muncul dalam benaknya, tepat ketika Samuel menciumnya dengan agresif. Sekujur tubuh Annabelle terasa nyeri saat mengingat apa yang dia alami saat itu.

Seharusnya dia sudah bisa melupakan kejadian terpahit dalam hidupnya, mengingat dia masih hidup dan bertahan hingga saat ini. Namun, ketika menyadari di sanalah titik kehancuran dalam kehidupan Annabelle, rasanya sampai mati pun dia tak bisa terima mengingat tak ada hal baik yang dia rasakan setelah insiden itu.

"Maaf," kata Samuel, menyadari bahwa wanita itu tampaknya benar-benar terkejut dan ketakutan dengan tindakannya. "Aku cuma nggak bisa ngontrol emosi waktu kamu bilang nggak mau ketemu lagi. Seminggu ini aku bener-bener kangen kamu, Annabelle."

Samuel menjauhkan tubuhnya dari Annabelle, menyambar kotak tisu dari atas dashboard, lalu meletakkan di atas paha Annabelle, sementara dia menarik beberapa lembar tisu dan menyeka air mata wanita itu.

"Om Samuel," kata Annabelle sengau, sementara pria itu masih berupaya mengeringkan air mata di pipinya. "Aku … a-aku harus ngasih tau sesuatu. Aku mau bicara serius, tapi aku mau makan dulu."

Samuel tak tahu apakah dia harus panik atau tertawa mendengar ucapan Annabelle, dan dia tak bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya dipikirkan wanita itu.

Namun, Samuel tak membuang-buang waktu lagi saat mendengar Annabelle ingin makan. Samuel mematikan lampu kabin, manuver-manuver yang dilakukannya tampak sedikit lebih rileks saat menyadari bahwa Annabelle tidak marah, atau berusaha meminta pulang.

"Mau makan apa?" tanya Samuel dengan nada rendah saat mobil memasuki jalan raya, dan karena terlalu fokus mengemudi, dia tak menyadari bahwa Annabelle tengah memerhatikannya.

Annabelle masih memikirkan setiap kata-kata Samuel, terutama kelakuan Samuel yang menciumnya dengan cara tak terduga.

Memang, Annabelle bukan seorang gadis atau wanita polos yang tak pernah dicium. Dia janda, dan dia tahu banyak hal—meski usianya baru menginjak dua puluh satu tahun.

Namun, dia baru pertama kali bertemu dengan pria aneh seperti Samuel—yang menciumnya dengan kasar seolah sedang meluapkan kekesalan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Bubur ayam," kata Annabelle singkat sambil kembali menarik perhatiannya dari memerhatikan Samuel.

Samuel memberingis geli saat berkomentar, "Minumnya susu ultra rasa stroberi, makanannya bubur ayam. Oke, kamu bukan anak-anak. Tapi gadis yang unik. Ngomong-ngomong, di mana nyari bubur jam segini? Aku nggak suka bubur, dan ini udah hampir subuh, Annabelle."

Alis Annabelle yang tebal natural sedikit bertautan.

"Aku janda, bukan gadis," sahut Annabelle datar. "Di pertigaan itu ada bubur ayam Cianjur yang buka 24 jam."

"Janda rasa gadis," gumam Samuel pelan. "Nggak usah bahas-bahas status kayak gitu, Annabelle. Orang juga nggak akan tau kalau kamu udah pernah nikah. Badan kamu kecil, persis anak remaja, apalagi kalau kamu berpenampilan santai kayak—"

"Itu mah lebay namanya, Om," pungkas Annabelle, tetapi dia tak bisa untuk tidak merasa tersipu oleh pujian Samuel—meski dia tahu pujian yang diucapkannya terlalu berlebihan. "Bukan mau bahas, tapi cuma ngingetin kalau aku bukan gadis. Barusan kan Om bilang aku gadis unik, cuma—"

"Annabelle, Annabelle …" Samuel tertawa saat menghentikan kalimat wanita itu, tetapi raut wajahnya berubah serius saat melanjutkan, "Ada yang salah dengan nada bicaramu. Kamu terlalu berkecil hati karena statusmu ini. Tapi, seharusnya kamu bersyukur, dibandingkan para gadis yang tak bisa mempertahankan kegadisannya dan mengaku paling suci, padahal kelakuannya lebih murahan dari seorang janda, bahkan lont* sekalipun."

Annabelle tertegun mendengar kalimat Samuel yang penuh penegasan. Baiklah, satu hal lagi yang membuat hati Annabelle terasa nyeri dan dia bertanya-tanya, apakah kesucian dari seorang gadis memang begitu penting bagi seorang pria?

Jika memang begitu, Annabelle tahu kenapa suaminya tak pernah menghargai dia—terutama dia menikah karena perjodohan.

Bukan, Annabelle bukan menyesali telah bercerai dengan mantan suaminya. Namun, sekali lagi hal itu membuatnya kembali terngiang atas insiden tahun itu.

Andai saja dia tidak mengalaminya, mungkin suami Annabelle tak akan mengungkit tentang kegadisan, dan menjadikan itu sebagai alasan hingga bisa memperbudak dan bersikap semaunya kan?

Bahkan, itu juga kah alasan suaminya berselingkuh dengan mantan istrinya, membelenggu Annabelle dengan pernikahan paling buruk yang berjalan hampir dua tahun itu kan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status