Justin, dialah yang mereka dapati tengah berdiri dibelakang keduanya.
"Ini urusan keluarga saya, jadi jangan ikut campur!"
Justin tak membalas perkataan Emil. Ia berjalan melewati sepasang suami istri itu dan mendekati Hana yang masih terduduk di lantai. Membantu gadis itu untuk kembali bangkit, kemudian membawa dia berdiri berhadap-hadapan dengan Emil dan Arini.
"Dia begini, juga karena saya. Jadi, ini juga termasuk urusan saya!"
Emil marah saat Justin memegang tangan putrinya. Berniat menyingkirkan pegangan itu, tapi Justin malah menghentakkan tangannya dengan kasar.
"Apa yang kamu lakukan?!"
"Jangan menyakitinya lagi!" Emosi Justin mulai kesal dengan sikap Emil pada Hana.
"Dia putri saya!"
Entah apa yang kini tengah dipikirkan Justin, hingga ia bisa bersikap seperti itu. Dan yang membingungkan, kenapa rasanya tak rela saja melihat perlakuan buruk Emil pada Hana. Ambisinya untuk melindungi gadis ini tiba-tiba saja meningkat. Aneh, bukan?
Ia melirik kearah Hana yang memang juga berusaha melepaskan pegangannya, tapi tetap tak berniat ia lepas. Kemudian, kembali menatap tajam kearah Emil.
"Satu jawaban untuk satu pertanyaan. Berikan dia padaku dan semuanya aman. Mau atau tidak?"
Sontak, perkataan Justin membuat Emil dan Arini kaget. Bahkan Hana saja dibuat ikutan kaget.
"Maksud Om apaan bicara begitu?" tanya Hana bingung.
"Kamu tidak bisa bersikap seenakmu begitu!" Emil tak terima dengan keinginan Justin. Apa-apaan maksud laki-laki ini ingin mengambil alih putrinya dengan cara mengancamnya.
"Saya nggak akan memberikan Hana padamu. Memangnya dia barang, yang bisa diberikan begitu saja pada orang yang tak dikenal." Emil dengan kuat menarik putrinya dan itu berhasil.
Kemarahan Justin seolah diuji saat ini. Ia menarik napasnya dalam. "Baiklah, sepertinya perkataanku hanya dianggap lelucon. Ku pastikan dalam beberapa menit lagi semuanya akan hancur!"
Sepasang suami istri itu saling bertukar pandang dengan ekspressi yang sulit diartikan. Tanpa penjelasan pun, Emil dan Arini juga pasti tahu apa maksud perkataan Justin. Ya, hancur ... lebih tepatnya kehancuran dalam bidang bisnis.
"Jangan lakukan apapun juga!"
"Dan jangan menolak apapun yang ku inginkan juga, Bapak Emil!"
"Jangan menyerahkanku padanya," ujar Hana berharap pada kedua orang tuanya. Apa jadinya hidupnya nanti? Masa iya dirinya harus jatuh ke tangan om-om mesum yang tak dikenal ini hanya karena sebuah kesalahan yang bahkan tak meninggalkan bekas sedikitpun.
Sedikit berpikir dengan apa yang dikatakan Justin. Emil tentu saja dibuat kelabakan, memilih antara bisnis dan putrinya sendiri. Ya, keduanya memang tak akan bisa ia lepas. Tanpa bisnis, bagaimana ia dan keluarganya bisa hidup. Tapi kalau harus melepaskan putrinya ke tangan orang seperti Justin? Ia rasanya tak rela saja.
"Melepaskan Hana padaku, semuanya aman. Jika tidak, bahkan tanpa campur tanganku saja keluargamu akan hancur dengan sendirinya. Masih ingat kejadian semalam, kan ... itu akan jadi problem besar yang akan mempengaruhi keluarga dan bisnismu. Berita tentang putri dari seorang pebisnis yang tertangkap basah satu kamar dengan ..."
"Oke," timpal Emil langsung menghentikan perkataan Justin.
"Maksud Papa apa bicara begitu?!" tanya Hana tak percaya.
"Baiklah ... saya setuju," ungkapnya menambahkan dan melepaskan pegangannya di tangan Hana.
Justin mengambil alih gadis itu dan kembali menariknya untuk mendekat. Tersenyum licik di sudut bibirnya mendapatkan apa yang ia inginkan. Meskipun caranya salah, tapi ia puas akan hasilnya.
"Lepasin aku, aku nggak mau!" Hana terus berusaha lepas dari rengkuhan Justin, meskipun gagal.
