Share

BAB : 4

Pagi ini Justin selesai dengan setelan kantor yang sudah menutupi tubuh atletisnya. Setelah kejadian menghebohkan semalam, membuatnya tak berminat untuk melanjutkan tidur di hotel itu dan memilih kembali ke rumah.

"Pagi," sapa Alice dengan senyuman manisnya, menyambut Justin yang hendak sarapan.

"Buang jauh-jauh senyumanmu itu," balasnya menanggapi sikap Alice yang baginya itu tak akan membuatnya luluh. Jangankan luluh, bahkan mengedarkan pandangan pada dia saja seakan membuat harinya menjadi buruk.

Alice memasang wajah ketus dengan sikap Justin. "Kenapa, sih, sikapmu begitu terus padaku? Apa aku ada salah?"

Justin tersenyum licik. "Masih bertanya kenapa? Perlukah aku menyebutkan satu persatu kesalahanmu?!"

Alice menarik napasnya berat seolah mencoba bersabar dengan sikap buruk Justin padanya. Ini hampir satu tahun dan dirinya masih saja didinginkan oleh laki-laki ini. Bahkan laki-laki lain rela antri untuk mendapatkan dirinya, sedangkan Justin malah sebaliknya.

"Buka mulutmu," pintanya pada Justin sambil mengarahkan satu sendok makanan kearah mulut cowok itu.

Ia sudah bersabar dari tadi, tapi sepertinya wanita seperti Alice memang tak ada matinya membuatnya merasa kesal. Dengan cepat dan kasar ia jauhkan tangan gadis itu dari hadapannya. Hingga makanan dan sendok itu berakhir di lantai.

Beberapa asisten rumah tangga terlihat mengintip dari arah dapur saat mendengar suara sendok yang jatuh di lantai.

Justin beranjak dari duduknya dan menatap tajam kearah Alice. "Aku sudah bilang, kan ... jangan berkelakuan seperti itu lagi padaku! Apa kamu tak mengerti, hah!? Haruskah setiap perbuatanmu padaku kukasari dulu baru paham?!" bentak Justin.

Alice hanya bisa diam. Jangan berpikir ia bisa melawan Justin saat emosi begini. Pengalaman beberapa kali ia alami saat terus membantah omongan dia, mengakibatkan akhir yang begitu buruk.

"Maaf ..."

"Tiada maaf bagimu!" hardiknya.

Alice sampai kaget memicingkan matanya saat mendengar bentakan itu. Laksana sambaran api yang keluar dari mulut naga. Seperti itulah perumpamaannya kalau Justin sedang marah.

Dengan sengaja Justin menendang kursi hingga terhempas. Kemudian dengan cepat berlalu pergi dari sana. Kemana lagi tujuannya kalau bukan memulai rutinitasnya hari ini.

"Apa yang kalian lihat! Kerjakan pekerjaan kalian!" bentak Alice mendapati beberapa asisten rumah tangga yang masih mengintip.

Pada orang yang ada di bawahnya, ia memang kuat. Tapi tidak jika ia sudah berhadapan dengan Justin. Kalau terus melawan, bukan tidak mungkin nyawanya ikut melayang di tangan laki-laki itu. Tapi tetap saja, kalau ia tetap diam, kapan dirinya bisa mengambil hati Justin?

***

Paginya selalu saja dibuat berantakan oleh wanita bernama Alice. Berharap banyak jika dia bisa enyah dalam kehidupannya, tapi tetap tak bisa.

Kadang orang akan berpikir saat melihat wanita itu berada di tengah-tengah keluarganya. Ya, bagi orang yang tak tahu. Mereka akan beranggapan kalau dia adalah saudara jauh atau mungkin tetangga sebelah.

Percayakah semua orang jika ia katakan kalau wanita bernama Alice itu adalah istrinya? Iya, istri. Bahkan ia sendiri saja tak percaya bisa menikah dengan wanita seperti itu. Sungguh, kalau bukan karena mamanya, sudah ia bunuh saja dia.

Sebuah kejadian membuatnya terpaksa harus menikah dengan Alice. Ya, sebagai wanita dia begitu buruk dan licik ... yang dengan sengaja menjebak dirinya. Padahal bisa menolak dan menghindar, karena ia pastikan tak melakukan apapun pada dia, tapi mamanya malah memaksanya untuk menikahi Alice.

"Jalan, Pak!" perintahnya pada sopir.

"Baik, Tuan," sahutnya segera.

Mobil meninggalkan area perumahan yang memang terbilang begitu elit. Tak lama berselang, mungkin baru lima menit perjalanan, tiba-tiba pandangannya tak sengaja mengarah pada sebuah benda pipih yang tergeletak begitu saja di sampingnya.

Ia mengambil benda itu. Sebuah ponsel dengan case berwarna peach. Milik Alice, tentu saja tak mungkin. Bahkan ia tak pernah mengijinkan wanita itu memasuki mobilnya. Menikah, itu hanya sekadar status. Sisanya silahkan jalan masing-masing.

"Hana," gumamnya mengingat. Iya, ia ingat. Ponsel ini adalah milik Hana yang semalam ketinggalan di kamar hotel.

"Pak, kita tunda dulu ke kantornya," ujarnya pada sopir.

Pagi ini jadwalnya sedikit berubah. Yap, haluannya kini mengarah ke kediaman keluarga Hana. Ayolah, ini jaman canggih. Tak harus bertanya pada si pemilik rumah untuk mengetahui alamat.

Mobil terhenti di depan sebuah rumah dengan pagar setinggi dua meter yang menutupi akses masuk.

"Maaf, Pak ..."

"Biar saya yang turun dan masuk," ujar Justin menimpali perkataan sopir.

Turun dari mobil, ia menghampiri satpam yang berada dibalik pagar.

