Pagi ini Justin selesai dengan setelan kantor yang sudah menutupi tubuh atletisnya. Setelah kejadian menghebohkan semalam, membuatnya tak berminat untuk melanjutkan tidur di hotel itu dan memilih kembali ke rumah.
"Pagi," sapa Alice dengan senyuman manisnya, menyambut Justin yang hendak sarapan."Buang jauh-jauh senyumanmu itu," balasnya menanggapi sikap Alice yang baginya itu tak akan membuatnya luluh. Jangankan luluh, bahkan mengedarkan pandangan pada dia saja seakan membuat harinya menjadi buruk.Alice memasang wajah ketus dengan sikap Justin. "Kenapa, sih, sikapmu begitu terus padaku? Apa aku ada salah?"Justin tersenyum licik. "Masih bertanya kenapa? Perlukah aku menyebutkan satu persatu kesalahanmu?!"Alice menarik napasnya berat seolah mencoba bersabar dengan sikap buruk Justin padanya. Ini hampir satu tahun dan dirinya masih saja didinginkan oleh laki-laki ini. Bahkan laki-laki lain rela antri untuk mendapatkan dirinya, sedangkan Justin malah sebaliknya."Buka mulutmu," pintanya pada Justin sambil mengarahkan satu sendok makanan kearah mulut cowok itu.Ia sudah bersabar dari tadi, tapi sepertinya wanita seperti Alice memang tak ada matinya membuatnya merasa kesal. Dengan cepat dan kasar ia jauhkan tangan gadis itu dari hadapannya. Hingga makanan dan sendok itu berakhir di lantai.Beberapa asisten rumah tangga terlihat mengintip dari arah dapur saat mendengar suara sendok yang jatuh di lantai.Justin beranjak dari duduknya dan menatap tajam kearah Alice. "Aku sudah bilang, kan ... jangan berkelakuan seperti itu lagi padaku! Apa kamu tak mengerti, hah!? Haruskah setiap perbuatanmu padaku kukasari dulu baru paham?!" bentak Justin.Alice hanya bisa diam. Jangan berpikir ia bisa melawan Justin saat emosi begini. Pengalaman beberapa kali ia alami saat terus membantah omongan dia, mengakibatkan akhir yang begitu buruk."Maaf ...""Tiada maaf bagimu!" hardiknya.Alice sampai kaget memicingkan matanya saat mendengar bentakan itu. Laksana sambaran api yang keluar dari mulut naga. Seperti itulah perumpamaannya kalau Justin sedang marah.Dengan sengaja Justin menendang kursi hingga terhempas. Kemudian dengan cepat berlalu pergi dari sana. Kemana lagi tujuannya kalau bukan memulai rutinitasnya hari ini."Apa yang kalian lihat! Kerjakan pekerjaan kalian!" bentak Alice mendapati beberapa asisten rumah tangga yang masih mengintip.Pada orang yang ada di bawahnya, ia memang kuat. Tapi tidak jika ia sudah berhadapan dengan Justin. Kalau terus melawan, bukan tidak mungkin nyawanya ikut melayang di tangan laki-laki itu. Tapi tetap saja, kalau ia tetap diam, kapan dirinya bisa mengambil hati Justin?***Paginya selalu saja dibuat berantakan oleh wanita bernama Alice. Berharap banyak jika dia bisa enyah dalam kehidupannya, tapi tetap tak bisa.Kadang orang akan berpikir saat melihat wanita itu berada di tengah-tengah keluarganya. Ya, bagi orang yang tak tahu. Mereka akan beranggapan kalau dia adalah saudara jauh atau mungkin tetangga sebelah.Percayakah semua orang jika ia katakan kalau wanita bernama Alice itu adalah istrinya? Iya, istri. Bahkan ia sendiri saja tak percaya bisa menikah dengan wanita seperti itu. Sungguh, kalau bukan karena mamanya, sudah ia bunuh saja dia.Sebuah kejadian membuatnya terpaksa harus menikah dengan Alice. Ya, sebagai wanita dia begitu buruk dan licik ... yang dengan sengaja menjebak dirinya. Padahal bisa menolak dan menghindar, karena ia pastikan tak melakukan apapun pada dia, tapi