"Begini lebih baik, bukan," ujarnya.
"Jangan melakukan apapun juga pada bisnis saya." Emil meminta kepastian akan kondisi bisnisnya. "Hana sudah kami berikan, jangan memperburuk situasi keluarga kami."
"Hmm ... ku pastikan itu."
"Kenapa Papa malah menyerahkanku padanya? Aku nggak mau, Pa! Aku bukan barang," kesal Hana saat orang tuanya malah mempertaruhkan dirinya demi keamanan bisnis dan kehormatan keluarga.
"Maaf, Sayang ... memang seperti inilah harusnya. Kamu harus ngertiin keadaan kami. Kamu nggak mau, kan, kalau Justin sampai menghancurkan bisnis keluarga kita karena kejadian semalam?"
"Papa jahat!"
"Papa bukan jahat, Han. Ini demi kebaikan kita. Setidaknya kamu aman bersama Justin."
"Tapi aku nggak mau!"
"Ikut aku sekarang!" Justin membawa Hana pergi dari sana dengan paksa, meskipun gadis itu terus berontak dan menolaknya.
Sementara Emil dan Arini, keduanya hanya jadi penonton saat sang putri dibawa oleh Justin. Meskipun rasanya tak rela, tapi lebih tak rela lagi jika hidup Hana ikut hancur karena masalah semalam. Dan lagi, bisnis yang keluarganya raih hingga detik ini, juga akan berakhir dalam sekejap mata.
"Apa kita orang tua yang jahat?" tanya Arini pada Emil.
"Bukan," jawabnya. "Lebih tepatnya kita hanya ingin Hana dapat yang terbaik. Lagian, mana ada laki-laki yang mau menerima gadis yang pernah kepergok berada dalam satu kamar dengan laki-laki lain. Meskipun tak melakukan apa-apa, tetap saja namanya sudah dicap buruk," tambahnya menjelaskan.
Jatuh ke tangan Justin, setidaknya masalah semalam bisa dibuat terhenti.
****
Hana terus menolak saat Justin memaksanya untuk ikut dan masuk ke dalam mobil. Apa ini? Ia harus jadi milik laki-laki seperti Justin karena orang tuanya sendiri yang menyerahkan. Benar-benar tak habis pikir. Tadi mengatakan kalau dirinya bukanlah barang, tapi saat diberi pilihan justru malah mengorbankan dirinya demi bisnis."Masuk," suruh Justin pada Hana yang tak tetap mau masuk ke dalam mobil.
"Aku nggak mau," tolaknya kekeuh.
"Kenapa?"
"Karena aku nggak mau ikut."
"Han, kamu harus ikut denganku. Dengar sendiri, kan, orang tuamu sudah memberikanmu padaku," terang Justin. "Jadi, mau tak mau kamu harus ikut!"
"Tapi karena acamanmu, Om! Kalau kamu nggak mengancam, mereka nggak akan berbuat seperti ini padaku!" Ia menangis memikirkan alur kehidupan seperti apa yang sudah dihadapkan padanya.
"Bahkan tanpa ancaman dan campur tanganku, tetap saja bisnis keluargamu akan hancur karena ulahmu sendiri, Hana," jelas Justin meyakinkan gadis itu.
Hana diam. Apa maksud perkataannya?
"Masuk sekarang!"
Suara bariton itu seakan memukul rata nyalinya hingga ciut seketika. Benar ternyata menurut kebanyakan orang, Justin itu menakutkan. Dan sekarang ia lihat sendiri kenyataannya. Tadi dia masih terlihat santai, tapi ketika mode emosi diaktifkan, dua kata yang dia ucapkan saja rasanya seolah menghentak jantungnya.
Di dalam mobil, tak ada pembicaraan apapun. Hana sibuk dengan rasa kesal dan marahnya, sedangkan Justin sibuk dengan ponselnya.
Selang beberapa saat, barulah kini pandangannya ia arahkan pada gadis yang seolah memang sengaja membuang muka darinya. Air mata dia juga masih tampak mengalir membasahi pipi dia.
"Ingat perkataanku semalam, bukan. Aku menyukaimu, Hana," ungkapnya langsung.
Hana yang dari tadi seolah memang tak ingin melihat wajah Justin, saat mendengar itu semua tentu saja ia langsung kaget. Kemudian menatap tajam kearah laki-laki yang duduk di sampingnya. Lalu apalagi? Dengan sengaja ia malah menyentil dahi Justin. Karena beranggapan dia sedang tak baik-baik saja.