"Hana ada, kan?" tanya Justin langsung pada satpam penjaga dibalik pagar

"Maaf, Anda siapa, ya?"

Ya, nama nya juga satpam, kan. Mereka nggak akan membukakan akses masuk bagi orang yang memang tak dikenal. Apalagi ini pertama kali bagi Justin berkunjung.

"Saya Justin, tolong bilang sama Bapak Emil kalau saya ingin ketemu," ujarnya.

"Sebentar," balasnya.

Baru kali ini ia dibiarkan berdiri menunggu di depan pagar. Kalau bukan untuk mengembalikan ponsel milik Hana, tak akan ia lakukan hal bodoh ini. Membuat reputasinya jatuh ke dasar lautan saja. Herannya lagi, kenapa ia malah mau saja melakukan itu?

Tak lama berselang, satpam kembali menghampirinya. Tapi kali ini dia langsung membukakan pagar dan mempersilahkan untuk masuk.

"Terimaksih," ucapnya kembali ke dalam mobil.

Kini Justin, Emil dan Arini sedang berada di ruang tamu. Ketiganya masih berada dalam pikiran masing-masing. Justin yang mematut-matut keadaan di sekitarnya, sedangkan orang tuanya Hana masih memasang wajah kesal.

"Ehem," deheman Emil membuat pandangan Justin mengarah padanya. "Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?"

Justin menatap Emil dingin, kemudian menunjukkan ponsel milik Hana yang ada di tangannya. "Mau mengembalikan benda ini pada pemiliknya," jawabnya.

"Tak perlu!"

"Apa emosi Anda sampai saat ini masih belum turun, Bapak Emil?" tanya Justin santai.

Ingin marah, tapi ia harus ingat siapa Justin dan siapa dirinya. Bermasalah, bisa habis bisnisnya detik ini juga.

"Buang saja ponsel itu," balas Emil.

"Kenapa? Apa yang salah dengan benda ini?" tanya Justin balik.

Emil beranjak dari posisi duduknya. "Maaf, bukannya bermaksud untuk mengusir. Tapi ada baiknya sekarang Anda pergi dari sini. Karna saya dan istri saya ada urusan," jelasnya langsung.

Justin tersenyum di sudut bibirnya menaggapi perkataan Emil. Bukan berniat mengusir, tapi itu namanya mengusirnya secara langsung.

"Di mana Hana?" tanya Justin.

"Silakan pergi dari sini." Giliran Arini menambahkan.

Ponsel yang tadinya berniat ia kembalikan pada Hana, kini terhempas dan berakhir di lantai dengan tragis. Hancur berkeping-keping. "Saya tanya, di mana Hana!?" Pertanyaannya tak dijawab, itu tandanya melawan.

Jangan dikira dirinya orang yang sabar. Itu salah besar. Ambisinya sangat tinggi, jadi jangan mencoba melawan keinginannya.

Di saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar suara benda-benda pecah yang berasal dari lantai atas. Tak lama kemudian, dua orang asisten rumah tangga juga datang sambil tergesa-gesa.

"Maaf, Tuan, Nyonya. Itu Non Hana di kamar lagi ngamuk-ngamku," jelasnya.

Arini langsung bergegas menuju kamar putrinya.

"Apa-apaan itu anak," geram Emil melangkah cepat menuju lantai atas, mengikuti langkah sang istri yang sudah terlebih dahulu.

Pintu dibuka oleh Arini. Apa yang pertama kali ia dapati? Yap, benar sekali ... di lantai kamar gadis itu sudah penuh dengan benda-benda yang berserakan. Mulai dari vas bunga, gelas, piring, buku, bahkan cermin pun hancur dibuatnya. Layaknya sebuah ruangan yang baru saja terkena gempa tektonik.

"Apa yang kamu lakukan, Hana?!" bentak Emil pada putrinya yang kini tengah menatapnya kesal.

"Aku nggak mau di sini terus, Pa ... aku nggak mau!" teriaknya. "Papa sama sama Mama nggak bisa ngurung aku kayak gini."

"Ini hukuman buat kamu karena sudah melakukan kesalahan. Selama ini kami beri kamu kebebasan, bukan berarti bebas berhubungan layaknya gadis tak benar. Sekarang semuanya terjadi ... apa menurutmu kami akan memberikan kebebasan itu lagi?"

Hana berjalan mendekat kearah papanya. "Papa kenapa, sih, nggak percaya padaku? Aku nggak pernah lakukan itu ... nggak pernah, Pa! Harusnya Papa percaya."

Wajah laki-laki paruh baya itu memerah menahan emosi saat Hana terus membantahnya. Apalagi sekarang berani bicara di depannya tanpa rasa takut.

'Plakkkk' Sebuah tamparan langsung mengenai pipi gadis itu. Membuatnya sampai terhempas ke lantai kamar.

Menyakitkan dan kini tangannya malah tak sengaja menyentuh pecahan cermin yang berserakan di lantai. Rasa perih berusaha ia tahan saat melihat darah mulai keluar dari beberapa luka itu.

Emil tak perduli dengan itu semua. Emosinya seolah memenuhi otaknya saat katanya dibantah oleh sang putri. Arini yang berniat menghampiri Hana saja, ia tahan. "Apa kamu sekarang sudah merasa dewasa dengan membantah semua perkataan Papa? Apa usia 19 tahun sudah membuktikan kalau kamu sudah bebas melakukan apapun juga!?"

"Apa saat seorang anak berusaha membela diri, dia akan mendapatkan perlakuan buruk seperti ini? Apa seorang Ayah yang baik akan dengan mudah menampar putrinya?!"

Pertanyaan itu membuat Emil dan Arini mengarahkan pandangan ke asal sumber suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status