mamanya malah memaksanya untuk menikahi Alice."Jalan, Pak!" perintahnya pada sopir."Baik, Tuan," sahutnya segera.Mobil meninggalkan area perumahan yang memang terbilang begitu elit. Tak lama berselang, mungkin baru lima menit perjalanan, tiba-tiba pandangannya tak sengaja mengarah pada sebuah benda pipih yang tergeletak begitu saja di sampingnya.Ia mengambil benda itu. Sebuah ponsel dengan case berwarna peach. Milik Alice, tentu saja tak mungkin. Bahkan ia tak pernah mengijinkan wanita itu memasuki mobilnya. Menikah, itu hanya sekadar status. Sisanya silahkan jalan masing-masing."Hana," gumamnya mengingat. Iya, ia ingat. Ponsel ini adalah milik Hana yang semalam ketinggalan di kamar hotel."Pak, kita tunda dulu ke kantornya," ujarnya pada sopir.Pagi ini jadwalnya sedikit berubah. Yap, haluannya kini mengarah ke kediaman keluarga Hana. Ayolah, ini jaman canggih. Tak harus bertanya pada si pemilik rumah untuk mengetahui alamat.Mobil terhenti di depan sebuah rumah dengan pagar setinggi dua meter yang menutupi akses masuk."Maaf, Pak ...""Biar saya yang turun dan masuk," ujar Justin menimpali perkataan sopir.Turun dari mobil, ia menghampiri satpam yang berada dibalik pagar."Hana ada, kan?" tanya Justin langsung pada satpam penjaga dibalik pagar"Maaf, Anda siapa, ya?"Ya, nama nya juga satpam, kan. Mereka nggak akan membukakan akses masuk bagi orang yang memang tak dikenal. Apalagi ini pertama kali bagi Justin berkunjung."Saya Justin, tolong bilang sama Bapak Emil kalau saya ingin ketemu," ujarnya."Sebentar," balasnya.Baru kali ini ia dibiarkan berdiri menunggu di depan pagar. Kalau bukan untuk mengembalikan ponsel milik Hana, tak akan ia lakukan hal bodoh ini. Membuat reputasinya jatuh ke dasar lautan saja. Herannya lagi, kenapa ia malah mau saja melakukan itu?Tak lama berselang, satpam kembali menghampirinya. Tapi kali ini dia langsung membukakan pagar dan mempersilahkan untuk masuk."Terimaksih," ucapnya kembali ke dalam mobil.Kini Justin, Emil dan Arini sedang berada di ruang tamu. Ketiganya masih berada dalam pikiran masing-masing. Justin yang mematut-matut keadaan di sekitarnya, sedangkan orang tuanya Hana masih memasang wajah kesal."Ehem," deheman Emil membuat pandangan Justin mengarah padanya. "Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?"Justin menatap Emil dingin, kemudian menunjukkan ponsel milik Hana yang ada di tangannya. "Mau mengembalikan benda ini pada pemiliknya," jawabnya."Tak perlu!""Apa emosi Anda sampai saat ini masih belum turun, Bapak Emil?" tanya Justin santai.Ingin marah, tapi ia harus ingat siapa Justin dan siapa dirinya. Bermasalah, bisa habis bisnisnya detik ini juga."Buang saja ponsel itu," balas Emil."Kenapa? Apa yang salah dengan benda ini?" tanya Justin balik.Emil beranjak dari posisi duduknya. "Maaf, bukannya bermaksud untuk mengusir. Tapi ada baiknya sekarang Anda pergi dari sini. Karna saya dan istri saya ada urusan," jelasnya langsung.Justin tersenyum di sudut bibirnya menaggapi perkataan Emil. Bukan berniat mengusir, tapi itu namanya mengusirnya secara langsung."Di mana Hana?" tanya Justin."Silakan pergi dari sini." Giliran Arini menambahkan.Ponsel yang tadinya berniat ia kembalikan pada Hana, kini terhempas dan berakhir di lantai dengan tragis. Hancur berkeping-keping. "Saya tanya, di mana Hana!?" Pertanyaannya tak dijawab, itu tandanya melawan.Jangan dikira dirinya orang yang sabar. Itu salah besar. Ambisinya sangat tinggi, jadi jangan mencoba