"Jangan mengatakan lelucon nggak penting seperti itu, Om. Kamu pikir aku ini bocah ingusan yang akan diam jika diberi es krim? Telat. Aku sudah 19 tahun."
Rasa kaget Justin benar-benar tak bisa diungkapkan dengan perkataan apapun. Hana menyentilnya? Ia pastikan baru dia seorang yang berani melakukan ini padanya. Jangankan menyentil, bahkan tak seorang pun wanita berani menyentuhnya. Alice saja tak berani, lah ini Hana malah seolah tak takut.
Justin kembali tersadar, berpikir jika hal barusan hanyalah halusinasi bodohnya. Tapi rasa di dahinya meyakinkan sekali kalau ini nyata.
"Aku bukan sedang bercanda padamu, Han," ujarnya. "Ku pastikan berita tentang kejadian semalam sudah beredar. Dan apa kamu yakin orang tuamu bisa menghandle itu semua? Bahkan aku sendiri nggak yakin mereka bisa."
"Sok perduli!"
"Bukan pada orang tuamu, tapi padamu. Aku perduli padamu. Paham?"
Hana mengumbar senyuman manisnya pada Justin. "Tapi aku tetap nggak perduli," ketusnya mengubah senyumannya langsung jadi ekspressi ketus.
"Tapi ku pastikan hari ini juga masalah itu tak akan melebar," tambahnya.
"Terserah!"
Tak perduli, tak perduli ... tapi tetap saja perkataan Justin terus ia balas. Otaknya seolah sedang konslet parah.
Mobil memasuki pekarangan rumah. Sopir membukakan pintu mobil untuk Justin keluar. Sedangkan Hana saat Justin memintanya untuk turun, malah menolak.
"Ini masih pagi dan kamu sudah membuat hariku berantakan, Han," ujar Justin.
"Aku?" tunjuk Hana pada dirinya sendiri. "Om, tuh, yang bikin hariku berantakan. Dan sepertinya hidupku akan ikut berantakan setelah ini," ungkapnya.
Alice membantahnya satu kata saja, sudah membuatnya emosi. Tapi kenapa kalau Hana yang bersikap begitu malah membuatnya ingin tertawa? Apa ini arti dari menyukai?
Lagi-lagi dengan paksa Justin harus membuat Hana turun dari mobil. Bayangkan, ia harus menyeret-nyeret seorang gadis agar mau turun dan masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam, sudah ada empat orang wanita yang berseragam sama, menyambut.
"Urus dia," suruh Justin menyerahkan Hana pada mereka semua.
"Apa?" kaget Hana. Tapi ia malah langsung dibawa paksa menuju ke lantai dua rumah itu. Meskipun ia menolak dan bersikeras untuk tak mau sekalipun.
Alice keluar dari kamarnya saat mendengar suara heboh. Apa yang terjadi? Matanya seakan mau keluar ketika mendapati Hana ada di rumah ini. Bergegas menghampiri Justin yang masih berdiri di posisinya. Kemudian dengan wajah kesal menatap kearah laki-laki itu.
"Kenapa malah kamu bawa dia ke sini?" tanya Alice karena mendapati Hana yang sedang dibawa paksa menuju lantai atas. "Semalam dia sudah membuat hubungan kita kacau, dan sekarang malah kamu bawa biang kekacauan itu."
Justin seolah mengabaikan pertanyaan Alice dan malah berlalu pergi begitu saja. Maaf, pendengarannya ia atur untuk tak terlalu mendengarkan omongan Alice.
"Justin! Aku lagi bicara sama kamu. Bisa, nggak, sih, dengerin aku dulu?!"
Langkah Justin terhenti saat sampai di dekat pintu utama. Kemudian ia berbalik arah dan kembali berjalan menghampiri Alice dengan memasang wajah dingin.
"Jangan lakukan kebodohan apapun yang bisa membuatmu lenyap. Terlebih jika kamu melakukan sesuatu yang buruk pada dia! Bersikap buruk padanya, itu artinya membantah perintahku!"
Ini bukan sekadar ancaman. Karena jika melanggar, bisa dipastikan apa yang dia katakan itu bisa langsung terjadi.
"Tapi aku ini istri kamu, Justin! Nggak seharusnya membawa gadis itu ke dalam rumah ini. Kamu anggap aku ini apa?!"
Justin berdecak mendengar pertanyaan Alice. Hendak mencengkeram wajah gadis itu dengan tangannya, tapi kembali ia urungkan niatnya itu. Bukan karena kasihan ataupun tak tega ... lebih tepatnya ia tak ingin dan tak berminat menyentuh Alice. Bahkan sedikitpun tak akan rela.
