"Aku nggak lepas tangan loh, Anna." Sekali lagi Samuel menghidu feromon—aroma tubuh khas Annabelle yang lebih senang memakai parfum bayi. "Bentar lagi, wanginya ngangenin sih.""Tapi pegel," gerutu Annabelle sambil mendorong tubuh Samuel kuat-kuat, dan berhasil membuat pria itu berguling ke samping. "Aku ikut pulang bareng, ya?"Tanpa menunggu jawaban dari Samuel, Annabelle langsung beranjak dari tempat tidur, menutupi tubuh polosnya dengan handuk dan berderap ke kamar mandi.Ketika Annabelle keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian, Samuel sudah mengenakan pakaiannya dengan lengkap, dan pria itu duduk bersandar pada sofa di depan televisi sambil memainkan ponsel, lengkap dengan sebatang rokok yang dia nikmati.Samuel mengamati Annabelle mengenakan pakaiannya semalam, gerakannya begitu cepat seolah-olah melebihi seseorang yang terlambat masuk sekolah. Untuk ukuran wanita, Annabelle tak membuang lebih banyak waktu untuk bersiap-siap. Bahkan wanita itu tak bersusah payah merias
"Widih, Annabelle … cakep bener lu dapet ikan kakap!" Juwita—teman Annabelle, berseru sambil menggeleng-gelengkan kepala saat membawa masuk Annabelle ke rumahnya, dia nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat. "Jadi, yang semalem jemput lu di villa itu Om Samuel, ya?"Annabelle mengangguk membenarkan, lalu percakapan mereka terhenti sejenak saat Juwita mencari minuman dari lemari es di dekat pintu dapur.Rumah Juwita tak begitu luas, hanya satu kamar berukuran tiga meter, ruang tamu beralaskan permadani merah yang sama besar dengan ukuran kamar tidurnya, lalu dapur kecil dan kamar mandi.Juwita pernah mengatakan bahwa rumah itu adalah bagian warisan peninggalan orang tuanya—setelah saudara-saudaranya membagi rata. Jadi, salah satu alasan kenapa Annabelle sering berkunjung ke rumah Juwita, yaitu karena Juwita pun sering meminta ditemani agar tak sendirian.Masing-masing kakaknya sudah berkeluarga, sedangkan adiknya yang paling kecil ikut dengan kakak pertamanya. Sementara Juwita send
Jauh dari Annabelle yang berada di kediaman Juwita, Samuel masih duduk malas dalam mobil yang terparkir di pelataran rumahnya yang tampak sepi, dan Samuel meyakini istrinya pasti pergi menemani Alfian sekolah.Dia tak bisa untuk tidak tergelitik saat membaca pesan balasan dari Annabelle, lalu kembali mengetik dan membalasnya lagi.To: Room 2: [Kamu lama-lama makin ngangenin. Ngomong-ngomong, tidur dulu sana. Kabarin kalau sampe sore masih di rumah Juwita, nanti aku jemput. Aku udah sampe rumah. Have a nice day, Red Cherry.]Mengingat bahwa Samuel tidak menyembunyikan statusnya sebagai seorang yang sudah beristri, dia yakin Annabelle cukup mengerti bahwa Samuel baru saja memberi kode agar Annabelle tak membalas pesannya lagi.Samuel turun dari mobil dan menutup pintu. Derap sneaker Samuel begitu santai di atas teras dengan keramik putih mengilap, melewati dua pilar tingga dan meraih kunci rumah dari saku jaket.Namun, sebelum memasukkan kunci ke lubang pintu, salah satu dari kedua daun
Samuel memutuskan kembali pulang setelah meyakini bahwa istrinya memang hanya pergi ke sekolah Alfian—tidak berbuat sesuatu yang pernah dilakukan Yunita dua tahun lalu.Sambil berupaya menekan kecurigaan yang menggelegak dalam jiwanya, Samuel kembali menunggangi motor dan memacu perlahan. Meski dia sempat tidak yakin bahwa Yunita sedang mengobrol dengan orang yang disebut sebagai ibunya teman Alfian, tetapi bisa saja Yunita memang sedang mengobrol dengan beliau melalui SMS atau telepon.Setelah tiba di rumah beberapa menit kemudian dan merasa sedikit tenang karena kecurigaannya tak terbukti, Samuel menyimpan ponselnya di atas meja rias, lalu berganti pakaian dan langsung tidur.Walau bagaimanapun, setelah terjaga dari kemarin sore, hanya tertidur satu jam pagi hari, dan berakhir dengan pergulatan luar biasa bersama Annabelle, tentu saja Samuel sekarang merasa bahwa dia benar-benar perlu tidur sejenak.Dia tak perlu bersusah payah untuk memikirkan tamu-tamu yang menyewa villa dan pengin