melawan keinginannya.Di saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar suara benda-benda pecah yang berasal dari lantai atas. Tak lama kemudian, dua orang asisten rumah tangga juga datang sambil tergesa-gesa."Maaf, Tuan, Nyonya. Itu Non Hana di kamar lagi ngamuk-ngamku," jelasnya.Arini langsung bergegas menuju kamar putrinya."Apa-apaan itu anak," geram Emil melangkah cepat menuju lantai atas, mengikuti langkah sang istri yang sudah terlebih dahulu.Pintu dibuka oleh Arini. Apa yang pertama kali ia dapati? Yap, benar sekali ... di lantai kamar gadis itu sudah penuh dengan benda-benda yang berserakan. Mulai dari vas bunga, gelas, piring, buku, bahkan cermin pun hancur dibuatnya. Layaknya sebuah ruangan yang baru saja terkena gempa tektonik."Apa yang kamu lakukan, Hana?!" bentak Emil pada putrinya yang kini tengah menatapnya kesal."Aku nggak mau di sini terus, Pa ... aku nggak mau!" teriaknya. "Papa sama sama Mama nggak bisa ngurung aku kayak gini.""Ini hukuman buat kamu karena sudah melakukan kesalahan. Selama ini kami beri kamu kebebasan, bukan berarti bebas berhubungan layaknya gadis tak benar. Sekarang semuanya terjadi ... apa menurutmu kami akan memberikan kebebasan itu lagi?"Hana berjalan mendekat kearah papanya. "Papa kenapa, sih, nggak percaya padaku? Aku nggak pernah lakukan itu ... nggak pernah, Pa! Harusnya Papa percaya."Wajah laki-laki paruh baya itu memerah menahan emosi saat Hana terus membantahnya. Apalagi sekarang berani bicara di depannya tanpa rasa takut.'Plakkkk' Sebuah tamparan langsung mengenai pipi gadis itu. Membuatnya sampai terhempas ke lantai kamar.Menyakitkan dan kini tangannya malah tak sengaja menyentuh pecahan cermin yang berserakan di lantai. Rasa perih berusaha ia tahan saat melihat darah mulai keluar dari beberapa luka itu.Emil tak perduli dengan itu semua. Emosinya seolah memenuhi otaknya saat katanya dibantah oleh sang putri. Arini yang berniat menghampiri Hana saja, ia tahan. "Apa kamu sekarang sudah merasa dewasa dengan membantah semua perkataan Papa? Apa usia 19 tahun sudah membuktikan kalau kamu sudah bebas melakukan apapun juga!?""Apa saat seorang anak berusaha membela diri, dia akan mendapatkan perlakuan buruk seperti ini? Apa seorang Ayah yang baik akan dengan mudah menampar putrinya?!"Pertanyaan itu membuat Emil dan Arini mengarahkan pandangan ke asal sumber suara.Justin, dialah yang mereka dapati tengah berdiri dibelakang keduanya."Ini urusan keluarga saya, jadi jangan ikut campur!"Justin tak membalas perkataan Emil. Ia berjalan melewati sepasang suami istri itu dan mendekati Hana yang masih terduduk di lantai. Membantu gadis itu untuk kembali bangkit, kemudian membawa dia berdiri berhadap-hadapan dengan Emil dan Arini."Dia begini, juga karena saya. Jadi, ini juga termasuk urusan saya!"Emil marah saat Justin memegang tangan putrinya. Berniat menyingkirkan pegangan itu, tapi Justin malah menghentakkan tangannya dengan kasar."Apa yang kamu lakukan?!""Jangan menyakitinya lagi!" Emosi Justin mulai kesal dengan sikap Emil pada Hana."Dia putri saya!"Entah apa yang kini tengah dipikirkan Justin, hingga ia bisa bersikap seperti itu. Dan yang membingungkan, kenapa rasanya tak rela saja melihat perlakuan buruk Emil pada Hana. Ambisinya untuk melindungi gadis ini tiba-tiba saja meningkat. Aneh, bukan?Ia melirik kearah Hana yang memang juga berus