"Aku tak pernah menganggapmu ada, Alice. Apalagi sampai menganggap dirimu sebagai pendampingku dan harusnya kamu tau itu! Jadi, jangan bertanya lagi tentang dirimu dalam kehidupanku!"
"Dan gadis itu?"
"Lihat nanti akan ku jadikan dia sebagai apa dalam kehidupanku," balasnya berlalu pergi.
Alice geram dengan sikap Justin padanya. Terlebih dengan mengajak Hana ke rumah ini. Apa maksudnya coba? Ia yang istrinya saja tak pernah diperlakukan baik, kenapa juga dengan gadis itu malah sikapnya justru berbeda.
Semalam akhirnya yang menjaga Riga adalah Tian dan Willy bersama Justin. Sedangkan Hana, Rhea dan Vio pulang ke rumah. Itupun penuh drama malam tengah malam, karena Vio tak ingin pulang jika Riga tak pulang bersamanya. Akhirnya dengan bujukan kakaknya itu semua bisa kelar. Sudahlah, kalau Vio mulai merengek dan tak terima akan sesuatu, bersiap saja untuk mendengar dia menangis dan mewek mewek. Dan pagi ini, tepat saat sarapan bersama Hana, gadis kecil itu kembali berulah. Dia nggak mau sarapan dan sekolah, jika tak bersama Riga. Membuat Hana dibuat pusing di pagi hari. “Riga nggak pernah suka dengan apa yang kamu lakukan ini, Sayang.” “Aku mau dia di sini denganku. Aku janji, Ma ... nggak akan berbuat yang bikin dia kesal. Aku janji nggak akan merengek dan berteriak teriak lagi di dalam rumah. Tapi, bawa kakak pulang.” Lihatlah, mukanya sudah memerah, menahan air mata yang sudah mengenang di kelopak matanya. Tapi sepertinya dia sedang menahan rasa itu. “Apa sekarang kamu mau ikut
Tian mendorong kursi roda, dengan Riga yang duduk di sana. Sementara Willy memgangi tabung cairan infus, agar berada tetap di posisi lebih tinggi. TadinyaTadinya Riga meminta dokter agar infusnya dilepaskan, tapi dokter ternyata tak menginjinkan. Dikarenakan kondisi tubuhnya yang memang belum stabil.Sampai di depan sebuah ruang perawatan, Tian menghentikan langkahnya. Sedikit berjongkok dihadapan bocah 9 tahun itu.“Ga, kamu ingat, kan, apa yang dokter bilang.”Mengangguk pertanda ia paham apa yang di maksud oleh Tian.“Aku janji nggak akan bikin Papa khawatir, aku juga nggak ingin Papa sakit hanya karena memikirkanku. Kau baik baik saja, dan akan selalu baik baik saja,” terangnya.Bahkan hanya mendengar putranya berkata seperti itu saja, mampu membuat hati Hana teriris. Dia sakit, bisa dikatakan sakit parah ... tapi lihatlah, sikap yang dia tunjukkan bahkan seolah tak sedang sakit. Hal yang membuatnya benar benar bangga memiliki Riga.Willy membuka pintu ruangan itu. Melangkah masu
Sudah hampir satu jam Semuanya pergi dan sekarang tentu saja Rhea merasa was was. Apa yang tengah terjadi, kenapa semuanya belum kembali satu orang pun? Jadi makin dibuat bingung karena Riga terus bertanya kenapa orang tua dia belum kembali.“Tante, kenapa Papa sama Mama belum kembali?”Rhea tersenyum manis pada Riga, kemudian mengelus wajah manis itu dengan lembut.“Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sama Papa kamu lagi mendengarkan penjelasan dokter dulu. Atau, mungkin dokternya lagi ada pasien, jadinya mereka harus nunggu deh.”“Alasan yang nggak meyakinkan,” responnya dengan nada tak terima akan penjelasan Rhea yang berpatokan pada kata mungkin.Ayolah, dihadapkan pada posisi di mana dirinya hanya berdua dengan Riga, itu begitu sulit. Karena dia adalah tipe anak yang punya pikiran cerdas dan nggak akan gampang dibohongi.“Perasaanku nggak enak,” gumamnya perlahan.Di saat yang bersamaan, Tian datang. Seketika Riga langsung bangun dari posisi tidurnya dan berharap jika orang tuanya j