Yunita tersenyum malu-malu, dia memang mengaku sebagai Vita. Bukan nama palsu, tetapi diambil dari nama belakangnya—Yunita Pusvitasari."Kamu lebih tampan dari pada di foto, Mas," kata Yunita dengan senyum nakal. "Keliatan lebih muda juga.""Ah, kamu bisa aja. Biasa aja, kok," sahut Aldi enteng. "Eh, beneran aman kan kita ketemuan? Aku khawatir kamu udah ada yang punya, ntar tau-tau kita digerebek padahal aku udah jauh-jauh dateng dari Jakarta, sampe relain—""Udah tenang aja, Mas," potong Yunita buru-buru, suaranya berubah sedikit sendu. "Kan aku bilang kalau aku janda udah dua tahun. Suami dan anakku meninggal kecelakaan, makanya aku baru bisa buka hati lagi buat laki-laki lain. Aku terlalu cinta sama suamiku, sampe nggak rela gantiin posisi dia sama laki-laki lain. Tapi untungnya temenku pada ngingetin kalau aku harus bangkit dan buka hati lagi, kalau—""Jangan sedih, Vit," tukas Aldi sambil mengusap-usap bahunya. "Aku udah sering denger kamu cerita di telepon sambil nangis. Makanya
Samuel langsung menelpon sang istri, panggilan tersambung, tetapi tak kunjung dijawab. Dengan langkah malas dia mengambil rokok dari saku jaket, air wajahnya bertambah masam saat menyadari rokoknya habis."Al, Papa tolong beliin rokok dong," kata Alfian sambil mengambil dua lembar uang seratus ribuan dari dompet dan keluar dari kamar.Sambil mengunyah makanan, Alfian mengulurkan tangan untuk mengambil uang yang disodorkan papanya. "Rokok apaan, Pa? Rokok mentol mah nggak ada di warung mang Iyan.""Itu mah rokok si mama," kata Samuel. "Beliin Garpit—Gudang garam filter, satu slop. Di warung depan rumah aja, jangan jauh-jauh.""Alfian mau jajan sekalian, ya?" kata Alfian dengan mulut masih tersumpal makanan. "Tapi di warung mang Iyan di depan rumah mah nggak ada es krim. Jadi mau di warung si Ucok aja.""Kejauhan, Al," kata Samuel sambil memberengut. "Lagian di warung itu mah kamu harus nyebrang jalan raya. Ntaran aja kalo mau beli es krim mah kita supermarket. Jajan yang lain aja dulu."
"Jadi kamu nggak bisa nginep nemenin aku, Vit?"Yunita buru-buru mengenakan pakaiannya setelah melewati pergulatan luar biasa dengan Aldi untuk ketiga kalinya, dan sekarang waktu menunjukkan hampir pukul lima sore. Jadi, dia tak bisa mengulur waktu lagi, atau membuat Samuel semakin curiga. Terutama setelah tadi siang dia tak menjawab telepon dari suaminya."Nggak bisa, bapakku bisa ngamuk kalau tau aku keluyuran malem-malem." Entah untuk keberapa kalinya dia berbohong pada pria itu, hanya agar pria itu percaya bahwa dia seorang janda rumahan. "Tapi besok pagi aku dateng ke sini lagi kalau bapakku udah berangkat kerja.""Ah, aku pilih pulang aja deh kalau kamu emang nggak bisa nginep." Aldi mendesah sambil mengenakan pakaiannya yang menumpuk di sofa. "Nanti aja kalau kamu bisa nginep, aku sempetin dateng lagi ke sini."Ketika Yunita mengangguk sambil bercermin dan memulas lipstik di bibirnya, Aldi menambahkan, "Vit, serius nih aku nggak perlu ganti uang bekas bayar kamarnya?""Udah, ng
"Siapa tadi nama kakaknya?" tanya Samuel."Irwan."Begitulah jawaban singkat Anji, salah satu karyawan yang bekerja untuk Samuel —sekaligus germo yang menyediakan berbagai tipe wanita untuk tamu, atau wisatawan yang tengah berlibur atau sekedar menginap di kawasan itu.Awalnya, Samuel memanggil Anji hanya ingin bertanya di mana rumah Annabelle. Samuel memang pernah mengantarkan Annabelle pulang, tetapi dia tentu tidak tahu dengan detail di mana pastinya rumah wanita itu.Setelah Anji datang dan Samuel berpikir bagaimana menjalankan rencananya, alih-alih mendatangi rumah Annabelle, Samuel justru menyelidik karyawannya itu—mencari informasi lebih banyak tentang Annabelle. Lalu, Samuel mengetahui bahwa Anji dan Annabelle tinggal di kampung yang berdekatan. Hanya berbeda RT, tetapi tetap satu RW.Jadi, dengan sedikit sogokan dari Samuel, Anji membeberkan semua yang dia ketahui tentang Annabelle. Samuel memang mengetahui bahwa Annabelle menjadi pekerja seks komersial karena terdesak utang