Hana terus berontak saat empat orang wanita sedang menyerangnya. Bagaimana tidak, mereka dengan seenaknya menanggalkan pakaiannya dan memaksanya untuk mandi. Apa-apaan banget, kan. Dikira ia anak kecil yang harus dibantuin membuka pakaian."Apa harus kami bantu mandinya, Nona?""Nggak usah!" bentaknya."Baiklah, kalau begitu kami akan menunggu di sini untuk membantu mengenakan pakaian Anda," jelas salah satu dari mereka.Hana memasang wajah kesal. "Keluar sekarang!" bentaknya meminta keempat wanita itu untuk pergi."Maaf, Nona ... Tuan meminta kami untuk menyiapkan Anda."Menyiapkan katanya? Dikira dirinya sejenis makanan cepat saji yang harus disiapkan."Keluar sekarang!" Bentakan itu kembali ia ucapkan. Dan kali ini mereka setuju dan melangkah keluar dari kamar itu.Hana menutup pintu kamar dengan kasar dan menghentak-hentakkan kakinya sambil berteriak-teriak kesetanan. Jujur saja, ini sepertinya ia sudah mulai gila. Apa-apaan laki-laki mesum itu ... membawanya dengan paksa dan seka
Justin mendekat kearah Hana. Tadi saat Alice berada di sana, dia hanya melonggarkan satu kancing kemejanya, tapi sekarang lihatlah, dia malah menanggalkan benda itu dari tubuhnya."Om, jangan melakukan apapun padaku!" teriak Hana mendorong Justin yang mendekat padanya. Bagaimana ia tak histeris dengan sikap Justin yang seperti itu."Han ... aku sudah memintamu untuk bersiap dari tadi tadi pagi dan kini sudah sore haripun kamu masih seperti ini. Apalagi kalau bukan menungguku yang harus turun tangan menyiapkanmu."Matilah ia kini. Itulah yang ada dalam pikiran Hana saat berhadapan dengan Justin. Demi apa jika sampai cowok ini bersikap aneh aneh padanya. Mana sampai buka baju lagi. Aduh, matanya sudah tak baik-baik saja saat ini.Justin menarik Hana menuju kamar mandi, meskipun gadis itu terus berteriak-teriak menolak."Jangan bilang kalau Om mau mandiin aku?" Hanya menebak."Tepat sekali," sahut Justin."Aku nggak mau! Aku bisa mandi sendiri, Om!" Teriak Hana."Telat! Kenapa saat aku s
Dalam perjalanan, Hana terus bertanya dan bertanya kemana dirinya akan dibawa. Tapi Justin seolah tak berminat untuk menjawab pertanyaannya. Jangan-jangan ini om-om mau membawanya ke tempat penjualan anak? Duh, yang benar saja kalau iya.Mobil kini berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar. Tak jauh berbeda dengan rumah milik laki laki ini. Pikiran Hana mulai berkecamuk, karena antara rasa takut dan penasaran seolah jadi satu di dalam otaknya."Ini rumah siapa, Om?" tanya Hana saat Justin memaksanya untuk turun dan masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. Padahal tinggal menjawab, apakah jawabannya begitu sulit?Sampai di dalam, ia langsung memasang ekspressi kaget. Ada beberapa orang di sana yang sedang mengarahkan pandangan padanya. Parahnya lagi, di antara mereka semua ada kedua orang tuanya juga."Loh, Mama sama Papa kok ada di sini?" tanyanya bingung.Ia memang senang bercampur haru, tapi tentu saja masih bingung dengan semua ini. Nggak mungkin, ka
Tak ingin panik, tak ingin cemas dan berharap tak ingin menghiraukan keadaan Justin. Entah kenapa rasanya kok sulit sekali ia lakukan. Bahkan rasanya seolah tak ingin beranjak sebelum dia sadarkan diri. Setidaknya ia akan ada di sini hingga Alice datang.Duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Justin, kini matanya justru memandang kearah cincin yang melingkar di jari manisnya. Kemudian beralih pada cincin yang ada di jari cowok yang belum sadarkan diri itu. Berniat menyentuh tangan dia, tapi dorongan pintu dengan kasar membuatnya tersentak kaget."Justin! Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu, sih?"Hana sampai menutup kedua telinganya saat mendengar rentetan panjang dengan volume level tinggi itu. Ya, siapa lagi yang punya mulut serombeng itu kalau bukan Alice.Kini fokus Alice beralih pada Hana dan berjalan mendekat. "Kamu ... pasti semua gara-gara kamu! Benar, kan? Apa yang kamu lakukan pada Justin?! Dasar gadis penggoda! Perusak rumah tangga orang. Harusnya kamu tak data