Seperti yang sudah direncanakan semalam, hari ini Riga akan melanjutkan pemeriksaan menyeluruh termasuk tes lab. Berharap jika apa yang diperkirakan Dokter semalam tak benar benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan jika hal buruk itu terjadi pada putranya.Lagi lagi hanya bisa menunggu ketika putranya harus menjalani pemeriksaan dalam waktu yang lama. Bahkan berjam jam. Sungguh, ini rasanya menyakitkan hatinya sebagai seorang ibu.Dari kejauhan tampak dua orang berjalan cepat mengarah pada Hana dan Justin. Ya, Tian da Rhea.“Han, gimana Riga?” tanya Rhea langsung pada Hana.Bukannya menjawab pertanyaannya, Hana justru langsung memeluknya erat. Tentu saja itu membuat hatinya justru tak tenang. Ditambah lagi dengan dia memasang wajah sendu. Tak hanya Hana, raut muka Justin juga tampak tak baik baik saja. seperti baru saja mendengar sebuah kabar tak mengenakkan.“Ada masalah sama Riga?” tanya Tian ikut bertanya pada Justin. “Dia baik baik aja, kan?”Justin hanya mengangguk. Ia sanga
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, kalau malam ini akan makan di luar. Tentu saja bukan makan malam berdua, karena harus diingat, ada Vio dan Riga.Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, si princess yang sudah dari tadi siap, hanya bisa mondar mandir seperti setrikaan rusak saat orang tuanya dan juga kakaknya belum menampakkan diri dihadapannya. “Udah siapa, Sayang?” tanya Hana pada Vio yang akhirnya duduk di sofa dengan muka cemberut.“Udah dari tadi, Mama. Tapi semua orang malah belum apa apa.”Justin tersenyum dengan tingakh putrinya yang satu ini. Pokoknya kalau mau pergi pergi, dia yang paling gercep untuk siap siap.“Riga mana?” tanya Justin karena tak mendapati putranya di sana.“Aku nggak mau ikut,” sahutnya menuruni anak tangga dari lantai atas ... masih dengan pakaian rumahannya.“Loh, kok nggak ikut?” tanya Hana menghampiri Riga yang seperti biasa ... sikapnya selalu kalem seakan tak memiliki perasaan.“Nggak kenapa kenapa, kok, Ma ... cuman males aja. Ada tugas jug
Perlahan tapi pasti, hal hal yang dianggap baru dan asing juga akan terbiasa menghiasi hari hari. Begitupun dengan apa yang sedang dialami oleh Hana. Yang tadinya ia hanya berdua dengan Justin, kini semua terasa ramai ketika ada dua anak yang seakan membuat suasana di rumah terasa hangat.Justin yang tadinya hanya fokus mengurus pekerjaan meskipun di rumah, kini seolah merombak jadwal dan aktifitasnya. Saat di rumah, dia hanya akan fokus untuk keluarga. Tak ada lagi pekerjaan kantor yang dibawa pulang.Semakin terbiasa tanpa adanya bantuan perkara urusan si kecil, membuat Hana merasa benar benar full jadi ibu seutuhnya. Semua dilakukan sendiri, meskipun harus mendengar ocehan Justin yang menganggap dirinya kecapean.Jujur saja, ini rasanya memang capek ... hanya saja semua rasa itu seolah sirna ketika melihat mereka tersenyum padanya, seakan mengatakan terimakasih.Rasanya satu hari itu berlalu begitu cepat. Masih berputar putar dan fokus pada Riga dan Vio, tiba tiba saat selesai hari
Rasanya benar benar terasa lega, ketika akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, kini kembali ke rumah. Tentunya pulang dengan tambahan dua anggota baru yang akan menghiasi suasana rumah.Sebelumnya hanya berstatus sebagai seorang istri, sekarang bertambah dengan status ibu dua anak. Ayolah, itu rasanya benar benar sulit dipercaya dengan dirinya yang masih berusia 20 tahunan.Justin membantu Hana turun dari mobil dengan si kembar yang berada dalam gendongan dua orang suster. Jangan berprasangka buruk dulu kalau dirinya akan menggunakan jasa dalam merawat anak anaknya, bukan seperti itu. Ini hanya untuk beberapa hari ke depan, setidaknya sampai luka bekas operasinya mulai membaik dan aman untuk banyak bergerak.Tak lama, dua mobil tampak memasuki area pekarangan. Bisa ditebak siapa yang datang. Itu mobil Tian dan Willy, yang artinya ... pasti pasangan mereka juga ikut.Melanjutkan langkah memasuki rumah, tempat yang membuatnya tiba tiba rindu, meskipun kadang menyebalkan juga kar