Justin melepaskan Hana dari pelukannya, memastikan keadaan gadis yang tiba-tiba saja membuatnya jatuh cinta. "Ada apa? Kenapa menangis? Katakan padaku, Han?" tanya Justin. Hana melepaskan tangan Justin yang bertengger di kedua pundaknya. "Om, jangan bersikap seperti ini terus padaku! Aku capek dengan masalah yang ku hadapi. Apa perlu aku bersujud di kaki mu, agar mau melepaskanku dari semua ini?!" "Melepaskan? Maksudmu melepaskan kamu dari tanganku. Begitukah?" Justin terkekeh. "Jangankan melepaskan kamu dari kehidupanku, membiarkanmu lepas dari genggamanku beberapa detik saja tak akan ku biarkan. Jadi, jangan berharap banyak untuk itu, Hana." Hana berniat pergi dari sana, tapi dengan cepat Justin kembali menarik lengan dan mendorongnya hingga jatuh ke sofa. Tak hanya itu, kini Justin mencengkeram kedua lengannya dan menindihnya. "Sudah ku katakan, kan ... kamu nggak akan pergi dan nggak akan bisa kemana-mana tanpa ijin dariku. Paham?!" "Lepasin, Om ... ini sakit," ringisnya saa
Justin sibuk di ruang kerjanya dengan setumpuk kertas dan map dihadapannya. Tak ke kantor, bukan berarti ia akan tidur-tiduran nggak jelas. Ayolah, ini adalah kebiasaan yang sudah ia lakukan semenjak lama. Jadi, tak akan ada keluhan dengan semua ini. Malah lebih heran lagi jika semua pekerjaan tak berada di sekelilingnya.Sebuah ketukan pintu membuat fokusnya buyar. Diam, tak merespon dan kembali menatap tumpukan kertas dihadapannya.Lagi, ketukan itu kini membuatnya rada kesal. Berani-beraninya orang di rumah ini merusak konsentrasinya bekerja.Beranjak dari kursi dan dengan langkah cepat berjalan menuju pintu. Ia ingin tahu, siapa pelaku dan calon korban kemarahannya kali ini.Pintu dibuka, hendak langsung emosi, tapi semua itu seolah menghilang dari niatnya saat mendapati siapa yang ada dihadapannya kini."Hana," gumamnya."Maaf aku mengganggu. Aku cuman mau nganterin ini," ujarnya menyodorkan satu gelas teh hangat pada Justin.Justin langsung menerima itu."Takutnya Om masuk angin
Setelah selesai berbenah diri, Hana turun dan berjalan menuju meja makan ... dengan tas ransel yang ia jinjing. Saat sampai, terlihat Justin sudah ada di sana, begitupun dengan Alice. Ayolah, pagi ini ia disambut tatapan menjengkelkan dari wanita itu. Kalau tak ada Justin di sini, mungkin ia akan dicekek oleh tante-tante itu.Hana tak langsung duduk, tapi malah menghampiri Justin ... berdiri dihadapan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu."Om Justin, aku ...""Jangan berpikir untuk tak sarapan," timpal Justin menyanggah perkataan Hana. "Ayo duduk dan sarapanmu," perintahnya seakan tahu saja niat Hana.Jujur saja, ia tak nyaman berada di sini. Apalagi dengan adanya Alice, seolah ia sedang dihadapkan dengan orang yang paling membencinya di dunia. Ya, pada kenyataannya memang begitu.Hana duduk di kursi yang ada di sebelah Justin dan mulai menikmati sarapan yang sudah tersedia. Diam, bahkan ia tak melemparkan pandangan ke arah Alice ataupun Justin sedikitpun. Ingin menghabiskan